Dua Wajah Kekerasan


Judul : Pulau Cinta di Peta Buta
Penulis : Raudal Tanjung Banua
Cetakan : Pertama, Juli 2003
Penerbit : Jendela, Yogyakarta
Tebal : xii + 177 halaman

Judul : Parang Tak Berulu
Penulis : Raudal Tanjung Banua
Cetakan : Pertama, Mei 2005
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 182 halaman


TIADA HARI tanpa kekerasan. Kekerasan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita. Di televisi, koran, kita membaca dan menyaksikan seorang preman menghajar korbannya hingga babak belur, seorang anak membakar ayahnya hidup-hidup hanya karena sang ayah tak kunjung sembuh dari sakitnya, nun jauh di sana sekelompok tentara dari suatu negara membombardir wilayah dari negara lain, dan seterusnya….
Kekerasan yang bergentayangan di ranah realitas itu banyak mengispirasi sastrawan yang mengabadikannya dalam karya-karyanya. Sastrawan tidak sekadar meceritakan kekerasan itu apa adanya, tapi menyuguhkan tafsir atasnya. Dengan tafsir sastrawan, menurut teori mimesisnya Paul Ricoeur (mimesis-2 atau konfigurasi), peristiwa kekerasan tidak berlalu begitu saja, tapi menjadi suatu media bagi sebuah pembelajaran.
Salah satu sastrawan yang banyak menyuguhkan kekerasan sebagai tema dalam karyanya adalah Raudal Tanjung Banua. Dua kumpulan cerpennya, yaitu Pulau Cinta di Peta Buta (2003) dan Parang Tak Berulu (2005) menyuguhkan kekerasan dengan dua wajah yang berbeda.
***
PULAU CINTA di Peta Buta berisi delapan belas cerita pendek. Cerpen pembuka “Elegi Kantor Pos” menjadi alasan Raudal menyuguhkan tema-tema kekerasan di dalam cerpen-cerpennya. Di dalam cerpen itu, sang tokoh “aku” bertemu dengan seorang gadis di kantor pos yang menawarkan menjilat prangko surat yang akan ia kirim.
“Aku mengirim cerita ke koran-koran,” kata tokoh “aku”, yang barangkali adalah Raudal sendiri. Kata sang gadis, “Oh, betapa menyenangkan… Tentu kau akan menulis tentang negeri yang rakyatnya miskin dan lapar, sekarat dihajar dendam dan pertikaian…?”
Kata-kata sang gadis membuat “aku” malu dan merasa bersalah. Betapa tidak, selama ini, “Ceritaku hanya tentang negeri yang penuh warna. Keluarga bahagia. Percintaan Cinderella.” Cerita yang ia tulis seperti prangko yang, kata sang gadis, “hanya mengabadikan keindahan semata-mata, kekayaan alam, flora dan fauna, prestasi atau hasil-hasil pembangunan. Mengapa tidak yang lain? Begitu banyak kepahitan, semua terlupa.” Perjumpaan dengan sang gadis membuat “aku” menulis “cerita yang bertolak-belakang” dengan cerita-ceritanya sebelumnya, cerita tentang kekerasan.
Maka di dalam kumpulan cerpen itu kita temukan berbagai wujud kekerasan bergentayangan. Cerpen “Lengking Pilu Terompet Waktu” berkisah tentang seorang anak bernama Naomi yang “merayakan” malam pergantian tahun baru bersama kakeknya. Mama Naomi, seperti biasa, pergi “semalam”—kecuali kalau ke luar kota—bersama taksi warna pelangi. Papanya? Naomi tidak tahu di mana. Maka ketika kakeknya bertanya tentang impiannya pada tahun mendatang, Naomi bilang impiannya, “Tentang papa. Tentang hidup bersama. Berbahagia.”
Mendengar harapan cucunya, sang kakek tak tahan. Ia keluarkan sebuah kalender lusuh-tua, kalender tujuh tahun lalu. Di bulan Desember hari terakhir kalender itu, ada lingkaran merah. Itulah tanggal ketika, “Lelaki yang baik, menantu yang setahuku tak pernah berbuat jahat, tapi pada angka berlingkar merah itu justru diculik, dibawa pergi segerombolan lelaki lain, sampai kini tak kembali.” Di akhir cerita, Mama Naomi yang pergi kembali dengan terluka, berdarah-darah. Terompet tahun baru Naomi pun melengking pilu.
Penculikan juga bisa ditemukan dalam cerpen “Bis Berhenti di Kampung Lengang” dan “Truk Berderak Membelah Malam”. “Bis Berhenti di Kampung Lengang” bercerita tentang sopir bis yang menghentikan bisnya di kampungnya yang dibelah jalan lintas. Dia berhenti karena tak tahan rindu dengan orangtuanya. Padahal, sejak beberapa lama kampung itu sering disisir aparat yang datang dari pangkalan di utara untuk mencari pengkhianat. Dan sopir itu pun dikepung saat berhenti di depan rumahnya pada tengah malam.
