Dicari: Rumah Cinta Seniman Jambi



KETIKA DISUGUHI sebuah kumpulan karangan atau antologi, baik kumpulan prosa maupun antologi puisi, saya selalu bertanya-tanya, kenapa mereka dikumpulkan? Apa yang mendasarinya? Lalu mereka mesti dibaca seperti apa?

Saya kira karya sastra dikumpulkan dengan banyak alasan atau simpul. Yang paling umum tentu saja karya disatukan oleh dan atas nama penulisnya. Berlimpahan contoh bisa disebutkan untuk antologi model ini. Di ranah puisi, setiap penyair mungkin punya antologi puisi masing-masing. Pada awal riwayat kepenyairan seseorang, antologi ini menjadi penahbis bahwa penulisnya telah layak disebut penyair. Di tangan penyair “senior”, selain menjadi peneguh eksistensi bahwa sang penyair masih menulis puisi, antologi disusun sebagai dokumentasi dan kadang-kadang juga untuk tujuan komersial. Apa pun itu, yang menarik, karena disatukan oleh nama pengarang, intensi pengarang yang dibunuh Roland Barthes dengan manifestonya “pengarang sudah mati” sulit dihindarkan.

Ada pula antologi yang dibuat karena “riwayat” puisi di dalamnya. Hijau Kelon dan Puisi 2002 dan Puisi Tak Pernah Pergi, misalnya, adalah kumpulan puisi yang punya riwayat pernah dimuat di rubrik “Bentara” di harian Kompas. Pertemuan-pertemuan penyair yang kerap diadakan setiap tahun juga melahirkan antologi yang tentu saja meriwayatkan pertemuan itu. Meski tidak banyak, tema juga bisa menjadi pemersatu sebuah antologi. Belakangan kita disuguhi puisi-puisi tentang korupsi dalam Puisi Menolak Korupsi yang sudah berjilid-jilid.

Kalau di dalam prosa antologi jenis ini sangat sedikit, tidak demikian di puisi: antologi yang didasarkan pada asal pengarang. Setiap kota nyaris punya antologi puisi masing-masing. Termasuk dalam kategori ini adalah Tiga Bukit Sungai Au yang menghimpun puisi-puisi para penyair Bungo serta antologi yang menjadi bahasan kita sekarang: Rumah Cinta: Antologi Puisi Penyair Jambi.

Pengumpul itu kemudian tidak sekadar pemersatu. Ia juga alat baca atau dijadikan sarana untuk mengulas. Puisi-puisi yang dikumpulkan atas nama pengarangnya berusaha dicari-cari pandangan dunia (worldview) pengarang di dalamnya. Puisi dari asal pemuatan yang sama bisa dilihat sebagai keberpihakan pemuatnya pada aliran puisi tertentu. Meski puisi tak selalu dikumpulkan karena tema yang sama, kecenderungan melihat tema dalam pembacaan sekilas atas puisi-puisi sangat sering dilakukan. Puisi dengan asal pengarang yang sama kerap dianggap menjadi representasi suatu daerah atau bahkan mouthpiece daerah itu.

Saya tentu tidak sedang mengusulkan cara pembacaan baru. Saya bahkan akan melihat Rumah Cinta juga sebagai kumpulan puisi. Dengan begitu, puisi-puisi di dalamnya tidaklah berdiri sendiri, tapi merupakan bagian dari puisi-puisi lainnya. Tanpa banyak menggunakan teori-teori yang njelimet, saya hanya akan mengandalkan kesan untuk membacanya—karena itu, pembacaan saya sangat besar kemungkinannya untuk keliru. Selain itu, saya juga tidak membaca keseluruhan puisi, melainkan hanya sebagian kecil.

Saya akan memulainya dari puisi “Rumah Cinta” karya Mhd. Ihsan yang menjadi judul antologi ini. Saya setuju dengan kurator yang menyebut puisi ini “terasa begitu murung”. Bayangkan, rumah cinta kita adalah pusara tanpa aksara, yang dipenuhi cungkup-cungkup kemboja meletup, angin yang melintas asin, suasananya bersepi-sepi musim berkalang tabah, bertabur kuntum saji, dan penuh harum aroma merah tanah. Bukannya penuh tawa dan kebahagiaan, rumah cinta sang pengarang lekat dengan kematian.

Kemurungan yang begitu terasa di dalam “Rumah Cinta” juga muncul-kuat dalam dua puisi Rini Febriani Hauri. Di dalam “Distikon Kau dan Aku”, aku kehilanganmu dan aku mencarimu. Setelah aku melihat wajahmu dan aku menemukanmu, berganti pula kau kehilanganku. Meskipun kemudian kau [juga] melihat wajahku dan kau menemukanku, tapi itu di antara lembar-lembar kenangan yang beterbangan di sudut angan.

Puisi kedua dari pengarang yang sama, “Pasar yang Tak Pernah Ditinggalkan dan Aku yang Telah Ditinggalkan”, jauh lebih muram ketimbang yang pertama. Puisi ini menghadirkan pertentangan sempurna antara pasar dan aku. Kalau pasar penuh dengan kendaraan dan lautan pedagang/ Yang menjajakan dagangannya di pinggiran jalan gang-gang sempit/ Asap-asap dapur penghuni pasar mengepul kental/ Dan saling bergelut memperebutkan nasib// Pasar tak pernah ditinggalkan oleh pemiliknya, pun peminatnya.

Dan aku-lirik bukanlah pasar: Aku hanyalah kesunyian yang telah ditinggalkan serpihan masa lalu// Aku telah ditinggalkan oleh keramaian/ Dan kerdil dalam lautan asap yang menyerangku. Kalau pasar menyediakan apa saja yang kaubutuhkan/ Aku tidak sepenuhnya begitu. Aku telah ditinggalkan, tampaknya oleh kau-lirik, karena aku tidak menyediakan semua kebutuhan kau, meskipun aku bisa saja menjelma pasar/ Menjadi transaksi yang kauinginkan/ Di antara carut marut dan getirnya hidup.

Kemurungan juga muncul dalam puisi-puisi Titas Suwanda. Puisi “Kepada Tepian” berkisah tentang pembebasan sungai-sungai yang tergadai: Sungai telah kian sangsai,/ memucat bersama hikayat sepasang angsa/ yang dicatat sejarah menjelma pusaka. Kepedihan pengarang akan sungai (dan lingkungan) yang tergadai juga muncul di dalam puisi “Ode Sebilah Mata Pisau”: baik di barat maupun di timur tak ada lagi harapan, sebagaimana tampak dalam tiga bait berikut:

Di barat, berbatas tanah kelahiranmu
Para petani pun telah benar-benar kaya
Mengganti karet menjadi sawit
Tak ada lagi kayu-kayu sebesar gajah, atau
Hutan-hutan ulayat yang benar-benar perawan,
dibuntingi alat-alat berat, kemudian
ditinggal pergi, menjanda

Di timur, sepanjang pesisir laut Jambi
Para nelayan berpantang lelah
Mengolah tanah-tanah gambut
Menjadi sawah, lalu
Menjelma pulau harapan
Membuka tempurung-tempurung kopra
Hingga kota berbatas kota

Tak ada lagi ke laut berbunga pasir, ke darat berbunga kayu
konon, mengisi lumbung padi marga-marga

Kemurungan yang menjelma pedih sebagaimana dirasakan Titas sangat mirip dengan yang dituliskan Utomo Soconingrat di dalam puisi “Air Mengalir ke Lembah-lembah”. Utomo menanyakan mengapa tanah tak lagi menyerap air hujan?/ “Sebab hutan tak lagi berakar, kebutaan telah membakar hati/ Gemintang binatang langka, punah terpanah api. Jawaban akhir dari puisi-yang-ingin-tampak-religius ini adalah kebutaan [dari] mengingat Allah.

Anggiri Penangsang menarasikan kemurungan itu dalam puisi “Narasi Semu: Lelaki Tua”: Mengaduk lautan gelisah/ tak ke tepi, tak pula ke tengah/ Terombang ambing tanpa lalu/ di lautan gelisah// Tak senyum, tak tangis dia tunjukkan. Meski tak begitu kentara, kemurungan tersisa juga dalam puisi Indarto Irwanto, “Di Jembatang Sungai Alai”: Angin bersekutu dengan hujan sebaris pohon dirundung mendung/ Demikianlah bila matahari enggan menabur cahayanya.

Mengapa puisi-puisi itu begitu murung? Mengapa para penyair yang diikat oleh “rumah cinta” bersama bernama Jambi menghadirkan kemuraman? Apakah mereka merasa tidak at home di Jambi? Kalau ya, apa yang membuat mereka merasa begitu? Apakah iklim kepenyairan di Jambi? Atau iklim berkesenian di daerah ini secara luas?



Saya tidak tahu banyak. Saya hanya akan membandingkan Rumah Cinta dengan narasi rumah yang dibangun oleh almarhum penyair Ari Setya Ardhi. Cukup mengejutkan, penyair ini ternyata banyak sekali menggunakan diksi atau narasi rumah di dalam puisi-puisinya. “Menerima Bingkisan Waktu”, “Mengemudikan Laut”, “Menjadi Pemirsa”, “Merajut Benang Gempa”, “Merebut Sejarah”, “Mendiami Rumah Tangga”, “Mempersiapkan Waktu”, “Menebar Pelangi”, “Membakar Kereta Waktu”, “Membaca Teks Sejarah”, dan “Menata Rumah Hujan” adalah beberapa puisinya yang menghamburkan diksi “rumah”.

Rumah di dalam puisi Ari juga tak selamanya menguarkan kebahagiaan dan kenyamanan. Kata “rumah” bahkan digandengkan dengan kata-kata lain atau digunakan untuk membentuk frasa muram seperti “rumah bencana” (“Merajut Benang Gempa”), “rumah air mata” (Membakar Kereta Waktu”), “rumah yang terbakar” (“Mengemudikan Laut”), “menimbun virus dalam rumah” (“Menjadi Pemirsa”), “ketandusan perumahan rayap” (“Merebut Sejarah”), dan “dinding-dinding retak/ mengalirkan embun dari luar rumah” (“Menerima Bingkisan Waktu”).

