Sastra dan Religiusitas

“AKU HARUS menemukan Zabalawi (alaiya an ajida Zabalawi),” demikian kalimat pembuka cerpen Naguib Mahfouz yang terkenal, berjudul “Zabalawi” (dimuat dalam antologi Dunya Allah). Kalimat itu diucapkan oleh seseorang tak bernama, yang hanya memperkenalkan diri sebagai putra syaikh Ali al-Tatawi.
Di dalam sebuah esainya, Nadine Gordimer, pemenang Nobel Sastra 1991, menyebut “Zabalawi” karya Mahfouz sebagai parable, cerita yang didesain untuk mengajarkan moralitas. “Zabalawi” berkisah tentang putra Ali al-Tatawi yang sakit dan melakukan perjalanan mencari syaikh bernama Zabalawi untuk minta disembuhkan. Celakanya, setiap orang yang ditanya di mana keberadaan Zabalawi, tidak bisa memberi petunjuk secara pasti. Mereka hanya memberikan jawaban untuk selanjutnya bertanya dan berjalan dan bertanya lagi….
Perjalanan itu melelahkan. Dia harus melintasi kota-kota tua di Kairo, bertanya ke berbagai orang dengan jawaban tak pasti, dan tentu saja sebuah pertanyaan yang menyembul dari entah: sebenarnya Zabalawi ada atau tidak?
Zabalawi ada. Di akhir cerita, kesimpulan itu yang didapat sang tokoh. Di sebuah kafe, saat menunggu bersama seseorang yang sering ditemui Zabalawi di sana, ia tertidur. Ketika bangun, kepalanya basah. Orang-orang di bar memberitahunya bahwa Zabalawi telah datang dan memercikkan air ke kepalanya. Kata-kata yang sama dengan pembuka cerita ia ucapkan di akhir kisah, namun dengan keyakinan dan tekad berbeda, “Aku sangat yakin sekali (tamaman) bahwa aku harus menemukan Zabalawi; ya, aku harus menemukannya (na’am, alaiya an ajida Zabalawi).” Zabalawi ada, tapi tetap tak ditemukan.
Jalan Pencarian
SETIAP PENCARIAN atau proses penemuan memerlukan jalan. Menurut St. Sunardi, jalan pencarian Zabalawi di dalam cerita Mahfouz, pemenang Nobel Sastra 1988 yang pada akhir Agustus 2006 menghadap ke hadirat-Nya, terdiri dari tujuh langkah. Mengikuti petunjuk seorang syaikh yang berkantor di kawasan al-Azhar, sang tokoh menemui seorang pedagang buku kuno. Sang pedagang kenal dengan Zabalawi tapi tidak tahu lagi di mana keberadaannya kini. Jawaban ini menuntunnya pulang. Namun, setelah di rumah, sang tokoh sadar bahwa berhenti mencari Zabalawi berarti membiarkan dirinya digerogoti penyakit.
Seorang syekh mambuatkannya sebuah denah daerah yang diperkirakan tempat Zabalawi tinggal. Sampai di sana, Zabalawi tetap tak ditemukan. Dia hanya mendapati sahabat Zabalawi yang bilang bahwa ketidakjelasan Zabalawi adalah bagian dari keunikannya. Dalam ketidakjelasan, dia kemudian bertemu dengan seorang pencipta lagu yang mengatakan bahwa Zabalawi sering menemui seseorang di sebuah bar. Di bar itulah dia tertidur dan Zabalawi menyiramkan air ke kepalanya.
Senada dengan Gordimer, Sunardi mengatakan bahwa “Zabalawi” merupakan kisah religius, sebuah topografi rohani. Mahfouz sendiri, demikian Sunardi, adalah penyedia air bagi dahaga religiusitas umat manusia, khususnya warga Mesir. Namun, siapakah sebenarnya Zabalawi? Tidak ada yang tahu. Dalam cerita juga tidak dikisahkan.
