Pemerintahan Lewat Kantor Maya

Oleh Sonya Hellen Sinombor dan Subur Tjahjono

Parjo (40) dua bulan belakangan ini makin betah di kantornya, Balai Desa Gilirejo, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Kepala Desa Gilirejo itu punya "mainan" baru, yakni dua perangkat komputer dilengkapi printer dan telepon bebas pulsa. Komputer di kantor Parjo terkoneksi secara online dengan lebih dari 500 komputer lain di Kabupaten Sragen.

"Saya bisa sampai pukul 17.00 di kantor. Sebelumnya siang sudah pulang," ujar Parjo, terkekeh, ketika ditemui pada Sabtu (16/2) siang. Fasilitas komputer tergolong mewah untuk ukuran Desa Gilirejo yang masuk kategori desa tertinggal. Desa dengan penduduk 3.656 jiwa itu sempat bergolak saat pembangunan Waduk Kedung Ombo. Selain bertani jagung dan ketela pohon di tegalan, penduduk bertani ikan keramba di waduk.

Berbagai informasi terbaru yang tersedia di http://www.sragenkab.go.id dan http://kantaya.sragenkab.go.id merupakan menu yang wajib dibaca tiap hari. Alamat yang terakhir merupakan intranet yang menjadi sarana komunikasi dari kantor kabupaten hingga ke 20 kecamatan dan 208 desa di Sragen. Kantaya adalah akronim dari "kantor maya" Pemkab Sragen.

Bagi Parjo, komputer tersebut sangat membantu memperlancar urusan pemerintahan. Apalagi jarak desa itu paling jauh dari pusat Kabupaten Sragen, sekitar 50 kilometer. Sebelumnya, untuk membuat surat perjalanan dinas (SPD), ia harus ke rental komputer di Gemolong, 15 kilometer dari Gilirejo. Ongkos ojek Rp 20.000 sekali jalan. Sekarang, tinggal diketik di folder "lemari" di kantaya, lantas dikirim ke kantaya kecamatan.

Sejak 2003

Program pemerintahan elektronik atau e-government dimulai Bupati Sragen Untung Wiyono sejak tahun 2003 untuk tingkat kecamatan dan 2007/2008 untuk tingkat desa.

"Sebelum kita membangun infrastruktur, kita bangun dulu manusianya," ujar Untung, bupati dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu. Pejabat di Sragen dikursuskan komputer dan bahasa Inggris. Itu menjadi syarat bagi pejabat Sragen untuk naik pangkat.

Untung Wiyono yang berlatar belakang pengusaha itu sejak awal mengutamakan efisiensi dalam menjalankan pemerintahannya. Teknologi informasi digunakan untuk memangkas biaya. Sebelumnya, biaya telepon dan belanja alat tulis kantor Kabupaten Sragen mencapai Rp 2,3 miliar per tahun. Dengan teknologi informasi, pengeluaran hanya Rp 250 juta per tahun, berupa kerja sama dengan internet service provider.

Aplikasi kantaya di antaranya laporan monitoring setiap dinas, satuan kerja, dan kecamatan; sarana pengiriman data; informasi dan monitoring proyek secara online pada setiap satuan kerja; agenda kerja setiap satuan kerja; forum diskusi dan chatting antarpersonel dan satuan kerja; surat dinas atau undangan.

Dengan teknologi informasi itu, Untung Wiyono mengontrol kinerja birokrasinya yang didukung 12.000 PNS dari komputer di ruang kerjanya. Kalau membutuhkan pertemuan mendadak dengan camat atau kepala desa, Untung tak perlu memanggil bawahannya, cukup mengadakan telekonferensi dengan webcam. Laporan harian kegiatan pembangunan dan laporan keuangan cukup disampaikan lewat komputer.

Di kantaya juga tersedia sistem informasi pemerintahan daerah, perizinan terpadu, sistem informasi perdagangan antarwilayah, kepegawaian, keuangan daerah, kependudukan, pertanahan, sistem rumah sakit umum daerah, sistem informasi strategis, pendapatan daerah, pengelolaan barang daerah, sistem informasi geografis, kredit, dan pembayaran perusahaan daerah air minum.

Aplikasi tersebut betul-betul diterapkan saat Kompas berkeliling ke beberapa kantor kecamatan dan desa di Sragen. Loket pelayanan kartu tanda penduduk dan surat-surat lain di Kantor Kecamatan Kalijambe, misalnya, tak kalah dengan bank. Tursini (38), Warga Desa Banaran, Kecamatan Kalijambe, tidak sampai 5 menit memperpanjang KTP. Ia pun hanya perlu membayar Rp 5.000. Dengan sistem online, tak akan ada KTP kembar di Sragen karena database 863.914 penduduk sudah terintegrasi.

Tiap pagi pukul 07.00-07.30 para perangkat kecamatan dan desa sudah harus membuka komputer untuk melihat informasi, baik berupa kegiatan, undangan, maupun perintah bupati. "Pernah saya baru buka pukul 08.30 ternyata ada undangan rapat di kabupaten pukul 08.30 sehingga telat," ujar Camat Kalijambe Tugino.

Rapat jagabaya atau keamanan desa di Kecamatan Masaran, misalnya, tidak perlu menggunakan surat yang ditandatangani Camat Masaran Yuniarti. Sekretaris Kecamatan Nanang Hartono cukup mengetik undangan di kantaya. ”Kami bisa menghemat tagihan telepon dan belanja kertas hingga 70 persen,” kata Camat Masaran Yuniarti.

Yuniarti pun ingin usaha batik yang berkembang di wilayahnya dipromosikan di internet. Sumarsono, pengusaha batik dari Desa Kliwonan, Masaran, kini mulai mendapat pesanan, bahkan dari Malaysia, karena promosi di internet itu. Program e-government Sragen sudah diadopsi pemerintah pusat untuk diterapkan di kabupaten/kota lain. Inilah wujud nyata dari reformasi birokrasi.

====================
Tulisan ini semula dimuat di Kompas, 21 Februari 2008. Versi ini saya unduh dari Kompas. Tiada maksud apa pun mencupliknya di sini, kecuali agar jadi bahan ajar siapa saja, terlebih saya. Hmm, kapan ya kabupaten/kota saya, propinsi saya bisa begini....

Untung Sragen Punya Untung

Oleh Sonya Hellen Sinombor dan Subur Tjahjono

Beruntung Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, punya bupati seperti Untung Wiyono. Sosoknya unik. Selama 13 tahun ia bekerja di perusahaan asing, sebelum memutuskan terjun ke dunia politik. Ijazah sarjananya sempat dipersoalkan, tetapi berbagai usaha Untung membuat Sragen menjadi sorotan nasional.

Dari 21 kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen, delapan di antaranya diadopsi pemerintah pusat. Kedelapan kebijakan itu adalah pelayanan perizinan satu pintu, pemerintahan elektronik, perekrutan pegawai negeri sipil dengan sistem kompetensi, budidaya pertanian organik, sistem informasi manajemen kependudukan, resi gudang, desa siaga sehat, dan pembiayaan mikro.

Program lain yang unik adalah denda Rp 100 juta atau 10 tahun penjara bagi orang yang menangkap ikan dengan racun, denda Rp 50 juta atau 5 tahun penjara bagi penembak burung. Ada lagi kebijakan Sragen bebas pengemis atau peminta-minta, bahkan juga kebijakan pohon bebas paku.

Setelah mendapat penghargaan Citra Pelayanan Prima dari Presiden pada 2004, Sragen lalu meraih 34 penghargaan lain dari berbagai kalangan. Terakhir penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia dalam peringatan Hari Pers Nasional 2008 di Semarang untuk program pelayanan publik.

Saat memaparkan program dalam Konvensi Nasional Media Massa, 8 Februari lalu, Untung tampak bersemangat. Ia pekikkan pula kata ”merdeka”. Maklum, dia juga Pelaksana Harian Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sragen.

Saat ditemui pekan lalu, gaya bicaranya tetap berapi-api. Tak ada kesan mengantuk meskipun ia mengaku cuma tidur sekitar satu jam sebab menunggui langsung seleksi penerimaan calon PNS Sragen dan paginya mengikuti kegiatan olahraga di kantor.

Pengalaman bekerja di perusahaan asing membuat ia terbiasa berdisiplin, kerja keras, dan efisiensi. ”Jadi pemimpin itu harus mengatur uang dulu,” katanya. Bila dana tak dikelola dengan sistem yang baik, akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Efisiensi adalah kata kunci yang dia bawa saat menjadi Bupati Sragen. Hari pertama setelah dilantik menjadi bupati pada Mei 2007, ia mengumpulkan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah, Sekretaris Daerah, Asisten Bupati, Kepala Bappeda, dan Wakil Bupati. Mereka membahas anggaran rutin sebesar Rp 34 miliar.

”Saya hitung-hitung, masih bisa memasukkan ke kas daerah Rp 12,2 miliar, atau sekitar 30 persen. Ini dari anggaran tim yang dobel dan bantuan yang tak perlu,” ujarnya.

Selain itu, PNS pun tak terbiasa membuat rencana strategis, rencana bisnis, dan proposal. APBD berupa perimbangan karena anggaran harus habis juga perlu direformasi. Untung percaya, kalau pemimpin ingin rakyat bekerja keras, pemerintahnya harus membangun sistem yang melayani mereka. Dengan demikian, rakyat percaya kepada pemimpinnya.

”Kepercayaan itu timbul dari pelayanan pemerintah, seperti mengurus KTP cukup dua menit, atau mengurus izin hanya sehari,” ucapnya.

Rezeki kota

Efisiensi itu membuahkan hasil. Pendapatan asli daerah (PAD) Sragen, yang pada Mei 2001 sebesar Rp 7 miliar, naik menjadi Rp 14 miliar pada akhir 2001. Sekarang, PAD Sragen pada APBD 2007 menjadi Rp 54 miliar. Pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8 persen. ”Kampung tempatku, tetapi rezekiku kota,” ucapnya.

Salah satu yang mendukung pertumbuhan ekonomi itu adalah Pabrik Gula Mojo yang tahun 2001 hendak ditutup, namun justru dia beri pinjaman Rp 5,5 miliar. ”Kalau pabrik ditutup, mesinnya cuma jadi besi tua, padahal saya tahu mesinnya masih bagus,” ujarnya. Hasilnya? Pinjaman itu bisa kembali dalam waktu setahun.

Anggaran pembangunan satu jembatan Bengawan Solo di Gawan yang semula Rp 9,6 miliar bisa dia turunkan menjadi Rp 4,3 miliar dengan mengefisiensikan biaya pengadaan tanah.

Teknologi informasi

Untung percaya teknologi informasi akan meningkatkan efisiensi. Karena itu, sejak 2003 ia menerapkan pemerintahan elektronik. Lebih dari 500 komputer online di seluruh kantor satuan kerja, 20 kecamatan, dan 208 desa. Tahun ini Pemkab Sragen merakit komputer dengan nama Sratek (dari Sragen Teknologi).

Pemikiran perlunya teknologi informasi itu muncul dari pengalamannya bekerja di perusahaan asing, terutama instrumentasi dan teknologi minyak bumi. ”Dengan teknologi semuanya bisa efisien. Teknologi informasi juga bisa digunakan untuk kontrol.”

Pada awal dia menjadi bupati, di Pemkab Sragen cuma ada tiga komputer. Untung lalu menyiapkan dulu sumber daya manusianya. Awalnya memang perlu dana relatif besar, namun hasilnya sepadan. PNS di Sragen piawai menggunakan komputer dan mahir berbahasa Inggris. Tuntutan kemahiran itu sampai pada PNS tingkat desa, bahkan kepala desa pun harus belajar komputer.

Untung memberi perhatian lebih pada desa. Sebab, ia lahir di Kampung Dayu, Desa Jurangjero, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen. Dulu, desanya tandus, tetapi kini kawasan itu telah hijau. Kali kecil yang pada musim kemarau kering kini menjadi bendungan yang mengairi sawah dan hutan jati di sekitarnya.