Namun, di beberapa puisi yang lain, Ari jelas sekali membangun rumah dengan optimisme: “rumah impian” (“Menata Rumah Hujan”), “rumah liberty” (“Membaca Teks Sejarah”), “dari penjuru rumah, lampu-lampu (mulai) gemerlap” (“Menebar Pelangi”), “rumah pelaminan” (“Mempersiapkan Waktu”), dan tentu saja “rumah bunga” di dalam “Mendiami Rumah Tangga”. Saya kutipkan puisi terakhir tersebut utuh:

sesekali kegetiran angin mendesir
merapatkan gigilan selimut
bersama aroma kesakralan percakapan
di kesyahduan ranjang mawarmu
membiarkan jendela cinta terpana
kemudian pintu kedamaian terkuak
seluas sabana rindu yang senantiasa
menggedor-gedor keterbatasan dengan
jemari ketabahan. sementara,
kerimbunan ilalang menebal lantai
memasrahkan rerumputan menumbuhkan
ruang-ruang kekekalan. lalu,
kita semaikan benih bunga-bunga
sepanjang helaan nafas, sampai
desah pelaminan itu melindapi
sekujur kebisuan ruang tamu. kita
hembuskan jiwa keheningan yang
berkeliaran di atas atap, melumatkan
kemekaran birahi yang tak henti mengerang,
menyatukan kepolosan tubuh bumi.

kita telah membangun rumah bunga nel,
menancapkan akar ketulusan sembari
terus memupuki tunas-tunas yang
mulai berkejaran, menuai
serbuk-serbuk yang menebarkan
benih-benih keasrian bunga
yang terus bermekaran. sementara
di luar rumah, sungai-sungai
mengalirkan pertentangan yang
harus ditebus tanpa perlu
membelanjakan keperihan masa lalu.
dekaplah kenangan angin yang menyebar,
menuai keganasan taufan jalanan.
peluk, rengkuhlah sisa gerimisku
jangan lepaskan kegemetaran pepohonan
yang membungkus kegairahan di tamanmu

Meski terlihat tak mudah, dengan segala keterbatasan, ketabahan, keperihan, dan pertentangan, “Membangun Rumah Tangga” bertekad mendirikan rumah yang penuh cinta, kedamaian, rindu, birahi, dan kekekalan. Ini mungkin rumah cinta yang jauh lebih tepat sebagaimana diidamkan oleh Ihsan.

Sekali lagi saya tidak tahu banyak apakah iklim kepenyairan dan berkesenian di masa Ari masih hidup yang membuat rumah cinta seperti itu bisa dibangun, yang berbeda dari sekarang, yang hanya menghadirkan kemuraman. Bisa jadi begitu. Ari sendiri menyebut dirinya sebagai bohemian yang, menurut KBBI, merupakan “orang yang hidup bebas... orang yang hidup mengembara dan tidak teratur serta tidak memikirkan masa depannya.” Dengan kata lain, bohemian adalah orang yang lentur atau tidak mau terikat terhadap aturan (atau “rumah”).

Dengan sifat yang lentur seperti itu, Ari kemudian tidak mempermasalahkan berbagai kritik yang ditujukan kepada karya-karyanya. Di dalam puisinya di atas, meskipun membangun rumah tangga, yang sifatnya sangat privat, Ari tetap membolehkan “pertentangan” atau kritik. Dia tidak antikritik. Ketika membahas puisi-puisi Chory Marbawi (juga sudah almarhum), Maizar Karim (2008) memuji Ari sebagai “penyair yang terbuka atas kritik dan selalu rendah hati”:

Pada awal kepenyairan Ari Setya Ardhi (alm.), saya membaca beberapa sajaknya di beberapa koran ibu kota dan koran daerah. Saya mencoba memberi catatan atas sajak-sajak itu, ada juga dari sajak-sajaknya itu saya beri komentar secara lisan pada pertemuan-pertemuan tidak resmi dengannya. Ternyata ia kemudian menerima komentar saya, dan mengubah di sana-sini sajak-sajaknya. Hal ini terbukti dari sajak-sajaknya yang terbit kemudian sebagai buku dan pada sajak-sajak yang kemudian dibacanya secara auditorium. Ari Setya Ardhi memang penyair yang terbuka atas kritik dan selalu rendah hati...

...komitmennya dalam dunia kepenyairan... tidak pernah goyah. Apa pun komentar dan kritik pembaca, ia terus-menerus berkarya. Seakan-akan menghasilkan karya sastra adalah jalan hidup atau profesi yang sudah merupakan takdirnya.
Dari beberapa segi, saya dengar, kritik seperti itu yang (mulai) hilang dari rumah kesenian di Jambi. Tak boleh ada pertentangan di dalamnya. Rumah tanpa kritik itu, meskipun diberi nama dengan rumah cinta, mungkin hanya akan menujumkan kematian dan kemuraman, sebagaimana dalam puisi-puisi di dalam Rumah Cinta.[]

___________

Disampaikan dalam diskusi buku Rumah Cinta yang diadakan oleh komunitas Lacak Literasi di aula Kantor Bahasa Provinsi Jambi, 26 Maret 2016.

Foto-foto diambil dari akun Facebook Mhd. Ikhsan.

Asal-Usul Bahasa dan Komunikasi





APA ITU bahasa? Bagaimana bahasa muncul? Apakah bahasa merupakan fenomena yang khas untuk manusia ataukah juga ada pada binatang? Mengapa ada begitu banyak bahasa? bagaimana bahasa bisa menjadi sangat banyak? Bagaimana bahasa-bahasa yang banyak itu dibedakan?

Pertanyaan itu sengaja ditampilkan untuk mengawali tulisan ini. Tentu saja itu bukan pertanyaan baru, tetapi pertanyaan lama yang barangkali telah seumur manusia itu sendiri atau setidaknya telah muncul ketika manusia mulai mempersoalkan tentang bahasa digunakannya.

Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut juga tidak mudah. Telah banyak sekali pakar yang coba menjawabnya. Artikel Brad Harrub, Bert Thompson, dan Dave Miller, “The Origin of Language and Communication”, meringkas jawaban-jawaban itu. Alih-alih memuaskan, menurut mereka, jawaban-jawaban itu gagal memberikan penjelasan memadai. Setiap jawaban yang diberikan satu pakar, dibantah oleh pakar lain. Begitu seterusnya. Kata Harrub, Thompson, dan Miller, teori-teori berlimpah, tetapi bukti untuk mendukungnya tetap misterius (theories are plentiful—while the evidence to support those theories remains mysteriously unavailable). Artikel mereka sesungguhnya juga bukan jawaban, melainkan berisi perdebatan menyangkut pertanyaan-pertanyaan di atas.


Evolusi

Pertama-tama Harrub, Thompson, dan Miller menyuguhkan perdebatan tentang bahasa terkait evolusi. Teori evolusi sering diasosiasikan dengan Charles Darwin. Di dalam bukunya yang telah menjadi klasik, The Origin of Species, Darwin menyebutkan bahwa selain gen, kondisi alam—seperti panas-dingin, dataran tinggi-dataran rendah, laut-gunung, dst—turut memengaruhi pertumbuhan manusia. Dari sini dia menjelaskan mengapa anatomi tubuh manusia tidak sama antarorang. Ada yang tinggi-pendek, hitam-kuning-putih-cokelat, mancung-pesek, dst. Menurut Darwin, semua dipengaruhi alam. Berdasarkan teori ini, Darwinisme kemudian memprediksi bahwa manusia pada awalnya tidaklah seperti yang sekarang, tetapi merupakan hasil dari proses evolusi yang panjang hingga sempurna seperti ini.

Perdebatan bahasa terkait evolusi adalah bahwa bahasa pada awalnya tidaklah sempurna seperti saat ini. Untuk sampai pada tahap seperti yang sekarang, bahasa mengalami evolusi yang sangat panjang. Mula-mula kemampuan manusia terkait bahasa hanya sedikit, karena otak manusia juga belum sempurna. Lama-kelamaan, seiring perkembangan otak yang sangat dipengaruhi lingkungan, kemampuan bahasa juga bertambah. Mula-mula kemampuan bahasa manusia adalah gestural, kemudian berkembang selama ratusan tahun menjadi sintaks, dan akhirnya vokal.

Argumen yang dipakai tentang kemampuan evolutif manusia dalam bahasa adalah kemampuan bahasa anak yang seiring pertambahan usia juga membuat kemampuan berbahasanya menjadi bertambah.

Kaitan dengan evolusi dalam bahasa adalah pada awalnya bahasa mungkin hanya satu atau tunggal, tetapi kemudian berkembang dan berkembang hingga menjadi sangat banyak dan beragam. Evolusionis berpendapat, keragaman bahasa jelas dipengaruhi oleh kondisi alam.


Kembali ke Kitab Suci

Teka-teki bahasa juga membuat manusia kembali mencari basis teori melalui kitab suci. Di dalam tradisi Kristiani seperti yang dikutip Harrub, Thompson, dan Miller, manusia pertama yang berbahasa adalah Adam. Dikatakan juga bahwa Tuhan berkomunikasi dengan Adam melalui bahasa. Adam diajarkan bahasa oleh Tuhan dan Adam kemudian menamai apa saja yang ada di sekitarnya. Sebagai teman berkomunikasi, diciptakan Hawa.

Di dalam tradisi Islam, juga ada kisah yang sama:

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?’” (Q.S. al-Baqarah [1]: 31-33)
Di dalam ayat itu Tuhan mengajarkan kepada Adam tentang nama-nama. Ini menjadi dalil bagi linguis bahwa bahasa berasal dari Tuhan; bahwa kemampuan bahasa manusia merupakan karunia Tuhan. Kemampuan itu disebutkan sebagai tidak dimiliki oleh makhluk lain, yaitu malaikat.

Setelah Adam dan Hawa diciptakan, keduanya melanggar aturan surga yang tidak boleh memakan buah tertentu, sehingga kemudian keduanya diturunkan ke muka bumi. Turunnya Adam dan Hawa ke bumi diyakini sebagai kehendak Tuhan agar manusia tidak berada hanya di satu tempat, tetapi menyebar. Dengan kata lain, Tuhan menghendaki agar bahasa manusia bermacam-macam.


Campur Tangan Tuhan

Sub-bagian sebelumnya sebenarnya juga menegaskan bahwa kemampuan bahasa manusia merupakan campur tangan Tuhan. Lebih jauh Harrub, Thompson, dan Miller mengatakan, campur tangan Tuhan semakin tampak dalam kisah hancurnya Menara Babel yang menjadi penyebab bahasa manusia bermacam-macam.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, turunnya Adam dan Hawa ke muka bumi merupakan kehendak Tuhan agar bahasa manusia tidak satu, tetapi bermacam-macam. Namun, musibah banjir raksasa di masa Nabi Nuh menenggelamkan semua makhluk hidup kecuali mereka yang naik ke atas bahtera Nuh. Di dalam bahtera itu, mereka kembali menggunakan bahasa tunggal. Demikian pula, setelah banjir surut dan bahtera mendarat, mereka menginginkan bahasa itu tetap satu.