Petunjuk barangkali bisa didapat kalau membaca novel Mahfouz berjudul Aulad Haratina (Anak-anak Kampung Kami). Di novel itu kita temukan nama “Za’balawi”, dengan sisipan hurup hamzah (‘). Apakah Zabalawi adalah Za’balawi? Za’balawi di dalam Aulad Haratina punya struktur yang mirip dengan Allah di dalam kisah Adam. Karena itu, otoritas al-Azhar melarang novel itu dan memvonis Mahfouz murtad.
Bisa jadi memang Zabalawi di dalam “Zabalawi” sama dengan atau dimaksudkan sebagai Za’balawi di dalam Aulad Haratina. Perbedaan tipis satu huruf (hamzah) bisa dianggap sebagai strategi literer dari sang penulis agar pembaca bisa menangkap makna melalui intertekstualitas dua cerita yang berbeda. Namun demikian, pentingkah kita mengetahui Zabalawi sesungguhnya?
Menurut Gordimer, pencarian kebenaran di dalam sastra adalah sesuatu yang klise. Namun demikian, kebenaran itu sendiri memiliki “arti lain” dan punya “sisi tersembunyi”. Alih-alih ditemukan, ia sendiri tidak dapat digambarkan. Karena itu, Mahfouz tidak menceritakan bagaimana Zabalawi, melainkan hanya bercerita tentang pencariannya. Zabalawi sendiri sulit atau mungkin tidak dapat diceritakan, juga ditemukan. Tapi dia ada.
Dengan kata lain, meminjam tahapan mimesisnya Paul Ricoeur, yakni mimesis-2 atau konfigurasi (baca dalam Time and Narrative, 1990), jalan pencarianlah yang penting diceritakan. Dalam cerita pencarian, nilai cerita tidak pada ditemukan atau tidaknya, melainkan pada pencarian itu sendiri. Jalan atau tahap pencarian menjadi titik baru bagi perjalanan. Titik itu bukan titik untuk berhenti, melainkan mestinya semakin menumbuhkan kesadaran bahwa pencarian belum dan tak pernah usai.
Ilham
PERTANYAANNYA ADALAH, apakah setiap pencarian harus dilakukan dengan berdarah-darah, menghabiskan banyak energi, segenap perhatian, niat yang tak cacat, hati dan perasaan yang berdebar? “Kedatanganku ke sini adalah bukan untuk apa-apa. Just traveling, cuma melancong (melancong—betapa sudah jarang kudengar kosakata kuno ini!). Tanpa visi dan misi apa pun.” Demikian kata tokoh Ratna dalam novel Lumbini (2006) karya Kris Budiman.
Ratna adalah putri seorang pengusaha sukses di Jakarta. Selepas menyelesaikan kuliah di UGM Yogyakarta, dia langsung duduk di jajaran top managers. Namun, hobi bertualang ke luar negeri lebih melenakan gadis penggemar berat Lara Croft itu ketimbang duduk manis di kursi manajer. Karena hobi itu, sehabis dari Singapura, tanpa niatan dan pikir panjang ia terbang ke Nepal.
Di Nepal Ratna bertemu dengan Niko. Seperti Ratna, Niko juga lulusan UGM. Dia bekerja sebagai peneliti di Pusat Studi Agama dan Budaya UGM. Dari pekerjaannya inilah kemudian dia mendapat kesempatan mengunjungi Nepal, menjadi relawan dalam program Bhaktapur Research Program Universitas Kathmandu, Nepal.
Lumbini karya Kris Budiman adalah sebuah kisah pertemuan dua anak manusia yang sama-sama berasal dari Indonesia di negeri orang, Nepal. Kesamaan asal membuat keduanya cepat akrab dan terlibat “cinta lokasi” (cinlok). Namun salah bila kita menganggap novel ini sebatas cerita pertemuan biasa. Dari yang sekadar melancong, mendapat pengetahuan tentang Nepal, terutama dari Niko, Ratna tertarik belajar Samadhi dan mengalami perjumpaan misterius dengan seorang bhikkhu saat mengunjungi Lumbini.
