Membaca dan Menulis Derrida

Judul : Derrida

Penulis : Muhammad Al-Fayyadl

Kata Pengantar : Goenawan Mohamad

Penerbit : LKiS, Yogyakarta

Cetakan : I Agustus 2005

Tebal : xxx + 244 halaman



SETAHUN SUDAH Jacques Derrida meninggalkan kita. Oktober 2004 dia wafat karena serangan kanker pankreas. Adieu, à-Dieu! (Selamat tinggal, Tuhan!), kata-kata yang pernah diucapkan Derrida buat Emmanuel Levinas saat sahabatnya itu meninggal, tampaknya juga pas kita ucapkan untuknya.

Derrida lahir di El-Biar, wilayah terpencil Aljazair, pada 15 Juli 1930. Tahun 1952 Derrida masuk École Normal Supériuere (ENS) di Prancis, sekolah elite yang dikelola Foucault, Althusser, dan para filsuf terkemuka Prancis lain. Dari kesannya yang mendalam pada para gurunya di sekolah itu, ia menekuni filsafat dan akhirnya dikenal sebagai salah seorang filsuf kenamaan.

Menekuni filsafat? Kata itu tak sepenuhnya benar. Banyak yang bilang, Derrida tidak berfilsafat, melainkan bermain-main dengan filsafat. Puncaknya, ketika pada 1992 Universitas Cambridge hendak memberi penghargaan pada Derrida, banyak profesor di sana yang menolak, termasuk W.V. Quine. Alasan mereka, tulisan Derrida mengemukakan ajaran yang absurd, yang menolak pembedaan antara kenyataan dan fiksi.

Itulah Derrida. Ia menjadi kontroversi: ada yang mendukung, tak sedikit yang menolak. Dekonstruksi (déconstruction)-nya pun tak urung menuai badai kritik. “Bagi saya, dekonstruksi bukanlah upaya intelektual yang serius,” tandas Gadamer dalam sebuah wawancara. Manfred Frank bahkan menuduh dekonstruksi mengandung fasisme.

Bagi Derrida, juga para pengikutnya, dekonstruksi tidak dapat didefinisikan. Setiap definisi selalu merupakan pembatasan, locus atau tempus, sementara dekonstruksi justru hendak menerobos batas. Bagaimana caranya? Derrida mengatakan, langkah pertama atau paling dasar adalah membaca.

Membaca itulah yang banyak dilakukan Derrida dalam tulisan-tulisannya. Of Grammatology, Writing and Differences, Speech and Phenomena, serta karya-karyanya yang lain, adalah hasil pembacaannya atas Rousseau, de Saussure, Husserl, Levinas, Heidegger, Bataille, Hegel, Foucault, Descartes, Lévi-Strauss, Freud, Edmond Jabés, Antonin Artaud.

Tentu membaca dalam pengertian Derrida bukan membaca biasa dalam arti mengeja huruf per huruf dan melafalkan kata per kata, tapi membaca dalam dua lapis atau double reading. Lapis pertama, pembacaan ditujukan untuk menampilkan apa yang disebut Derrida sebagai “tafsiran dominan” atas teks atau bacaan. Lapis kedua berusaha memperlihatkan titik lemah serta kontradiksi dalam tafsiran dominan itu dan menyajikan pembacaan tandingan lain.

Pembacaan yang dilakukan Derrida berusaha membongkar hegemoni tafsir yang menghasratkan ketunggalan, berupaya mengguncang pemaknaan dominan atas teks. Bagi Derrida, setiap teks mempunyai dunianya sendiri yang kaya. Pusat teks ada di mana-mana. Dunia teks yang demikian terlalu reduktif bila mesti dimaknai dengan satu atau beberapa makna dominan, yang pada gilirannya memandulkan lahirnya pemaknaan lain. Kekayaan teks, bagi Derrida, terletak pada kekayaannya mengandung kembaran makna dan kebergantian makna-makna tersebut—dalam artian tidak ada maknanya yang final.

Dekonstruksi Derrida adalah kritik terhadap logosentrisme, yaitu sistem pemikiran yang menghasratkan sesuatu yang tunggal, total, final, abadi. Sejak zaman Yunani klasik hingga modern, logosentrisme atau angan adanya Logos atau Kebenaran atau Tuhan (metafisika kehadiran) memang kukuh mendominasi pemikiran Barat. Sebab itu, wajar kritik terhadapnya menuai cerca.

Tentang angan adanya kebenaran itu, Derrida melihat juga terdapat dalam linguistik Saussurean. Pemaknaan dalam linguistik Saussurean melalui oposisi biner dianggap Derrida bermasalah, karena satu term kemudian sering atau selalu diunggulkan atas term yang lain. Persoalan semakin menggelembung karena melalui term itulah cara berpikir terbentuk dan selanjutnya terinstitusionalisasi dan dijaga oleh tradisi.

Selain itu, kecenderungan Saussure mengunggulkan yang terucap (phonè) dibanding yang tertulis, juga dikritik Derrida. Ucapan dianggap unggul karena berlangsung dalam konteks, sehingga kebenaran dapat langsung tersampaikan. Sementara tulisan direndahkan karena membuncahkan makna dan dianggap membuat kebenaran menjadi kabur. Derrida, yang tak percaya kebenaran dapat diraih, tentu lebih memilih tulisan. Melalui tulisan, dekonstruksi lewat double reading jadi mungkin untuk dilakukan.

Meski tak luput dari cerca, dekonstruksi dewasa ini banyak dipakai para pemikir untuk membongkar praktik hegemoni dan dominasi. Pemikir kebudayaan Edward W. Said, misalnya, meminjam dekonstruksi untuk membongkar cara berpikir dan praktik kolonialisme serta orientalisme. Dalam lapangan studi gender, lahirnya posfeminisme sebagai kritik atas feminisme gelombang kedua yang cenderung fallogosentris (gabungan fallosentrisme dan logosentrisme) juga berkat dekonstruksi Derrida.

Buku Muhammad Al-Fayyadl ini mencoba melihat Derrida sebagai sebuah “problem” untuk didiskusikan. Bahasan Al-Fayyadl dalam buku ini rapi, terang, luwes, serta sistematik. Hampir semua karya Derrida dikutip oleh penulis muda yang masih berstatus mahasiswa S1 di UIN Sunan Kalijaga ini, kecuali, saya melihat, wawancara Derrida tentang peristiwa teror 11/9 atas WTC (Giovanna Borradori, Jurgen Habermas, Jacques Derrida: Philosophie in Zeiten des Terros, 2004). Terorisme yang aktual sekarang dan pandangan Derrida tentangnya tak dijumpai di buku ini. Memang, buku ini belum “menulis” Derrida, melainkan baru “membaca”. Padahal, kata Goenawan Mohamad dalam pengantar, Derrida berharap diperlakukan sama seperti dia “menulis” filsuf lain.[]

=================

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik "Buku" Harian Pagi Padang Ekspress. Tentu saja ini persembahan kecil untuk dua sahabat saya: Muhammad Al-Fayyadl, penulis buku luar biasa ini, dan Abdullah Khusyairi, redaktur pelaksana Padang Ekspress yang juga cerpenis (kapan bisa ketemu lagi?).

0 komentar: