“Ya Nabi, Aku Malu”

“Ya Allah, seandainya kiamat kelak Kau hisab aku, jangan lakukan itu di samping Rasul Musthafa. Aku malu telah mengaku umatnya, padahal hidupku bergelimang dosa.”
–puisi yang digubah Muhammad Iqbal menjelang wafat.


SETIAP MENGENANG atau membaca kembali sejarah hidup seseorang, kita selalu dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa banyak hal dari orang tersebut yang dapat kita jadikan sebagai pelajaran untuk kita tuai dalam menjalani hidup kita. Itulah sebabnya barangkali sejarah hidup seseorang dinamakan biografi, yang secara harfiah berarti “gambar hidup”.

Begitupun ketika kita mengenang kembali kehidupan Rasulullah Saw. Di masyarakat Melayu, memperingati kelahiran dan hidup Nabi Muhammad selalu disertai ritus pembacaan kitab Barzanji, biografi Nabi Muhammad yang dikarang oleh seorang ulama bernama Al-Barzanji. Di Yogyakarta, menjelang peringatan maulid Nabi, diadakan karnaval budaya bernama sekaten. Dua contoh ini menarik. Kalau akhir-akhir ini banyak orang mengusulkan tentang pembacaan Alquran lewat tradisi yang hidup di masyarakat, yang disebut dengan living Quran (Alquran yang hidup), tradisi perayaan maulid untuk mengenang sejarah hidup Muhammad tak lain adalah bentuk sejarah yang hidup, tak sekadar sejarah hidup.

Pertanyaannya, mengapa sejarah Nabi terus hidup, mengapa ada upaya-upaya yang bahkan telah mentradisi untuk menghidupkannya? Jawabannya tidak lain sebab kita teramat mencintai Nabi akhir zaman itu. Perayaan maulid adalah upaya mengenang Nabi secara periodik. Ada tahapan atau kita meluangkan suatu waktu untuk mengenangnya. Kenangan itu membuat sejarah Nabi terus hidup. Memang, secara fisik, Nabi telah wafat 14 abad lalu. Namun, kenangan tentang dia, ajaran yang dibawanya, akan terus hidup hingga akhir zaman.

Kenangan dan ajaran Nabi itu terus hidup karena sejarah Nabi, di dalam Islam, menjadi pedoman atau sumber ajaran Islam. Sunnah atau hadis yang kita kenal tidak lain merupakan sejarah Nabi. Sunnah juga, di dalam Islam, menjadi penafsir Alquran yang paling otoritatif. Antara Alquran dan perilaku Nabi memang sulit dipisahkan. Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Akhlak Nabi adalah Alquran.” Almarhum Fazlur Rahman di dalam bukunya Islam menyebutkan bahwa sejarah hidup Nabi merupakan bukti aktual Alquran di dalam sejarah.

Kalau demikian, sejarah Nabi yang paling tepat dan benar, sesungguhnya cukup dibaca di dalam Alquran. Memang, alih-alih detail, Alquran hanya memberi gambaran sedikit tentang sifat Nabi. Kata Alquran di dalam surat at-Taubah, Nabi mempunyai dua sifat: “Solider dengan penderitaan kaumnya dan menjaga serta mengasihi orang yang beriman” (at-Taubah: 128).

Di dalam buku biografinya, baik yang ditulis oleh sarjana muslim seperti Husain Haikal (Hayatu Muhammad, diterjemahkan Penerbit Litera Antarnusa Jakarta dalam bahasa Indonesia menjadi Sejarah Hidup Muhammad), maupun oleh orang nonmuslim seperti Karen Armstrong (Muhammad: A Biography of the Prophet, diterjemahkan Mizan Bandung menjadi Muhammad Sang Nabi), kedua sifat itu secara detail dijabarkan. Bagaimana solidernya Nabi terhadap kaumnya, secara jelas dapat dilihat kala hijrah. Sewaktu akan hijrah, Nabi menyuruh para sahabatnya untuk berangkat terlebih dahulu ke Yastrib atau Madinah. Dia sendiri bersama Abubakar berangkat belakangan. Saat Nabi tiba, para sahabatnya yang telah terlebih dahulu pergi, menyambutnya. Kejadian itu tidak semata strategi di saat kritis, bagaimana bisa keluar dari Mekkah saat kaum kafir Quraisy sedang mengepung, tapi juga sebentuk solidaritas: bahwa dirinyalah yang menyediakan diri atas segala risiko yang dihadapi dalam hijrah.

