Kontestasi Kemelayuan: Islam, Adat, dan Pencarian Identitas Melayu Jambi


Lembaga Adat Melayu Jambi. Sebelum terbit Perda 5/2007 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi, lembaga ini bernama Lembaga Adat Propinsi Jambi [sumber foto


Artikel ini membahas adat dan kemelayuan dalam dinamika masyarakat Jambi. Dua “event” yang menjadi fokusnya adalah awal kedatangan Islam di Jambi dan pasca-Reformasi. Keduanya diambil karena di dalam dua kesempatan itulah masyarakat Jambi memikirkan adat mereka. Yang pertama ketika masyarakat Jambi yang telah memeluk Islam melakukan proses teliti atau penyaringan adat berdasarkan agama yang baru mereka peluk. Sementara yang kedua ketika terjadi gelombang kebangkitan adat setelah sebelumnya ekspresi lokal tidak mendapatkan ruang selama Orde Baru. Dalam dua kesempatan itu, Islam merupakan faktor yang sangat menentukan.

Bagi masyarakat Melayu Jambi, adat mereka adalah Islam. Islam dan adat adalah dua hal yang tidak terpisah. Sebuah seloko yang sering diulang-ulang adalah “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato adat memakai”. Seloko ini berarti bahwa adat atau kebiasaan masyarakat Melayu Jambi didasarkan pada syariat yang berasal dari kitab suci; apa yang dititahkan syariat, akan dipakai oleh adat. Dengan kata lain, adat masyarakat Melayu Jambi adalah Islam. Memang benar bahwa dalam sejarahnya semula masyarakat Melayu Jambi bukan memeluk Islam. Namun, ketika Islam telah datang ke daerah ini, dia dipeluk secara kuat oleh orang Melayu Jambi. Hal-hal yang sebelumnya dipraktikkan dalam hidup mereka kemudian mereka saring melalui proses teliti untuk menghasilkan rumusan adat yang selaras atau sesuai dengan Islam.

Kuatnya Islam dipegang oleh masyarakat Melayu Jambi membawa implikasi antara lain penolakan masyarakat Jambi terhadap hal-hal yang mereka anggap bukan Islam. Masyarakat Jambi misalnya memotong sejarahnya dan mengambil kedatangan Islam sebagai tonggak bermula. Saya kira, islamisasi di mana pun tidak pernah berjalan sangat mulus. Kalaupun bukan gelombang, riak-riak kecil mewarnai prosesnya. Di dalam masyarakat Melayu Jambi, cerita tentang riak itu tidak pernah (di)muncul(kan) karena merupakan bagian dari masa lalu yang bukan Islam, yang justru ingin mereka hilangkan.

Padahal, seperti dalam kasus krinok, kentara sekali ada perbenturan antara nilai lama yang terkandung dalam tradisi krinok dan nilai Islam yang datang. Krinok adalah kesenian yang dipercaya berasal dari masa pra-Islam. Kesenian ini merupakan tradisi meratap ketika seseorang ditimpa musibah seperti kematian pasangan hidup atau kehilangan kekasih hati. Orang yang ditimpa musibah biasanya meratap di sawah-sawah atau pinggir hutan. Masyarakat Jambi memercayai bahwa ratapan itu akan semakin hebat dan menghiba bila pelantunnya sudah di luar kesadaran atau telah kemasukan binun (sejenis jin atau makhluk halus).

Dalam beberapa hal, menarik membandingkan antara krinok dan puisi Arab pra-Islam (jahiliya) yang juga memiliki genre ratapan (ratsà). Di dalam sejarah sastra Arab pra-Islam disebutkan bahwa puisi Arab yang baik diyakini bukan berasal dari sang penyair, melainkan dari jin; penyair dirasuki jin, yang disebut majnùn. Untuk memeroleh inspirasi agar puisi yang dihasilkan bagus atau agar dirasuki jin, penyair Arab pergi ke goa atau naik ke atas bukit, mirip dengan krinok yang pelantunnya pergi ke sawah atau pinggir hutan pada tengah malam. Baik puisi Arab maupun krinok juga punya nasib yang kurang-lebih sama ketika Islam datang, yakni sulit berkembang karena dipandang negatif. Bagi masyarakat Melayu Jambi pasca-Islam, meratap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga krinok tidak boleh ada dalam masyarakat Melayu yang sudah memeluk Islam. Lagi pula, seseorang yang berduka tak selayaknya meminta bantuan jin atau makhluk halus untuk menenangkan diri, melainkan semestinya kembali kepada agama. Inilah penjelasan kenapa dalam waktu yang sangat lama krinok tidak terdengar. Ketika kemudian di beberapa tempat para seniman berusaha mengalihkan tradisi ini menjadi semacam nyanyian, penolakan datang dari kalangan agamawan.

Kasus krinok menunjukkan bahwa nilai lama sulit dan tidak bisa berkembang karena dianggap tidak sesuai dengan nilai baru. Bahkan dalam kasus incung, aksara ini sekarang hilang dan tidak ada seorang Melayu pun yang dapat menulis-bacanya. “Totalitas” identitas Islam diterima masyarakat Melayu Jambi, membuatnya tidak ramah terhadap keragaman atau perbedaan. Setiap yang berbeda atau tidak sama dan sesuai dengan Islam tidak diakui dan berusaha dihilangkan. Inilah teliti atau proses penyaringan nilai lama berdasarkan nilai-nilai Islam. Teliti menjadi semacam alat untuk menyaring tidak hanya tradisi, tetapi juga sejarah, agar sesuai dengan Islam. Apa yang sejalan dengan syariat dipakai dan diteruskan, yang bertentangan ditolak dan ditinggalkan. Hasil saringan itulah yang kemudian disebut adat, yang layak dipedomani masyarakat Melayu Jambi. Tetapi apakah semua masyarakat Melayu sepakat bahwa yang telah disaring itu benar-benar sesuai dengan pemahaman mereka tentang Islam?

Selepas Reformasi bergulir, terjadi kebangkitan adat di banyak tempat di Indonesia. Jambi juga tidak lepas dari fenomena itu. Kesultanan Jambi yang sudah lama jatuh sekarang dihidupkan lagi, muncul organisasi-organisasi yang secara eksklusif menamakan diri Melayu, termasuk lembaga adat yang semula bernama Lembaga Adat Propinsi Jambi berubah menjadi Lembaga Adat Melayu Jambi, perubahan desa menjadi rio, dan muncul peraturan daerah yang mengatur kebudayaan Melayu secara khusus. Seorang pegiat kebudayaan di Jambi mengatakan bahwa terjadi “orientasi Melayu” dalam banyak peraturan daerah yang diterbitkan. Padahal, masyarakat Jambi sekarang tidak hanya terdiri atas etnis Melayu, tetapi multietnis. Kebangkitan adat ini tentu saja mengabaikan keragaman etnis yang ada di Jambi. Beberapa kabupaten yang didominasi oleh etnis lain, seperti Kerinci serta Tanjung Jabung Barat dan Timur, seolah keluar dari aturan yang ada.

David Henley dan Jamie Davidson (2010: 5-7) menyebutkan bahwa kebangkitan gerakan masyarakat adat sering dimaksudkan sebagai “upaya mempertahankan keberagaman budaya”. Dalam konteks Indonesia, tentu saja ini karena selama lebih dari 30 tahun keragaman budaya tidak mendapat tempat dan terjadi penyeragaman dalam pengelolaan negara. Kalau sebelumnya desa di berbagai daerah di Indonesia disebut dengan banyak nama, yang struktur adat juga ada dalam penamaan itu, setelah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kelembagaan tradisional yang berfungsi dalam pengurusan daerah itu menjadi rusak. Ketika keran desentralisasi dibuka pasca-Reformasi, yang beragam itu berusaha dimunculkan kembali. Sayangnya, terutama dalam konteks Jambi, apa yang disebut “upaya mempertahankan keberagaman budaya” itu juga jatuh pada penyeragaman dan mengabaikan pluralitas yang ada di tingkat lokal.

Setelah Reformasi pula, muncul kelompok-kelompok agama yang oleh beberapa sarjana dikatakan sebagai gerakan transnasional. Di Jambi perkembangan gerakan ini cukup massif terutama di kampus umum seperti Universitas Jambi. Di tingkat masyarakat, gerakan ini berkembang juga disumbang oleh karakter masyarakat Melayu Jambi yang agamis, yang dalam beberapa tahun belakangan lembaga pendidikan keagamaannya banyak tutup karena kebijakan pemerintah. Tawaran lembaga pendidikan gerakan baru ini kemudian banyak disambut oleh masyarakat yang butuh baik pendidikan umum maupun pendidikan agama. Kehadiran gerakan ini belakangan menimbulkan gesekan-gesekan dengan kalangan adat. Kalau masyarakat Melayu Jambi mengklaim adatnya adalah Islam, bagi kelompok ini keislaman mereka dianggap tidak Islam yang sebenarnya. Karena Islam adat bukan yang semestinya, gerakan ini menolak praktik-praktik adat yang ditampilkan masyarakat Melayu Jambi, seperti dalam perkawinan. Mereka lalu menampilkan Islam secara berbeda, dengan jilbab panjang, berbicara dengan beberapa istilah dalam bahasa Arab, cenderung tertutup, dan hanya peduli dengan sesama mereka. Tampilan eksklusif Islam inilah yang mereka klaim sebagai Islam yang benar sebagaimana yang dipraktikkan Nabi di masa lalu.

Sampai di sini kita melihat bahwa dalam konteks masyarakat Jambi, Melayu—dan dengan demikian Islam—telah ditafsirkan dan maknanya ditarik ke sana-kemari. Bagi kalangan adat, Melayu adalah Islam, tapi keislaman Melayu oleh sebuah gerakan transnasional dianggap bukanlah Islam yang sesungguhnya. Mereka kemudian membuat representasi Islam yang benar itu. Problemnya adalah baik oleh kalangan adat maupun penentangnya, Islam yang ditampilkan adalah yang tak ramah terhadap perbedaan dan ekspresi kebudayaan lain. Demikian pula, kebangkitan adat atau Melayu juga cenderung mengabaikan keberagaman.[]

_____________
Ini adalah ringkasan dari artikel 9.000 kata yang saya presentasikan dalam Konferensi Pengelolaan Keragaman pada November 2013. Konferensi ini merupakan pertemuan alumni Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) I yang dikelola Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM Yogyakarta. Versi lengkap keseluruhan artikel yang dipresentasikan sedang dalam proses cetak oleh CRCS UGM.


Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi sedang memasangkan keris ke pinggang Presiden SBY, yang menandai penganugerahan gelar adat kepada SBY [sumber foto]


Masjid dan Tradisi Penelitian


Masjid al-Istiqamah, Pasar Rebo, Beram Itam Kanan, Tanjung Jabung Barat. Masjid ini salah satu masjid tertua di Tanjung Jabung Barat [foto: M. Tarobin]


DI DALAM sejarah Islam, masjid mempunyai peran sangat penting. Selain menjadi tempat ibadah, masjid juga digunakan sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, serta aktivitas administrasi dan kultural.[1] Dalam bidang pendidikan, di Jawa dan di wilayah lain Indonesia masa lalu, pendidikan dasar tentang Islam diselenggarakan di masjid. Di sana anak-anak diajarkan tentang salat dan mengeja huruf-huruf Arab hingga membaca Alquran. Pada awalnya buku standar yang banyak dipakai adalah turutan. Isinya pengenalan huruf hija’iyah, gabungan huruf, baris, dan surat-surat pendek yang tergabung dalam juz ‘amma.[2] Belakangan, buku standar beralih ke iqra’, yang disusun oleh KH. As’ad Humam.

Pada jenjang lebih tinggi, di mana pendidikan Islam diberikan di pesantren,[3] peran masjid juga tetap penting. Masjid merupakan cikal bakal pesantren sehingga menjadi salah satu elemennya, di samping pondok, kitab kuning, santri, dan kyai.[4] Zamakhsyari Dhofier menyebutkan, “Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya.”[5]

Karena menjadi pusat banyak aktivitas, tidak bisa tidak di masjid terdapat kepengurusan agar aktivitas tersebut berjalan. Di Jawa pada masa kolonial, kepengurusan masjid dipegang oleh pangulu (pengulu) yang, karena pengaturan pemerintah lokal atau residen, menerima gaji atas tugas itu. Pada 1891, gubernur jenderal memerintahkan residen-residen menerbitkan regulasi tentang keuangan dan administrasi masjid.[6]

Di Jambi pada masa kesultanan,[7] tugas tersebut dilaksanakan oleh pegawai syara’ yang diangkat oleh sultan. Tiap desa terdapat tiga pegawai syara’, yang disebut “pegawai syara’ nan batigo” (pegawai syara' yang tiga), yaitu imam, khatib, dan bilal. Merekalah yang bertanggung jawab menyelenggarakan pengurusan masjid serta upacara keagamaan, perkawinan, dan kematian.[8]

Di masa sekarang, mengikuti manajemen modern, tampaknya pengelola masjid di Jawa maupun di luar Jawa sama saja, yakni pengurus inti yang biasanya terdiri atas tiga unsur, yaitu ketua yang bertanggung jawab atas semua kegiatan masjid, sekretaris yang memegang urusan kesekretariatan, dan bendahara yang mengurusi keuangan. Tidak seperti pada masa kolonial yang terikat oleh aturan pemerintah, di masa sekarang pengelolaan masjid bersifat independen dan otonom. Ini berbeda dari di Malaysia yang dikelola kerajaan melalui Majelis Ugama dan Isti’adat Melayu.[9]

Meskipun bersifat sentral dalam kebudayaan Islam, masjid jarang diteliti. Kalaupun ada, fokus utama bukan masjid, melainkan sekadar menyinggungnya ketika membahas topik besar seperti pendidikan Islam, misalnya yang dilakukan Azyumardi Azra di dalam Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Di dalam buku itu pun Azra sesungguhnya tidak membahas masjid, melainkan surau di Minangkabau. Tidak sekadar tempat ibadah yang sering dikatakan sebagai masjid kecil, surau di Minangkabau lebih tepat disebut lembaga pendidikan agama yang setara dengan pesantren di Jawa.[10]

Selain sekadar persinggungan seperti itu, tulisan tentang masjid lebih banyak pendek dalam bentuk artikel. Azyumardi Azra dan Yudi Latif, misalnya, menulis peran Masjid Salman ITB yang juga bergerak dalam bidang pendidikan melalui halaqah. Keduanya menyepakati bahwa Masjid Salman menjadi model dalam “pemakmuran” masjid yang kemudian banyak ditiru masjid kampus lain.[11]

Kegairahan pelajar dan mahasiswa dari kampus umum akan ilmu agama, yang mereka dapatkan salurannya di masjid kampus, memunculkan kecenderungan terjadinya semacam “eksklusifikasi” bahkan “radikalisasi” kelompok keagamaan yang disebut harakah (gerakan). Berbagai gerakan Islam “asing” seperti Ikhwanul Muslimin, Darul Arqam, Hizbut Tahrir, Tarbiyah, Salafiyah, dan Jamaah Tabligh masuk dan tumbuh.[12] Harakah-harakah yang awalnya digerakkan mahasiswa dan muncul dari masjid kampus itu kemudian banyak menjadi topik penelitian.[13] Namun, fokus penelitian sebenarnya adalah institusi harakah tersebut, dan masjid hanya side effect ketika membahas sejarah kemunculannya. Setelah fase kemunculan, yang terjadi seolah “perpisahan” gerakan tersebut dari masjid; masjid hanya tempat persemaian awal.