Ia bercerita, sebagai wiraswasta dia bisa hidup cukup. Namun, dorongan teman-teman membuat Untung memutuskan masuk dunia politik. ”Tiga bulan menjelang pemilihan kepala daerah, saya berubah pikiran setelah berkeliling melihat potensi Sragen.”

”Alhamdulillah saya diberi banyak pengalaman, mulai dari menjadi pengusaha kaki lima, soto dan bakso di Surabaya, sampai kerja profesional. Saya tidak minder, tetapi juga tak main-main kalau bekerja,” ujar Untung.

Perjalanan Untung sebagai bupati tak selalu mulus. Pada periode pertama (2001-2006) dia dilaporkan ke polisi karena dugaan ijazah palsu Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jakarta. Sorotan atas ijazah palsu itu berlanjut saat dia mencalonkan diri kembali untuk periode 2006-2011. Namun itu bisa dilaluinya. Berpasangan dengan Agus Fatchur Rahman, ia memenangi pilkada langsung pada 25 Maret 2006, dengan perolehan suara 87,34 persen.

”Sudah ada keputusan Mahkamah Agung yang inkracht (tetap), ijazah saya tak bermasalah,” ucapnya.


====================
Tulisan ini semula dimuat di Kompas, 21 Februari 2008. Versi ini saya unduh dari kliksosok.blogspot.com Tiada maksud apa pun mencupliknya di sini, kecuali agar jadi bahan ajar siapa saja, terlebih saya. Hmm, kapan ya kabupaten/kota saya, propinsi saya, negara saya punya pemimpin seperti Pak Untung....

Membaca dan Menulis Derrida

Judul : Derrida

Penulis : Muhammad Al-Fayyadl

Kata Pengantar : Goenawan Mohamad

Penerbit : LKiS, Yogyakarta

Cetakan : I Agustus 2005

Tebal : xxx + 244 halaman



SETAHUN SUDAH Jacques Derrida meninggalkan kita. Oktober 2004 dia wafat karena serangan kanker pankreas. Adieu, à-Dieu! (Selamat tinggal, Tuhan!), kata-kata yang pernah diucapkan Derrida buat Emmanuel Levinas saat sahabatnya itu meninggal, tampaknya juga pas kita ucapkan untuknya.

Derrida lahir di El-Biar, wilayah terpencil Aljazair, pada 15 Juli 1930. Tahun 1952 Derrida masuk École Normal Supériuere (ENS) di Prancis, sekolah elite yang dikelola Foucault, Althusser, dan para filsuf terkemuka Prancis lain. Dari kesannya yang mendalam pada para gurunya di sekolah itu, ia menekuni filsafat dan akhirnya dikenal sebagai salah seorang filsuf kenamaan.

Menekuni filsafat? Kata itu tak sepenuhnya benar. Banyak yang bilang, Derrida tidak berfilsafat, melainkan bermain-main dengan filsafat. Puncaknya, ketika pada 1992 Universitas Cambridge hendak memberi penghargaan pada Derrida, banyak profesor di sana yang menolak, termasuk W.V. Quine. Alasan mereka, tulisan Derrida mengemukakan ajaran yang absurd, yang menolak pembedaan antara kenyataan dan fiksi.

Itulah Derrida. Ia menjadi kontroversi: ada yang mendukung, tak sedikit yang menolak. Dekonstruksi (déconstruction)-nya pun tak urung menuai badai kritik. “Bagi saya, dekonstruksi bukanlah upaya intelektual yang serius,” tandas Gadamer dalam sebuah wawancara. Manfred Frank bahkan menuduh dekonstruksi mengandung fasisme.

Bagi Derrida, juga para pengikutnya, dekonstruksi tidak dapat didefinisikan. Setiap definisi selalu merupakan pembatasan, locus atau tempus, sementara dekonstruksi justru hendak menerobos batas. Bagaimana caranya? Derrida mengatakan, langkah pertama atau paling dasar adalah membaca.

Membaca itulah yang banyak dilakukan Derrida dalam tulisan-tulisannya. Of Grammatology, Writing and Differences, Speech and Phenomena, serta karya-karyanya yang lain, adalah hasil pembacaannya atas Rousseau, de Saussure, Husserl, Levinas, Heidegger, Bataille, Hegel, Foucault, Descartes, Lévi-Strauss, Freud, Edmond Jabés, Antonin Artaud.

Tentu membaca dalam pengertian Derrida bukan membaca biasa dalam arti mengeja huruf per huruf dan melafalkan kata per kata, tapi membaca dalam dua lapis atau double reading. Lapis pertama, pembacaan ditujukan untuk menampilkan apa yang disebut Derrida sebagai “tafsiran dominan” atas teks atau bacaan. Lapis kedua berusaha memperlihatkan titik lemah serta kontradiksi dalam tafsiran dominan itu dan menyajikan pembacaan tandingan lain.

Pembacaan yang dilakukan Derrida berusaha membongkar hegemoni tafsir yang menghasratkan ketunggalan, berupaya mengguncang pemaknaan dominan atas teks. Bagi Derrida, setiap teks mempunyai dunianya sendiri yang kaya. Pusat teks ada di mana-mana. Dunia teks yang demikian terlalu reduktif bila mesti dimaknai dengan satu atau beberapa makna dominan, yang pada gilirannya memandulkan lahirnya pemaknaan lain. Kekayaan teks, bagi Derrida, terletak pada kekayaannya mengandung kembaran makna dan kebergantian makna-makna tersebut—dalam artian tidak ada maknanya yang final.

Dekonstruksi Derrida adalah kritik terhadap logosentrisme, yaitu sistem pemikiran yang menghasratkan sesuatu yang tunggal, total, final, abadi. Sejak zaman Yunani klasik hingga modern, logosentrisme atau angan adanya Logos atau Kebenaran atau Tuhan (metafisika kehadiran) memang kukuh mendominasi pemikiran Barat. Sebab itu, wajar kritik terhadapnya menuai cerca.

Tentang angan adanya kebenaran itu, Derrida melihat juga terdapat dalam linguistik Saussurean. Pemaknaan dalam linguistik Saussurean melalui oposisi biner dianggap Derrida bermasalah, karena satu term kemudian sering atau selalu diunggulkan atas term yang lain. Persoalan semakin menggelembung karena melalui term itulah cara berpikir terbentuk dan selanjutnya terinstitusionalisasi dan dijaga oleh tradisi.

Selain itu, kecenderungan Saussure mengunggulkan yang terucap (phonè) dibanding yang tertulis, juga dikritik Derrida. Ucapan dianggap unggul karena berlangsung dalam konteks, sehingga kebenaran dapat langsung tersampaikan. Sementara tulisan direndahkan karena membuncahkan makna dan dianggap membuat kebenaran menjadi kabur. Derrida, yang tak percaya kebenaran dapat diraih, tentu lebih memilih tulisan. Melalui tulisan, dekonstruksi lewat double reading jadi mungkin untuk dilakukan.

Meski tak luput dari cerca, dekonstruksi dewasa ini banyak dipakai para pemikir untuk membongkar praktik hegemoni dan dominasi. Pemikir kebudayaan Edward W. Said, misalnya, meminjam dekonstruksi untuk membongkar cara berpikir dan praktik kolonialisme serta orientalisme. Dalam lapangan studi gender, lahirnya posfeminisme sebagai kritik atas feminisme gelombang kedua yang cenderung fallogosentris (gabungan fallosentrisme dan logosentrisme) juga berkat dekonstruksi Derrida.

Buku Muhammad Al-Fayyadl ini mencoba melihat Derrida sebagai sebuah “problem” untuk didiskusikan. Bahasan Al-Fayyadl dalam buku ini rapi, terang, luwes, serta sistematik. Hampir semua karya Derrida dikutip oleh penulis muda yang masih berstatus mahasiswa S1 di UIN Sunan Kalijaga ini, kecuali, saya melihat, wawancara Derrida tentang peristiwa teror 11/9 atas WTC (Giovanna Borradori, Jurgen Habermas, Jacques Derrida: Philosophie in Zeiten des Terros, 2004). Terorisme yang aktual sekarang dan pandangan Derrida tentangnya tak dijumpai di buku ini. Memang, buku ini belum “menulis” Derrida, melainkan baru “membaca”. Padahal, kata Goenawan Mohamad dalam pengantar, Derrida berharap diperlakukan sama seperti dia “menulis” filsuf lain.[]

=================

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik "Buku" Harian Pagi Padang Ekspress. Tentu saja ini persembahan kecil untuk dua sahabat saya: Muhammad Al-Fayyadl, penulis buku luar biasa ini, dan Abdullah Khusyairi, redaktur pelaksana Padang Ekspress yang juga cerpenis (kapan bisa ketemu lagi?).

Dunia Penulis Yogyakarta

Oleh: MH Abid



Dialog on-air Jogja Realitas yang digelar Radio Eltira FM pada 23 Maret 2007 lalu mengangkat topik "Jogja Kota Buku". Dialog tersebut menghadirkan pihak penerbit, distributor, dan toko buku—pihak yang dianggap menunjang konsep Kota Buku. Sayang, selain tidak dihadirkan, pihak penulis dan dunia kepenulisan di Yogyakarta tidak disinggung dalam dialog itu. Apakah penulis dan dunia kepenulisan bukan unsur penunjang Kota Buku? Atau apakah Yogyakarta tidak menunjang bagi tumbuh dan berkembangnya dunia penulisan?

Tentu saja tidak. Bisa dikata justru penulis dan dunia penulisan adalah unsur terpenting industri perbukuan. Dan di Yogyakarta dunia penulisan juga tumbuh subur, barangkali tersubur ketimbang daerah lain di Indonesia. Ini bisa dilihat di sejumlah media massa nasional, banyak penulis yang mempublikasikan tulisannya di sana berasal atau berdomisili di Yogyakarta.

Demikian pula, dalam diskusi Eltira Bookshelf yang digelar Eltira FM pada 26 Maret 2007 lalu yang membedah buku kumpulan cerpen Loktong (cina: Pelacur), penulis terbanyak di buku tersebut berasal dari Yogyakarta. Loktong adalah kumpulan cerpen pemenang lomba penulisan cerpen pemuda nasional yang digelar oleh Creative Writing Institute (CWI) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga pada penghujung tahun 2006. Tidak hanya penulis Yogya yang terbanyak masuk nominasi dibanding penulis kota lain, di akhir buku itu dicantumkan nama-nama peserta yang berpartisipasi dalam lomba tersebut. Dan, peserta terbanyak tersebut berasal dari Yogyakarta.
Yogyakarta sejak lama memang menjadi kota tempat bersemayamnya banyak penulis, tidak hanya tingkat nasional bahkan juga dunia. Secara serampangan kita bisa menyebutkan nama-nama seperti Umar Kayam, Kuntowijoyo, Mukti Ali, Emha Ainun Nadjib, Y.B. Mangunwijaya, Sindhunata, dan masih banyak lagi. Penyair sekaligus wartawan F. Rahardi pernah menyebutkan bahwa pada 1970-an Yogyakarta merupakan kota terbanyak melahirkan penyair. Pada 1960 hingga 1970-an tercatat Rendra, Kirjomulyo, Darmanto Yatman, dan Sapardi Djoko Damono pernah tinggal di Yogyakarta.
Masihkah Yogyakarta sekarang melahirkan penulis-penulis seperti tahun-tahun 1970-an? Seperti telah disebutkan, jika mereka yang menulis di media massa, dan jika ini bisa dijadikan parameter, jawabannya adalah masih. Kata kuncinya adalah regenerasi. Yogyakarta bisa dikata merupakan laboratorium regenerasi kepenulisan di negeri ini. Beberapa tahun terakhir, kita mencatat penulis-penulis baru yang lahir dari rahim Yogyakarta antara lain Indra Tranggono, Agus Noor, Puthut EA., Eka Kurniawan, Dwicipta, dll.
Saya melihat, regenerasi tersebut berhasil sukses hingga Yogyakarta tak pernah habis melahirkan penulis baru karena beberapa faktor. Pertama, iklim akademis yang mendukung. Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan, dengan ratusan sekolah dan perguruan tinggi tersebar di sini. Salah satu faktor yang dekat dengan dunia pendidikan adalah dunia tulis-menulis.
Memang, beberapa waktu lalu di Kompas Yogyakarta pernah diperdebatkan tentang sedikitnya karya-karya “bermutu” yang diterbitkan. Kalau sebelumnya penerbitan Yogyakarta dikenal sebagai penerbit buku “berat”, beberapa tahun belakangan berubah menjadi penerbit buku “kacangan” berselera pasar. Ketiadaan naskah dari akademisi dituding sebagai penyebab, yang kemudian dijawab wakil akademisi akibat dari iklim dunia akademik yang tidak kondusif. Namun demikian, kedekatan dunia kampus dengan dunia tulis-menulis tidak terbantahkan.
Salah satu bukti kedekatan itu adalah adanya lembaga pers mahasiswa (LPM). LPM adalah lembaga di mana mahasiswa bisa berlatih menulis, meliput berita, dan mengelola penerbitan. Fakta lain yang tak terbantahkan adalah bahwa dunia penerbitan Yogyakarta banyak lahir dari mereka yang semasa mahasiswa aktif di LPM. Namun disayangkan, menurut penelitian Nuraini Juliastuti (2005), kalau sebelum Reformasi pers kampus diliputi suasana kekritisan (terhadap kekuasaan), pasca-Reformasi banyak pers kampus lahir sebagai bagian dari gaya hidup (life-style).