Di lain kesempatan, saat perang, Nabi memimpin dengan turun langsung ke medan perang. Demikian pula Nabi tidak mau makan selama ada umatnya yang kelaparan. Nabi disebut sering mengganjalkan batu dan memakai stagen untuk menutup agar dirinya tampak sudah makan. Juga Nabi kerap tidur dengan alas daun pohon kurma.

Pelajaran solidaritas ini dalam banyak hal berbanding terbalik dengan keadaan pemimpin kita saat ini. Siapa yang mau solider dengan penderitaan rakyat yang semakin bertambah-tambah akibat ekonomi yang terus memburuk? Bahkan, saat rakyat kekurangan pangan, harga bahan makanan melambung, para pemimpin berencana menganggarkan uang negara untuk membeli fasilitas mereka (membeli laptop atau jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding, misalnya).

Nabi sangat solider. Di samping solider, dia juga amat kasih pada yang beriman. Karena sifat-sifatnya itu, Nabi dicintai kaumnya, termasuk kita. Bagi kita umat belakangan, yang tidak bertemu Nabi, bukti kecintaan itu antara lain diwujudkan dengan kita yang berharap bermimpi bertemu Nabi Muhammad. Nabi bersabda, “Barangsiapa melihatku di dalam mimpinya, sungguh dia telah melihatku, karena setan tidak dapat menyerupaiku.”

Berbagai ritual pun dilakukan agar bisa bertemu Nabi dalam mimpi. Antara lain berwudhu sebelum tidur, membaca beberapa surat pendek serta membaca salawat untuk Nabi. Ini bukti kecintaan kita kepada Nabi. Nabi bersabda, “Sungguh akan datang di antara kalian orang yang mencintaiku lebih dari dia mencintai harta dan keluarganya.”

Sulit memang mencari siapa sekarang yang mencintai Nabi seperti itu. Di dalam sejarah, kala Nabi hidup, ada kisah tentang kecintaan itu. Di sebuah musim haji, Nabi berpidato untuk yang terakhir kalinya. Inilah peristiwa yang disebut haji wada’ atau haji perpisahan dengan Nabi. Nabi berpidato meminta maaf kepada kaumnya. Bila ada yang merasa pernah dijahati Nabi, silakan membalas atau men-qishash. Seorang sahabat berdiri dan bilang, saat dia berperang, tubuhnya pernah tercambuk oleh Nabi. Tercambuk, bukan dicambuk. Nabi pun menyuruh Ali mengambil cambuknya. Nabi telah bersiap untuk dicambuk, tapi sahabat itu tetap urung. Dia bilang, saat tercambuk Nabi, punggungnya sedang terbuka. Nabi pun membuka pakaiannya. Saat orang menahan napas, tak tega dengan pembalasan itu, bahkan Umar sempat menawarkan agar punggungnya saja yang dicambuk sebagai ganti, dan ini ditolak Nabi, sahabat yang siap mencambuk tiba-tiba melempar cambuk dan memeluk serta menciumi Nabi sambil berkata, “Aku rindu untuk menempelkan punggungku dengan punggungmu, Ya Rasulullah.” Rasulullah merasa haru dan bilang, “Inilah ahli surga.”

Itu cermin orang yang mencintai Nabi, yang pernah mencium Nabi. Tapi siapakah yang pernah dicium oleh Muhammad Rasulullah?

Setidaknya ada dua orang. Pertama adalah Fatimah, putri bungsu beliau. Sebagaimana semua orang, anak adalah buah kasih sayang tiada terperi. Anak adalah tumpuan cinta, sekaligus harapan. Begitu juga Nabi. Dengan anak-anaknya beliau sangat penyayang. Dan yang paling disayangi di antara putri-putrinya adalah Fatimah. Entah mengapa Fatimah. Bisa jadi karena dia bungsu, sebagaimana kebanyakan orang punya rasa sayang berlebih pada si bungsu ketimbang kakak-kakaknya. Kalau demikian, apakah Nabi kurang adil terhadap anak-anaknya? Tidak bisa dinilai demikian. Justru, sifat inilah yang memperlihatkan kepada kita betapa Muhammad adalah juga manusia. Dan kasih sayang pada anak bungsu yang berlebih adalah hal yang sangat manusiawi. Kata Alquran, “Telah datang kepadamu Rasul dari kalian sendiri.” “Dari kalian sendiri” kata sebagian tafsir adalah rasul bangsa manusia, punya sifat manusiawi, bukan utusan berbentuk malaikat, misalnya.

Namun ada juga pendapat, Nabi teramat mencintai Fatimah sebab tahu bahwa garis keturunannya akan terus bersambung lewat Fatimah, tidak saudara-saudaranya yang lain. Dan kenyataan dalam sejarah memang demikian. Bagi kaum Syiah, ini sering kali dianggap dalil keunggulan Ali dan keturunannya lewat Fatimah, sehingga membuat mereka memuliakan keluarga ini (ahlul bayt).

Terlepas dari itu, yang jelas Nabi sangat menyayangi Fatimah. Bentuk kasih sayang itu antara lain ditunjukkan Nabi dengan sering memangku Fatimah sewaktu kecil, bermain-main dengannya. Konon, Fatimah berlari-lari kecil dan Nabi menyambut dalam pelukannya. Di situ Nabi kemudian dengan gemas menciumi tangan Fatimah yang mungil. Bentuk kasih sayang orangtua yang sangat wajar. Dan Fatimah, setidaknya, adalah seorang yang pernah dicium Nabi.

Kedua, di dalam sebuah riwayat dikatakan, Nabi sedang duduk di masjid bersama para sahabat. Namun di antara sahabat itu ada yang tampak menyembunyikan tangannya. Nabi dapat menangkap gelagat itu. Nabi lantas bertanya ada apa dengan tangan itu. Sahabat tersebut menjawab, tangannya rusak, ber-kapal. Mengapa rusak, tanya Nabi. Jawab sahabat itu, sebab dia membanting tulang bekerja kasar untuk menghidupi keluarganya. Demi mendengar jawaban tersebut, Nabi lantas mengambil tangan sahabat itu lalu menciuminya sambil bersabda, “Inilah tangan yang mulia, tangan ahli surga.”

Membaca kisah ini hari ini, kita pantas tersindir. Adakah pemimpin yang sudi mencium tangan rakyatnya? Lihatlah, di pinggir-pinggir jalan, di perempatan lampu merah, betapa banyak anak-anak dan pengemis menghiba meminta sebagian rizki. Mereka tak punya apa-apa. Mereka bekerja jauh lebih kasar dari yang diduga: menghamba meminta-minta adalah perbuatan yang lebih menyakitkan ketimbang kerja kasar apa pun. Dan itu sudi dikerjakan mereka, demi menghidupi keluarga, demi anak-anak kecil mereka yang mungkin tengah sakit atau telah beberapa hari tak memeroleh asupan susu. Dan, adakah pemimpin kita saat ini yang mau meraih tangan mereka, menciumi tangan buruk mereka? Kita bisa menduga, tak ada. Bahkan lewat pun, dengan kendaraan mewah lengkap pengawal, para pemimpin itu tak sempat barangkali melongok kaca melihatnya. Ataukah mereka sengaja tak mau melihatnya?

Mencium tangan kaum papa sesungguhnya adalah metafora bahwa kaum papa harus diperhatikan oleh seorang pemimpin. Bila mereka tetap ada di negeri ini, tak memeroleh garansi hidup, itu sama artinya kita tak meneladani Nabi yang sudi memuliakan kaum tak berpunya.

Ah, memperingati maulidmu dengan membaca sedikit riwayatmu, Nabi, aku tiba-tiba merasa sangat malu.[]

================
* Tulisan ini saya buat dengan referensi ingatan semata. Mohon kroscek ulang bila ingin mengutip, terutama menyangkut nama, ayat, dan hadis.


Konstruksi Cantik dalam Iklan Sabun

Judul : Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalitas dalam Iklan Sabun
Penulis : Aquarini Priyatna Prabasmoro
Penerbit : Jalasutra Yogyakarta
Cetakan : I 2004
Tebal : 135 halaman
Harga : Rp. 18.000,-




APA YANG dibayangkan seorang perempuan ketika mandi menggunakan sabun Lux atau Giv? Apakah ia akan membayangkan dirinya seperti Tamara Bleszinsky atau Sophia Latjuba yang menjadi bintang iklan kedua sabun ini?

Mandi pada dasarnya adalah kegiatan rutin membersihkan diri. Agar badan lebih bersih dan mudah menghilangkan noda, lumrahnya kita menggunakan sabun. Dalam memilih sabun yang digunakan untuk mandi, seringkali iklan dijadikan sebagai referensi oleh masyarakat.

Iklan adalah bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan sebuah produk. Melalui iklan sebuah produk akan dikenal masyarakat. Harapannya, setelah produk itu diketahui ia akan dibeli dan diterima. Pada aras itu, iklan tidak bebas nilai, melainkan dipenuhi dengan kepentingan pemasang. Roland Barthes, seorang pemikir budaya, mengatakan bahwa iklan adalah karya ideologis yang kotor (dirty ideological work).

Sebagai realitas dalam ruang publik (public sphere) masyarakat kontemporer, iklan berpotensi melakukan konstruksi sosial. Konstruksi itu biasanya diawali dengan pelabelan citra atau imej pada suatu produk. Citra itu disebarkan secara terus-menerus, hingga akhirnya akan bercokol dalam ketaksadaran publik tentang produk yang diiklankan.

Buku Becoming White karya Aquarini merupakan contoh yang bagus tentang bagaimana citra iklan sabun menghasilkan konstruksi cantik pada perempuan. Tidak hanya itu, iklan sabun juga merepresentasikan feminitas, globalitas, ras, dan kelas.

Iklan sabun yang diteliti oleh Aquarini adalah iklan sabun Lux dan Giv yang merupakan dua merek sabun terkemuka di Indonesia. Pada tahun 2001-2002 kita akrab dengan dua selebriti Indo yang menjadi bintang iklan kedua produk itu, yaitu Tamara Bleszinsky (Lux) dan Sophia Latjuba (Giv). Pemilihan selebriti Indo atau keturunan campuran etnik Indonesia dan Eropa sebagai bintang iklan, menurut Aquarini, berkaitan dengan gagasan putih atau ke-putih-an yang diusung kedua sabun itu. Putih atau ke-putih-an direpresentasi sebagai yang cantik, yang disukai, diinginkan, dan menjadi citra ideal perempuan.

Konstsruksi cantik itu putih menaturalisasi feminitas putih sebagai global dan universal. Dalam budaya nonputih Indonesia, idealisasi citra putih menciptakan gap antara mereka yang memandang iklan sabun atau masyarakat dengan wacana putih. Ini pada gilirannya menjadi suatu fantasi, suatu yang harus dicapai, suatu konsep yang mendefinisi kecantikan dan feminitas berdasarkan sesuatu yang dianggap bukan milik atau bagian dari si pemandang (masyarakat Indonesia).

Dari sana kemudian Aquarini memandang bahwa gagasan cantik tidak bebas dari semangat rasial dan kelas. Cantik selalu bergantung pada yang putih. Sementara yang alami putih diberi tanda dengan ras Barat, yang dalam iklan diwujudkan dengan memasang bintang Indo. Dalam kedua iklan sabun, Barat dicitrakan berbudaya, beradab, modern, global, dan universal. Implikasinya, bagi yang nonputih (Timur), untuk menjadi modern dan beradab seseorang harus berkulit putih.

Aquarini menyimpulkan bahwa gagasan putih yang diusung iklan sabun sesungguhnya paradoks. Paradoks ini terkait dengan mimikri, yaitu peniruan nonputih menjadi putih. Paradoks juga muncul dalam penempatan hubungan lokal/universal, domestik/publik. Di satu sisi pengguna sabun itu adalah lokal, namun di sisi lain ia ingin menjadi global.

Buku Aquarini yang semula merupakan disertasi ini mengajak kita untuk membaca iklan secara kritis. Dari pembacaannya, konstruksi cantik dalam iklan sabun terbukti menindas. Perempuan disuruh menjadi cantik ala Barat dengan kulitnya, bukan menjadi diri perempuan itu sendiri dengan segala potensi yang dimilikinya.

Buku ini pantas diapresiasi oleh siapa saja yang tidak ingin ditindas oleh ideologi kotor iklan. Pola hubungan kita dengan iklan yang selama ini pasif, diharapkan menjadi aktif dan kritis. Sehingga representasi iklan yang bias dan hegemonik dapat disikapi dan dimaknai dengan cerdas.[]

===============
* Tulisan ini saya buat untuk keperluan diskusi buku ini di radio Eltira FM Yogyakarta. Saat itu saya jadi narasumber bersama siapa ya? Andi Budi, Aris Darmawan, Afthonul Afif (kok nama kalian A semua ya), atau siapa. Saya benar-benar lupa. Saya juga tak mampu mengingat, yang memandu Mbak Endah (trims novelnya. Salam buat Mas Kok dan jagoan kembar) atau Mas Ari Kelana (hehe, setelah pindah ke GlobalTV, kita pernah janjian ketemu di Jakarta, tapi sampai sekarang tak terwujud juga! Oya, masih tetep ngajar di UII kan?). Post ini adalah kenangan tentang kalian semua, juga teman-teman Jalasutra.

MataBaca: Untuk Dunia Buku

Siapakah orang paling berpengaruh dalam sejarah? Untuk menjawabnya, ada baiknya Anda buka Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah terbitan Pustaka Jaya (1982). Di buku itu, bertengger pada urutan 6 dan 7, Anda akan menemukan nama Ts'ai Lun dan Johannes Gutenberg. Nama pertama adalah penemu kertas, sedangkan nama selanjutnya penemu mesin cetak.

Pada mulanya adalah kertas, ditera pada lembar-lembarnya huruf-huruf, digabungkan, diberi lem, dan di-binding, walhasil jadilah buku. Buku-buku disebar ke seluruh dunia, melewati sekat pembatas, menembus waktu. Berkat buku, kehidupan pada abad-abad yang lewat bisa hadir di hadapan kita: kini dan di sini. Dengan alur itu, tak heran bila Lun dan Gutenberg masuk dalam daftar pesohor pengubah sejarah. Bukankah sejarah lahir setelah ada tulisan, dan tulisan menjadi abadi tersebab kertas dan cetakan?

Begitulah, setiap berhadapan dengan buku, kita selalu berjumpa dengan ketakjuban-ketakjuban. O, apakah dunia buku kita sama menakjubkannya dengan buku itu sendiri? Tentu saja, Saudara. Cobalah buka dan baca Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia terbitan Yayasan Lontar bekerjasama dengan Weatherhill Inc., akan Anda temui betapa tradisi aksara di Indonesia jauh lebih awal dari yang dketahui.

Anda tentu tahu kalangon, seni menulis puisi dalam tradisi Jawa Kuno. Tradisi ini telah melahirkan antara lain Ramayana (abad ke-9) dan Arjunawiwaha (abad ke-11). Atau berkunjunglah ke Tanah Bugis, di sana ada puisi epik I La Galigo atau Sureq Galigo, naskah yang hingga kini merupakan salah satu yang terpanjang di dunia. Juga sempatkanlah mampir ke Bima, ada Bo' Sangaji Kai, buku catatan raja-raja Bima selama dua abad. Mengagumkan, bukan?

Tentu kekagu
man pada warisan silam saja tak cukup. Yang lebih penting adalah meneruskan tradisi itu, mencatat perkembangan dunia menakjubkan tersebut sepanjang zaman. Untunglah, di antara sekian banyak yang tak peduli, MataBaca tampil mengemban tugas itu. Lima tahun sudah majalah ini merekam jejak belantara buku Indonesia.

Terbit perdana pada Agustus 2002, MataBaca menjumpai pembacanya saban sebulan sekali. Majalah ini terbit berkat kerja mitra Bank Naskah Gramedia dan Penerbit IndonesiaTera. Bank Naskah Gramedia merupakan bagian dari industri buku terbesar negeri ini, Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang berkediaman di Jakarta, mewakili pusat, sementara IndonesiaTera berkantor di sebuah desa di Magelang, representasi penerbitan kecil di wilayah tengah Jawa.