Demi mewujudkan tekad itu, mereka membangun Menara Babel yang bertingkat ke atas. Itu agar mereka tinggal di satu tempat dan tidak terpisah-pisah sehingga bahasanya tetap tunggal. Namun, karena hal itu bertentangan dengan kehendak Tuhan, Tuhan murka dan meruntuhkan menara itu. Kisah Menara Babel kemudian sering dianggap sebagai perlawanan terhadap takdir; ketidakmampuan kehendak manusia di hadapan takdir. Setelah runtuh, manusia kembali menyebar dan akhirnya bahasa mereka bermacam-macam lagi. Di sini diyakini bahwa bahasa yang bermacam-macam merupakan kehendak Tuhan.


Kemampuan Otak dan Anatomi Wicara

Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahasa juga dipengaruhi oleh perkembangan otak manusia. Dalam evolusi dikatakan bahwa otak manusia yang semakin sempurna menyebabkan bahasa manusia juga kian sempurna. Teori ini sering dikaitkan dengan bukti kerusakan otak yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan bahasa seseorang. Di dalam linguistik disebutkan bahwa penyakit kehilangan kemampuan itu adalah aphasia. Penderitanya akan kehilangan kemampuan menyebutkan kalimat secara lengkap bahkan kata.

Teori ini juga menyebutkan bahwa perkembangan otak dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi manusia. Gizi yang cukup membuat otak berkembang maksimal, sehingga kemampuan berbahasa juga menjadi mumpuni. Otak ini juga mengatur komunikasi dengan syaraf-syaraf anatomi wicara yang rumit; otak adalah pusat syaraf. Peran otak yang besar ini yang menjadi sentra dalam kemampuan berbahasa seseorang.

Pertanyaannya, bukankah hewan juga punya anatomi wicara seperti manusia, tetapi mengapa hewan tidak punya kemampuan berbahasa sebagaimana manusia? Para ahli fisiologi mengemukakan bahwa anatomi wicara manusia sangat kompleks, tidak seperti hewan. Karena itu, walaupun ada hewan yang bisa meniru bahasa manusia, selalu kemampuan itu sangat terbatas. Kemampuan yang terbatas itu juga dipengaruhi struktur otak hewan yang kecil.


Keunikan Manusia

Kesimpulan atas uraian panjang artikel Harrub, Thompson, dan Miller adalah bahwa kemampuan bahasa adalah unik pada manusia. Kemampuan itu tidak ada pada hewan. Meskipun praduga dalam evolusi menarik, teori ini gagal menjelaskan kemampuan hewan yang tidak berkembang. Evolusi memang mampu menjelaskan bahasa manusia menjadi beragam, tetapi tidak mampu menunjukkan secara spesifik faktor alam yang memengaruhi.

Sementara itu, menyandarkan persoalan bahasa sebatas fisiologis atau anatomis saja sebenarnya juga tidak tepat. Untuk kemampuan mengungkapkan bahasa barangkali ya, misalnya kerusakan anatomis akan memengaruhi cara orang dalam berkata-kata. Tapi kemampuan dasarnya—Noam Chomsky menyebutnya kemampuan gramatikal yang sudah built-in—tetap sama. Linguis lain, Roman Jakobson, pernah menyebut bahwa kerusakan otak dalam kasus aphasia pun sesungguhnya tidak memengaruhi kemampuan gramatikal bahasa seseorang.

Bagaimana “jalan lain” dengan kembali ke kitab suci? Secara teologis mungkin akan membantu perdebatan, tetapi secara empiris sulit membuktikan soal campur tangan Tuhan. Jalan ini barangkali hanya penting untuk menegaskan bahwa kemampuan bahasa manusia adalah unik, tidak dipunyai oleh makhluk lain sebagaimana kesimpulan akhir artikel Harrub, Thompson, dan Miller.


Tanggapan

Saya kira “jalan buntu” dalam artikel Harrub, Thompson, dan Miller terjadi karena sudut pandangnya yang sangat fisiologis. Dengan perspektif ini, Harrub, Thompson, dan Miller kemudian melihat evolusi, dan yang dimaksud evolusi di sini sangat fisiologis, menyangkut perkembangan fisik dan otak manusia. Karena tidak menemukan titik terang dalam evolusi, Harrub, Thompson, dan Miller kemudian mencari dalil dalam kitab suci. Mudah ditebak, kesimpulan mereka adalah bahwa kemampuan bahasa adalah unik dan khas manusia yang berasal dari Tuhan.

Andai saja Harrub, Thompson, dan Miller mau mengambil perspektif lain, misalnya strukturalisme (linguistik), barangkali banyak soal akan terjawab. Strukturalisme misalnya mendefinisikan bahasa sebagai sistem tanda yang arbitrer dan konvensional. Jadi ada dua syarat bahasa: arbitrer dan konvensional. Syarat arbitrer menjelaskan kenapa kemudian bahasa menjadi banyak sekali, karena semua orang bisa membuatnya; suka-suka orang membuatnya. Kemanasukaan itu dibatasi hanya oleh syarat kedua, yaitu konvensi. Dan yang dimaksud konvensi di sini juga dua orang. Jadi bahasa mungkin diciptakan oleh dua orang saja asal mereka bersepakat menggunakan kode bahasa tertentu.

Selain menjelaskan bahasa bisa banyak sekali, dua syarat di atas juga menjadi alasan mengapa bahasa bisa berbeda antarkelompok. Terutama faktor arbitrary menunjukkan bahwa tiap dua orang bisa membuat perbedaan-perbedaan dalam bahasa. Prinsip perbedaan (difference) ini yang membuat bahasa berkembang menjadi banyak.[]


___________

Artikel ini merupakan review atas artikel Brad Harrub, Bert Thompson, dan Dave Miller, “The Origin of Language and Communication”. Artikel mereka dapat diunduh di sini.


Kredit gambar: Atas.

Media, Globalisasi, Identitas, dan Hak-hak Budaya




Globalisasi

Di dalam sebuah esainya, budayawan Emha Ainun Nadjib menulis bahwa globalisasi itu ibarat rumah. Bayangkan, kata Cak Nun, begitu Emha sering disapa, setiap sekat pembatas di rumah itu dirobohkan dan dibongkar. Tak ada lagi kamar atau ruang tamu. Orang di kamar mandi akan bisa terlihat dari teras. Kejadian di kamar bisa disaksikan dari dapur.... Di dalam esainya yang lain, Cak Nun mengatakan,



Globalisasi ... adalah mengumpulkan lombok, brambang, bawang, garam, dan terasi jadi satu di cowek atau layah, kemudian diuleg sampai campur dan merata semua. Atau, globalisasi adalah menuangkan air panas, gula, kopi campur keringat sedikit, lantas diaduk sampai larut satu sama lain.[1]


Dunia sekarang semakin mengglobal. Temuan berbagai teknologi modern mengatasi hambatan-hambatan jarak yang selama ini menjadi pemisah. Di dalam dunia yang global itu, jarak telah roboh. Tak ada lagi batas bagi seseorang untuk melihat atau pergi ke wilayah lain. Lewat sebuah komputer, seseorang bisa menjelajah ke pelosok paling kucil sekalipun.

Sebagaimana tahun terbit versi awal esai Cak Nun, istilah globalisasi mulai populer digunakan sejak 1980-an. Pada tahun-tahun itu, istilah baru ini banyak didiskusikan serta muncul dan diperdebatkan dalam banyak tulisan. Budi Winarno bahkan mencatat, di dalam perdebatan-perdebatan itu, sulit ditemukan kata sepakat tentang istilah ini. Mengutip David Held, Winarno mengatakan bahwa isu utama yang menjadi sumber perdebatan menyangkut konseptualisasi, penyebab, periodesasi, dampak, dan jalur perlintasan globalisasi.[2]

Ketidaksepakatan sebagaimana dikatakan Winarno tersebut misalnya tampak dari beragamnya definisi globalisasi. Setiap definisi, dengan keterbatasannya masing-masing, terlihat coba menjawab kelima hal yang menjadi sumber perdebatan. Anthony Giddens, misalnya, mendefinisikan globalisasi sebagai “peningkatan hubungan sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang jauh dan berjarak, sehingga apa yang terjadi di sebuah daerah ditentukan oleh peristiwa-peristiwa di tempat lain yang jaraknya bermil-mil.”[3] Jadi ada hubungan yang kompleks antara keterlibatan lokal (local involvement) dan interaksi lintas jarak (interaction across distance) yang membentuk sebuah kejadian. Sebuah peristiwa adalah tali-temali dari kejadian-kejadian yang tidak hanya berlangsung di sekitar peristiwa itu, melainkan juga kejadian-kejadian yang berasal dari tempat yang jauh. Peristiwa di satu tempat pada akhirnya adalah juga kejadian di tempat lain. Tak ada jarak. Definisi ini menekankan peleburan jarak sebagai penyebab globalisasi.

Apa yang dimaksud jarak tersebut bukan hanya menyangkut ruang atau jarak geografis, melainkan juga jarak waktu. Giddens menyebutnya sebagai “time-space distanciation”. Globalisasi kemudian menjadi jembatan yang menghubungkan antarjarak (interaction across distance).[4] Dalam proses interaksi tersebut, terdapat beragam cara untuk menghubungkan banyak tempat dan konteks itu. Arjun Appadurai mendeskripsikan lima istilah terkait interaksi tersebut, yaitu ethnoscapes, technoscapes, infoscapes, financescapes, dan mediascapes.[5]

Meskipun dipisah-pisahkan oleh Appadurai, kelimanya itu saling kait-mengait, kalau bukan tumpang-tindih. Akhiran –scapes yang ada dalam istilah-istilah tersebut menunjukkan tidak ada yang tetap atau pasti dalam kelimanya. Ada kecairan atau kekentalan yang berbeda-beda dan tidak selalu sama, besar-kecil irisannya tidak pernah pasti dan berlainan. Dalam bahasa Cak Nun, tingkat kental-cair pengadukan kopi atau kehalus-kasaran ulegan tidak pernah sama. Apa yang membuat semuanya berbeda adalah pengaruh dari banyak hal: kelompok, negara, multinegara, komunitas diaspora, migrasi, agama, budaya, dll.[6] Meminjam dari Benedict Anderson, Appadurai mengatakan bahwa irisan dan kekentalan itu akan membentuk dunia yang diimajinasikan (imagined world). Sekali lagi, karena kental-cairnya tidak sama, dunia yang diangankan juga akan berbeda-beda.[7]

Selain definisi globalisasi di atas, definisi lain dari berbagai bidang keilmuan, seperti disitir Jan Nederveen Pieterse, juga menarik disimak. Menurutnya, di dalam ekonomi, globalisasi merujuk pada internasionalisasi ekonomi yang berasal dari sistem produksi yang digerakkan oleh modal global dan meluasnya pasar kapitalis. Di dalam hubungan internasional, fokusnya adalah meningkatnya ketergantungan antarnegara dan berkembangnya politik global. Negara dengan kekuatan adidaya menjadi pengikat banyak negara untuk berkumpul di sekeliling serta bergantung kepadanya, yang tak ubahnya mereka membentuk apa yang di masa lalu disebut sebagai negara vassal. Sementara di dalam studi budaya, muncul standardisasi budaya dunia seperti McDonaldisasi dan Coca-Colanisasi.[8]

Berbagai definisi yang dihimpun Pieterse di atas tampak sekali mengaitkan globalisasi dengan wujud baru dominasi. Globalisasi tak ubahnya bentuk penjajahan baru setelah runtuhnya era kolonisasi Eropa. Dengan berbagai teknik baru, Eropa dilihat tetap ingin mendominasi dunia ketiga untuk mendapatkan banyak keuntungan, terutama ekonomi. Pandangan ini melihat kolonialisme tidak pernah benar-benar runtuh, tetapi bermetamorfosis ke dalam bentuk baru dan terus berusaha menguasai dunia melalui globalisasi.