Kedua, regenerasi dan lahirnya penulis-penulis baru juga berkat banyaknya komunitas-komunitas menulis di Yogyakarta. Di kota ini terdapat komunitas menulis seperti Rumah Lebah, Rumah Poetika, Kajian Jumat Sore, Bulaksumur, Tanda Baca, serta dulu ada Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Komunitas-komunitas ini terbukti melahirkan banyak penulis berbakat. AKY misalnya antara lain melahirkan Eka Kurniawan dan Puthut EA., sementara Rumah Lebah terbukti menelurkan Raudal Tanjung Banua dan Sunlie Thomas Alexander.
Menulis memang aktifitas soliter, yang pada akhirnya dikerjakan sendiri. Namun kehadiran komunitas setidaknya berfungsi sebagai tempat diskusi, saling menyemangati, saling kritik, serta yang terpenting menyediakan beragam bacaan (entah dengan membeli bersama atau saling pinjam). Sayang komunitas-komunitas tersebut sering tidak mendapat dukungan (baca: kurang dana) untuk berbuat lebih. Sebagai misal, sewaktu Rumah Poetika beberapa waktu lalu mengadakan Forum Penyair Empat Kota, mereka terpaksa menyelenggarakannya secara “pontang-panting” karena tidak banyak mendapat dukungan dana, padahal mereka membawa nama sebagai wakil dari Yogyakarta.
Ketiga, hubungan sesama penulis di Yogyakarta yang lebih cair dan mesra. Senioritas-yunioritas, kalau harus disebut demikian, bukan halangan untuk saling berbagi dan berbincang. Yang senior membimbing yang yunior, sementara yang yunior menghormati yang lebih senior. Ini yang tidak terdapat di kota lain. Sewaktu saya menghadiri peluncuran buletin sebuah komunitas menulis di Solo bulan lalu, banyak teman di sana yang mengeluhkan tidak adanya hubungan harmonis sebagaimana di Yogya. Di sana, yang senior berjalan sendiri, bahkan kemudian tidak betah dengan iklim seperti itu dan berpindah ke kota lain.
Sebagai turunan dari pembimbingan dari yang senior tadi, keempat, lahir kemudian penulis senior yang menjadi semacam “guru”, karena dia memang tiada kenal lelah memberikan bimbingan kepada yang yunior. Pada 1960 hingga 1970-an, di Yogya yang dianggap sebagai “guru” menulis adalah penyair Umbu Landu Paranggi. Meski tidak pernah mengklaim diri demikian, tapi beberapa penulis seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG., Korrie Layun Rampan, Iman Budi Santosa menahbiskannya sebagai “guru” mereka.
Namun, pascapindahnya Umbu ke Bali pada 1975, Yogyakarta seperti kehilangan “guru” yang serius membina yuniornya seperti dia. Beberapa tahun setelahnya, nama Umbu sang “Presiden Malioboro” hanya jadi kenangan sebagai pengharum dunia penulisan Yogyakarta, tanpa pernah menemukan penggantinya.
Baru pada akhir 1990-an muncul “Gus” Zainal Arifin Thoha. Namanya mungkin jauh dari publisitas, tapi perannya dalam memajukan dunia penulisan terutama di pesantren tidak bisa dikata kecil. Beberapa penulis seperti Joni Ariadinata dan Muhidin M. Dahlan menyebut dia sebagai “guru” menulis mereka. Gus Zainal mendirikan pesantren Hasyim Asy’ari dan lembaga penulisan Kutub di bilangan Krapyak, Bantul. Kutub pada tahun-tahun terakhir cukup dikenal di jagad penulisan Yogyakarta.
Namun, takdir ternyata punya logikanya sendiri. Kalau beberapa kalangan seperti Shiho Sawai, peneliti komunitas sastra di Yogyakarta asal Jepang, menyebut Gus Zainal sebagai penerus Umbu, sang penerus itu ternyata lebih cepat mendahului yang digantikan. Pada Maret 2007 lalu Gus Zainal menghadap Sang Pencipta. Siapa pengganti guru penulis Yogya pasca Umbu dan Gus Zainal?
Demikianlah di antara faktor yang menyebabkan proses regenerasi penulis Yogya terus berlangsung hingga kini. Penulis dan dunia kepenulisan tentu tidak bisa diabaikan sebagai penyokong Kota Buku, tidak hanya penerbit, distributor, dan toko buku. Sinergi antara penulis dan penerbit setidaknya harus terbangun. Memang, selama ini, dengan sifatnya yang “kecil”, penerbitan Yogya terkadang abai dengan hak-hak penulis, sehingga menyebabkan penulis Yogya yang sudah dikenal memercayakan penerbitan karyanya pada penerbit luar Yogya. Namun, penulis juga harus berterima kasih kepada penerbitan seperti itu, karena merekalah yang paling berani mengambil risiko ketika sang penulis belum menjadi siapa-siapa.

=================
* Tulisan ini dimuat dalam Forum Buku Jerman-Indonesia Lembaga Kebudayaan Jerman Goethe Institute Jakarta. Trims buat Dinyah Latuconsina (Goethe Institute).