Sementara “Pulau Cinta di Peta Buta” yang menjadi judul kumpulan cerpen, bercerita tentang harapan anak bernama Liana. Saat diberi pekerjaan rumah (PR) dari gurunya untuk menggambar salah satu pulau di Indonesia, Liana semula ingin menggambar pulau Halmahera. Di pulau tersebut keluarganya pernah tinggal dan akhirnya terpencar. Ayah dan kakaknya dibawa sekelompok orang entah ke mana. Liana akhirnya menggambar pulau berbentuk hati, pulau cinta, walaupun jelas tak ada di peta Indonesia.
Kekerasan bergentayangan di cerpen-cerpen dalam kumpulan ini. Senjata, parang, darah, aparat, penculikan, luka, bisa dengan mudah ditemukan hampir di tiap lembarannya.
***
MESKIPUN BERTAJUK Parang Tak Berulu, kekerasan di dalamnya tidak disuguhkan seperti dalam Pulau Cinta di Peta Buta. Di dalam cerpen “Parang Tak Berulu” parang tidak digunakan menebas atau mengintimidasi orang lain. “Parang tak berulu” adalah istilah adat suatu kampung bagi perempuan yang tak lagi punya suami. Gondan, seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang asal-usulnya tak jelas, bernama Jibun. Mamak-nya tak restu. Meski bertahun-tahun Jibun sudah berusaha “mengambil hati” sang mamak, dengan memanjakan istri dan anaknya, Gombak, membangun rumah sendiri, tapi hati Mamak Sutan Mangkudu tetap bersikukuh tak restu. Tak tahan dengan perlakuan sang mamak, Jibun memilih mundur dengan menceraikan Gondan.
Lalu suara-suara penduduk kampung pun riuh. Gondan yang dulu dimanja kini harus bekerja keras menghidupi Gombak. Dia bekerja membelah kayu untuk dijual. Saat membelah kayu itulah, parang yang ia gunakan lepas dari ulunya. “Parang tak berulu” yang mulanya istilah, kini hadir jadi kenyataan. Dan baik Gondan maupun Gondam tak bisa memberi ganti ulu yang lain, karena keduanya tak pernah belajar membuat ulu sewaktu Jibun masih bersama mereka. Mereka terpaksa tebal telinga mendengar suara-suara penduduk yang makin riuh.
Cerpen lain dengan bentuk kekerasan serupa adalah “Ranah Berkabut”, yang berkisah tentang Upik yang punya dua pusar-pusar (uyeng-uyeng) di kepala. Konon, setiap orang yang punya dua pusar-pusar berbakat jadi peternak. Maka kemudian Upik tidak disekolahkan, berbeda dengan kakaknya Kandik yang hanya berpusar-pusar satu, disekolahkan hingga ke sekolah tentara. Sejak belia Upik sudah disuruh menggembalakan ternak milik keluarga dan juga tetangganya. Ternaknya memang membiak banyak. Tapi Upik menderita karenanya, terlebih ayahnya suka menjual ternak sembarangan untuk berjudi, begitu juga kakaknya.
Begitu juga cerpen “Perempuan yang Jatuh dari Pohon”. Cerpen ini berkisah tentang Hindun yang suka memanjat pohon, terjatuh. Dan warga mempercayai, perempuan jatuh dari pohon adalah aib. “Konon, perempuan yang jatuh dari pohon, bila sakit, sakitnya tak akan diobati; bila mati, matinya tak akan disembahyangkan!” Karena itu setiap ibu pasti melarang anak perempuannya memanjat pohon.
Tapi Hindun amat suka memanjat. Meski mulut ibunya berbuih melarang, ia akan tetap memanjat pohon yang ia senangi. Hingga tiba hari nahas itu, Hindun terjatuh. Karena kepercayaan, Hindun hanya diobati sekadarnya hingga mati dan tak disembahyangkan.
Cerpen dengan judul puitis “Batang Pinang Batang Pisang, Kenangan Terus Memanjang” bercerita tentang Bualis yang dipasung dengan batang pinang, dengan sandaran kaki dan tubuhnya adalah batang pisang. Bualis adalah cucu seorang kepala aktivis tani, yang rumahnya dipasang “bendera dan umbul-umbul, bergambar bintang dan alat tani.” Begitu pula ayahnya, yang jadi tumpuan para petani sebab menguasai seluk-beuk patok tanah dan irigasi. Suatu malam, sekelompok orang mendatangi rumah Bualis dan membunuh ayah serta kakeknya, “sehubungan sebuah peristiwa penting di ibukota.”