Lumbini adalah tempat lahir Siddharta Gautama. Lumbini is the Mecca of every Buddhist, Mekkah-nya penganut Buddha. Saat Niko sibuk menerangkan seputar Lumbini padanya, Ratna merasa dipanggil oleh seorang bhikkhu. Ratna masuk dalam alam meditasi, dibimbing oleh Bikkhu ke sebuah vihara, larut oleh puja-puji, hanyut dalam suasana ekstase, dan bersama Bikkhu membuat perjanjian untuk bertemu kembali di Vihara Mendut saat Waisak.
Lumbini adalah cerita tentang religiusitas; seseorang yang ditemukan dengan kesadaran butuh akan Yang Lain—sesuatu yang deep dalam bahasa teolog Kristen Paul Tillich. Bahasa yang ringan, terang, menguatkan kesan bahwa Lumbini bukan sebuah pencarian. Dan memang Ratna tak berniat mencari. Ini yang membedakan Lumbini dengan Siddharta-nya Hermann Hesse, peraih Nobel Sastra 1946, yang sama-sama mengangkat religiusitas Buddhis. Di dalam Siddharta, sebagaimana dalam “Zabalawi”-nya Mahfouz, tokoh utama memang mencari, sementara di dalam Lumbini tidak. Ratna hanya ingin berjalan-jalan ke negeri yang dalam benaknya ajaib. Dalam perjalanan itu ia memeroleh sesuatu, yang tak ia cari untuk menemukannya. Ratna hanya ditemukan dengan sesuatu yang tak ia cari itu.
Lumbini mengingatkan kita pada konsep “ilham” dalam agama. Ilham tak lain semacam hadiah (Arab: huda[n], hidayah). Dia tidak dicari atau dipinta, tapi diberikan begitu saja. Di dalam dunia tulis-menulis, ilham adalah inspirasi penciptaan. Dia tidak dicari-cari, tapi datang begitu saja, membuat penulis merasa perlu menuliskannya—semacam nubuwat.
Saat hari perjanjian tiba, saya menyangka Ratna tidak akan bertemu dengan Bhikku di Mendut. Bukankah dalam cerita pencarian, fokusnya adalah pencarian itu sendiri, dan pertemuan adalah sesuatu yang tak (perlu) diceritakan? Namun saya salah: Ratna bertemu dengan Bhikku! Sampai di situ kita dibuat tersadar bahwa sekali lagi Lumbini bukan kisah pencarian, tapi cerita tentang ilham. Ilham, saya rasa, adalah sesuatu yang menarik untuk diceritakan, selain tentu saja pencarian. Cerita religiusitas, kalau boleh dipilah, selain punya sisi pencarian, seperti dalam “Zabalawi” dan Siddharta-nya Hermann Hesse, sisi lain yang tak boleh dilupakan adalah ilham atau ditemukan.
Lebih dari itu, pencarian apa pun, yang “menemukan” atau tidak, pada dasarnya ilham juga. Bukankah ada kekuatan yang mengajak kita untuk melakukan pencarian? Karena itu, seperti dalam “Zabalawi”, juga kalau kita baca dalam Siddharta, yang penting dalam pencarian bukan pertemuan, melainkan bertambah kuatnya ajakan untuk terus mencari, kekuatan yang bukan berasal dari diri, tapi pemberian dari kekuatan di luar kita. Dan itu yang terjadi di akhir cerita “Zabalawi”: sang tokoh tidak menemukan Zabalawi, tapi ditemukan dengan ilham.
Betul sebuah ungkapan: barangsiapa mencari tidak akan menemukan, melainkan ditemukan.[]