Dari semua gerakan itu, Jamaah Tabligh punya “keakraban” khusus dengan masjid, karena gerakan sufis tersebut mengajarkan anggotanya untuk khuruj (keluar dari daerah asal) dan hijrah (pindah atau menetap sementara) ke masjid-masjid.[14] Meski demikian, sekali lagi, penelitian tentangnya lebih memfokuskan pada institusi gerakan, bukan pada masjidnya, seperti yang dilakukan Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.[15]

Dari pembahasan di atas, terlihat seolah terjadi “marjinalisasi”[16] penelitian tentang masjid. Tampaknya itu dikarenakan fungsi utama masjid sebagai tempat ibadah; fungsi tersebut sering menutup fungsi lain yang lebih banyak sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini. Sementara itu, menurut Tord Olsson, sebagaimana dikutip André Möller, terjadi keengganan di kalangan ilmuwan untuk meneliti ibadah. Möller menulis:

Tord Olsson has argued that there has been an unfounded conviction among scholars of religion that religion is first and foremost about questions pertaining to faith and belief, and only secondarily to rituals. Olsson assigns this misperception to the intellectual and (conscious or unconscious) Protestant background of most western scholars who have studied religion, and to the fact that these same scholars have preferred to study texts that have been marked by a similar intellectualism and concern for the (correct) faith. As a result, the academic understanding of religion has come to be that entity with which scholars of religion deal, and this has predominantly been questions concerning faith and belief.”[17]

Memang, sebagaimana ditulis Möller, beberapa sarjana telah menulis tentang ibadah, seperti penelitian Buitelaar tentang puasa Ramadan di Maroko (1993), Bowen tentang salat di Indonesia (1989, 2000), Nelson tentang pembacaan Alquran di Mesir (2001), dan Möller tentang puasa Ramadan di Jawa (2005), serta sarjana Indonesia telah pula melakukannya,[18] namun, “Compared to studies of, for example, political Islam, there are far fewer studies of Islamic rituals which confirm the view that Islamic rituals are unworthy of serious study.”[19] Langsung atau tidak, kecenderungan tersebut berkontribusi pada penggambaran Islam sebagai sebuah potensi politik, mengenyahkan dimensi religius dan spiritualnya. Padahal, kata Möller, pada “periode” terorisme sekarang, yang sering secara keliru dikaitkan 
dengan Islam, dibutuhkan gambaran alternatif tentang Islam.[20]

Karena sedikitnya studi tentang ibadah, studi tentang tempat ibadah, yakni masjid, juga minim. Di luar kaitan dengan ibadah, penelitian tentang masjid biasanya memfokuskan pada arsitekturnya sebagai bagian dari arsitektur Islam, misalnya yang dilakukan oleh Aptullah Kuran di dalam The Mosque in Early Ottoman Architecture[21] dan Hasan Muarif Ambary di dalam beberapa artikelnya.[22] Di luar topik-topik tersebut, penelitian lain terkait masjid, masih sangat terbuka untuk dilakukan.[]

______________
[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, cet vi 1994), hlm. 49.

[2] Dalam konteks Jawa, lihat Muhammad Hisyam, Caught between Three Fires: The Javanese Pangulu under the Dutch Colonial Administration 1882-1942, (Jakarta: INIS, 2001), hlm. 38-39.

[3] Hisyam, Caught between Three Fires, hlm. 39.

[4] Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 44-60.

[5] Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 49.

[6] Hisyam, Caught between Three Fires, hlm. 62.

[7] Kesultanan Jambi terbentuk pada abad ke-16 berbarengan dengan Islamisasi dan berakhir dengan terbunuhnya Sultan Thaha oleh Belanda pada 1904. Lihat Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, terj. Noor Cholis, (Jakarta: KITLV dan Banan, 2008), hlm. 42-43. Lihat juga lampiran satu buku tersebut, “Silsilah Suku Kraton”.

[8] Azyumardi Azra, dkk., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), entri “Jambi, Kesultanan”, hlm. 269-273.

[9] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 118.

[10] Azra sendiri menyebut surau sebagai “pesantren dalam perspektif Minangkabau”. Azra, Pendidikan Islam, hlm. 123. Kalau masjid lebih difungsikan untuk kepentingan ibadat dalam pengertian sempit, yaitu salat, surau menjadi “asrama” anak muda, tempat belajar mengaji, penginapan musafir, bergambus, dll. Lihat hlm. 131. Tentang surau sebagai lembaga pendidikan Islam, baca juga ringkasan penelitian Silfia Hanani, dkk., “Surau Minangkabau: Mengembalikan Pendidikan Agama Islam Berbasis Lokal”, dalam Istiqro’ 3, 1 (2004), hlm. 171-186.

[11] Lihat Azra, “Masjid Kampus dan Pembinaan Intelektual Muslim”, dalam Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 64 dst.; dan Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 529 dst. Bandingkan dengan Muhammad Adlin Sila, “Salafy Movement as Politics Movement in Indonesia”, dalam Dialog 1 (2004), hlm. 44.

[12] Azra, “Masjid Kampus”, hlm. 68-69.

[13] Misalnya: Sila, “Salafy Movement”, hlm. 37-56.

[14] Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, “The History of Jama’ah Tabligh in Southeast Asia: The Role of Islamic Sufism in Islamic Revival”, dalam Al-Jami’ah 46, 2, (2008), hlm. 381.

[15] Bustamam-Ahmad, “The History of Jama’ah”. Tulisan ini sebenarnya bagian dari disertasinya di La Trobe University, Australia, yang berjudul “From Islamic Revivalism to Islamic Radicalism in Southeast Asia: A Study of Jama‘ah Tabligh in Malaysia and Indonesia”.

[16] Istilah ini dipinjam dari André Möller, Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting, (Swedia: Department of History and Anthropology of Religions, 2005), hlm. 22-24.

[17] Möller, “Islam and Traweh Prayers in Java: Unity, Diversity, and Cultural Smoothness”, dalam Indonesia and Malay World 33, 95 (2005), hlm. 37-38. Bandingkan dengan Möller, Ramadan in Java, hlm. 22-24.

[18] Misalnya Arif Zamhari, “The Majlis Dhikr of Indonesia: Exposition of Some Aspects of Ritual Practices”, dalam Journal of Indonesian Islam, 3, 1 (2009), hlm. 122-147; Syamsul Rijal, “Friday Prayer and an Indonesian Islamic Identity in Canberra, Australia”, dalam Journal of Indonesian Islam, 3, 1 (2009), hlm. 148-167.

[19] Möller, “Islam and Traweh Prayers in Java”, hlm. 38.

[20] Möller, “Islam and Traweh Prayers in Java”, hlm. 38.

[21] Aptullah Kuran, The Mosque in Early Ottoman Architecture, (Chicago dan London: University of Chicago Press, 1968).

[22] Lihat beberapa artikel dalam Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak-jejak Arkeologis Indonesia, (Jakarta: Logos, 1998.


Donor Darah Menyelamatkan Kehidupan


Donor darah dalam rangka menyambut Waisak, diadakan oleh Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) [sumber]

PERTAMA KALI saya mendonorkan darah saat kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebagai mahasiswa rantauan, saya mencoba aktif dalam berbagai kegiatan di Demangan, kampung tempat saya tinggal.

Ketika memperingati HUT Kemerdekaan RI pada 2001, di Demangan diadakan donor darah massal. Lebih karena ingin mencoba, saya berpartisipasi. Saat jarum akan dipasangkan di lengan saya, kecemasan segera menghinggapi. Saya pikir, rasanya pasti sakit. Apalagi darah yang diambil sekantung penuh, bisa-bisa memengaruhi fisik saya yang kurus.

Kenyataannya tidaklah seperti yang saya khawatirkan. Rasa sakitnya hanya sedikit dan tidak lama. Setelah selesai, semuanya baik-baik saja. Bahkan, beberapa hari kemudian, saya merasakan tubuh saya menjadi lebih nyaman dan sehat.

Karena pengalaman pertama itu, saya menjadi tidak takut lagi ikut donor darah. Sampai sekarang, sekitar 30 kali saya melakukannya. Bila ada yang membutuhkan dan saya sedang bisa diambil darahnya, saya pasti bersedia.

Pengalaman yang tak terlupakan adalah ketika mendonorkan darah untuk Prof. Ahmad Mukti Ali. Beliau merupakan mantan Menteri Agama dan perintis studi perbandingan agama di Indonesia. Salah satu gagasannya adalah bahwa terhadap orang lain yang tak seagama dengan kita, kita mesti “setuju dalam perbedaan”. Dengan begitu, kerukunan antaragama menjadi mungkin diwujudkan.

Saat saya kuliah, Mukti Ali sudah pensiun. Meskipun begitu, nama besarnya masih disegani. Di antara warisannya di UIN Sunan Kalijaga adalah forum diskusi al-Jami’ah. Forum ini terbukti menghasilkan orang-orang hebat seperti M. Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, dan Djohan Effendi. Saya menjadi penggemar forum ini dan selalu menyempatkan diri hadir.

Di akhir sebuah diskusi pada April 2004, diumumkan bahwa Mukti Ali sedang sakit dan membutuhkan darah AB. Siapa yang memiliki darah tersebut, diharapkan menjadi pendonor. Tanpa pikir panjang, saya menyatakan siap. Suatu malam, ditemani salah seorang putranya, darah saya diambil untuk sang profesor.

Sekira dua minggu setelah itu, Mukti Ali meninggal. Komplikasi penyakit merenggutnya. Saya turut menyalatkan dan hadir dalam pemakamannya.

“Perjumpaan” dengan Mukti Ali itu amat membekas di hati saya. Kadang-kadang ada yang bertanya kepada saya, apakah saya juga mau mendonorkan darah untuk orang yang tak seagama dengan saya? Bagaimana hukum menerima darah dari non-Muslim?

Terhadap pertanyaan pertama, saya pasti menjawab bersedia. Saya biasanya juga menambahkan bahwa donor darah melampaui sekat-sekat suku, ras, bangsa, termasuk agama. Di dalam Islam, salah satu tujuan syariat adalah menjaga jiwa atau kehidupan (hifz al-nafs). Bagi saya, donor darah sesuai dengan tujuan itu. Jadi, kalau ada yang membutuhkan, kita wajib memberikan. Alasannya, kalau kita tidak mendonorkan, nyawanya terancam. Di sini, donor darah adalah hal yang sangat urgen. Fiqh menyebutnya sebagai dharury (emergency).

Jelas sekali jawaban saya dipengaruhi oleh pandangan Mukti Ali.