Bualis pandai memanjat. Setiap perayaan tujuhbelasan, dia selalu jadi pemenang lomba panjat pinang. Tapi banyak oang tak senang, dan mengumpatnya, “Dasar anak kepala gerombolan!”, “Dan cucu gerombolan!” Perilaku Bualis pun lama-kelamaan berubah. Ia memanjat setiap pinang dan mengambil buahnya, tak peduli sudah ranum atau masih putik, milik keluarganya atau bukan. Karena perilaku itu, Bualis akhirnya dipasung dengan batang pinang dan pisang.
***
DILIHAT DARI bentuk dan sifatnya, kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, kekerasan dengan bentuknya yang telanjang, kasar, bengis. Ini model kekerasan anarkis. Kekerasan jenis ini, meminjam teorinya Louis Althusser, muncul dari sebuah pendekatan represif. Bila dilakukan oleh negara, ia lahir dari tangan aparat represif atau repressive state apparatus (RSA).
Kekerasan model itulah yang tampak di dalam cerpen-cerpen dalam kumpulan Pulau Cinta di Peta Buta. Senjata, parang, darah, luka, banyak mucul di sana. Peristiwa seperti penculikan oleh aparat, kerusuhan Halmahera, tragedi Aceh, menjadi inspirasi Raudal untuk mencatatkannya dalam cerita.
Kedua, kekerasan dengan bentuknya yang santun, tertutup, dan halus. Dalam pandangan biasa, ia tampak tidak seperti kekerasan. Tentu saja agar tak terlihat, kekerasan ini dilakukan dengan sangat rapih, direncanakan matang. Kekerasan ini disebut juga kekerasan simbolik, yang berlindung atas nama simbol-simbol seperti simbol bahasa, adat, dan ideologi. Simbol-simbol itu juga dianut oleh korban, sehingga korban tak menyadari kehadirannya. Negara melakukan kekerasan jenis ini melalui tangan aparat ideologis (ideological state apparatus atau ISA dalam bahasanya Althusser).
Kekerasan simbolik kita temukan di dalam cerpen-cerpen dalam kumpulan Parang Tak Berulu. Simbol adat seperti dua pusar-pusar digunaan sebagai pembenar oleh sang ayah untuk melakukan kekerasan terhadap Upik. Demikian pula, mitos perempuan jatuh dari pohon dijadikan alasan untuk tidak mengobati dan mensalatkan Hindun, dan kekerasan bahasa “anak gerombolan” didengung-dengungkan hingga perilaku Bualis berubah aneh.
Kekerasan simbolik itu, di dalam cerpen-cerpen Raudal, hendak dipatahkan dengan perlawanan terhadap simbol. Tokoh Gombak di dalam “Parang Tak Berulu”, misalnya, saat suara-suara yang menyebut ibunya sebagai “parang tak berulu” kian berdengung, bertekad membuat ulu parang sendiri. Namun demikian, perlawanan itu jatuh di hadapan kekuatan dan keperkasaan simbol. Yang terjadi kemudian cerpen-cerpen dalam Parang Tak Berulu semakin meneguhkannya. Gombak misalnya tidak mampu membuat ulu parang yang kuat. Demikian pula, Hindun yang akhirnya mati akibat jatuh dari pohon.
Terlepas dari itu, Pulau Cinta di Peta Buta dan Parang Tak Berulu menyuguhkan dua wajah kekerasan yang berbeda. Apakah keduanya bisa disebut sebagai periode kepengarangan Raudal? Cerpen-cerpen dalam Pulau Cinta di Peta Buta yang dibuat pada awal kepengarangannya hingga 2003, mengangkat kekerasan dengan wajahnya yang telanjang; sementara cerpen dalam Parang Tak Berulu yang dibuat pada 2003 hingga 2005, merupakan periode lanjutannya, menyajikan cerita dengan kekerasan simbolik.
Saya teringat sebuah tulisan Raudal saat dia menjadi salah satu juri Lomba Cerpen Mahasiswa se-Jawa oleh Majalah Balairung UGM yang dimuat dalam Risalah Kekerasan: Kumpulan Cerpen Terpilih Balairung 2004. Di sana Raudal “mengeluhkan” bagaimana tema kekerasan yang ditawarkan panitia lomba, diterjemahkan oleh para peserta dengan mentah sebatas kekerasan yang kasat mata. Kalau demikian, barangkali, Parang Tak Berulu mengoreksi kumpulan cerpennya sebelumnya yang banyak mengangkat kekerasan model itu. Raudal ingin menunjukkan bahwa kekerasan juga punya wajah lain, wajahnya yang santun, namun tak kalah bengis dan membunuh.[]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ada salah satu cerpennya yang disukai mbak ria, 'Perempuan yang Jatuh dari Pohon', hihi...