Perpustakaan di Kota Pelajar


BILA HENDAK membaca buku lengkap dengan kondisi nyaman, ke mana itu didapatkan? Jawabannya: perpustakaan. Namun, kenyataannya sulit ditemukan sebuah perpustakaan dengan koleksi lengkap, up to date, suasananya nyaman, tenang, mampu menerbitkan inspirasi untuk terus menggali pengetahuan sebanyaknya—bahkan di kota dengan predikat “Kota Pelajar” sekalipun.

Hal itulah yang terpikirkan oleh penulis ketika membaca sebuah surat pembaca di harian Kompas beberapa waktu lalu. Surat pembaca tersebut menggugat ketiadaan perpustakaan yang lengkap menyajikan koleksi tentang Yogyakarta.

Sebagai seorang yang punya kedekatan dengan dunia perbukuan, penulis kerap mengunjungi beberapa perpustakaan yang ada di Yogyakarta. Perpustakaan-perpustakaan itu punya ciri dan karakteristik masing-masing. Perpustakaan Hatta di Jalan Adisucipto, misalnya, mempunyai koleksi buku-buku lama yang lumayan bagus. Sayang, buku-buku berharga tersebut kurang terawat, sama halnya dengan gedung perpustakaannya yang bocor di sana-sini.

Di Yogyakarta ada dua perpustakaan milik pemerintah, yaitu Perpustakaan Daerah di Jalan Malioboro dan Perpustakaan Daearah di Jalan Tentara Rakyat Mataram. Perpustakaan di Jalan Malioboro banyak menyimpan koleksi buku sastra, sementara yang di daerah Badran lebih komplek, termasuk skripsi para mahasiswa perguruan tinggi di Yogyakarta. Di kedua perpustakaan ini buku baru sulit ditemukan.

Lain halnya dengan Perpustakaan Stuppa Data Indonesia di Ringroad Utara. Perpustakaan ini banyak menyimpan koleksi pustaka pariwisata Indonesia. Sementara Perpustakaan Kolese St. Igantius (Kolsani) di Jalan Abubakar Ali banyak menyimpan koleksi buku filsafat dan agama. Suasana di perpustakaan terakhir ini nyaman dan tenang, bukunya juga terawat baik, berbeda dengan kebanyakan perpustakaan yang lain.

Perpustakaan besar lain tentu adalah perpustakaan milik perguruan tinggi di Yogyakarta. Perpustakaan UGM punya dua gedung besar dengan koleksi buku puluhan ribu. Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga pengunjungnya amat ramai. Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta juga dibuka pada hari Minggu. Atau Perpustakaan Univ. Sanata Dharma dengan koleksi lengkap karya Zoetmulder.

Agaknya, ada perpustakaan yang perlu disebut tersendiri. Di Jalan Suroto dulu terdapat Perpustakaan DuniaTera. Perpustakaan mungil tempat bertemu para pegiat penulisan ini sungguh unik dan mampu memberi inspirasi tersendiri bagi pengunjungnya. Sayang, perpustakaan milik sebuah penerbitan itu kini telah tiada. Di bilangan Kauman ada Perpustakaan Mabulir (Majalah dan Buku Bergilir) milik Mbah Dauzan Farook. Hampir setiap hari Mbah Dauzan yang sudah berumur 70-an tahun itu berkeliling menggunakan sepeda menggilirkan bukunya untuk dipinjam.

Dari beberapa perpustakaan di atas, dan juga perpustakaan lain yang tidak cukup disebutkan di sini, bisa dikata tak ada yang memenuhi impian kita tentang sebuah perpustakaan: lengkap, up to date, tenang, nyaman…. Selain itu, kebanyakan perpustakaan tersebut tertutup dan terbatas hanya untuk kalangan tertentu.

Penulis mengangankan, seandainya Yogyakarta punya perpustakaan seperti itu, nyaman bagi siapa pun dan terbuka untuk umum. “Terbuka untuk umum” dirasa perlu sebab Yogyakarta merupakan Kota Wisata. Bolehlah sesekali para wisatawan yang capai berkeliling Yogyakarta melepas lelah sambil membaca buku di perpustakaan. Apalagi bila perpustakaan itu punya koleksi lengkap tentang Yogyakarta. Penulis yakin, setiap orang yang datang dan menikmati wisata di Yogyakarta, pasti ingin juga menikmati Yogyakarta dalam literatur. Kenyataan lain adalah banyak orang yang datang ke Yogyakarta untuk “berwisata pikir” mencari atau membaca buku. Namun hal itu sering terhalang oleh sebuah peraturan: perpustakaan hanya untuk kalangan tertentu yang terdaftar sebagai anggota.