Dari Kisah Nyata ke Kisah dalam Cerita



BAGAIMANA SEBUAH kumpulan cerpen dibaca dan diulas? Apakah per cerpen, dengan pertimbangan bahwa sebuah cerpen adalah sebuah diri utuh dan tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan cerpen-cerpen lainnya, ataukah mesti memandangnya sebagai satu bagian dari suatu kumpulan?
Dalam tradisi kritik sastra Indonesia yang kata Katrin Bandel mirip gosip sebab ketakmendalamannya, cara pertama bisa diduga jarang dilakukan. Yang lebih sering adalah estafet atau berpindah-pindah dari satu cerpen ke cerpen lainnya, melihat kesamaan atau perbedaannya, dan bahkan di situ yang terjadi kerap berupa verbalisasi ulang gagasan dalam bentuk lain.
Cerpen-cerpen dikumpulkan bisa dengan banyak alasan atau simpul pengumpul, dan dengan alasan itu biasanya cerpen-cerpen di dalam kumpulan dibaca. Yang paling umum, kumpulan cerpen disatukan oleh nama pengarangnya. Ada kumpulan cerpen pengarang Agus Noor, Musthofa Bisri, Afrizal Malna, Hamsad Rangkuti, dll. Karena disatukan oleh nama pengarang, intensi pengarang yang dibunuh Roland Barthes dengan manifestonya “pengarang sudah mati” sulit dihindarkan.
Ada pula kumpulan cerpen yang disatukan oleh riwayat pemuatannya, misalnya Kompas mentradisikan penerbitan kumpulan cerpen terbaik Kompas dari cerpen-cerpen yang pernah tayang di sana. Ada yang dikumpulkan karena terbaik memenangkan perlombaan cerpen, misalnya Creative Writing Institute (CWI) yang mendokumentasikan cerpen-cerpen terbaiknya hasil lomba yang rutin diadakan setiap tahun. Kumpulan cerpen terbaik Balairung (KCTB) juga melakukan hal serupa.
Tema juga bisa menjadi pemersatu sebuah kumpulan cerpen. Tahun lalu kita disuguhi oleh sebuah kumpulan cerpen tentang homoseksualitas yang diterbitkan Gramedia. Demikian pula asal pengarang. Ada kumpulan cerpen Riau, Bali, Yogyakarta, dll dalam serial “Horison Sastra Indonesia” yang diterbitkan Penerbit Mahatari beberapa tahun yang lewat.
Dan pengumpul itu kemudian tidak sekadar pemersatu. Ia juga alat baca atau dijadikan sarana untuk mengulas. Cerpen-cerpen yang dikumpulkan dengan nama pengarangnya berusaha dicari-cari pandangan dunia (worldview atau weltanschauung) pengarang di dalamnya. Cerpen pemenang lomba kemudian disodorkan alasan mengapa ia menang, sama halnya pembantahnya yang mencari-cari kelemahan sehingga mestinya ia tidak menang. Cerpen dari asal pemuatan yang sama bisa dilihat sebagai keberpihakan pemuatnya pada aliran tertentu. Meski tak banyak cerpen dikumpulkan karena tema yang sama, tapi kecenderungan melihat tema dalam pembacaan sekilas atas cerpen-cerpen sangat kuat. Cerpen dengan asal pengarang yang sama sering dianggap menjadi representasi suatu daerah atau bahkan mouthpiece daerah itu.
***
ITULAH KEGALAUAN saya ketika disodori oleh Joko Sumantri untuk membaca cerpen-cerpen teman-teman Solo. Saya harus membacanya seperti apa? Atau ala siapa? Saya ingin mencoba ala saya sendiri. Saya buat kemudian, sebelum membukanya, berdasarkan nama-nama file yang dikirimkan ke saya, urut-urutan membacanya. Saya buat dengan melihat nama-nama file-nya yang setelah saya buka, kebetulan dan ternyata, merupakan judul cerpen. Saya membacanya pun nyaris satu kali baca. Dengan begitu saya ingin menemukan kesan saya ketika pertama kali membacanya. Kalaupun ada yang saya ulang, saya hanya ingin menguatkan kesan itu demi menuliskan bacaan saya tersebut di sini.
Saya hanya ingin membacanya sebagai saya-pembaca.
Kebetulan cerpen yang saya baca pertama adalah cerpen “Batas Kenangan”. Tidak ada alasan mengapa saya menjatuhkan pilihan membukanya pertama kali kecuali ini satu-satunya file cerpen yang selain nama file tampaknya bernama penulisnya. Cerpen berupa potongan-potongan kisah, bergantian, susul-menyusul antara perjalanan pulang Jakarta-Solo dengan kereta dan kenangan tentang tragedi Solo 1998. Dua kisah berbeda, satu perjalanan yang sedang terjadi dan kedua kenangan yang sudah lewat, disatukan oleh seorang tokoh: dia yang sedang dalam perjalanan, dan dia pernah mengalami peristiwa itu. Perjalanan pulang menjadi penanda kembali ke masa silam. Menarik, namun jujur saya terperangah oleh kisah yang kelewat gagah: Sukro yang meninggalkan cinta demi dunia aktifis. Kenyataan sering berbeda: aktifis meninggalkan dunianya oleh cinta.
Saya beralih ke “Pemabuk”. Masih tentang sesuatu yang pernah terjadi: seorang pemabuk bernama Han (tidak bernama lengkap Hans Gagas saya kira) ditemukan mati. Setelah dikubur, teman-temannya sesama pemabuk menyiram kuburnya dengan minuman keras. Sejak awal pengarang bersembunyi, namun tiba-tiba muncul di akhir sebagai “Aku” yang membatin “Gila!” ketika mendengar cerita itu. Bukti kejadian itu sesuatu yang pernah terjadi, dinyatakan jelas oleh pengarang yang membubuhi kata-kata “based on true story” setelah tanggal dia menulis cerita.
Cerita ketiga jelas tentang kematian juga. Diberi judul “Penggali Makam Sendiri”, saya kira pengarangnya ingin membuat sensasi biar banyak orang ingin tahu begitu membaca judulnya. Ternyata kisah tentang pembunuh bayaran yang membunuh dengan sadis namun tanpa sedikit pun seni: sejak awal pembaca sudah diberitahu korban bakal mati di kubur yang digalinya, tak ada kejutan cerita, dan tak ada seni menghilangkan jejak khas pembunuh bayaran profesional.
“Perpisahan dari Sebuah Duka” juga tentang kematian yang pernah terjadi. Kembali pembaca diberitahu sumber cerita dari ibu yang meracuni anak-anaknya dan dirinya sendiri ketika sang suami pergi, seperti yang terjadi di suatu tempat beberapa waktu lalu. Pengarang di sini ingin menjelaskan ini lho yang membuat sang istri berbuat begitu. Sayang, alasannya justru alasan yang telah banyak dikemukakan orang: motif ekonomi, yang terlalu sederhana menurut saya untuk sebuah kasus bunuh diri.
“Senyum Ibu” berkisah aneh: Istri yang terus tersenyum dan sabar padahal suaminya tak pernah memberi nafkah selama berpuluh-puluh tahun. Sang anak membenci ayahnya itu tanpa ampun: “Aku dan juga adik-adikku belum pernah mencium tangan bapak ketika akan pamit pergi ke sekolah sebagai tanda hormat seperti yang biasa kami semua lakukan pada ibu.” Di akhir cerita, kebencian sang anak berubah seratus delapan puluh derajat menjadi kebanggaan, karena sang ayah ternyata tidak bisa mencari nafkah sebab “dibuat” orang yang tidak senang dengan posisinya dulu sebagai direktur. Sang anak ternyata tak tahu menahu tentang ayahnya, dan sang ibu merahasiakannya, termasuk barang-barang seperti penghargaan dsb—nyaris mustahil dalam keluarga kebanyakan.
Saya cukup menikmati cerpen "Persimpangan". Dibangun dengan cukup banyak dialog, baik langsung maupun chatting, namun cerita bisa sampai pada pembaca sebab dialog itu efektif. "Persimpangan" berkisah tentang lesbianisme: seorang perempuan yang telah menikah selama tujuh tahun tiba-tiba ingin kembali menjalani masa lalunya sebagai lesbian setelah bertemu perempuan lesbi di Prancis. Bukan pertimbangan keluarga yang akhirnya menyurutkannya, melainkan pasangan lesbiannya yang menyuruhnya kembali pada keluarganya dan menghindar dalam arti sebenar-benarnya.
Kalau tahapan peristiwa yang diceritakan dalam "Persimpangan" sedikit dan efektif, tidak demikian dalam "Konstruksi Cintaku". Cerpen ini penuh dengan peristiwa, juga pesan yang disampaikan terkadang kelewat verbal. Saya menduga penulisnya punya latar belakang keluarga pegawai negeri sipil (PNS) atau mungkin bercita-cita jadi PNS setamat kuliah. Cukup detail dia mengungkapkan pernak-pernik PNS, mulai dari mobil sampai tipe rumah. Tokoh "Aku" dalam cerita bersyukur menjadi PNS, bukan " anggota DPR atau KPU yang bisanya cuma mikir uang-dan uang, dan uang-uang itu bagaimana caranya bisa mengucur ke kantong mereka sendiri-sendiri". Pernak-pernik itu, bagi saya pembaca, cukup mengganggu menikmati kisah cinta yang disampaikan.
Kisah cinta yang biasa dan terkesan dibuat-buat itu berbeda dengan kisah perjalanan mencari (atau menanti) labuhan cinta dalam "Labuhan Cinta". Gaya cerita "Labuhan Cinta" berbeda sama sekali dengan gaya-gaya cerita sebelumnya, entah yang akan saya baca nanti. Kalau sebelumnya lurus-lurus saja, "Labuhan Cinta" kaya dengan metafora sehingga cerita menjadi relatif sulit ditangkap. Tokoh "Aku" yang mencari bahkan tak dijelaskan bagaimana sosoknya, kecuali dia dipanggil dengan "Perkasa", yang menyiratkan dia pria. "Aku" tak mau digelapmatakan oleh emas yang tak susut nilainya dan tak sudi bercumbu kecuali dengan-Nya, kekasih Maha Sempurna. "Aku" bertemu dengan "Lembut", "Cantik", dan "Bidadari". Tak diceritakan bagaimana pertemuan dengan masing-masing mereka, kecuali akhirnya "Aku" menemukan yang dicarinya. Pesan yang ingin disampaikan persis kisah Muhammad bertemu Tuhan di tangga mi'raj: bukan pada bagaimana mereka bertemu, melainkan bahwa mereka telah bertemu atau menemukan; latar dibuang jauh-jauh.
"Katastrofe" tampaknya dimaksudkan pengarang sebagai cerita “tragedi”. Tragedi dimaksud adalah tukang copet yang mentas dari dunianya namun kembali lagi ke dunia itu setelah dia kecopetan. Penokohan sedikit ambigu: bagaimana mungkin mantan copet yang kemudian jualan obat kuat "tak mengerti" cafe atau pub, padahal "kerja"-nya itu di kota. Suara pengarang terlihat sangat dominan: sang tokoh sering disebut merasa diri kere, dengan berbagai pernak-perniknya. Dalam cerita, deskripsi psikologis dengan menyatakan suasana hati secara langsung oleh pengarang menurut saya kurang mengena. Cara yang lebih baik adalah menyatakan dengan tingkah-laku tokoh. Bukankah tingkah laku berasal dari sesuatu yang di dalam, psyche?
Selain "Persimpangan", "3B~" (Betina, Bitch, Banci) juga bercerita tentang homoseksualitas, namun dalam bingkai spiritualitas Buddhisme. Membacanya saya ingat Sidharta dan Lumbini-nya Kris Budiman.
Begitu kesan-kesan saya membacanya, yang tentu saja bisa sama atau bertentangan sama sekali dengan kesan Anda. Begitulah cerita. Ia tidak diurai oleh intensi pengarang, melainkan mestinya pembacanya bebas memberikan tafsiran.
***
Mohon ampun, Para teoresi, bila saya sering menyederhanakan bahwa prosa yang baik dan berhasil punya dua prasyarat: kisah yang disampaikan menarik dan cara ungkapnya memikat. Bila harus dirujukkan, pendasarannya ada pada teori kisah (narrative)-nya Paul Ricoeur dalam Time and Narrative. Dalam berkisah, kata Ricoeur, seorang pencerita mesti melewati tahap yang dinamakan seleksi dan kombinasi. Dengan bahasa berbeda Afrizal Malna secara puitis mengatakan bahwa berkisah adalah bekerja di dua meja. Ada semesta yang akan dikisahkan. Tentu tidak semuanya bisa masuk dalam sebuah kisah seperti novel, apalagi cerpen. Ada proses seleksi. Setelah menemukan apa saja yang akan dikisahkan, masuk tahap mengkombinasikan hasil seleksi itu. Seleksi dan kombinasi tidak saja terkait kisah-nya, tapi yang tak kalah penting adalah seleksi bahasa, menyangkut komposisi, genre literer, serta gaya yang merupakan kaidah penyusunan dan perangkaian (kombinasi) yang paling elementer dari sebuah karya literer.
Inilah soalnya: kisah yang memikat sering tidak disertai dengan cara berkisah yang mengesankan. Sebaliknya, kerap terjadi penulis terlalu terpukau pada bahasa, memperhatikan hingga detail-detail kata yang digunakan agar bernuansa puitis, walhasil lupa pada kisah yang ingin disampaikan. Sudah barang tentu bila keduanya terjalin bagus, akan lahir kisah yang sempurna. Namun bila keduanya terabaikan, cerita yang ditulis bakal tidak mengesankan pembacanya alias gagal.
Kita bisa menemukan, misalnya, cerpen-cerpen Raudal Tanjung Banua amat kuat secara bahasa, secara cara berkisah. Kritikus Kris Budiman pernah berkomentar, "Pada Raudal, bahasa tunduk di tangannya, sehingga dia bisa menulis cerita apa pun dengan mudahnya. Bahasa tinggal mengikuti saja." Dalam banyak kasus, kata Kris, penulis muda kita sering tidak mau belajar bahasa. Keleluasaan berkisah kerap direcoki oleh pilihan kata. Pada kasus ekstrem, sebab tak belajar bahasa itu, cerita yang ingin disampaikan tak sampai hanya karena pilihan kata yang tak pas, dan kemudian lahir tudingan bahasa terbatas dan ide jauh lebih luas!
Kita juga melihat cerita-cerita yang ditulis oleh Taufik Ikram Jamil kerap menyampaikan tema biasa namun dikemas dalam kisah yang menarik, tak terduga, sering tak masuk akal sebab tak mungkin terjadi di dunia nyata, namun logis!
Dan satu lagi: saya pernah membaca cerpen yang ceritanya kuat hingga tak pernah saya lupa, namun penulis serta judulnya tak sekuat ceritanya mampir di kepala saya. Dikisahkan, dua orang tua bertemu di sebuah acara. Terkenang kembali masa lalu mereka berpacaran, terlalu jauh, hingga sang perempuan mengandung. Sayang, benih mereka tak bisa dimiliki berdua sebab orangtua yang tak restu. Ini mungkin kisah klise. Namun tidaklah begitu karena setelah bertemu kembali di usia tua mereka ingin menyatukan hati kembali, sebab sang perempuan tua telah tak bersuami lagi dan sang lelaki tidak lagi beristri. Tak ada penghalang bagi keduanya bersatu, kecuali di akhir kisah kita dikejutkan oleh anak pertama sang perempuan, yang sebenarnya merupakan anak mereka berdua, tak setuju. Kalau mengakui telah mencoreng muka orangtua kepada mereka barangkali tak terlalu sulit, siapa berani mengakui sesuatu yang amat ditakutkan sang anak kepadanya? Lebih jauh, logiskah di Indonesia 20 atau 30 tahun lalu orang bercinta hingga terlalu jauh? Dengan cerdik sang pengarang menarik konteks cerita ke Spanyol. Cerita dibumbui pula dengan pertemuan kedua tokoh menonton matador atau pertandingan sepakbola; keduanya penyuka Raul Gonzales yang pada masa mereka muda juga ada pesepakbola Spanyol punya gaya dan karakter permainan serupa.
Yang ingin saya katakan adalah betapa kreatifnya pengarang cerita itu mengolah kisah. Dalam beberapa hal, ini yang tidak saya temukan pada cerpen teman-teman Solo yang saya baca. Pada banyak cerpen, kisah dicomot begitu saja dari kenyataan riil sehari-hari, “based on true story”. Jebakan mencomot begitu saja seperti ini adalah kita tidak selalu memahami kisah dengan jelas atau kalaupun memahaminya secara baik kita terjebak dengan pengetahuan kita dan luput mengolah sudut pandang. Pengarang menjadi paling tahu dan logika cerita diabaikan. Ini pertama.
Kedua, ruang cerpen tentu saja sangat terbatas. Di sini kepandaian pengarang memilih apa yang akan diceritakan dipertaruhkan. Karena tak semua hal bisa masuk, pengarang harus benar-benar selektif dan seleksi mesti efektif. Berbagai hal pengganggu cerita, termasuk pesan verbal yang mestinya tak masuk, mestinya benar-benar dihilangkan.
Cerpen “Pemabuk” dan “Perpisahan dari Sebuah Luka” menurut saya punya dua kelemahan di atas. Pada kedua cerpen ini kita tidak disuguhi kejelasan bagaimana pemabuk mati dan mengapa teman-temannya menyiramkan tuak di sana. Dalam satu-dua paragraf, cerita bergerak maju sangat cepat.
Ketiga, karena kita mesti benar-benar selektif, dari yang tak banyak yang kita ambil itu detail amat diperlukan. Sering terjadi salah paham tentang detail ini. Detail tentu bukan bercerita tentang semua hal, mengabaikan seleksi, seolah kisah adalah gambar rekam ulang kehidupan: setiap langkah dan detik mesti tercatat; melainkan detail yang benar-benar efektif menunjang tahapan kisah.
Cerpen “Senyum Ibu” dan “Konstruksi Cinta” terlihat lemah kedua dan ketiga. Tak ada detail meski pengarangnya menceritakan banyak hal di sini. Termasuk bahkan dimasukkan dalam cerita seorang tokoh duduk di mana dan melangkah ke mana. Tahapan yang terjadi seperti dalam kenyataan ingin direngkuh, seolah tak memerhatikan seleksi sama sekali.
Ini beberapa pembacaan saya. Sekali lagi, abaikan ini demi semangat kepenulisan teman-teman. Akhirnya, saya masih tak terlalu percaya melakukan ini: benarkah saya menganjurkan cerpen ini begini dan begitu—sesuatu yang tak saya sukai sesungguhnya?
Tabik!