Suatu kali, saya berkunjung ke Vihara Sakyakirti di Jambi. Sewaktu pamit pulang, saya diminta menuliskan golongan darah dan nomor telepon oleh Ayau, pengurus vihara. Rupanya vihara itu punya klub pendonor. Kalau ada yang butuh, pengurus akan menelpon. Anggotanya ratusan.

Setelah dua tahun bergabung—dan selama kurun itu donor darah yang saya lakukan nyaris keseluruhan lewat Sakyakirti, biasanya pengurus menelepon untuk mengabarkan ada yang membutuhkan darah AB dan apakah saya siap donor—saya jadi tahu ternyata yang datang mencari darah ke klub itu bukan hanya umat Buddha, tetapi juga penganut agama lainnya, termasuk penganut Islam, Kristen, dan Konghucu. Tanpa memandang agama mereka, klub dengan sukarela mencarikan pendonor.

Tanpa semangat menyelamatkan kehidupan, klub semacam itu barangkali tidak pernah ada.[]

Perjumpaan Feminisme dan Ekonomi Politik Komunikasi




Ellen Riordan, “Feminist Theory and the Political Economy of Communication”, Andrew Calabrese & Colin Sparks, Toward a Political Economy of Culture: Capitalism and Communication in the Twenty-First Century, (Lanham-Boulder-New York-Oxford: Rowman & Littlefield Publishers Inc., 2003): 342-355.


ADA BANYAK definisi feminisme. Wikipedia mengartikannya sebagai “gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.” Tuntutan itu dilakukan karena terjadi ketidakadilan dan praktik yang merendahkan perempuan di hadapan lelaki. Tak hanya sebagai gerakan, pada 1970-an feminisme juga menjadi “disiplin ilmu” yang melahirkan banyak pusat studi wanita (PSW) di berbagai universitas, termasuk di Indonesia. Sebagai sebuah kajian, atau setidaknya metode, feminisme banyak meminjam teori-teori sosial seperti Marxisme, strukturalisme, dan lain-lain. Termasuk nanti feminisme berjumpa dengan teori ekonomi politik dan komunikasi sebagaimana dibahas dalam artikel Ellen Riordan, “Feminist Theory and the Political Economy of Communication” (2003).

Di dalam bukunya yang terkenal, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (1998), Rosemarie Tong menunjukkan bahwa setidaknya terdapat tiga gelombang dalam sejarah feminisme. Tuntutan terhadap emansipasi telah muncul sejak gelombang pertama feminisme. Hanya saja saat itu persamaan yang diinginkan adalah hak dan kesempatan di area publik seperti bekerja dan memeroleh pendidikan, belum melihat apa atau siapa yang menyebabkan ketidakadilan itu. Persoalan terakhir inilah yang diverbalkan oleh feminisme gelombang kedua. Lahir pada 1960-an, feminisme gelombang kedua mulai mempertimbangkan struktur tersembunyi yang membentuk patriarki dan kemudian mendorong lahirnya struktur alternatif yang setara. Teori-teori tentang kekuasaan, terutama yang datang dari Prancis, banyak digunakan di sini.

Ketika persoalan perempuan mulai dianggap “selesai”, para feminis menyadari bahwa jangan-jangan ada kesalahan dalam melihat diri: siapa yang disebut perempuan? Ketidaksetaraan rupanya tidak hanya datang dari laki-laki, tetapi bisa juga dari perempuan itu sendiri. Feminis gelombang ketiga yang fokus pada persoalan ini kemudian membuat dua pembedaan penting: woman dan women.

Dilihat dari sejarahnya tersebut, perjumpaan feminisme dengan analisis ekonomi-politik sesungguhnya telah lahir sejak gelombang kedua, yakni oleh aliran-aliran feminisme Marxis, neo-Marxis, dan sosialis. Menurut Ellen Riordan, ketiga aliran itu melihat adanya hubungan antara patriarki dan kapitalisme. Dalam menjelaskan hubungan itu, Riordan mengawali artikelnya dengan melihat globalisasi yang mewujud dalam ekspansi korporat untuk melipatgandakan kekuatan kapital mereka.

Dalam kaitannya dengan komunikasi, Riordan mencontohkan Disney yang menjalin kerja sama dengan ABC pada 1995 untuk mendistribusikan produk-produknya melalui jaringan televisi. Kekuatan jaringan media Amerika membuatnya begitu digdaya dalam menyebarkan budaya mereka melalui produksi film, acara televisi, dan majalah. Kalau para penganut ekonomi politik melihat kehadiran jaringan media global menyebabkan hilangnya nilai dan budaya lokal yang digantikan oleh ide-ide kapital, feminis mencatat ketidaksetaraan relasi lelaki-perempuan juga dilanggengkan. Kaum feminis berpendapat, globalisasi membuat produksi dan konsumsi budaya tidak hanya meminggirkan yang lokal atau nasional, tetapi juga menyangkut persoalan gender atau relasi lelaki-perempuan.