Perpustakaan lengkap dan bagus di Kota Pelajar adalah sebuah keniscayaan. Perpustakaan itu akan menjadi landmark dan mengukuhkan predikat Yogyakarta sebagai Kota Pelajar. Contoh di kota lain bisa kita tengok. Sejarah hingga kini mengenang Perpustakaan Baitul Hikmah di masa Abbasiyah yang dibangun oleh Khalifah Al-Makmun, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Kota Baghdad sebagai kota pengetahuan. Demikian pula, perpustakaan Leiden, Belanda, yang menyimpan koleksi lengkap tentang Indonesia, menjadi rujukan bagi siapa pun yang ingin belajar sejarah Indonesia.

Diam-diam, disengaja atau tidak, predikat Yogyakarta sebagai Kota Pelajar mulai mengabur. Maraknya pendirian mal beberapa tahun terakhir mengubah watak Yogyakarta dari terpelajar menjadi konsumeris. Mahasiswa atau pelajar lebih suka menenteng handphone ketimbang buku. Semakin sedikit mahasiswa yang melirik Yogyakarta sebagai tempat kuliah, menjadi bukti makin terkikisnya predikat itu.

Perpustakaan memang tak otomatis mengembalikan predikat tersebut. Setidaknya, ia akan menggairahkan masyarakat untuk kembali bertekun membaca dan belajar. Adakah tempat yang nyaman bagi berkecambahnya pengetahuan selain perpustakaan?

Selain itu, adanya perpustakaan yang representatif di Yogyakarta tak akan menghilangkan atau mengurangi pengunjung perpustakaan-perpustakaan yang telah ada. Semuanya punya peminat dan pengunjungnya masing-masing. Mabulir tak akan lenyap. Kolsani tetap punya pengunjung. Mbah Dauzan, dan masyarakat Yogyakarta umumnya, akan sangat bergembira bila perpustakaan impian itu ada.

Sebagai penutup, sewaktu hendak ke luar kota beberapa waktu lalu, di Stasiun Tugu penulis melihat tulisan “Perpustakaan” di dekat ruang tunggu. Di bawah tulisan itu, ada puluhan buku dikelola tiga orang mahasiswa IST Akprind Yogyakarta untuk dipinjamkan bagi para calon penumpang yang tengah menunggu kereta tiba. Program perpustakaan di stasiun itu dibiayai oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas RI. Sayang, pogram kreativitas mahasiswa (PKM) itu hanya akan berlangsung tiga bulan. Namun demikian, Pemprov atau Pemkot mestinya bisa belajar dari mahasiswa-mahasiswa tersebut tentang betapa pentingnya sebuah perpustakaan bagi Kota Pelajar.
Bagaimana, Pak Gubernur atau Pak Wali?[]