Meskipun relatif baru, berdasarkan definisi-definisi yang menyatakan bahwa globalisasi merupakan hasil interaksi dan soal pengaruh-memengaruhi, penting dikemukakan bahwa fenomenanya sesungguhnya telah ada jauh sebelum 1980-an, termasuk di Indonesia. George Coedes, misalnya, di dalam bukunya yang terkenal, The Indianized States of Southeast Asia, menyebut bahwa jauh sebelum masuk pengaruh kolonial, kerajaan-kerajaan di Indonesia telah mengalami indianisasi (Indianization).[9] Dalam berbagai segi, apa yang disebut Coedes sebagai indianisasi sesungguhnya adalah bentuk globalisasi.

Selain soal definisi, diskusi tentang globalisasi juga banyak menyangkut efeknya. Di dalam dunia yang semakin tak berjarak itu, Cak Nun mengingatkan bahwa globalisasi akan menghilangkan kekhasan dan identitas. Semuanya bercampur dan merata, larut satu sama lain. Dalam kata-kata Cak Nun, tak ada lagi lombok, brambang, bawang, garam, dan terasi lagi. Semua bercampur dan sama.

Apa yang ditakutkan Cak Nun itu juga menjadi keprihatinan Arjun Appadurai. Dia menyebut bahwa efek paling menakutkan dari globalisasi adalah homogenisasi yang menabrak heterogenisasi. Globalisasi sendiri adalah proses penghancuran sang heterogen. Meski begitu, Appadurai mengingatkan bahwa globalisasi atau homogenisasi bukan semata soal menjadi Amerika atau menjadi Barat. Di Irian Jaya, begitu tulis Appadurai, yang dikhawatirkan barangkali bukan Amerikanisasi, melainkan Indonesianisasi, sebagaimana Japanisasi di Korea, Indianisasi di Sri Lanka, Vietnamisasi di Kamboja, Rusianisasi di Armenia, dst. Ide tentang bangsa, yang diterjemahkan Anderson sebagai komunitas terbayang,[10] bagi Appadurai, jelas sekali membawa gagasan homogenisasi, karena pada saat itu dia juga berarti penjara politik (political prison) untuk heterogenisasi.[11]

Pertanyaannya, sampai di “unit” terkecil apakah yang sesungguhnya disebut heterogen itu? Apakah yang heterogen atau different itu? Pertanyaan ini penting karena berkaitan dengan jawaban di “tingkat” mana homogenisasi (yang dikhawatirkan) itu berlangsung. Tingkat nasional seperti dalam teori nation-nya Anderson ataukah tingkat global?


Globalisasi Media

Hingga tahun 1990-an, tagline Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang sering kali dipertontonkan kepada khalayak di sela acaranya adalah “menjalin persatuan dan kesatuan”. Tagline itu setidaknya menunjukkan angan bahwa media TVRI menyatukan Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dengan penghuninya yang memiliki keragaman etnis, suku, agama, budaya, dst.

Pada tahun-tahun itu, angan tersebut ternyata bukan monopoli TVRI saja. Di Inggris, terutama sebelum 1980-an, BBC juga diniatkan seperti itu. John Reith, direktur jenderal pertamanya, menegaskan bahwa:

Penyiaran harus menyumbang kehidupan publik dan politik bangsa... penyiaran juga mesti membantu membentuk rasa persatuan nasional... membuat buhul yang mengikat para pendengar yang berbeda-beda dengan jiwa kehidupan nasional.[12]
Setelah masa perang yang mencerai-beraikan, media atau penyiaran dianggap mampu dan paling pas untuk membawa rakyat ke kehidupan yang berbangsa dan berkebudayaan yang sama. Kala itu ada dua peran penyiaran, yaitu melayani ruang publik negara-bangsa dan mengidentifikasi budaya nasional.[13] Tugas itu terutama dibebankan kepada lembaga penyiaran publik.

Bersamaan dengan globalisasi, sekarang keadaannya berbeda sama sekali dari gambaran di atas. Kalau dulu pemirsa dan pendengar disapa sebagai warga negara dari sebuah komunitas nasional, sehingga bersifat politis, sekarang mereka diacu sebagai entitas ekonomis, yakni sebagai bagian dari konsumen. Kalau di masa lalu ruang pemirsa dibatasi oleh sekat negara atas nama kepentingan nasional, di masa kini ruang itu luluh oleh kepentingan ekonomi. Di zaman ini, media dan penyiaran tidak lagi ditujukan untuk membawa masyarakat pemirsanya pada satu identitas bangsa, melainkan diarahkan untuk merespons keinginan konsumen dan memaksimalkan pilihan konsumen itu.

Disetir logika ekonomi dan pencarian keuntungan yang berlipat, penyiaran berlomba memasarkan produknya agar diterima sebanyak mungkin konsumen, tidak hanya di tempat atau negara di mana penyiaran itu berada, tetapi juga di wilayah atau negara lain. Muncul kemudian istilah “televisi tanpa batas” (television without frontiers) atau semacamnya. Istilah itu mengacu pada penyiaran yang berhasil melampaui sekat negara karena diterima juga di negara lain. Pada titik ini, media penyiaran telah mengalami globalisasi (globalized media).

Setidaknya ada tiga cara media-media mengalami globalisasi. Pertama, kepemilikannya oleh perusahaan atau korporasi lintas negara. Kita bisa melihat misalnya kerajaan bisnis media Rupert Murdoch yang berada di banyak negara. Cara baru dalam berinvestasi melalui kepemilikan saham memungkinkan pebisnis media di satu negara punya kerajaan bisnis penyiaran di negara lain. Di sebalik itu, investasi tersebut menjadi tidak mustahil karena regulasi negara-negara yang mengarah pada “deregulation” akibat mementingkan keterbukaan pasar atas nama liberalisasi ekonomi.[14]

Cara kedua, media-media hadir melampui sekat negara. Misalnya, The Economist yang bisa dibeli atau dibaca di mana-mana meskipun jauh dari negara tempat penerbitnya berada. Beberapa media juga membuat versi lokal, biasanya lebih menekankan versi bahasa, untuk terbitannya yang dijual di negara lain. Ada Playboy versi Jerman, Italia, Jepang, dll. Cara ketiga, yang dijual di banyak negara bukan medianya, melainkan konten atau acaranya. Kita bisa menyaksikan American Idol bisa muncul di Qatar, Libanon, Indonesia, dan Afrika Selatan. Demikian pula kuis “Who Wants to Be a Millionare” bisa muncul di televisi-televisi mana pun di dunia. Atau Liga BBVA, Premier League, League-1, Bundesliga yang semuanya lengkap bisa kita tonton dari televisi di rumah kita.

Baik cara kedua maupun ketiga, globalisasi media yang terjadi lebih substansial ketimbang yang pertama. Cara kedua dan ketiga ini, dalam bahasa Appadurai, disebut mediascapes yang terjemahannya adalah sebagai berikut:



Mediascapes merujuk baik pada distribusi kemampuan-kemampuan elektronik untuk membuat dan menyebarkan informasi (koran, majalah, stasiun televisi, dan rumah produksi film), yang jumlah peminatnya sekarang meningkat di seluruh dunia, maupun pada gambaran dunia yang dibentuk atau diimajinasikan oleh media-media itu.[15]


Globalisasi bentuk penyiaran dan kontennya tersebut lebih dimungkinkan dan didukung oleh perkembangan teknologi informasi. Lewat kecanggihan Internet, misalnya, kita bisa membeli versi daring The Economist. Dengan relay satelit dan teknologi tertentu, tayangan Cartoon Chanel dapat disaksikan dengan membayar langganan melalui televisi kabel.

Media yang terglobalisasi, yang dari sisi penghiburan barangkali lebih menarik, pada gilirannya mematikan hal-hal yang bersifat lokal. Tayangan kartun dari studio Jepang lebih dikenal anak-anak Indonesia, dan Si Unyil pun kehilangan penontonnya. Pertanyaannya, bagaimana fenomena hilangnya yang lokal ini dikaitkan dengan hak atas perbedaan atau hak atas identitas?


Hak dan Identitas Budaya

Di luar narasi-narasi besar tentang perbedaan yang didasarkan pada etnisitas, bahasa, ras, dan agama, pada dasarnya setiap orang adalah unik dan punya sifat yang berbeda dari sesamanya. Perbedaan-perbedaan itu membuat seseorang atau sekelompok orang kemudian memiliki identitas. Hegel dengan tepat mendefinisikan identitas sebagai identitas atas identitas dan perbedaan (identity is identity of identity and difference). Definisi identitas juga berkaitan erat dengan modernitas, yang praktiknya terlembagakan dalam teritori modern (batas negara) serta praktik konsumsi (industrialisasi dan ekonomi kapitalis). Pada akhirnya itu mengatur praktik kultural yang membuat kita mesti mengikatkan diri pada pembedaan spesifik seperti seksualitas, kelas, agama, etnisitas, dst.[16]

Karena bisa sangat mikro, identitas pun bisa mewujud sebagai identitas diri di tingkat paling kecil, identitas kultural atau budaya, hingga identitas nasional sebagaimana angan TVRI di atas. Selain memiliki identitas, seseorang atau sekelompok orang juga memiliki hak untuk mengekspresikan identitasnya yang diatur dalam konstitusi negara dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, misalnya, tegas disebutkan bahwa setiap orang punya hak atas pengakuan (Pasal 28 D ayat 1) serta hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3).

Di tengah masyarakat yang plural, kenyataan yang terjadi tidaklah seindah yang dikatakan dalam konstitusi. Kita sering mendapati kenyataan seseorang yang tidak diakui hak-hak dasarnya, seperti penganut Syiah dan Ahmadiyah yang tidak bisa beribadah secara terbuka, penganut agama lokal yang tidak bisa mencantumkan agamanya dalam KTP, atau kaum homoseksual yang tetap tidak mendapatkan tempat.