============
* Tulisan ini merupakan kertas kerja saya saat diundang mengulas kumpulan cerpen sastrawan muda Solo di Dewan Kebudayaan Solo, 2007.

Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam



PERSOALAN PEREMPUAN telah memeroleh perhatian besar di seantero dunia di masa sekarang. Alasannya jelas, yakni untuk waktu yang lama perempuan tunduk sepenuhnya kepada laki-laki, khususnya dalam masyarakat patriarkhal, sementara kebanyakan masyarakat adalah patriarkhal. Jadi, selama berabad-abad, barangkali hampir disebut sebagai hukum alam, perempuan dipandang inferior di depan laki-laki dan kebanyakan mereka tunduk di bawah otoritas laki-laki.
Sekarang struktur sosial telah banyak berubah. Dalam struktur yang baru ini, akan sulit mempertahankan sikap lama terhadap perempuan. Oleh karenanya kitab suci pun kemudian dibaca dan diinterpretasi ulang. Para sarjana tafsir kontemporer, baik dari kalangan Islam sendiri maupun islamisis, meyakini bahwa kitab suci umat Islam, yakni Alquran, mempunyai semangat keadilan dan egalitarian, termasuk dalam menempatkan hubungan antara laki-laki dan perempuan.[1] Kalau anggapan ini benar, pertanyaannya adalah mengapa dalam masyarakat muslim seringkali praktik-praktik yang mendiskreditkan perempuan berkembang, termasuk dalam lapangan pengetahuan yang mestinya bebas dari bias-bias gender dan sikap tidak mengakui terhadap otoritas keilmuan jenis kelamin tertentu?
Adalah Michel Foucault, filsuf asal Prancis, yang meyakini terdapat satu sistem kuasa tertentu yang berkembang dan digunakan untuk mengunggulkan suatu rezim (termasuk rezim pengetahuan) sehingga tampak wajar dan alami dan membenamkan potensi lain (dalam hal ini keilmuan perempuan) yang mestinya juga tumbuh sebagai sesuatu yang normal. Sistem kuasa itu beroperasi melalui tiga teknik, yaitu teknik pemilahan (classification practices), teknik normalisasi (dividing practices), dan teknik pendisiplinan (self-subjectivication practices) yang kesemuanya bermain dalam sejarah.[2] Bagi Foucault, sejarah yang tak lain merupakan entitas-entitas yang berdiri sendiri dan antarperistiwa terlepas satu sama lain, tidak pernah terkait apalagi natural, berusaha dibuat berkesinambungan dan bergerak ke arah tertentu oleh sistem kuasa tersebut. Karena itu, melihat otoritas keilmuan perempuan dalam Islam adalah menyelam ke akar sejarah dan menemukan retakan-retakan sejarah yang telah diperhalus oleh sistem kuasa keilmuan laki-laki.[3]
Dalam sejarah manapun, partisipasi perempuan dapat dilihat pada dua level, yaitu level human female (manusia perempuan) dan level feminis atau ideal women.[4] Sebagai penganut Islam, pada level human female perempuan adalah muslimah, yang mengamalkan ajaran agamanya, melakukan ibadah yang bersifat ritual dan dijanjikan pahala nantinya. Sementara pada level ideal women perempuan adalah simbol kebaikan dan kasih Tuhan, sesuatu yang diidamkan semua perempuan. Dalam lapangan keilmuan, yang terakhir ini dimaksudkan sebagai perempuan yang berpengetahuan luas dan diakui karena keilmuannya.
Dengan teori-teori di atas, tulisan ini berusaha melihat peran keilmuan perempuan dalam Islam. Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu agama (Islam), yaitu ilmu Alquran, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu akhlak dan tasawuf, ilmu fikh (termasuk juga qawaidul fikh), dan ilmu sejarah (Islam).[5] Peran perempuan dalam ilmu-imu tersebut dilihat pada level-level human female dan ideal women.
Penulis kurang sepakat dengan istilah 'otoritas', seperti yang dipakai dalam judul tulisan ini. Alasan sederhananya barangkali karena istilah ini menyiratkan adanya sistem kuasa tertentu yang beroperasi—sesuatu yang justru ingin digugat oleh tulisan ini. Karena itu, di bagian akhir tulisan juga akan dipaparkan tentang gagasan-gagasan penolakan terhadap otoritas keilmuan yang barangkali akan lebih menarik untuk didiskusikan.
Ulama: Sebuah Penelusuran Sinkronis
PERADABAN ISLAM pada dasarnya merupakan kompleks gagasan dan kenyataan yang penuh dengan jaringan-jaringan hermeneutis yang terpusat pada sentralitas Alquran. Nasr Hamid Abu Zaid di dalam bukunya Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulum al-Quran bahkan menyebut peradaban tersebut sebagai peradaban teks.[6] Artinya, fundamen intelektual dan kultural umat Islam tidak mungkin mengabaikan sentralitas posisi teks Alquran dalam dialektikanya dengan realitas. Pada titik ini, berbagai sikap terhadap keilmuan dalam Islam, termasuk keilmuan perempuan, tidak dapat dilepaskan dari pergumulan kaum muslimin dengan Alquran.[7]
Dengan demikian, sebelum masuk ke penelusuran sejarah (diakronis), terlebih dahulu akan dibahas tentang ulama itu sendiri secara sinkronis.[8] Karena teks yang paling sentral dalam hal ini adalah Alquran, maka penelusuran ini akan diarahkan kepada teks suci tersebut. Asumsinya adalah pergumulan dengan Alquran inilah yang nantinya banyak memengaruhi kamu muslimin dalam memandang ulama atau ulama perempuan dalam sejarah.
'Ulama atau, bentuk personalnya, 'alim, secara etimologis berasal dari kata yang sama dengan 'ilm, 'alam, atau ma'lum.[9] 'Ilm adalah pengetahuan yang teratur (systematic knowledge),[10] 'alam adalah benda yang kita tangkap dengan pancaindra, dan ma'lum adalah mengetahui. Dari hubungan ketiga kata tersebut, dapat dipahami bahwa ilmu berkaitan dengan sesuatu yang diketahui atau dapat diketahui oleh manusia. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan manusia.
Di dalam Alquran kata 'ulama hanya disebutkan sebanyak dua kali, yaitu dalam surat al-syu'ara dan al-fathir. Dalam surat al-fathir, diberitakan tentang berbagai fenomena alam, dan disebutkan hanya ulamalah yang takut kepada Allah. Sedangkan kata 'alim dalam Alquran disebutkan sebanyak 163 kali. Hampir semua kata ini merujuk pada Allah sebagai Yang Maha Mengetahui, kecuali di beberapa tempat saja. Di dalam surat al-ankabut 'alim muncul setelah dipaparkan perumpamaan tentang sebuah rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba; yang dapat memahami perumpamaan tersebut hanyalah manusia yang mempunyai ilmu ('alim). Konteks penempatan dua ayat tersebut setidaknya menegaskan bahwa aktifitas keilmuan adalah mengamati, meneliti, observasi.
Selain itu, konteks ayat yang mengklasifikasi respon terhadap berbagai fenomena alam tersebut dan menegaskan keutamaan yang memiliki pengetahuan dibanding yang tidak, menunjukkan anjuran untuk menjadi kelompok berpengetahuan. Di dalam hadis, kalau kemudian hadis diyakini merupakan tafsir yang punya otoritas (hujjah) kuat dibanding penafsiran lain,[11] sangat populer diberitakan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim (penganut Islam laki-laki) dan muslimah (penganut Islam perempuan).
Menarik bahwa dalam hadis tersebut dibedakan antara muslim dan muslimah. Namun, meskipun dibedakan, keduanya mempunyai kewajiban sama untuk menuntut ilmu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pembedaan tersebut tidak terkait dengan pengunggulan satu jenis kelamin tertentu untuk memeroleh ilmu, melainkan menegaskan keduanya sama-sama berhak. Ini sangat berbeda jika tidak dipisahkan dan hanya akan disebut secaara umum wajib bagi muslimin (dalam bahasa Arab muslim laki-laki dan perempuan bisa terkumpul dalam kata ini) yang barangkali akan ditafsir dengan mengunggulkan laki-laki atas perempuan.
Dalam Alquran mereka yang berilmu dan mau melakukan observasi alam sering disebut sebagai ulul albab.[12] Prinsip yang terkandung dalam istilah ini sama sekali tidak bias jender, misalnya menetapkan bahwa laki-laki saja yang bisa meraihnya, melainkan hanya mereka yang dapat melakukan observasi keilmuan semata, baik laki-laki maupun perempuan. Ada kesempatan yang sama untuk masuk dalam posisi itu. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan perempuan tidak lebih rendah dari kecerdasan laki-laki. Bahkan kecerdasan emosional (emotional quotient, EQ) yang muncul pada tahun 90-an sebagai kritik terhadap teori kecerdasan rasional (intellectual quotient, IQ), justru mengesankan kaum perempuan lebih potensial memilikinya.[13]
Pertanyaannya kemudian menyangkut akses, adakah Aquran membatasi perempuan untuk memeroleh akses ilmu pengetahuan? Dalam Alquran ini tidak pernah disinggung, akan tetapi jika diperhatikan bagaimana Alquran membuka akses dalam bidang apa pun, misalnya akses mendapatkan derajat taqwa[14] dan ulul albab seperti di atas, sangat jelas bahwa akses ilmu pengetahuan juga terbuka bagi perempuan, sama terbukanya juga bagi laki-laki.
Jika di dalam Alquran akses pengetahuan tidak disinggung, ini bisa dimaklumi karena Alquran tidak mengatur persoalan-persoalan teknis, kecuali dalam ibadah-ibadah tertentu saja dan itu sangat minim, di dalam hadis pernah diberitakan bagaimana Nabi memberi ruang yang sama bagi perempuan untuk memeroleh akses pengetahuan. Abu Said al-Khudri menjelaskan bahwa suatu ketika Nabi didatangi oleh seorang perempuan yang mengatakan bahwa kaum perempuan ingin 'membawa' hadis, seperti juga laki-laki, lalu Nabi menyanggupi dan memerintahkannya untuk mengumpulkan kaum perempuan pada suatu waktu tertentu dan nanti Nabi akan mendatangi mereka.[15] Sekali lagi jika fungsi hadis adalah menjelaskan ayat-ayat Alquran (bayan tafsir), maka dalam Alquran akses pengetahuan tidak dibedakan antara kaum laki-laki dan perempuan dan, siapa pun itu, dari jenis kelamin mana pun, ia bisa memeroleh predikat ulama atau 'alim (yang memiliki ilmu pengetahuan).
Human Female dan Ideal Woman dalam Sejarah Keilmuan
Setelah melakukan penelusuran sinkronis terhadap ulama dalam Alquran secara sekilas dan tidak ditemukan adanya subordinasi perempuan dalam keilmuan, sekarang akan dilakukan penelusuran sejarah keilmuan Islam. Anggapannya adalah jika nanti dalam penelusuran diakronis ini terdapat praktik-praktik subordinasi peran keilmuan perempuan, maka di sinilah sesungguhnya letak retakan-retakan sejarah yang dimaksudkan Foucault dalam teorinya di atas (atau nurture menurut Megawangi).
Pada masa turun wahyu, peran baca-tulis sangat besar artinya. Di antara sedikit penduduk Suku Quraisy yang dapat baca-tulis, menurut berita al-Baladzuri (w. 892), terdapat beberapa perempuan.[16] Salah satu cerita yang populer adalah adik perempuan Umar bersama suaminya tengah membaca mushaf Alquran ketika Umar datang untuk membunuhnya karena telah memeluk Islam. Jika memang kemampuan baca-tulis ketika itu sangat minim dan bisa dikatakan sebagai standar intelektualitas, maka telah ada ulama atau intelektual perempuaan. Pada masa sebelumnya, pra-Islam, penyair yang mempunyai kedudukan tinggi dalam startifikasi sosial masyarakat Arab juga terdapat perempuan. Bahkan di antara penyair perempuan ada yang masuk dalam kategori penyair mu'allaqat[17], yaitu al-Nabighah.
Pada masa pengumpulan wahyu, di antara yang mempunyai catatannya adalah Aisyah, Ummu Salamah, dan Hafsah. Menarik menurut Amal, catatan wahyu Hafsah ternyata merupakan catatan personal, dan bukan berasa dari catatan resmi yang telah ada sebelumnya pada masa Khalifah Umar—meskipun Umar adalah ayahnya. Menurut catatan sejarah, naskah Hafsah ini pada masa Usman digunakan sebagai salah satu sumber dalam kodifikasi Usman (mushaf usmani).[18] Mushaf-mushaf perempuan ini menunjukkan betapa pada masa itu perempuan telah dipercaya memegang peran intelektual.
Namun pada perkembangan keilmuan Alquran selanjutnya peran ideal itu kurang terlihat. Kitab-kitab tafsir klasik, menurut catatan Abdillah, tidak satu pun ditulis oleh oleh perempuan (dengan kapasitas keilmuannya). Namun bukan berarti peran itu tidak ada. Pada masa kodifikasi ilmu tafsir, yakni pembagian dua aliran tafsir menjadi bil ma'tsur (dengan riwayat) dan bil mansyur, pada yang pertama riwayat-riwayat dari perempuan juga menjadi bahan penafsiran.[19] Artinya kapasitas intelektual mereka juga tetap diakui dalam bidang ini, meskipun barangkali sangat minim.