Pameran Mayat

DI KOTA itu, tepatnya di negara itu, akan diadakan pameran mayat. Ya, pameran mayat. Tidak tanggung-tanggung. Tingkat dunia, malah.
Kau tentu tak percaya, bukan? Ya, begitulah. Dulu aku juga merasa tak mungkin meyakini itu. Tapi ketika keyakinan itu berusaha kualihkan pada kemustahilan, ia justru menghampiri seraya membentur-benturkan kepalaku, memeras-meras otakku, membelalakkan kedua mataku dan menunjukkan wujudnya: bahwa itu benar-benar ada. Bukankah demikian juga yang terjadi padamu? Tidak saja hanya padamu atau padaku, tetapi juga pada orang-orang seluruh dunia, kan?
Lihatlah! Persiapan maha besar sungguh-sungguh telah dimulai. Pesawat udara, kapal besar, truk, pick up, tank berduyun-duyun menuju areal pameran. Mereka mengangkut bahan-bahan dan peralatan: pistol, kareben, ranjau, granat, meriam, rudal, tomahawk. Mayat-mayatnya? Entahlah. Tak satu pun mereka membawa mayat-mayat. Barangkali orang-orang yang berada di atas truk-truk itu (berbaju loreng-loreng, berwajah garang, dengan topi baja di kepalanya) yang akan dipersiapkan menjadi mayat. Tetapi kalau mereka rasanya tak akan menarik. Masak pameran mayat tingkat dunia hanya menampilkan keseragaman mayat (baju, wajah, ciri fisik yang sama). Tak ada variasi. Tak akan menarik, pasti.
Tak kurang sebelumnya, areal yang tentu juga maha luas sibuk dicari. Maha luas? Seluas lapangan bola, dua kalinya, tiga kalinya, empat kalinya, atau bahkan sampai sepuluh kalinya? Ah, kau ini. Bukankah tadi sudah kubilang kalau arealnya seluas sebuah negara. Dan biasanya, daerah padang pasirlah (dengan gurun-gurunnya yang tentu luas) yang paling tepat untuk areal event semacam itu.
Lalu televisi-televisi, internet, radio, koran, majalah, sampai yang cuma selebaran-selebaran tempelan di pinggir jalan, pojok kampus, sampai yang bertuliskan "silakan ambil, gratis" di masjid-masjid, kantor LSM, atau cuma sekretariat sekadarnya sebuah lembaga, menyiarkan persiapan akbar itu. Sebuah event akbar tentu juga harus melibatkan banyak orang, banyak kalangan, banyak bangsa, banyak negara, untuk mensukseskannya. Mensukseskannya? Bagaimana ukuran sukses sebuah pameran mayat? Banyak pengunjung, areal yang luas, banyak biaya, atau banyak mayat-mayat yang dipamerkan yang—kita bayangkan saja—digantung, dibiarkan telentang, membusuk, berulat? Ah, aku tak tahu banyak. Menyaksikannya saja aku belum pernah. Kita tunggu saja. Kita tunggu? Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Ngeri. Kalau itu benar-benar terjadi….