Pada sebuah siang di tahun 2002, di Hotel Santika Yogyakarta perwakilan kedua penerbitan itu bertemu. Pihak Bank Naskah Gramedia diwakili Theodorus J. Koekerits dan penyair Joko Pinurbo. Sementara dari pihak IndonesiaTera datang Andreas Darmanto dan direkturnya yang juga penyair,
Dorothea Rosa Herliany. Seturut pengakuan Joko Pinurbo dalam MataBaca vol V/No 1/September 2006, pertemuan itu berusaha "menindaklanjuti gagasan Frans M. Parera ... tentang perlunya segera menerbitkan majalah perbukuan yang isinya bukan sekadar warta perbukuan".

Barangkali benar pengakuan itu, bahwa gagasan majalah perbukuan tersebut merupakan gagasan Frans Parera, petinggi KKG. Karena itu kemudian namanya bercokol sebagai pemimpin umum. Sementara di antara mereka yang bertemu, Dorothea Rosa Herliany menjadi wakilnya, T. Jacob Koekerits menjabat pemimpin redaksi, dan Joko Pinurbo kebagian redaktur pelaksana.

Perihal nama MataBaca sendiri, keputusan untuk memakai nama itu, demikian Pinurbo, lebih dipukau oleh pesona puitiknya ketimbang makna leksikalnya. Pada mulanya adalah nama, setelahnya baru rasionalisasi terhadap nama itu. Kata Pinurbo, rasionalisasinya adalah "Mata perlu dididik dan dibudayakan agar semakin jernih dan tajam. Agar semakin mampu melihat dan menembus d
imensi-dimensi yang lebih dalam di balik hiruk-pikuk peristiwa dan riuh-rendahnya perkembangan zaman. Agar semakin tekun dan pintar membaca. Bukan sekadar membaca buku atau deretan aksara, tapi juga membaca berbagai fenomena yang bersliweran di tengah pusaran kehidupan masyarakat."

Kerjasama kedua pegiat penerbitan itu menghasilkan karya apik: kekhasan perwajahan ala penerbitan Yogyakarta yang nyeni, seperti dianut juga IndonesiaTera, jelas terlihat. Sementara, karena dicetak oleh Percetakan milik Gramedia yang canggih, wajahnya jadi terlihat lebih cantik. Tak hanya perwajahannya, isinya juga informatif. Di antara rubrikasinya ada "Gagas" yang berisi opini seputar perbukuan, "Raut" tentang tokoh atau wajah suatu penerbitan, "Warta" berita dunia buku, "Kupas" merupakan resensi buku-buku yang baru beredar, dan "Renung", sebuah kontemplasi dengan puisi.

Pada edisi-edisi awal, pembaca bisa berpartisipasi mengisi semua rubrik tersebut. Walhasil, alih-alih menyodorkan satu tema tertentu dalam satu edisi, majalah ini nyaris serupa kumpulan tulisan terserak banyak orang. Belakangan, majalah ini punya beberapa kontributor yang menuangkan tulisan-tulisan bertema sama dalam satu edisi, mengurangi jatah tulisan pembaca.

Namun demikian, majalah ini selayaknya didukung. Setidaknya alasannya adalah dia satu-satunya yang mengkaver wajah perbukuan kita. Memang selain MataBaca ada "Ruang Baca". Namun "Ruang Baca" tak lebih dari suplemen sebuah koran dan nyaris hanya berisi kumpulan resensi semata.

Kesendirian tentu tidak bisa jadi alasan untuk tidak berbenah. Perubahan adalah hal niscaya. Seiring waktu, MataBaca pun tak bisa mengabaikan hukum alam ini. Namun perubahannya sedik
it membuat kita tertegun: majalah ini menjadi lebih muda dan ngepop. Karenanya dalam rasionalisasinya Joko Pinurbo menulis, "majalah ini ingin lebih mendekat ke kalangan muda, ke mata-mata muda yang diharapkan dapat ikut menciptakan keindahan manusiawi di tengah kemelut kehidupan masyarakat yang lebih gelap mata dan membabibuta." Rasionalisasi yang jelas tidak tercetus ketika terjadi pertemuan Santika.