Multikulturalisme punya tiga prasyarat yang mesti dipenuhi negara ketika berhadapan dengan banyak kebudayaan. Pertama, pengakuan atau recognition. Semua kebudayaan mesti mendapatkan pengakuan yang sama oleh negara. Kedua, perwakilan atau representation. Ada orang-orang tertentu dari kebudayaan itu yang bisa menjadi penyalur mereka dalam berkomunikasi dengan negara. Ketiga, pembagian atau redistribution. Semua kebudayaan yang berbeda-beda itu mesti mendapatkan perlakuan yang sama, dalam pengertian yang Rawlsian, dari negara. Tujuan akhirnya adalah jaminan keadilan bagi semua.[17]

Dalam praktiknya, pelaksanaan ketiga hal tersebut juga tidak menjamin keadilan bisa dicapai. Susan Moller Okin di dalam Is Multiculturalism Bad for Women? misalnya menyebutkan bahwa pelaksanaan praktik multikulturalisme semacam itu terkadang merugikan beberapa pihak seperti perempuan. Hal tersebut terjadi karena ada kebudayaan yang kalau diakui justru merugikan kehidupan bersama.[18]

Dalam perkembangan terkini, ancaman terhadap ekspresi budaya tertentu bukan saja datang dari negara sebagaimana di atas, tetapi yang lebih massif berasal dari globalisasi. Menurut Michael Hsiao, ada empat hasil perjumpaan globalisasi dengan kebudayaan lokal. Pertama, sebagaimana sering ditakutkan banyak orang, budaya lokal digeser oleh budaya global. Ada banyak contoh, misalnya permainan anak tradisional yang hilang dan berganti dengan permainan daring. Kedua, budaya lokal dan budaya global hidup berdampingan tanpa ada penyatuan berarti di antara keduanya (koeksistensi). Misalnya, budaya perang di dalam masyarakat terdidik Papua.

Ketiga, budaya lokal dan budaya global menghasilkan sintesis budaya baru sebagai perkawinan keduanya. Contohnya adalah wayang dengan muatan Islam. Keempat, budaya global ditolak oleh budaya lokal yang kuat, seperti masyarakat Badui yang menolak kehidupan modern.[19]

Meskipun ada empat dampak sebagaimana di atas, tergesernya budaya lokal oleh budaya global menjadi tantangan yang paling dikhawatirkan, kadang-kadang diacu dengan istilah penjajahan budaya (cultural imperialism). Dalam kaitannya dengan media, hadirnya globalisasi media membuat ekspresi budaya lokal terpinggirkan. Film Batman atau Spiderman, misalnya, banyak menguasai layar-layar sinema tanah air dan menjadi perbincangan hangat ketika film-film tersebut diluncurkan. Dari segi jumlah penonton, misalnya, film-film Indonesia jauh tertinggal dari film-film produksi Hollywood. Di layar televisi kita, tayangan MTV jauh memikat anak muda ketimbang tontonan tradisi seperti wayang.

Tapi benarkah bahwa subjek yang terpapar oleh globalisasi media merupakan subjek yang pasif, yang hanya menerima begitu saja? Apakah hasil paparan media global itu akan menghasilkan efek yang sama? Paparan di bawah akan menelisik lebih jauh pertanyaan-pertanyaan ini.


Subjek yang Aktif, Pencampuran yang Berubah-ubah

Meskipun menyebut bahwa efek paling menakutkan dari globalisasi adalah homogenisasi yang menabrak heterogenisasi, Appadurai menggarisbawahi bahwa sulit sekali membayangkan dunia akan benar-benar homogen.[20] Di ranah filsafat, dengan tegas dikatakan bahwa kesadaran manusia pada hakikatnya adalah plural. Meskipun selalu ada upaya dominasi, dengan cara-cara baru yang sangat kreatif, banyak pemikir semacam Roland Barthes, Michel Foucault, dan Jacques Derrida, untuk menyebut beberapa, selalu menekankan upaya resistensi oleh subjek. Di depan dominasi atau homogenisasi, subjek pada dasarnya adalah subjek yang aktif, bukan pasif.[21]

Karena itu, bagi Appadurai, yang terjadi sesungguhnya adalah ketegangan abadi antara menjadi homogen dan menjadi heterogen. Hasrat untuk menjadi heterogen tersebut tampak sekali dalam definisi kedua mediascapes yang menekankan konten media: gambaran dunia yang dibentuknya, yang merupakan imagined world, berbeda-beda dan tidak sama. Apa yang membeda-bedakan gambaran dunia tersebut, sebagaimana telah dipaparkan di awal, adalah pencampuran atau kekentalan globalisasi yang tidak sama. Sekali lagi, semuanya dipengaruhi oleh berbagai hal seperti agama, kultur, keluarga, negara, dan lain sebagainya.[22]

Pada titik ini, kita bisa memandang, misalnya, di tengah arus deras film impor yang berasal dari rumah sinema Hollywood, kita masih bisa menyaksikan sekelompok mahasiswa yang mengadakan festival atau kontes film lokal. Demikian pula selalu ada upaya anak muda memasukkan tradisi atau mencampurakannya ke jenis musik tertentu. Dari kacamata Appadurai, ini adalah upaya untuk menjadi heterogen di tengah globalisasi yang mengangankan homogenitas.

Kecuali subjek dapat membuat konten yang tidak sama, sebagaimana dicontohkan di atas, yang dalam pencampuradukan musik tadi menyiratkan sejauh apa seseorang terglobalkan, menurut Appadurai, konten media yang sama (akibat globalisasi) juga akan diresepsi oleh khalayak dengan tafsiran yang berbeda-beda.[23] Dalam menonton film-film Barat, setiap orang bisa punya sudut pandang berlainan. Ada yang setelah menontonnya kemudian meniru gaya pakaian tokoh film, ada pula yang mengimitasi aksen bahasanya, bahkan barangkali ada yang menolak dan membuat tampilan yang berbeda sama sekali dari apa yang digambarkan film tersebut.

Dalam beberapa segi, perbedaan konsumsi terhadap produk media-media global sering kali membuat identitas menjadi ambigu, menghasilkan apa yang disebut dalam teori poskolonial sebagai budaya hibrid. Budaya hibrid adalah pencampuradukan yang lokal dan global sekaligus, menghasilkan apa yang disebut “glokalisasi”.[24] Hibridasi budaya misalnya tampak dari anak muda Indonesia yang jauh lebih akrab dengan tata rambut dan pakaian ala Korea. Anak muda ini menyangka bahwa yang Korea-lah yang dia sebut modern dan layak diikuti.[]

____________

[1] Lihat dalam kumpulan esainya, Markesot Bertutur Lagi, (Bandung: Mizan, 2013).

[2] Budi Winarno, “Globalisasi dan Dampak Pembangunan: Bagaimana dengan Indonesia”, pidato pengukuhan guru besar Fisipol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 5 Desember 2005, hlm. 14.

[3] Annabelle Sreberny, “The Global and the Local in International Communications”, M.G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell, 2006), hlm. 605.

[4] Sreberny, “The Global and the Local”, hlm. 605.

[5] Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”, G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell, 2006), hlm. 589.

[6] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 589.

[7] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 589.

[8] Jan Nederveen Pieterse, “Globalization as Hybridization”, G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell, 2006), hlm. 658.

[9] George Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, (Hawaii: University of Hawaii Press, 1968).

[10] Benedict Anderson, Imagined Community, (London: Verso).

[11] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 588.

[12] David Morley and Kevin Robins, Spaces of Identity: Global Media, Electronic Landscapes and Cultural Boundaries, (London-New York: Routledge, 1995), hlm. 10.

[13] Morley and Robins, Spaces of Identity, hlm. 10.

[14] Morley and Robins, Spaces of Identity, hlm. 11-12.

[15] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 590.

[16] John Tomlinson, “Globalization and Cultural Identity”, The Global Transformations Reader: An Introduction to the Globalization, (Cambridge : Polity, 2003), hlm. 272-273.

[17] Lihat lebih lanjut ketiganya dalam Will Kymlicka, Multicultural Citizenship, (Oxford: Oxford University Press, 1995).

[18] Susan Moller Okin, Is Multiculturalism Bad for Women? (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1999).

[19] Michael Hsiao, “Coexistence and Synthesis: Cultural Globalization and Localization in Contemporary Taiwan”, (Oxford Scholarship Online Monographs, 2002), hlm. 48-68.

[20] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 588.

[21] Diskusi tentang ini, lihat Bagus Takwin, Kesadaran Plural: Sebuah Sintesis Rasionalitas dan Kehendak Bebas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2005).

[22] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 588.

[23] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 588.

[24] Joseph Straubhaar, “(Re)Asserting National Television And National Identity Against the Global, Regional, and Local Levels of World Television”, M.G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell, 2006).


____________

Kredit gambar: Atas | Tengah.

Kugai, Ruang Publik ala Jepang




Tatsuro Hanada, “Kugai: The Lost Public Sphere in Japanese History”, Andrew Calabrase & Colin Sparks (eds), Toward a Political Economy of Culture: Capitalism and Communication in the Twenty-First Century, (Lanham-Boulder-New York-Oxford: Rowman & Littlefield Publishers Inc., 2003): 95-110.


BUKU YANG diedit Andrew Calabrase & Colin Sparks ini diberi anak judul “capitalism and communication in the twenty-first century” (kapitalisme dan komunikasi di abad ke-21). Anak judul tersebut menunjukkan bahwa artikel-artikel di dalamnya tampak diniatkan untuk mengudar rupa kapitalisme modern. Dengan itikad itu, artikel Tatsuro Hanada, “Kugai: The Lost Public Sphere in Japanese History”, tentu tepat-untuk-sebagian dimasukkan ke dalam kumpulan tersebut dan tidak tepat untuk sebagian yang lain.

Disebut tepat karena salah satu yang menjadi isu penting terkait kapitalisme adalah ruang publik, yakni bagaimana kapitalisme memperlakukan ruang publik. Isu ini sesungguhnya telah banyak dibahas oleh para pemikir dan filsuf, utamanya Jurgen Habermas. Nyaris semua pemikir pembahasnya sepakat bahwa kapitalisme berupaya masuk ke dalam ruang publik dan menguasainya. Walhasil, ruang publik yang ada tak lain ruang publik yang tidak lagi jernih dan steril karena telah direcoki berbagai kepentingan kapital. Prinsip-prinsip seperti keadilan, keterbukaan, dan kebebasan, yang merupakan nadi dalam gagasan tentang ruang publik, hilang dari ruang tersebut. Pada titik ini, artikel Hanada yang melihat isu ruang publik dan kapitalisme tentu saja tepat masuk dalam buku Calabrase dan Sparks.