"Itu bukan pameran mayat!" Suaramu sedikit membuyarkan kengerianku. "Tak mungkin. Siapa sih yang tega memamerkan mayat-mayat? Itu tak berperikemanusiaan."
Huh, kamu masih berkata tentang perikemanusiaan. Adakah perikemanusiaan itu? Perikemanusiaan menurut siapa? Asal saja bicara. Bukankah pameran mayat itu untuk perikemanusiaan? Supaya dengan itu orang-orang menyadari kemanusiaan (setelah datang kematian. Kematian adalah mayat-mayat). Ya, kemanusiaan. Bahwa dengan begitu orang tidak berani berkata, ngejek, menyindir, protes, apalagi menentang dan melawan. Kalau tidak ada protes, penentangan, semua akan aman. Tak ada perlawanan. Lalu terbitlah di situ perdamaian. Untuk perdamaian itulah pameran itu ada. Dibuatlah berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu, dan berjuta-juta mayat. Paham? Semuanya untuk kemanusiaan. Jangan tanya itu lagi. Kalau sudah untuk kemanusiaan, apapun itu, boleh, sah, legitimate.
"Meski banyak orang menolak!?"
Ya. Kamu pikir ukuran banyak orang itu letak kemanusiaan, ha? Tidak. Justru yang sedikit itulah yang menyuarakan kemanusiaan.
Kamu manggut-manggut (kalau begitu kamu kelihatan tambah cantik, swear!). Sudah paham, kan? Makanya dari pada susah-susah tanya boleh-tidaknya pameran mayat, sah atau tidak, justified or unjustified, sia-sia. Tak ada gunanya (kamu makin mengerti). Buang-buang energi. Lebih baik bayangkan saja pameran mayat itu, sambil menunggu persiapan panitia usai. Siapa tahu kita dapat rezeki berlebih dan bisa menyaksikan dengan kepala sendiri event yang belum tentu seumur hidup sekali itu, bukan lewat koran, majalah, televisi, tabloid, selebaran-selebaran yang (biasanya selalu membesar-besarkan berita) bertuliskan "gratis, silakan ambil".
* * *
MESKI TAK secepat yang panitia rencanakan, persiapan pameran mayat itu tidak selambat atau se-lama yang diperkirakan banyak orang. Tidak sampai sebulan, persiapan itu rampung. Panggung besar telah berdiri. Dibangun dari tulang-tulang berjuta-juta manusia (yang dicor dengan darah segar!), daging-daging yang membusuk, bekas reruntuhan bangunan yang ada sebelumnya (sekolah, rumah-rumah, tempat ibadah, kampus, rumah sakit, stasiun, terminal, bioskop, hotel, penjara, dll.), bangkai-bangkai tank dan meriam, kareben, truk, sampai peluru kendali yang tak jadi meledak (namun tetap saja membunuh, karena tepat jatuh mengenai seseorang, dan saking besarnya).
Asap hitam menggantung di langit areal itu, sesampainya aku di sana (kamu tak mau turut maski telah susah payah aku meminta. Tak tega, katamu. Ah, itu pasti sekadar alasan saja. Buktinya kamu masih terus memantau mayat-mayat itu lewat berbagai media. Bahkan kamu juga meminta aku berjanji membawakan foto-foto mayat-mayat yang dipamerkan, kalau-kalau aku pulang. Kalau-kalau, katamu. Ah….).
Beruntung aku dapat dengan mudah masuk kawasan itu. Di depan penjagaan aku cuma disuruh memperlihatkan barang-barang bawaan dan kartu pengenal. Lalu kutunjukkan sebuah kamera (yang kupinjam padamu), buku kecil, dan identitas KTP. Ah, KTP tak berguna di sebuah negara yang bukan negaraku, dan mestinya aku harus memperlihatkan sebuah paspor. Tapi peduli amat. Paspor pun tak ditanya (bagaimana mereka mau bertanya paspor, sedang mereka panitia sendiri masuk tanpa izin apalagi paspor!).
Aku segera melangkah masuk ke sebuah rumah. Atap gedung berlobang besar. Terkena sasaran bom barangkali (mereka bilang tak pernah dengan sengaja membom rumah sipil). Tepat di bawahnya, sebuah lantai yang terbongkah besar. Gila, di bongkahan itu tampak ruangan. Lima mayat di sana. Dua mayat hancur mukanya. Dari rambutnya tampak keduanya perempuan. Tiga lainnya tengkurap dengan punggung tertimpa beton yang pecah. Darah yang terciprat akibat jatuhan tampak mengering. Bau anyir merebak. Tak tahan, aku segera memotret dan keluar.