Produksi dan konsumsi kebudayaan adalah dua kata penting yang menjadi konsen penganut ekonomi politik. Banyak disumbang pendekatan Marxis, produksi mewujud dalam komoditas yang tidak hanya menjadi alat kontrol, tetapi juga sebentuk dominasi ideologi-politik kaum kapital. Untuk lebih memahami kapitalisme dan relasinya dalam kehidupan sehari-hari, Riordan menyarankan bahwa kajian ekonomi politik juga harus sampai pada konsumsi yang bertumpu pada hasrat (pleasure). Konsumsi, kata Riordan, adalah bagian integral dari reproduksi yang dalam praktiknya bersinggungan dengan soal ras, kelas, agama, usia, dan tentu saja gender.

Karena itu kemudian, ekonomi politik feminis dalam komunikasi menekankan pentingnya memahami isu-isu identitas, subjektivitas, hasrat, konsumsi, hukum, hak asasi, dan kerja dalam konteks kehidupan perempuan sehari-hari. Riordan selanjutnya memaparkan beberapa contoh penelitian yang mengangkat isu-isu tersebut, misalnya penelitian Roopali Mukherjee (kampanye hak sipil yang buta-gender), Fred Fejes (iklan dan identitas homoseksual), Eileen R. Meehan (politik rating yang bias), dan Amy Beer (homogenisasi identitas perempuan dalam majalah perempuan Latina). Dalam penelitian-penelitian tersebut, penganut ekonomi politik feminis mengintegrasikan banyak metode dan mengambil sebuah area spesifik yang dimasuki melalui salah satu dari tiga pintu masuk ekonomi politik yang disarankan Vincent Mosco, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi.

Tak syak lagi bahwa contoh-contoh yang dikemukakan Riordan berasal dari buku yang dia sunting bersama dengan Eileen R. Meehan, Sex and Money: Feminism and Political Economy in the Media (2002). Buku itu merupakan kumpulan artikel dengan fokus feminisme dan ekonomi politik media yang berasal dari beberapa konferensi sebagaimana disebutkan di awal artikel “Feminist Theory and the Political Economy of Communication”, yaitu IAMCR (Skotlandia, 1998), ICA (San Fransisco, 1999), UDC (San Fransisco, 1998), dan Capitalism and the Twenty-First Century (London, 2002). Artikel ini bahkan hanya perluasan dari artikel pengantar buku tersebut, berjudul “Intersections and New Directions: on Feminism and Political Economy”.

Karena itu, membaca artikel ini mestilah disandingkan dengan Sex and Money. Membaca contoh penelitian secara utuh, ketimbang hanya cuplikan, ditambah banyak contoh penelitian ekonomi politik feminis yang tidak disinggung dalam artikel, lebih memudahkan dalam memahami perjumpaan feminisme dan ekonomi politik komunikasi. Contoh-contoh itu juga dapat ditarik dalam konteks lokal, selain dapat ditambahkan contoh lain seperti bukunya Vissia Ita Yulianto, Pesona 'Barat': Analisa Kritis-Historis tentang tentang Warna Kulit di Indonesia (2007), dan Aquarini Priyatna-Prabasmoro, Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun (2003), yang menyoal identitas perempuan Indonesia dalam iklan media, untuk lebih memahami perjumpaan itu dalam konteks yang lebih dekat. Perjumpaan itu bukan sekadar pertemuan dua pendekatan besar, tapi juga harapan untuk lahirnya sebuah tatanan yang lebih lebih setara.[]

Fenomena Metodologi dalam Islam


[Sumber: Fanpop]

MENURUT KHOIRON Nahdiyyin, salah satu problem yang dihadapi para pemikir Islam kontemporer ketika berhadapan dengan persoalan kekinian adalah ketidakmampuan mereka melepaskan diri secara psiko-historis dari masa lalu. Dalam merumuskan solusi problem kekinian tersebut, mereka memiliki kecenderungan untuk kembali ke masa lalu atau era keemasan Islam. Yang paling banyak dirujuk adalah era kenabian dan para penggantinya (Khulafaurrasyidin) dalam masalah moral serta masa Abbasiyah atau era kodifikasi dalam masalah pemikiran.[1] Semata contoh, Khalil Abdul Karim, Sayyid al-Qimani, dan Said al-Asymawi dapat dimasukkan ke pemikir yang merujuk era pertama, sementara Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Hassan Hanafi, dan Mohammed Arkoun masuk dalam deretan kedua.

Fazlur Rahman tampaknya tak menyepakati pembabakan seperti itu. Bagi intelektual Muslim asal Pakistan tersebut, riuh-tikai pemikiran (tidak hanya persoalan moral) di dalam Islam dimulai pada masa awal Khulafaurrasyidin, yakni ketika Nabi wafat. Pada saat Nabi Muhammad Saw hidup, beliau menjadi pembimbing agama dan politik satu-satunya bagi kaum Muslimin, baik melalui wahyu Alquran maupun ucapan Nabi di luar Alquran serta perbuatannya. Dengan kata lain, Nabi adalah sang otoritas.[2] Dan ketika sang otoritas itu wafat, pertanyaan pertama yang muncul adalah siapa pengganti sang otoritas tersebut.[3]

Banyak jawaban coba diberikan, misalnya antara apakah Anshar atau Muhajirin pada suksesi kekhalifahan pertama serta klan (banu) siapa yang paling pantas jelang suksesi Umar bin Khattab serta Usman bin Affan. Bila anggapan Rahman ini benar, maka sinyalemen bahwa persoalan pertama yang muncul dalam Islam adalah peristiwa politik[4] tidak (sepenuhnya) benar, tapi sesungguhnya persoalan agama, yakni terkait siapa yang punya otoritas berbicara persoalan agama di dalam Islam setelah Nabi tiada.