Namun, menjadi pertanyaan ketika yang diceritakan Hanada dalam artikelnya adalah kugai yang menurut Hanada merupakan ruang publik yang terdapat di Jepang pada masa lalu. Kugai sendiri telah hilang sejak Jepang melakukan modernisasi, yang bermula pada 1868. Karena yang dibahas berasal dari masa sebelum abad ke-19, apakah tepat artikel tersebut dimasukkan dalam buku yang memberi batasan “twenty-first century” di dalam judulnya?

Di luar soal kecil semacam itu, bagaimanapun artikel Hanada menarik. Artikel ini setidaknya berupaya mengkritik gagasan ruang publik (public sphere) yang bias Barat. Ruang publik sendiri didasarkan pada pengalaman Eropa dan berangkat dari nilai-nilai Eropa. Dengan sejarah yang demikian, pertanyaan yang bisa diajukan adalah apakah tepat konsep tersebut diterapkan di tempat lain yang memiliki sejarah dan pengalaman berbeda?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Hanada menelusuri sejarah Jepang dan kemudian menemukan bahwa masa lalu negara itu juga memiliki konsep yang tidak jauh berbeda dengan ruang publik, yang bernama kugai. Artikel Hanada kemudian berpanjang-lebar untuk membandingkan dua konsep itu: kugai dalam sejarah Jepang (yang dirujuk melalui Amino Yoshihiko) dan ruang publik dalam pemikiran Jurgen Habermas (dan Henri Lafebvre).

Dalam membandingkannya, titik berangkat yang diambil Hanada adalah perdebatan soal urban: Lafebvre punya konsep urban form dan Amino memiliki konsep urban sites. Dalam pemikiran Amino, urban sites merupakan “ruang yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip muen (unboundness), kugai (public realm), dan raku (fairground atau marketplace)” (hlm. 98). Tidak mudah memahami ketiga konsep itu, terlebih ketiganya sekarang hanya tinggal kenangan dalam sejarah Jepang. Kutipan berikut barangkali membantu kita memahaminya:


The kugai is site of muen—a social space constructed by the relational principle of muen. The raku is the state of muen—the dreamlike social condition that the relational priciple of muen must strive for and produce. The kugai is the space that muen brings life to, while the raku bears the markings of muen (hlm. 100).


Kutipan itu hanya berputar-putar soal muen, kugai, dan raku (tetap membingungkan!), namun memperlihatkan muen sebagai gagasan sentral. Hanada sendiri menyebut muen sebagai konsep penghubung atau perantara (relational concept atau linked concept) (hlm. 99). Apa itu muen? Sebelumnya sudah disebutkan bahwa muen adalah unboundness. Bagaimana keadaan tanpa bound itu? Amino, yang menjadi rujukan utama Hanada untuk memahami konsep ini, menyebutkan bahwa muen adalah “memutus relasi. Kehilangan relasi yang dimaksud di sini bukan sesuatu yang pasif, melainkan aktif memutus relasi dan menolak keterkungkungan (bound)” (hlm. 100). Keterkungkungan di sini antara lain menyangkut dan disebabkan oleh perbudakan, utang dan kredit, kekayaan pribadi, kepemilikan tanah, belenggu hukum, dll. Keterkungkungan tidak boleh ada. Antitesisnya adalah muen atau “kebebasan dari ikatan-ikatan yang membelenggu” yang merupakan “pendekatan liberal” (hlm. 101).

Konsep tersebut lebih dapat dipahami karena agen muen bukanlah orang yang tinggal menetap, melainkan orang yang benar-benar bebas: seniman, penghibur, rahib, dan penggerak amal yang hidup berpindah-pindah.

Tempat muen atau kebebasan tumbuh itulah yang disebut kugai. Kugai antara lain ditemukan di jalanan, kuil, pasar, dll. Di sana kebebasan dirayakan. Mereka secara bebas mengatur diri sendiri tanpa belenggu otoritas publik yang, meskipun menggunakan kata ‘publik’, sebenarnya membelenggu. Kugai sendiri adalah lawan dari otoritas publik yang kadung dikuasai oleh kaisar dan pembesar kerajaan. Dari kugai yang bebas itu, pada masa lalu Jepang terbentuk kota-kota. Hanada menyebutnya sebagai town dan di beberapa tempat sebagai city.

Walaupun kugai bisa disebut sebagai ruang publik ala Jepang, menurut Hanada, ada lima hal yang membedakannya dengan ruang publik ala Habermas. Pertama, dalam hubungannya dengan kota. Di dalam kugai, kota-kota dibentuk dari dan dengan kugai, sementara di dalam konsep ruang publik, kota dulu yang lebih dulu ada, yang membentuk ruang publik. Kedua, dalam kaitannya dengan kepemilikan pribadi. Konsep yuen (lawan dari muen) sesungguhnya adalah membentuk kepemilikan pribadi melalui upaya merengkuh kekayaan dan melindunginya. Muen dan kugai kemudian muncul menentang itu dan merayakan kebebasan dan kepublikan. Sementara itu, konsep ruang publik dalam pengalaman Eropa lahir dari kesadaran akibat dari hilangnya kebebasan-diri di dalam negara. Jadi justru berangkat dari “kepemilikan pribadi”.

Ketiga, dalam kaitannya dengan agama, kugai pada awalnya berangkat dari konsep suci dalam Buddhisme dan Shinto. Apa yang disebut ruang bebas, di dalam konsep agama-agama tersebut antara lain samudera, gunung, hutan, yang merupakan ruang bersama. Tempat-tempat itu juga disebutkan merupakan tempat yang suci. Dengan mengambil inspirasi dari ruang suci bersama itu, gagasan kugai dibentuk. Ada nuansa agama di situ. Sebaliknya, dalam pengalaman Eropa, agama justru menjadi belenggu yang membuat ruang publik hilang. Gagasan ruang publik pada akhirnya adalah gagasan menentang dominasi agama.

Keempat, terkait elemen struktural ruang publik dan kugai. Struktur ruang publik adalah ruang intim keluarga borjuis, masyarakat aristokrat, dan pasar. Dalam membentuk ruang publik literer, elemen-elemen itu kemudian saling bahu-membahu menyongsong pencerahan. Sedangkan di dalam kugai, menurut Animo, awalnya adalah rumah tangga ningrat, ruang urban, dan hiburan. Kelima, tentang media: warung kopi, klub makan, dan pamflet menjadi media yang efektif untuk warga bertukar gagasan. Sementara di dalam kugai, ada biarawan penggerak amal yang berperan menjadi mediator dan galeri penonton dalam hiburan yang menjadi ruang media.

Dengan lima perbedaan konsep kugai dan ruang publik, artikel Hanada setidaknya menunjukkan bahwa di dalam masyarakat non-Eropa barangkali ada konsep-konsep seperti ruang publik. Tidak persis sama memang, namun konteks tempat akan memperlihatkan keunikan hal-hal yang mirip dan berbeda dengan ruang publik ala Eropa. Dengan mencari akar sejarah atau tradisi ruang publik di luar Eropa, Hanada membuktikan ada ruang publik yang lain.

Namun, pertanyaannya, mengapa ruang publik kugai itu hilang dan hanya menjadi masa lalu Jepang? Sayangnya Hanada tidak membahas ini. Padahal, jika ini dibahas, kita akan mendapati contoh kasus jatuhnya ruang publik di hadapan kapitalisme yang pasti berbeda-beda penyebab dan prosesnya di tempat yang berlainan. Saya menduga, konsep kugai yang menghasilkan kota kemudian menghilangkan dan mematikan kugai itu sendiri. Di dalam kota, kapitalisme kemudian tumbuh yang kemudian segera direspons dengan kehadiran modernitas. Hanada menyebutkan, “Tidak seperti ruang publik, setelah kehadiran kota, kugai tidak terkopseptualisasi dan terinstitusinalisasi sehingga tidak bisa bertahan” (hlm. 103). Kugai dengan demikian bermasalah bahkan di dalam konsepnya.[]


Film Feminis: Teori dan Operasi



FILM,[1] BAGAIMANAPUN, merupakan karya kebudayaan yang lebih baru dibanding karya lainnya seperti buku.[2] Dari sini bisa diduga bahwa kajian terhadap film, apalagi film perempuan atau film feminis, relatif lebih sedikit. Dalam buku Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (2005), yang disebut-sebut sebagai peta masuk ke pemikiran feminis (Prabasmoro, 2005: xvii), misalnya, Rosemarie Putnam Tong tidak mengulas bahkan tak menyinggung satu pun film perempuan atau film feminis. Padahal, buku tersebut mengupas nyaris semua karya tentang feminisme, dari masa klasik hingga kontemporer.
Namun, seiring perkembangan, kajian terhadap budaya populer (popular culture), tak terkecuali film, menguat, termasuk di Indonesia. Sayangnya, terutama dalam konteks Indonesia, seperti sinyalemen Richard Oh, kajian-kajian yang muncul sangat tidak mendalam, yang hanya menghasilkan apa yang disebut Roland Barthes sebagai kritik “neither-no”, kritik yang bukan ini maupun itu. Kajian semacam itu lebih untuk kepentingan resensi atau ulasan sekilas yang dimuat di koran-koran dan majalah ketimbang demi kepentingan akademis. Berikut kegusaran Oh (2008) tentang fenomena tersebut:
Menjadi kritikus film di negara ini ternyata sangat mudah. Tidak perlu prakualifikasi, tidak seperti seorang pakar ekonomi yang minimal perlu gelar sarjana ekonomi atau pengalaman sebagai seorang praktisi bisnis. Kredensial seorang kritikus film kita berkisar dari pemerhati film, kataloger film, penggiat film, hingga wartawan khusus film.
Maka, tidaklah mengherankan jika resensi film yang tiap minggu kita baca di beberapa media besar seperti saling sahut-menyahut, hampir seragam dalam penafsirannya, ataupun kisaran penafsirannya. Kritikan para ’kritikus’ ini pada akhirnya tidak ubahnya muntahan segar seorang penonton, sebuah impresi superfisial tentang sebuah karya. Tidak bisa ditanggapi sebagai sebuah kritikan. Karena tulisan seperti itu tidak menukik ke dalam eksplorasi-eksplorasi pemikiran (Oh, 2008).
Tulisan ini pertama-tama akan mengemukakan apa itu film feminis. Definisi tersebut dipaparkan secara historis sejak kemunculannya pertama kali serta perdebatan tentangnya. Kalau bagian tersebut lebih bersifat teoretis, bagian selanjutnya dari tulisan ini merupakan operasi dari teori tersebut. Bagian kedua ini akan melihat berbagai hasil penelitian yang mengkaji film Indonesia berdasarkan perspektif feminisme.

Film Feminis
MENURUT PATRICIA Erens (1990: xvi), kemunculan teori film feminis (feminist film) dipengaruhi oleh feminisme gelombang kedua. Pendapat ini tentu saja mempertimbangkan pembabakan feminisme oleh Julia Kristeva. Di dalam Women’s Time, Kristeva menggambarkan bahwa feminisme bergerak dalam gelombang-gelombang, yang terbagi menjadi tiga gelombang (Tong, 2005; bdk. Prabasmoro, 2006: 40). Kalau gerakan feminisme gelombang pertama berusaha menuntut kesejajaran hak antara perempuan dan lelaki, feminisme gelombang kedua yang dimulai pada 1968 justru menekankan perbedaan radikal perempuan dan lelaki, yakni ada hak yang berbeda antara lelaki dan perempuan yang tak bisa dipersamakan. Namun demikian, hak-hak perempuan itu wajib dipenuhi.
Pertanyaannya, apakah setelah semua hak itu diberikan, gerakan pembebasan perempuan telah paripurna? Ternyata tidak. Dipengaruhi banyak pemikiran pascamodernisme, feminisme gelombang ketiga atau belakangan disebut posfeminisme (post-feminism) menengarai bahwa apa yang disebut “hak perempuan” telah terdefinisi oleh bahasa yang menurut Jacques Derrida bersifat fasis (bdk. Al Fayyadl: 2005; Sumarwan, 2005). Karena itu, feminisme lanjut ini menawarkan pembebasan yang dimulai dari dekonstruksi bahasa.
Dalam konteks penekanan pada perbedaan perempuan dan lelaki itulah teori film feminis lahir di Amerika Serikat pada awal 1970-an, dimulai dengan aplikasi teori-teori baru yang bermunculan, yang secara umum merupakan teori sosiologi. Para sarjana feminis memakai teori-teori itu untuk menganalisis film, terutama demi melihat karakter perempuan di dalamnya, selain memeriksa stereotipe perempuan yang muncul setelah masyarakat menontonnya. Buku yang dianggap penting pada awal teori ini dibangun, menurut Erens (1990: xvi), adalah Popcorn Venus: Women, Movies, and the American Dream karya Marjorie Rosen (1973) dan From Reverence to Rape: The Treatment of Women in Movies karangan Molly Haskell (1974). Kedua buku tersebut berusaha melihat bagaimana perempuan “dirusak” di dalam film, yakni terkait stereotipe, lama-tidaknya screen time diberikan kepada perempuan, juga apakah perempuan diperlihatkan sebagai aktif atau pasif.
Namun demikian, menurut Freeland (2009), yang banyak menyumbang bagi pembangunan teori film feminis adalah esai klasik Laura Mulvey, “Visual Pleasure and Narrative Cinema” (1975). Esai ini sendiri acap disebut sebagai “founding document teori film feminis” (Modleski) serta penyedia “dasar teoretis untuk menolak Hollywood dan hasratnya” (Penley). Di dalam esai tersebut Mulvey menegaskan bahwa lelaki dan perempuan diposisikan berbeda oleh film: lelaki sebagai subjek yang memihak pada agen-agen yang menyetir narasi film, sementara perempuan sebagai objek hasrat maskulin dan objek tatapan fetis (fetish). Dia berasumsi bahwa gambar film merupakan media simbolik yang, seperti aspek budaya massa lainnya, membentuk penonton sebagai subjek borjuis.
Menurut Mulvey (via Freeland, 2009), ada tiga “pandangan” atau perspektif di dalam film yang mengobjektifikasi perempuan. Pertama, perspektif karakter lelaki di atas layar kaca dan bagaimana dia menyadari karakter perempuan. Kedua, perspektif khalayak sebagai penonton karakter perempuan di layar kaca. “Pandangan” ketiga menggabungkan keduanya: perspektif anggota khalayak lelaki terhadap karakter perempuan di dalam film. Perspektif ini membolehkan khalayak lelaki mengambil karakter perempuan sebagai objek personal seks dirinya sendiri karena dia bisa menghubungkan dirinya, melalui tatapan, dengan karakter lelaki di dalam film.
Atas objektifikasi itu, Mulvey menerima destruksi struktur film sebagai cara pembebasan perempuan. Intinya kita harus mengambil nafsu pandangan yang disediakan film dengan membuat jarak antara penonton lelaki dan karakter perempuan. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah merusak elemen kesenangan (voyeurism) dan “tamu yang tak tampak”.
Ide-ide melihat film tersebut kemudian oleh para teoretisi Inggris diintegrasikan dengan teori-teori psikoanalisis-nya Lacan (sebagaimana yang dilakukan Mulvey), semiotika, dan Marxisme-nya Althusser (Erens, 1990: xvii; Freeland, 2009). Dalam pandangan ini, subjek dibentuk melalui berbagai proses significatory (sign factory, pabrikasi tanda) yang kompleks, termasuk melalui film. Mereka juga menengarai, teks-teks realis klasik dalam film-film Hollywood tradisional merupakan pelengkap bagi ideologi borjuis. Karena itu, analisis film secara umum difokuskan pada “produksi makna di dalam sebuah teks film, cara teks mengkonstruksi tontonan (viewing) subjek, dan cara-cara di mana mekanisme produksi film itu juga memengaruhi representasi perempuan dan memperkuat seksisme” (Erens, 1990: xvii).
Berdasarkan analisis tersebut, dari perspektif feminisme, sebuah film kemudian bisa dibedakan menjadi film feminis dan antifeminis. Teresa de Lauretis di dalam “Rethinking Women’s Cinema: Aesthetic and Feminist Theory” menyebut film feminis berupaya “menyapa penontonnya sebagai perempuan, apa pun gender si penonton ... mendefinisikan semua titik identifikasi (dengan karakter, citra, kamera) sebagai perempuan (female),[3] feminin, atau feminis” (Prabasmoro, 2006: 331). Sementara menurut Sharon Smith, film feminis adalah film yang di dalamnya tokoh perempuan diberi peran yang berbeda dari stereotipe di “dunia nyata”. Di sini film feminis diharapkan dapat menjadi perangkat untuk melakukan pemikiran serta penilaian ulang atas stereotipe peran tradisional berdasarkan jenis kelamin (Prabasmoro, 2006: 335).
Definisi film feminis tersebut, sebagaimana definisi film religius, tidak rigid. Terlebih tak ada film yang secara terang diberi label “film feminis”, tidak seperti “film dewasa”, di samping sebagai sebuah identifikasi, setiap pelabelan selalu bersifat terbuka atau jamak atau terbelah (split) (bdk. Malouf, 2004).
Modleski sendiri menyebut pelabelan, yang berangkat dari representasi, sejalan dengan formasi diskursif sosial, kultural, dan tekstual. Artinya, suatu identitas bisa bersama dengan identitas lainnya. Seseorang bisa sebagai warga negara sekaligus aktivis perempuan. Karena itu, film Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2010) yang berkisah tentang seorang perempuan yang mendapatkan kekerasan di pesantren namun kemudian bisa membebaskan diri dan melakukan pemberdayaan perempuan di sana, misalnya, bisa menjadi film feminis sekaligus (barangkali) film religius.[4]
Pertanyaannya, (genre) film seperti apa yang bisa dikategorikan sebagai film feminis? Pertama, film yang menyajikan perempuan bersifat disruptif (disruptive) terhadap kebudayaan patriarkhal. Prabasmoro (2006: 335) mencontohkan:
Kekuatan disruptif sinema feminis atas nilai-nilai patriarkal dalam persoalan seksualitas, misalnya dapat dilihat dalam film seperti A Question of Silence, Antonia’s Line hingga film yang paling menohok seperti Boys Don’t Cry. Setiap film tersebut menampilkan perempuan yang lesbian atau transeksual/transgender, atau yang seksual, yang mempunyai kuasa dan kendali atas seksualitasnya sendiri dan dengan cara itu bahkan memperolok seksualitas laki-laki. A Question of Silence, yang disutradarai Marleen Gorris, misalnya, menampilkan dua tubuh telanjang laki-laki sedemikian sehingga menjadi objek pandangan penonton [yang memang dimaksudkan perempuan]. Film ini juga menertawakan ketidakmengertian laki-laki atas adanya hasrat membunuh pada perempuan. Film Gorris lainnya, Antonia’s Line, penuh dengan tokoh perempuan yang menolak untuk dikaitkan secara institusional kepada heteroseksualitas dan motherhood.
Sebagai perbandingan, di dalam sastra, dua novel Ayu Utami, Saman dan Larung, yang mengumbar seksualitas perempuan secara terang, sebagai dekonstruksi atas komodifikasi seksualitas perempuan sebagai korban dan objek lelaki, sering dikatakan sebagai novel feminis (bdk. Prabasmoro, 2006: 317-318; Bandel, 2005).
Tentu saja ada bahaya ketika menjadikan kebebasan seksual seperti itu sebagai standar atau penanda bagi kebebasan perempuan. Di dalam sastra, Katrin Bandel (2005) berargumen, alih-alih membebaskan, karya Ayu Utami terperangkap pada falogosentrisme[5] bahkan antifeminis. Di lapangan film, Johnston mengatakan bahwa film semacam itu tidak menyubversi mitos atau stereotipe yang sudah ada, melainkan meneguhkannya. Intinya, cara pembebasan seperti itu kerap problematis dalam dirinya sendiri.
Namun demikian, hal yang tak kalah problematis juga terdapat dalam genre film roman(tis) yang menurut Prabasmoro juga merupakan film feminis. Pearce & Wisker di dalam Fatal Attractions: Rescripting Romance in Contemporary Literature mendefinisikan kisah cinta romantis sebagai “re/produksi hasrat infantil manusia” dan roman merupakan “representasi kultural atas hasrat itu” (Prabasmoro, 2006: 333). Roman dipahami sebagai kisah cinta, dan biasanya menampilkan problema yang dihadapi sepasang kekasih untuk dapat bersatu. Persoalannya, dalam film roman(tis), perempuan sering ditampilkan dalam peran, sifat, serta harapan dan gagasan dengan segenap stereotipe diatribusikan kepadanya. Kendrick bahkan beragumentasi bahwa roman bersifat “eskapis, masturbatori, dan eksploitatif” serta Ann Douglas menyebut roman sebagai “langkah mundur gerakan perempuan” (Prabasmoro, 2006: 333).
Meski demikian, bukan berarti tak ada “harapan” di dalam roman. Kata Radway, justru terdapat kemungkinan resistensi di dalam genre roman. Prabasmoro sendiri yang awalnya ragu dengan kemungkinan itu menaruh harapan terutama ketika menyadari perempuan merupakan konsumen roman yang paling besar dan setia, baik roman dalam bentuk buku, film, atau telenovela dan sinetron (bdk. Budiman, 1999). Ketika kemungkinan resistensi ada, film roman(tis) dapat memberikan ruang bagi perempuan yang berada di luar pagar akademis yang tidak membaca teks akademik feminis untuk menjadi female, feminin, dan feminis dalam pengalaman mereka sendiri (Prabasmoro, 2006: 333-334).


Kekosongan Akademik
SEBAGAIMANA SINYALEMEN Oh di awal tulisan ini, tidak banyak karya akademis yang membahas film Indonesia secara serius, apalagi yang berhubungan dengan persoalan perempuan. Oh sendiri membuat persyaratan sebuah ulasan film yang tidak mudah dipenuhi, yakni karya yang dibuat “kritikus sejati” itu harus mampu “membedah setiap detail gambar, suara, kerangka, makna, pergelutan ungkapan seorang sutradara”, punya “kepiawaian”, mampu “merinci sinematografi” (Oh, 2008). Di samping itu, kata Oh, penulisnya harus:

...punya kualifikasi juga dalam bidang ini [film], seperti pencahayaan, pengambilan sudut gambar, penggunaan lensa kamera, problema digital dan seluloid dan bahasa visual seorang sutradara... paham tentang penyuntingan film, struktur narasi, penguasaan genre film tertentu, konsistensi karakterisasi, nada yang ditekan pada satu titik atau titik-titik tertentu (Oh, 2008).

Oh masih menambahkan satu syarat lagi, yakni penulisnya mesti seorang pemikir: “boleh saja...tidak menguasai semua aspek perfilman, tetapi ia dituntut bisa berpikir secara sistematis” (Oh, 2008).
Tentu saja sebuah karya akan sangat sulit memenuhi harapan Oh itu. Dan di Indonesia, yang banyak adalah ulasan-ulasan sekilas di blog-blog maupun koran, yang membahas apa pun tentang sebuah film, antara lain fenomena histeria penonton, sekilas tentang film tersebut, maupun sekadar pujian yang merupakan kesan semata tentangnya, yang disebut Oh sebagai “neither-nor”.
Namun, apa pun itu, studi “serius” tentang film Indonesia dan perempuan perlu juga dikemukakan di sini, terutama studi yang panjang, bukan ulasan sekilas, melainkan minimal sepanjang artikel yang dimuat di jurnal-jurnal ilmiah. Pertama, Krishna (Sen) yang menulis “Wajah Wanita dalam Filem Indonesia: Beberapa Catatan”. Studi yang dilakukan Krishna sudah sangat lama, sebagaimana ejaan yang dipakai masih “filem”, bukan “film”, yakni 1981. Di sana Krishna membahas film-film dengan bintang utama perempuan. Hasilnya, menurut Krishna, di dalam film Indonesia kala itu, perempuan yang bisa diterima adalah perempuan yang menikah, yang melahirkan dan mendidik anak, merawat rumah tangga, serta tergantung pada lelaki. Artinya, ada upaya pengiburumahtanggaan (housewification) terhadap perempuan di dalam film.
Hampir sepuluh tahun kemudian atau 1990, Sita Aripurnami menulis “Sosok Perempuan dalam Film Indonesia”. Studi Sita berusaha mengonfirmasi kesimpulan studi Krishna di atas, sebagaimana dijelaskan dalam paragraf pembuka: “Kurang lebih sembilan tahun yang lalu, sejak Krishna menuliskannya … boleh dikatakan hampir tidak ada lagi yang mencoba melakukan pengamatan atas peran perempuan yang dimunculkan dalam film” (Aripurnami, 1990: 55). Setelah sekian lama, apakah ada perubahan terhadap peran perempuan di dalam film? Dari studinya, Sita menyimpulkan, peran perempuan yang ditampilkan lebih variatif, namun “masih terjebak dalam stereotip-stereotip peran perempuan yang diharapkan masyarakat” (Aripurnami, 1990: 60).
Selain itu, studi yang dilakukan Karl G. Heider, Indonesian Cinema: National Culture on Screen (1991), juga menyinggung tentang film Indonesia yang berbicara soal perempuan dalam salah satu babnya. Sesuai judul bab dalam buku itu, “Feminism in a Male World: Contradictory Messages”, Heider menyimpulkan bahwa “Indonesian cinema is a man’s world”, yakni “All aspects of the film industry—production, direction, criticism, in fact everything but acting—are in the hands of men. Women are at best peripheral” (Heider, 1991: 118).
Setelah Heider, terjadi kekosongan studi yang menyoroti soal perempuan dalam film Indonesia. Kalau studi Heider terbit pada 1991, hingga sekarang kekosongan tersebut telah berlangsung sangat lama, hampir 20 tahun. Memang kemudian ada Krishna Sen yang menulis disertasi tentang film Indonesia pada 1987 dan di Indonesia baru diterbitkan pada 2008, namun menurut Sen sendiri studinya telah cukup lama dan butuh up-date berdasarkan film-film terbaru di samping, sama dengan Heider, Sen juga mengulas film Indonesia dan perempuan hanya dalam satu bab pendek.
Tahun lalu, 2013, Centre of Southeast Asian Studies (CSEAS), University of London, mengadakan workshop tentang film Indonesia. Ada dua makalah yang disajikan yang terkait dengan perempuan dan film. Makalah pertama, “Women Filmmakers in Indonesia”, ditulis oleh Yvonne Michalik. Makalah itu membahas tentang film-film yang dibuat oleh para sutradara perempuan. Ada tiga film yang dibahas, yaitu The Photographer (Nan Achnas, 2007); Perempuan Punya Cerita (Nia Dinata dkk., 2007); dan Mirror Never Lies (Kamila Andini, 2011). Menurut Michalik, di dalam film-film mereka, para sutradara perempuan itu banyak membicarakan hal-hal yang dianggap tabu di negara dengan penduduk Muslim terbesar itu. Kalau Sen dan Aripurnami sebelumnya menyebutkan perempuan banyak distereotipekan dalam film Indonesia, hal demikian berusaha diubah oleh sutradara perempuan. Para perempuan itu berusaha mendefinisikan diri mereka sendiri. Apa yang mereka bincangkan di ruang publik, sebagaimana tampak dalam film, adalah yang mereka maui. Mereka tidak mau terjebak dalam ruang publik yang kadung patriarkhal. Dalam hal ini, mereka kemudian menembus tabu-tabu patriarkhal. Upaya menembus tabu jelas mengonfirmasi apa yang disebut sebelumnya sebagai upaya disruptif, yang merupakan salah satu strategi filmis film perempuan.
Kalau makalah Michalik menunjukkan bahwa perempuan tampak begitu perkasa mengubah struktur sosial yang sebelumnya tidak berpihak pada mereka, makalah Alicia Izharuddin justru kebalikannya. Berjudul “The Muslim Female Body in Indonesian Cinema and the Face Veil as ‘Other’”, makalahnya membahas film Khalifah (Nurman Hakim, 2011) yang banyak menayangkan perempuan bercadar di dalamnya. Menurut Izharuddin, dalam wacana media di Barat, cadar di situ merupakan sebentuk “opresi” terhadap tubuh perempuan, ketidakmampuan perempuan berhadapan dengan kekuatan lain, yaitu agama. Namun, bagi perempuan dalam film itu, pemakaian cadar dirayakan untuk menentang wacana dominan itu. Terjadi kontestasi di sini.[]

Daftar Bacaan
Al-Fayyadl, Muhammad, Derrida, (Yogyakarta: LkiS, 2005).
Aripurnami, Sita, “Sosok Perempuan dalam Film Indonesia”, Prisma 4, 1990.
Bandel, Katrin, Sastra, Perempuan, Seks, (Yogyakarta: Jalasutra, 2005).
Budiman, Kris, Di Depan Kotak Ajaib, (Yogyakarta: Galang Press, 1999).
Erens, Patricia. “Introduction”, Patricia Erens (ed.), Issues in Feminist Film Criticism, (Bloomington: Indiana University Press, 1990).
Gunawan, Ryadi, “Sejarah Perfilman Indonesia”, Prisma 4, 1990.
Heider, Karl G., Indonesian Cinema: National Culture on Screen, (Honolulu: University of Hawaii Press).
Krishna, “Wajah Wanita dalam Filem Indonesia: Beberapa Catatan”, Prisma 7, Juli 1981.
Malouf, Amin, In The Name of Identity, (Yogyakarta: Resist Book, 2004).
Oh, Richard, “Siapa Lagi Ingin Jadi Kritikus Film?”, Kompas, 29/11/2008.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna, “Identifikasi Female, Feminin, dan Feminis dalam Film Sense and Sensibility dan Crouching Tiger Hidden Dragon”, dalam Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006).
Sani, Asrul, “Perkembangan Film Indonesia dan Kualitas Penonton”, Prisma 4, 1990.
Sen, Krishna, “Persoalan-persoalan Sosial dalam Film Indonesia”, Prisma 4, 1990.
Sen, Krishna, Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru, (Yogyakarta: Ombak, 2008).
Sumarwan, A, “Membongkar yang Lama Menenun yang Baru”, Basis, Nomor 11-12, Tahun ke-54, November-Desember 2005.
Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna-Prabasmoro (Yogyakarta: Jalasutra, cet. 2 2005).
Wright, Wendy M., “Babette’s Feast: A Religious Film”, dalam Journal of Religion and Film, Vol. 1 No. 2 Oktober 1997, versi online http://www.unomaha.edu/jrf/BabetteWW.htm, diunduh pada 18/3/2009.

Catatan:
[1] Dalam teorinya, film (film) dibedakan dengan sinema (cinema). Sinema adalah tayangan dengan kisah atau cerita, sebagaimana yang dimuat di bioskop (dan sering ditayangkan ulang di televisi), sementara film adalah gambar bergerak di televisi, bisa dokumenter atau bahkan gambar berita (bukan cerita). Dalam praktiknya, baik teks-teks studi tentang film dan sinema yang berbahasa Indonesia maupun Inggris, keduanya acap tak dibedakan. Dalam tulisan ini juga tak dibedakan, dan yang dimaksud film di sini lebih pada sinema.
[2] Budaya sering dibedakan menjadi, berturut-turut berdasarkan urutan kemunculannya, budaya oral, budaya tulis, dan budaya visual. Film masuk dalam kategori terakhir.
[3] Female mengacu pada kondisi biologis perempuan, sehingga tidak tepat diterjemahkan sebagai “perempuan”, karena “perempuan” mengacu pada aspek lain yang lebih luas dari sekadar kondisi biologis. Terjemahan paling tepat secara semantik adalah “betina”. Tetapi secara sosial “betina” tidak layak digunakan untuk mengacu pada perempuan.
[4] Tentang definisi film religius, lihat antara lain Wright (1997).
[5] Falogosentrisme berasal dari falosentrisme atau kebudayaan yang berpusat pada lelaki (phallus berarti penis) dan logosentrisme Derrida. Tentang logosentrisme, baca Al-Fayyadl (2005).
_____________
Kredit gambar: Atas | Tengah.