Di jalan yang lengang dengan reruntuhan bangunan di sepanjangnya, sebuah mobil tampak parkir di pinggir. Bukan parkir, mobil itu hancur. Atapnya ringsek. Kulihat ke dalam. Di belakang sopir seorang berhidung besar khas Arab terkulai. Di jok lain empat mayat tak kalah mengenaskan. Hmm, sebuah keluarga.
Kuambil gambar itu dari jarak sepuluh meteran, biar latar belakang jalan yang tak keruan dan gedung-gedung yang hancur juga tampak. Mendadak, seorang anak lelaki sepuluhan tahun menghampiri. Tubuhnya kurus. Rambut keriting. "Hasyim," ia mengulurkan tangan untukku.
Aku pun menyambut tangannya dan menyebutkan namaku (namaku adalah Suhodo). "Siapa, Syuhada?" Aku mengangguk. Bolehlah namaku disebut seperti itu lantaran lidah arabnya yang tak mungkin diganti dengan lidah jawaku.
"Aku punya yang lebih dahsyat dari ini," katanya kemudian. Ia lalu berlari menuju ke arah barat. Jalan si situ lebih sempit. Entah berapa mayat yang dilangkahinya. Aku mengikuti dengan langkah terengah-engah. Di sebuah perempatan ia membelok ke kanan. Aku mengikuti. "Ayo cepat!" Ia berteriak sambil melambaikan tangannya ke arahku yang terpaut cukup jauh dengannya.
Tepat di depan sebuah pasar tradisional ia berhenti. "Mari masuk," ajaknya setiba aku di sampingnya. Di dalam pasar banyak orang berkerumun. Sambil menarik tanganku ia menyibak kerumunan itu. Ternyata yang dikerumuni orang-orang adalah mayat-mayat. Tigapuluhan mungkin ada. Beberapa orang berbaju loreng-loreng dengan topi baja mereka yang khas menyeret-nyeret mayat-mayat yang berserakan tadi. Lalu mereka menumpuknya di dekat sebuah bak truk besar.
"Sini, biar kupotret," bocah yang mengajakku meminta kameraku. Lalu ia bersiap-siap ambil jarak. Meminta pada beberapa orang untuk tidak menghalangi pengambilan gambar mayat-mayat. Ia siap memetik, sebelum kemudian salah seorang yang menumpuk-numpuk mayat berhenti dari pekerjaannya. Memandangnya. Aku tersirap. Pelan ia menghampiri bocah itu. Aku berusaha mendahului. Tapi terlambat. Ia lebih dulu sampai. Kamera itu diambilnya. "Punyamu?" tanyanya. Hasyim diam. Ia cuma mengalihkan pandangan ke arahku. Berbaju loreng tersenyum.
Ia buka slide film-nya. Memeriksanya sebentar sebelum akhirnya ia banting keras slide itu berikut kameranya ke tanah (kalau kamu melihat itu pasti kamu marah. Potret-potret itu pesananmu).
Dua orang berbaju loreng lainnya yang semula cuma diam menyaksikan temannya mendekatiku. Seorang menodongkan kareben ke arahku. Seorang lagi menarik kedua tanganku ke belakang dan memborgolnya. Ah, entah seperti apa perasaanku: melayang, terbang, seperti tak menginjak tanah. Keringat dingin mengalir dari tengkukku.
Yang menodongkan senjata berusaha tersenyum, "Kamu ingin jadi mayat?" katanya. Sadis (saat itu aku teringat padamu yang walaupun ragu tetapi tetap mengharapkan kepulanganku. Lalu aku teringat juga dengan kesepakatan kita (beserta kedua orangtua kita) untuk menikah tiga bulan lagi. Terlalu mendadak sebenarnya. Tapi itulah jalan keluar yang paling kita sepakati untuk menyelamatkan muka banyak orang (terlebih muka kita sendiri) mengingat usia kandunganmu yang sudah tiga bulan ini!).***
La chute Iraq, Maret 2004

===================

Maret lalu adalah tepat 5 tahun invasi Amerika Serikat dan tentara koalisi ke Irak. Cerpen ini saya tulis setahun setelah invasi itu. Saya ingat, saya menulisnya di sudut lantai 2 Perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga. Tulisan tangan, bukan langsung di komputer. Baru saya alihkan ke komputer beberapa bulan kemudian, saat BPPM Balairung UGM mengadakan lomba cerpen bertema kekerasan tingkat mahasiswa se-Jawa-Bali. Saya mengumpulkannya pada malam terakhir. Waktu itu saya ketemu Indi Aunullah (hai dimana sekarang?) di Balairung. Indi adalah kakak tingkatku di IAIN yang juga kuliah di Filsafat UGM. Akhir 2004 diumumkan cerpen ini terpilih menjadi pemenang. Bersama sembilan cerpen lainnya, cerpen ini diterbitkan dengan judul Risalah Kekerasan (Yogyakarta: BPPM Balairung UGM, 2004).