Peran-peran perempuan di atas jelas tidak sekadar peran keperempuanan semata (human female), melainkan lebih pada peran ideal women yang sejajar dengan laki-laki. Sebaliknya, di dalam keilmuan Alquran peran sebagai human female seringkali justru lebih mengarah ke persoalan-persoalan fiqh menyangkut pola relasi hubungan suami-istri, kesaksian perempuan, dan bahkan terkait dengan hal lain yang sebenarnya barangkali tidak terlalu perlu diperdebatkan, seperti penciptaan perempuan.[20]
Seperti halnya dalam penafsiran bil ma'tsur yang menggunakan riwayat-riwayat dari perempuan, dalam hadis pun periwayatan mereka juga dipakai. Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), salah seoran imam mazhab terkemuka, menulis satu jilid khusus hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat perempuan (sahabiyat) dalam Musnad-nya. Dari catatan Hanbal terdapat 125 sahabiyat dari sekitar 700 periwayat hadis pada periwayatan pertama (al-rawi al-a'la). Jumlah tersebut sama dengan 18% dari jumlah sahabiyat pada masa Nabi.[21] Karya lain, yaitu al-Isabah fi Ma'rifah al-Ashab-nya Ibn Hajar al-Asqalani, juga mencatat sejumlah biografi sahabiyat. Menurut Mahmud Atthahan, jumlah sahabiyat dalam karya al-Asqalani tersebut adalah 1522 di antara 12267 biografi periwayat. Ini berbeda dengan hitungan Roded atas karya tersebut yang menurutnya sebanyak 1551 sahabiyat dari jumlah keseluruhan 12304.[22] Perbedaan penghitungan tersebut wajar karena tarajim (biografi) yang ditulis al-Asqalani tidak seluruhnya ditulis per item, melainkan kebanyakan bersifat naratif dengan menyebutkan banyak tokoh yang saling terkait dalam satu item.
Jumlah yang disebutkan di atas sesungguhnya ingin mengatakan bahwa terdapat fakta konkret perempuan pada masa awal Islam mengambil peran signifikan dalam transmisi hadis. Harus diakui memang peran itu memudar pada masa setelah sahabat (tabi'in) yang dalam catatan Ibn Hibban hanya sekitar 90 perempuan atau 1,9% dari keseluruhan tabi'in periwayat hadis.[23] Penurunan jumlah ini bukan berarti bahwa secara intelektual perempuan lebih rendah dari laki-laki atau adanya kelemahan dari yang mereka riwayatkan, melainkan lebih pada adanya faktor sosial-politik yang memengaruhi.
Faktor sosial-politik dimaksud adalah adanya perdebatan tajam antara kalangan muhaddisin (ahli hadis) dan kalangan fuqaha (ahli fikh). Para ahli hadis menyepakati bahwa dalam periwayatan tidak ada ketentuan periwayat harus dari jenis kelamin tertentu, melainkan yang lebih penting adalah faktor 'adalah (keadilan) dan dhabith (kekuatan daya ingat). Lagi-lagi, para ahli hadis tidak memandang kedua hal ini ada pada satu jenis kelamin tertentu, tetapi baik laki-laki atau perempuan mempunyai potensi keadilan dan daya ingat yang sama. Alhasil, tidak masalah apakah laki-laki atau perempuan yang meriwayatkan hadis.
Terkait dengan kedua faktor tersebut, dalam catatan biografi periwayat yang ditulis al-Nasa'i, hanya ada satu periwayat perempuan yang riwayatnya tergolong lemah. Sungguhpun lemah, menurut al-Nasa'i, hadis riwayat perempun tersebut tidak masuk dalam kategori yang ditinggalkan (mardud), melainkan tidak dianjurkan pemakaiannya. Ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I'tidal yang banyak dipandang merupakan sebagai karya terlengkap memuat perawi lemah, bahwa ia tidak menemukan satu periwayat perempuan pun yang hadisnya tertuduh dusta[24] dan ditinggalkan.[25]
Hal tersebut sangat berbeda dengan yang disepakati dalam fikh (klasik) bahwa persyaratan diterimanya suatu berita harus memuat kriteria zukurah ([ke]lelaki[an]) dan hurriyah (merdeka). Kriteria zukurah memandang perempuan kurang kuat ingatannya dan sering emosional sehingga dikhawatirkan akan menyelewengkan berita (persaksian). Karena itu, berita bisa diterima jika mengganti zukurah dengan dua perempuan. Di samping itu, dalam fikh, perempuan juga kurang dipandang memiliki kemerdekaan. Dalam fikh privat atau personal (al-ahwal al-syakhsiyah) perempuan belum bersuami selalu bergantung pada orangtuanya, sementara setelah bersuami kemerdekaannya bergantung pada suaminya.[26]
Memang perdebatan muhaddisin dan fuqaha tersebut tetap tidak menyurutkan ahli hadis untuk menerima periwayatan perempuan, tetapi efek sosial ketetapan hukum (fikh) tentu akan berakibat sangat luas. Kecenderungan fikh menempatkan perempuan hanya dalam wilayah-wilayah privat dengan ideologi housewification (pengiburumahtanggaan) tanpa diperkenankan masuk dalam wilayah sosial berakibat pada akses perempuan dalam menerima hadis dari upline (al-rawi al-a'la) dan meriwayatkannya. Akibatnya wajar kemudian kalau pada masa tabi'in dan setelahnya periwayat perempuan menurun drastis dibanding pada masa sahabat.
Akan tetapi, kalau dari sisi periwayatan hadis peran perempuan tidak dibedakan dengan peran laki-laki, dari sisi materi hadis sangat lain.[27] Dari sisi yang terakhir ini dikenal sitilah hadis misoginis (hadis yang mendiskreditkan perempuan). Boleh dikata bahwa fikh yang cenderung menempatkan perempuan lebih inferior dari laki-laki juga dipengaruhi oleh materi-materi hadis. Dalam kaidah fikh (qawaid al-fiqh), (materi) hadis merupakan sumber kedua pengambilan hukum. Jadi tidak semata inferioritas perempuan dalam fikh didasarkan dari penafsiran harfiah terhadap Alquran, akan tetapi hadispun turut menyumbang saham yang tidak sedikit.[28]
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran, materi hadis banyak berpengaruh dalam membentuk pandangan muslim tentang agamanya. Dalam ilmu kalam misalnya, salah satu hadis misoginis yang banyak dipegangi untuk mendiskreditkan tingkat keimanan perempuan sekaligus keilmuannya adalah hadis yang menyatakan perempuan sebagai makhluk yang "naqishat dinin wa aqlin" (kurang kadar agama dan intelektualitasnya).
Di dalam buku-buku klasik istilah "kurang kadar agama dan intelektualitas" ini sering dipahami sebagai sifat indikatif yang ada pada perempuan sehingga membuat perempuan, menurut mayoritas ahli kalam dan hukum klasik seperti al-Ghazali, diberikan tuntutan syar'i yang lebih ringan jika dibandingkan dengan laki-laki. Belakangan, oleh seorang pemikir kontemporer, Muhammad Abdul Halim Abu Syuqqah, keyakinan tersebut dibantah. Menurutnya, kekurangan ini tidak bersifat fitrah, melainkan lebih pada kekurangan biologis (nau'i) menyangkut haid, nifas, dll. Kekurangan ini tidak berhubungan sama sekali dengan kualitas kemanusiaan, termasuk kualitas keagamaan dan intelektualitas.[29]
Dilihat dari segi objeknya, sesungguhnya ilmu kalam berpotensi "selamat" dari bias-bias gender. Objek ilmu ini adalah masalah ketuhanan (uluhiyah) yang tak menyangkut persoalan jenis kelamin tertentu. Namun, karena seringkali sumber utama ilmu ini, yaitu kalam Allah, ditafsir terlalu harfiah, bias gender pun turut muncul. Pemakaian kata ganti (dhamir) Allah dengan huwa (ia) yang merupakan kata ganti maskulin dalam tata bahasa Arab, sering dianggap sebagai keberpihakan Allah pada kaum laki-laki. Lebih dari itu, keberpihakan ini juga diikuti sikap menganggap bahwa perempuan lebih rendah dan inferior dari laki-laki.[30]
Sikap seperti itu dapat ditelusuri secara genealogis, yakni bahwa pada awal kemunculannya hampir tidak ada sama sekali perempuan yang menjadi ahli kalam, tetapi hampir semuanya—untuk tidak mengatakan keseluruhannya—adalah laki-laki. Tampak wajar kemudian jika perspektif perempuan atau perspektif netral, yaitu potensi terkuat ilmu ini, tidak diakomodir di dalamnya. Bahkan pada kalam aliran Mu'tazilah yang notabene merupakan aliran (paling) rasional dalam teologi Islam,[31] kecenderungan kalam yang mendiskreditkan perempuan juga tampak. Ini bisa dilihat ketika Mu'tazilah menjelaskan tentang keesaan dan kesucian Allah dengan memberikan ilustrasi bahwa Allah suci dari menyentuh perempuan, mengangkat pembantu dan anak.[32] Dilihat dari sifat teologisnya yang rasional tentu ini merupakan satu hal yang ironis. Tampaknya, dari sisi redaksi, ilustrasi itu dipengaruhi oleh ayat Alquran yang apabila diartikan secara harfiah menyebutkan bahwa salah satu yang membatalkan wudhu (bersuci) adalah menyentuh perempuan.[33]
Padahal, identifikasi Tuhan maskulin, dilihat dari perpektif sejarah, sesungguhnya merupakan usaha dekonstruksi atas sistem ketuhanan agama non-samawi yang berkembang hampir ke seluruh dunia yang menyebutkan bahwa Tuhan berjenis kelamin perempuan. Tuhan perempuan (the mother God) ini di dalam Alquran disebutkan mempunyai anak dengan nama-nama Latta, Manna, dan 'Uzza. Dengan alasan inilah kemudian Alquran melakukan dekonstruksi sistem ketuhanan yang dicitrakan sebagai perempuan dengan menggunakan kata ganti maskulin (dhamir muzakkar).[34] Tetapi, sangat disayangkan ternyata usaha dekonstruktif Alquran tersebut sering tidak dipahami dari perspektif kesejarahan ini, sehingga yang terjadi adalah adanya semacam keterputusan rantai historis ketuhanan baik pada jahiliyyah ke masa awal Islam atau bahkan pada masa awal Islam sampai timbul berbagai aliran kalam.
Menarik kemudian bahwa dalam keilmuan tasawuf gambaran Tuhan yang maskulin ditafsir setara dengan ideal women. Adalah ibn al-Arabi, sufi asal Andalusia yang digelari al-syaikh al-akbar (doctor maximus) dan muhyi al-din (penghidup agama), mengubah pandangan tentang konsep cinta Tuhan (mahabbah Allah) menjadi creative feminine (ideal women) yang kemudian ia kembangkan dalam tasawufnya.
Konsep mahabbah Allah pertama kali dikembangkan oleh sufi perempuan Rabiah al-Adawiyah.[35] Konsep mahabbah merupakan gugatan atas konsep relasi manusia-Tuhan yang sebelumnya cenderung dipahami sebagai relasi pertentangan. Tuhan dipahami sebagai sang superior yang disembah dengan perasaan takut, sementara manusia adalah inferior yang, untuk mendekati-Nya, hanya bisa dilakukan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi ancaman-Nya. Ibadah di sini tak ubahnya upeti untuk menyogok Tuhan agar menjauhkan pelakunya dari ancaman neraka yang selalu menganga lebar. Para pemikir Islam modern seperti Fazlur Rahman dan Toshihiko Izutsu mengungkapkan bahwa konsep Tuhan seperti ini tak ubahnya konsep Tuhan dalam masyarakat pagan Arab yang sesungguhnya digugat Alquran.[36]
Konsep mahabbah Allah sebaliknya menganggap Tuhan layaknya sang kekasih dan ibadah merupakan sarana agar bisa bersatu (kemudian pada Ibn al-Arabi dikembangkan menjadi paham wahdat al-wujud) dengan kekasih itu. Konsep ini tercermin jelas dalam ungkapan Rabiah al-Adawiyah yang sangat terkenal:
O my Lord, if I worship You for fear of Hell, burn me in Hell.
If I worship You from hope of Heaven, exclude me from there.
But if I worship You for Your own sake, do not withhold Your eternal beauty.[37]
Sebagaimana Rabiah, alasan menjadi kekasih Tuhan secara utuh banyak dipegangi para sufi untuk hidup sendiri tanpa pasangan atau selibat. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa selibat dalam tasawuf muncul setelah paham mahabbah Allah ada. Jauh sebelumnya, pada abad pertama, sufi perempuan Hasna al-Abida dari Basra telah pula melakukan selibat. Menurutnya alasannya karena tidak ada seorang pun yang cukup zuhud (detached) dari dunia yang dapat menemaninya menolak kehidupan duniawi.[38]