Perubahan sejak edisi September 2005 itu tak hanya pada perwajahan dan isinya yang lebih gaul, tapi juga mereka yang berada pada kursi redaksional. Orang-orang IndonesiaTera tak lagi duduk di sana. Dan hasilnya pun jelas: ciri nyeni ala penerbitan Jogja dengan tampilan lukisan yang semula menghias tiap edisi, terutama pada kaver depan, menghilang, diganti dengan pose penulis atau pemilik penerbitan yang direkam oleh jepretan fotografer, dengan judul yang jelas ngepop: "Pram, Gue Banget!", "Kalau Seleb Jadi Penulis", "Nggak Zamannya Lagi Penulis Miskin", "Sains Gak Ada Matinye". Judul-judul itu juga diupayakan mengikat tulisan-tulisan di dalamnya, terutama di bawah rubrik "Gagas Utama".

Mengapa IndonesiaTera tidak lagi berkecimpung mengelola majalah berjargon "Jendela Dunia Pustaka" (sebelumnya: "Mencermati Dunia Pustaka") ini? Tak ada penjelasan. Yang jelas, sejak merebaknya penerbitan di Yogyakarta dan sekitarnya pascareformasi 1998, musim surut menghantui semenjak tahun 2005-an. Konon, jumlah penerbitan di Yogyakarta waktu itu mencapai ratusan. Satu per satu penerbit Yogya itu jatuh. Beberapa yang namanya kadung besar, diakuisisi oleh penerbitan dari kota lain. Termasuk IndonesiaTera yang pada penghujung 2006 dibeli oleh distributor buku besar asal Jakarta.

Bertahan di negeri dengan minat baca rendah memang bukan pekerjaan mudah, tak hanya bagi penerbitan di Yogyakarta, tetapi juga penerbitan di kota lain. Bayangkan, buku yang dicetak 1000 eksemplar saja harus melewati masa bertahun-tahun agar bisa habis dipasarkan. Buku paling laris pun, dengan tema sensasional, hanya laku puluhan ribu eksemplar. Berapa persen jumlah itu dibanding penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa?

Kendala lain adalah pertarungan antarpenerbit yang nyaris serupa arena tarung bebas dengan hukum rimba: yang kuat memangsa yang lemah. Belum lagi harga kertas yang terus melambung, iklim pemasaran yang tak berpihak pada industri kecil, serta regulasi perbukuan yang tak jelas. Dan satu lagi: tak ada badan yang memayungi semua penerbitan itu. Alih-alih menjadi pengayom dan pembina, IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) punya syarat yang tak bakal genap dipenuhi penerbitan kecil.

Serta yang terpenting: badan ini menjadi semacam event organizer pameran buku semata. Peran lain nyaris tak ada. Misalnya, ketika penerbitan kecil punya masalah ketidaktahuan atau dalam posisi tawarnya membeli rights dari penerbitan luar, tak ada upaya IKAPI memberikan diklat atau menguruskannya. Ketika ada dua penerbitan, satu kecil dan satu besar, saling bertarung atas nama hak penerjemahan, tak ada usaha IKAPI menengahi. Juga ketiadaan regulasi yang jelas, tak ada tuntutan apa pun dari badan ini kepada pemerintah. Sampai kapan langit buku Indonesia akan tetap dikurung mendung?

Sebagai satu-satunya media perbukuan di negeri ini, tentu tak salah bila kita berharap MataBaca membantu menghapus mendung itu. Sebagaimana ide awal pendirian majalah ini, "majalah perbukuan yang isinya bukan sekadar warta perbukuan", mestinya ia juga punya fungsi advokasi bagi insan perbukuan yang nyaris tak bisa berkutik. Bila harapan ini dipenuhi, tentulah bisa majalah ini dimasukkan dalam daftar pemengaruh sejarah, setidaknya sejarah negeri ini.

Entahlah, Saudara, bila ia sudah menjadi penyuara penerbitan besar itu.

================
Tulisan ini akan dimuat dalam buku Seabad Pers Nusantara. Setiap membaca tulisan ini, saya nyaris menangis. Ada hubungan kuat antara saya dengan tulisan ini, baik proses penulisannya
maupun topiknya yang erat dengan dunia saya, dulu. Terus terang saya berperan banyak menuliskan ini, membantu sahabat saya Rhoma Dwi Aria Yuliantri menyiapkan buku tentang pers Nusantara yang usianya telah seabad. Dan tentang dunia buku, hmmm, nyaris hilang dari hidupku saat ini....