Tesis ini didukung kenyataan bahwa para khalifah setelah Nabi, yakni Abu Bakar, Umar, dan Usman, sebagaimana kata Adonis, kecuali menjadi pemimpin politik, juga bertugas menjaga dan menegakkan supremasi Sunnah. Abu Bakar, misalnya, begitu diangkat menjadi khalifah, menyampaikan pidato: “Patuhlah kepada saya sepanjang saya taat kepada Allah dan rasul-Nya.”[5] Demikian pula Usman bin Affan, ketika didesak mundur dari jabatan khalifah oleh pemberontak, mengatakan, “Demi Allah, lebih baik aku tetap maju hingga kamu memenggal kepalaku daripada aku harus menanggalkan baju yang telah dikenakan Allah kepadaku.”[6] Keduanya jelas sekali menyandarkan diri pada otoritas Allah dan karena itu harus ditaati.

Di sini kemudian, ketika Usman akhirnya terbunuh, yang sesungguhnya terjadi adalah perlawanan terhadap otoritas itu. Adonis menceritakan dengan getir:

"[T]erbunuhnya Usman merupakan bentuk ujian tipologis dari watak relasi antara kehendak manusia dengan hak ketuhanan. Kehendak manusia dalam ujian ini mendapatkan kemenangan, kemudian berhasil menghentikan kekhalifahan Usman.... Dari sini, terbunuhnya Usman merupakan awal dari fase baru dalam sejarah Islam, baik politik maupun pemikiran. Peristiwa ini menyingkapkan berbagai kontradiksi masyarakat Islam yang masih dalam fase perkembangan awal.... Terbunuhnya Usman mempertegas kesatuan organik antara agama dan politik khususnya, dan antara politik dan budaya pada umumnya. Dan berangkat dari kesatuan inilah kaum Muslimin terpecah. Perpecahan mereka tidak saja bersifat politik dan pemikiran, tetapi juga merupakan perpecahan sosial."[7]

Senada dengan Adonis, Fazlur Rahman dan Harun Nasution mengatakan bahwa peristiwa terbunuhnya Usman merupakan titik tolak munculnya berbagai aliran dalam teologi Islam. Setelah Usman, sebagaimana ditulis oleh Harun Nasution, timbul persoalan iman dan kafir. Peperangan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat dan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Damsyik, yang menganggap Ali bertanggung jawab atas pembunuhan Usman, coba diselesaikan dengan jalan damai, yaitu jalan hakam (arbitrase) yang biasa dipakai pada zaman Jahiliyah.[8]

Jalan damai itu menimbulkan pro-kontra di kalangan kaum Muslimin. Persoalan pengafiran dan penyematan iman pada seseorang pun timbul. Kalau dulu penyematan predikat itu ada di tangan nabi atau khalifah, pasca-Usman yang dijatuhkan oleh kehendak rakyat (versus “kehendak” Allah), otoritas tak lagi tunggal melainkan menyebar di kalangan kaum Muslimin. Siapa pun kemudian bisa berbicara tentang iman dan kafir. Karena persoalan ini terus menggelinding, umat Islam pun pecah dalam berbagai kelompok dan aliran yang masing-masing tak jarang saling mengafirkan yang lain. Mereka punya landasan dan pemikiran masing-masing. Dengan kata lain punya metodologi. Itulah sebabnya kemudian periode ini disebut oleh Fazlur Rahman sebagai fenomena metodologi, yakni fenomena pencarian dan penemuan tentang ajaran Islam dari yang sebelumnya bercorak dogmatis.[9]


_______________
[1] Khoiron Nahdiyyin, “Catatan Penerjemah”, dalam Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. xviii. Bandingkan dengan William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, terj. Noor Haidi (Yogyakarta: Hafamira, 1994), yang salah satu subbabnya berjudul “Idealisasi Muhammad dan Islam Awal”, hlm. 20-27.

[2] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 51. Bandingkan dengan pendapat Helmut Gatje tentang otoritas Nabi dan corak keagamaan Islam awal di dalam bukunya Koran and Exegesis, sebagaimana dikutip oleh Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 50.

[3] Dengan redaksi berbeda, Adonis atau Ali Ahmad Said mengatakan, “Pertanyaan ‘siapa yang paling menentukan?’ merupakan pertanyaan pertama (yang muncul setelah Nabi wafat) dan sangat penting.” Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran, hlm. 133.

[4] Harun Nasution dalam membahas aspek teologi, misalnya, juga mengatakan berpangkal dari persoalan politik. Lihat bukunya, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 26. Dalam membahas aspek politik, Harun tegas menyatakan, “Persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam... bukanlah persoalan tentang keyakinan, malahan persoalan politik.” Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Press, cet. V 1985), hlm. 92.

[5] Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran, hlm. 150 dan seterusnya.

[6] Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran, hlm. 137. Penekanan dari saya (MHA).

[7] Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran, hlm. 138.

[8] Harun Nasution, “Kaum Mutazilah dan Pandangan Rasionalnya”, dalam Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, cet. III 1995), hlm. 126.

[9] Fazlur Rahman, Islam, hlm. 51. Bandingkan dengan pendapat Helmut Gatje tentang corak keagamaan penganut Islam awal dalam Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 50.