Memang jika dibandingkan dengan laki-laki, selibat lebih banyak dilakukan perempuan. Tetapi sesungguhnya tidak hanya sufi perempuan saja yang menyetujuinya. Shihab al-Din Suhrawardi di dalam Awarif al-Ma'arif menyebutkan bahwa hidup selibat adalah hidup sufi yang terbaik. Al-Hujwiri memang setuju dengan pernikahan, tetapi baginya pernikahan ideal adalah kondisi dimana suami dan istri tidak merasakan daya tarik seksual satu sama lain. Pernikahan ideal seperti ini bagi Hujwiri tak akan terjadi, sebab menurutnya tidak mungkin untuk menemukan istri yang cocok yang keinginannya tidak berlebihan serta tuntutannya rasional. Pandangan-pandangan para sufi laki-laki ini tampak sekali sangat bias, karena hanya dari sudut pandang mereka semata serta menganggap perempuan tidak lebih dari sebagai yang mengalihkan ketaatan, yaitu mengalihkan yang sacred ke yang profane.[39]
Alasan asketisme dan selibat seperti itu tampaknya juga mirip dengan alasan para sufi perempuan. Tetapi bagi sufi perempuan sesungguhnya ada alasan lain yang lebih dari sekadar menganggap laki-laki sebagai sumber yang melalaikan ketaatan. Alasan tersebut terkait dengan pandangan umum mengenai inferioritas perempuan secara spiritual. Ada istilah yang muncul dalam hal ini, yaitu 'perempuan yang mencapai status laki-laki' bagi perempuan yang salihah. Latihan-latihan asketisme yang keras dan hidup selibat dapat mengakibatkan perempuan mengalami amenorrhea atau berhentinya siklus menstruasi. Dengan menghindarkan diri dari menstruasi maka sebenarnya mereka menghindarkan diri dari tanda kategoris perempuan dalam spiritualitas, karena menstruasi sering dijadikan justifikasi untuk menentukan peranan inferior perempuan dalam pemikiran Islam.[40] Jika kita lihat, alasan ini cocok dengan pendapat Abu Syuqqah yang telah disebutkan di atas bahwa yang dimaksud dalam hadis Nabi dengan 'kurang kadar agama dan intelektualitas' lebih pada kekurangan secara biologis, dan bukan dalam kadar spiritual atau intelektual.
Ibn al-Arabi tidak termasuk kelompok sufi laki-laki di atas yang merendahkan kualitas spiritual dan intelektual perempuan.[41] Sikap sufi asal Andalusia ini barangkali berasal dari kenyataan bahwa sepanjang hidupnya ia selalu berhubungan dengan dan dipengaruhi oleh perempuan yang baginya sangat spiritualis. Setidaknya tercatat lima perempuan yang banyak memengaruhi pandangan Ibn al-Arabi tentang perempuan, yaitu Maryam istrinya sendiri, Nizam 'Ain Shams wa al-Baha' yang banyak menjadi inspirasi puisi sufistiknya, serta tiga guru spiritualnya yaitu Yasamin, Fatimah bint Ibn al-Mutsanna, dan Fakhr al-Nisa' bint Rustam.
Menurut Ibn al-Arabi, sifat Tuhan dapat dibagi menjadi dua, yaitu terkait dengan keindahan-Nya (jamal) dan keagungan-Nya (jalal). Hubungan sifat jamaliyyah dan jalaliyyah mirip dengan hubungan perempuan-laki-laki. Jadi, menurutnya, sejumlah sifat Tuhan adalah feminine, seperti cinta, penyayang, dll. Dan karena sifat Tuhan tersebut esensial bagi wujud-Nya, maka dalam diri Tuhan terdapat sifat feminine. Sifat feminin dan maskulin Tuhan dipandang Ibn al-Arabi untuk menandai 'perempuan' sebagai satu ciri khas Tuhan.[42]
Karena menurut Ibn al-Arabi sifat Tuhan merupakan cermin sifat manusia sempurna (insan kamil), dari sana kemudian perempuan adalah cermin (madzhar) dimana laki-laki dapat berkontemplasi darinya, sebagaimana fungsi Adam juga sebagai cermin kontemplasi Tuhan. Melihat perempuan, dengan demikian, tergantung kepada kreatifitas kita bercermin, yaitu apakah ia sebagai sang pelalai atau sebagai cermin kontemplasi. Syaikh akbar ini ternyata lebih memilih yang belakangan. Satu ungkapannya yang sangat terkenal adalah, "Aku ingin melihat Tuhan pada tubuh perempuan." Dari perempuan, Ibn al-Arabi banyak belajar tentang spiritualitas dan Tuhan.
Dari pembahasan-pembahasan di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan-perbedaan memandang otoritas keilmuan perempuan dalam sejarah keilmuan Islam. Perempuan dalam fikh yang dikenal rigid dan kaku dilihat dengan mendasarkannya pada Alquran yang ditafsir secara tekstual, misalnya tentang persaksian perempuan. Sementara itu, tasawuf yang lebih mementingkan olah rasa atau batin sangat terang banyak memakai takwil dalam melihat Alquran.[43] Dari sini jelas bahwa perbedaan pandangan tersebut dari sisi sejarah didasarkan pada bagaimana memandang Alquran sebagai sumber keilmuan Islam. Dari sudut sejarah pula kita tahu bahwa tesis Ruth Roded yang menyebutkan adanya pasang-surut keilmuan perempuan,[44] tampaknya benar.
Lebih jauh, jika kita memakai teori sejarah Foucault, pasang-surut keilmuan itu terkait dengan satu sistem tertentu yang membentuknya. Dari pembahasan di atas, sistem itu beroperasi melalui klasifikasi laki-laki dan perempuan secara fisik, misalnya ciri fisik haid pada perempuan. Klasifikasi ini disertai pula oleh pandangan bahwa perempuan inferior di depan laki-laki. Inferioritas perempuan ini berusaha disisipkan dalam sejarah agar dipandang sebagai sesuatu yang normal dan alami. Dan kemudian dalam disiplin-disiplin ilmu, pandangan tersebut berusaha dicarikan alat justifikasi. Disiplin-disiplin ilmu yang dijadikan alat justifikasi inilah yang disebut Foucault sebagai rezim pengetahuan atau sang otoritas. Seperti kita lihat, rezim atau otoritas ini bermain sangat halus dan nyaris tak disadari (nirsadar). Alhasil, di satu sisi, sebagai manusia (human female) peran perempuan telah diminimalkan menjadi aksesori semata, dinilai sebatas fisiknya saja. Padahal, di sisi lain, peran ideal perempuan sebenarnya tidak sedikit.
Protestanisme Islam: Menggugat Otoritas Keilmuan
Rezim atau otoritas keilmuan, baik otoritas keilmuan perempuan maupun, terlebih-lebih, laki-laki, seringkali memanfaatkan atau dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tertentu di luar tujuan keilmuan. Di atas, otoritas keilmuan laki-laki telah terbukti menghasilkan satu kondisi dimana perempuan kemudian ditempatkan subordinate di wilayah peripheral. Kritik terhadap rezim atau otoritas keilmuan telah banyak dilancarkan oleh kaum posmodernis semisal Foucault yang menihilisasi segala hal, termasuk nilai unggul atau otoritas keilmuan laki-laki. Bagi posmodernis, tidak ada keunggulan atau otoritas satu keilmuan atas keilmuan lain. Jika ada, maka otoritas ini pasti beroperasi melalui sistem kuasa tertentu. Walhasil, jika nilai tidak ada, yang muncul kemudian adalah kesetaraan, kesejajaran, atau pluralitas.[45]
Lebih dari sekadar alasan posmodernis, gugatan atas otoritas keilmuan dalam sejarah agama tampaknya didasari keinginan agar tidak terjadi pemanfaatan (ilmu) agama untuk kepentingan-kepentingan individu atau golongan tertentu. Kritik semacam ini wajar karena ulama atau intelektual sebagai elite (ilmu) agama memang sering terlibat dalam perilaku destruktif yang kemudian mereka cari pembenarannya dalam (ilmu) agama. Dalam Kristen sejarah menyaksikan bagaimana elite intelektual gereja mengkorup tafsir kitab suci untuk melancarkan serangan atas kaum intelektual (non-gereja) yang dituduh mengembangkan keilmuan bidah dan sekular di luar kehendak Gereja. Kritik datang dari Martin Luther yang menyerukan pembaharuan gereja dan desentralisasi kebenaran ilmu. Revolusi pun pecah dan memuncukan satu friksi agama 'Protestan' yang keluar dari Gereja Roma.
Peristiwa perselingkuhan elite (ilmuwan) agama juga pernah terjadi dalam Islam. Muhammad Abid al-Jabiri mencatat dua peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu pengujian kepercayaan atau inkuisisi (mihnah) yang dilakukan penguasa Bani Abbas pada abad IX dan pengadilan (nakbah) terhadap Ibn Rusyd yang banyak menganjurkan cara-cara berpikir rasional. Pada peristiwa mihnah, elite negara yang didominasi golongan rasionalis Mu'tazilah memaksakan kehendak atas kepercayaan rakyat yang kala itu banyak berkiblat pada Ibn Hanbal. Sementara dalam nakbah pemikir rasional diadili oleh penguasa dan ilmuwan agama yang antifilsafat dan pemikiran rasional.[46]
Pangkal penyebab mihnah atau nakbah di atas sesungguhnya adalah perebutan otoritas terakhir untuk membicarakan masalah-masalah agama.[47] Dalam dua kasus tersebut, golongan pemikiran rasional disingkirkan oleh golongan ulama antirasionalitas. Pada peristiwa yang pertama yang lebih berpengaruh panjang dalam sistem otoritas pemikiran agama, kemenangan ulama dinilai lebih positif dibanding jika penguasa atau khalifah yang memegangnya, karena pemaksaan kekuasaan aparatus tentu lebih potensial jika dipegang khalifah. Kegagalan mihnah juga meniscayakan bahwa tradisi sentral di Islam Sunni tetap menjadi sebuah pola 'multipusat' otoritas keagamaan, tidak terpusat pada satu otoritas keagamaan, karena komunitas intelektual dan orang beriman pada Islam Sunni lebih luas dan menyebar.
Ini berbeda dengan yang terjadi pada Islam Syiah yang menganut sistem yang kurang lebih sama dengan yang ada pada agama Katholik. Pada abad XVIII dan XIX Islam Shi’ah Iran mengalami transformasi doktrin dan organisasi yang tak ada bandingannya dengan yang terjadi di dunia Sunni. Secara lebih khusus, setelah konflik antara mazhab Akhbari dan Ushuli, sebuah konsensus baru lahir di antara para intelektual agama yang berpusat pada kewajiban semua mukmin untuk menaati doktrin tentang marja’ (referensi). Menurut konsep ini, setiap muslim saleh diwajibkan tunduk kepada seorang mujtahid yang berfungsi sebagai marja’ taklidnya, referensi keagamaannya. Beberapa dekade setelah doktrin marja’ disebarluaskan, otoritas keagamaan di Iran Shi’ah mengalami evolusi lebih jauh. Perubahan itu berpusat pada ide bahwa tidak hanya setiap orang awam yang harus memiliki sebuah marja’, tetapi juga harus ada sebuah marja’ tunggal tempat para intelektual Muslim bersandar. Yang paling terhormat adalah seseorang yang disebut sebagai ayat Allah (tanda Allah, ayatullah).[48]
Meskipun secara structural mirip dengan hieraki Gereja Katholik Roma, namun tak dapat disangkal bahwa struktur hierarkis Shi’ah Iran tak sekental dan sehierarkis itu. Seorang intelektual menjadi seorang ayatullah bukan karena dipilih atau diangkat oleh ulama, melainkan melalui sebuah proses intelektual informal dan pengakuan publik.[49] Tetapi belakangan, bersamaan dengan Revolusi Islam Iran yang digerakkan oleh kaum mullah, posisi ayatullah juga memegang kendali sosial-polittik yang bahkan lebih luas dari kepala negara.
Struktur hierarki dan pemusatan otoritas inilah yang kemudian memunculkan kritik terhadap Syiah Iran. Gerakan ini dikenal dengan nama Protestanisme Islam, karena identik dengan kritik pada Gereja yang dilakukan Martin Luther. Di antara para penggerak Protestanisme Islam adalah Jamaluddin al-Afghani, Ali Syariati, dan Hashem Aghajari.[50] Di antara hal pokok yang mereka kemukakan dalam kritiknya adalah bahwa mestinya umat Islam menjadi penafsir Alquran independen bagi dirinya sendiri, dan bukan berpegang saja dari tafsir-tafsir otoritas yang dilakukan oleh ulama. Mengikuti jejak Luther tentang pentingnya umat Kristen mengakses langsung Bibel, mereka berseru agar muslim diberi jaminan sepenuhnya dan sebebas-bebasnya dalam mengakses Alquran, tidak seperti ororitarianisme mullah yang melarang muslim mengakses Alquran melalui metodenya sendiri. Ajakan penafsiran Alquran secara rasional dan independen ini ditujukan untuk mendeligitimasi otoritas tunggal dan hierarkis ulama Syiah. Mereka menghendaki agar muslim Iran diberikan hak yang setara dengan ulama dalam mengakses dan menafsirkan Alquran, karena memang tak ada keistimewaan apalagi status kesakralan di kalangan ulama.
Terlepas dari seberapa jauh pengaruh kritik mereka terhadap cara keberagamaan muslim Iran, gagasan Protestanisme Islam ini menaarik untuk didiskusikan lebih jauh. Minimal, kalau kita membuka-buka kembali Alquran, kita akan mendapati bahwa setiap individu muslim bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Gagasan Protestanisme Islam setidaknya merangsang kita untuk kembali mendiskusikan persoalan ijtihad, tanggung jawab individu (taklif), dan persoalan taklid. Diskusi, siapa takut!!***


Catatan:


[1] Dari kalangan Islam antara lain Fazlur Rahman dan Amina Wadud-Muhsin. Lihat dalam JMS. Baljon, Tafsir Quran Muslim Modern, terj. A. Niamullah Muiz (Jakarta: Pusstaka Firdaus, cet. III 1993).
[2] Michel Foucault, Beyond Structuralism and Hermeneutics, eds. Hubert L. Dreyfus dan Paul Robinow (Chicago: University of Chicago Press, 1983), h. 208-210.
[3] Ratna Megawaangi menyebut faktor ini dengan istilah nurture, yang berbeda dengan nature. Selengkapnya dalam Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender (Bandung: Mizan, 1999), h. 93-102.
[4] Syafa'atun Elmirzana, "Layla dan Zulaykha", dalam Basis, no 07-08, Juli-Agustus 2001
[5] Klasifikasi ilmu agama ini didassarkan dari Masykuri Abdillah, "Ilmu Agama", dalam Taufik Abdullah (ed kepala) EnsiklopediTematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Houve, 2002), h. 231-253. Ilmu fikh daan ilmu qawaidul fikh sebenarnya oleh Abdullah dibedakan, tetaapi dalam tulisan ini digabung atau disamakan, dengan alasan
[6] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Quran, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS, cet. II 2002), h. 1-2.
[7] Pergumulan itu sendiri ditandai dua gerak sekaligus, yaitu geraak sentrifugal dan gerak sentripetal. Tentang kedua gerak ini, baca dalam Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 15.
[8] Pengkajian sinkronik dan diakronik dicetuskan pertama kali oleh Bapak Semiotika Ferdinand de Saussure dalam keilmuan bahasa. Sekarang, kajian dalam ilmu-ilmu sosial biasanya dipilah dengan dua jenis pengkajian itu. Lihat bukunya Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989).
[9] Untuk pengertian ulama di sini penulis banyak mengutip dari M Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 2002), terutama h. 684 dan seterusnya.
[10] Bandingkan dengan AF. Chalmers, Apa itu yang Dinamakan Ilmu?, terj. Redaksi Hasta Mitra (Jakarta: Hasta Mitra, 1983).
[11] Salah satu fungsi hadis terhadap Alquran adalah sebagai bayan tafsir, menjelaskan ayat-ayat Alquran.
[12] Misalnya Qs. 2: 163, 269; Qs. 3: 190-191.
[13] John Hendrik-Meuleman (ed), Perempuan Islam dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: INIS, 1993), h. 11; Tentang kecerdasan emosional baca dalam Goleman, Kecerdasan Emosional (1996).
[14] Disebutkan dalam suatu ayat bahwa yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah yang bertawa.
[15] Hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Tentang materi hadis secara keseluruhan baca Nasaruddin Umar dan Amany Lubis, "Hawa sebagai Simbol Ketergantungan: Relasi Gender dalam Kitab Tafsir", dalam Ali Munhanif (ed), Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 37.
[16] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an (Yogyakarta: FKBA, 2001), h. 125.
[17] Berarti 'yang tergantung', yaitu para penyair yang karya-karyanya digantung pada dinding Kabah setelah mengalami seleksi .
[18] Amal, Rekonstruksi, h. 149 dan 158.
[19] Abdillah, "Ilmu Agama", h. 232-235.
[20] Bandingkan dengan Syafiq Hasyim, Hal-hal yang tak Terpikirkan (Bandung: Mizan, …)
[21] Ruth Roded, Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim (Bandung: Mizan, 1999), h. 17.
[22] Ibid, h. 18.
[23] Ibid, h. 11.
[24] 'Tertuduh dusta' berada satu tingkat lebih tinggi dari hadis 'dusta'.
[25] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, "Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam Hadis", dalam Munhanif, Mutiara Terpendam, h. 53.
[26] Yang pertama misalnya dalam ekspresi persetujuan perkawinan serta harus sepengetahuan orangtua (wali) ketika menikah; ini sangat berbeda dengan laki-laki. Sementara yang kedua dapat dilihat pada, misalnya, bagaimana fikh mengatur kepatuhan istri terhadap suami, seperti istri tidak boleh keluar dari tempat tidurnya tanpa seizin suaminya, demikian juga ketika ia akan berpuasa sunat.
[27] Ilmu hadis sering dibagi menjadi dua, yaitu ilmu dirayah menyangkut materi atau matan dan ilmu riwayah menyangkut transmisi atau periwayatan. Penelitian hadis biasanya juga diklasifikasi menjadi dua cabang ini.
[28] Misalnya ada materi hadis yang menyebutkan bahwa istri wajib melayani suami meski ia sedang berada di punggung onta. Hadis-hadis semacam ini tidak bisa tidak menjadi landasan fikh memutuskan bagaimana istri harus patuh pada suami.
[29] Syafiq Hasyim, "Gambaran Tuhan yang Serba Maskulin: Perspektif Gender Pemikiran Kalam", dalam Munhanif, Mutiara Terpendam, h. 170-171.
[30] Ibid, h. 146-149.
[31] Tentang rasionalitas kalam Mu'tazilah baca dalam Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah (Jakarta: UI Press, 1987).
[32] Selengkapnya dalam Hasyim, “Gambaran Tuhan”, h. 160-161.
[33] Qs. Annisa: 42.
[34] Untuk menelusuri sejarah ketuhanan, ada baiknya membaca buku Karen Amstrong, Sejarah Tuhan (Bandung: Mizan, 2000).
[35] Tentang konsep mahabbah­ Rabiah selengkapnya, baca dalam Adul Mun'im Qandil, Cinta Mistik Rabiah al-Adawiyah: Sebuah Memoar Spiritual, terj. Moh Royhan dan Moh Syofyan Amrullah (Yogyakarta: Mujadalah, 2002).
[36] Rahman, Islam, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1999), h. 2-4; Izutsu, Relasi Tuhan ddan Manusia, terj. Agus Fakhri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 35.
[37] Dalam Fariduddin Attar, "Tadhkira al-Awliya'", dalam RA. Nicholson (ed), Persian Historical Text, vol I (Leiden: EJ Brill, 1905), h. 73.
[38] Elmirzana, "Layla dan Zulaykha", h. 31.
[39] Ibid, h. 33.
[40] Ibid, h. 32.
[41] Biografi dan pandangan Ibn al-Arabi tentang keilmuan dapat dilihat dalam William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Hermeneutika al-Quran Ibn al-Arabi, terj. Ruslani, dkk (Yogyakarta: Qalam, 2001), h. 1-94.
[42] Elmirzana, "Layla dan Zulaykha", h. 34.
[43] Hermeneutika para sufi, misalnya hermeneutika Ibn al-Arabi, dikenal dengan takwil. Chittick, The Sufy, h. 153-178.
[44] Roded, Kembang Peradaban, h. 119, dst.
[45] I Bambang Sugiharto, Posmodernisme: Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, cet VI 2003), h. 23-40.
[46] Selengkapnya baca dalam Muhammad Abid al-Jabiri, Perselingkuhan Politik dan Agama, terj. Zamzam Afandi (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003).
[47] Robert W. Hefner, "Protestanisme Islam dan Reformasi Protestan: Tanggapan untuk Sukidi", dalam Bentara Kompas, 06 April 2005.
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Sukidi, "Pengembaraan Gagasan Protestanisme Islam", dalam Bentara Kompas, 02 April 2005.

==================
* Tulisan ini adalah tugas matakuliah saya waktu ambil S1 dulu. Doain ya saya bisa kuliah lagi....