Kugai, Ruang Publik ala Jepang




Tatsuro Hanada, “Kugai: The Lost Public Sphere in Japanese History”, Andrew Calabrase & Colin Sparks (eds), Toward a Political Economy of Culture: Capitalism and Communication in the Twenty-First Century, (Lanham-Boulder-New York-Oxford: Rowman & Littlefield Publishers Inc., 2003): 95-110.


BUKU YANG diedit Andrew Calabrase & Colin Sparks ini diberi anak judul “capitalism and communication in the twenty-first century” (kapitalisme dan komunikasi di abad ke-21). Anak judul tersebut menunjukkan bahwa artikel-artikel di dalamnya tampak diniatkan untuk mengudar rupa kapitalisme modern. Dengan itikad itu, artikel Tatsuro Hanada, “Kugai: The Lost Public Sphere in Japanese History”, tentu tepat-untuk-sebagian dimasukkan ke dalam kumpulan tersebut dan tidak tepat untuk sebagian yang lain.

Disebut tepat karena salah satu yang menjadi isu penting terkait kapitalisme adalah ruang publik, yakni bagaimana kapitalisme memperlakukan ruang publik. Isu ini sesungguhnya telah banyak dibahas oleh para pemikir dan filsuf, utamanya Jurgen Habermas. Nyaris semua pemikir pembahasnya sepakat bahwa kapitalisme berupaya masuk ke dalam ruang publik dan menguasainya. Walhasil, ruang publik yang ada tak lain ruang publik yang tidak lagi jernih dan steril karena telah direcoki berbagai kepentingan kapital. Prinsip-prinsip seperti keadilan, keterbukaan, dan kebebasan, yang merupakan nadi dalam gagasan tentang ruang publik, hilang dari ruang tersebut. Pada titik ini, artikel Hanada yang melihat isu ruang publik dan kapitalisme tentu saja tepat masuk dalam buku Calabrase dan Sparks.

Namun, menjadi pertanyaan ketika yang diceritakan Hanada dalam artikelnya adalah kugai yang menurut Hanada merupakan ruang publik yang terdapat di Jepang pada masa lalu. Kugai sendiri telah hilang sejak Jepang melakukan modernisasi, yang bermula pada 1868. Karena yang dibahas berasal dari masa sebelum abad ke-19, apakah tepat artikel tersebut dimasukkan dalam buku yang memberi batasan “twenty-first century” di dalam judulnya?

Di luar soal kecil semacam itu, bagaimanapun artikel Hanada menarik. Artikel ini setidaknya berupaya mengkritik gagasan ruang publik (public sphere) yang bias Barat. Ruang publik sendiri didasarkan pada pengalaman Eropa dan berangkat dari nilai-nilai Eropa. Dengan sejarah yang demikian, pertanyaan yang bisa diajukan adalah apakah tepat konsep tersebut diterapkan di tempat lain yang memiliki sejarah dan pengalaman berbeda?

Untuk menjawab pertanyaan itu, Hanada menelusuri sejarah Jepang dan kemudian menemukan bahwa masa lalu negara itu juga memiliki konsep yang tidak jauh berbeda dengan ruang publik, yang bernama kugai. Artikel Hanada kemudian berpanjang-lebar untuk membandingkan dua konsep itu: kugai dalam sejarah Jepang (yang dirujuk melalui Amino Yoshihiko) dan ruang publik dalam pemikiran Jurgen Habermas (dan Henri Lafebvre).

Dalam membandingkannya, titik berangkat yang diambil Hanada adalah perdebatan soal urban: Lafebvre punya konsep urban form dan Amino memiliki konsep urban sites. Dalam pemikiran Amino, urban sites merupakan “ruang yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip muen (unboundness), kugai (public realm), dan raku (fairground atau marketplace)” (hlm. 98). Tidak mudah memahami ketiga konsep itu, terlebih ketiganya sekarang hanya tinggal kenangan dalam sejarah Jepang. Kutipan berikut barangkali membantu kita memahaminya:


The kugai is site of muen—a social space constructed by the relational principle of muen. The raku is the state of muen—the dreamlike social condition that the relational priciple of muen must strive for and produce. The kugai is the space that muen brings life to, while the raku bears the markings of muen (hlm. 100).


Kutipan itu hanya berputar-putar soal muen, kugai, dan raku (tetap membingungkan!), namun memperlihatkan muen sebagai gagasan sentral. Hanada sendiri menyebut muen sebagai konsep penghubung atau perantara (relational concept atau linked concept) (hlm. 99). Apa itu muen? Sebelumnya sudah disebutkan bahwa muen adalah unboundness. Bagaimana keadaan tanpa bound itu? Amino, yang menjadi rujukan utama Hanada untuk memahami konsep ini, menyebutkan bahwa muen adalah “memutus relasi. Kehilangan relasi yang dimaksud di sini bukan sesuatu yang pasif, melainkan aktif memutus relasi dan menolak keterkungkungan (bound)” (hlm. 100). Keterkungkungan di sini antara lain menyangkut dan disebabkan oleh perbudakan, utang dan kredit, kekayaan pribadi, kepemilikan tanah, belenggu hukum, dll. Keterkungkungan tidak boleh ada. Antitesisnya adalah muen atau “kebebasan dari ikatan-ikatan yang membelenggu” yang merupakan “pendekatan liberal” (hlm. 101).

Konsep tersebut lebih dapat dipahami karena agen muen bukanlah orang yang tinggal menetap, melainkan orang yang benar-benar bebas: seniman, penghibur, rahib, dan penggerak amal yang hidup berpindah-pindah.

Tempat muen atau kebebasan tumbuh itulah yang disebut kugai. Kugai antara lain ditemukan di jalanan, kuil, pasar, dll. Di sana kebebasan dirayakan. Mereka secara bebas mengatur diri sendiri tanpa belenggu otoritas publik yang, meskipun menggunakan kata ‘publik’, sebenarnya membelenggu. Kugai sendiri adalah lawan dari otoritas publik yang kadung dikuasai oleh kaisar dan pembesar kerajaan. Dari kugai yang bebas itu, pada masa lalu Jepang terbentuk kota-kota. Hanada menyebutnya sebagai town dan di beberapa tempat sebagai city.

Walaupun kugai bisa disebut sebagai ruang publik ala Jepang, menurut Hanada, ada lima hal yang membedakannya dengan ruang publik ala Habermas. Pertama, dalam hubungannya dengan kota. Di dalam kugai, kota-kota dibentuk dari dan dengan kugai, sementara di dalam konsep ruang publik, kota dulu yang lebih dulu ada, yang membentuk ruang publik. Kedua, dalam kaitannya dengan kepemilikan pribadi. Konsep yuen (lawan dari muen) sesungguhnya adalah membentuk kepemilikan pribadi melalui upaya merengkuh kekayaan dan melindunginya. Muen dan kugai kemudian muncul menentang itu dan merayakan kebebasan dan kepublikan. Sementara itu, konsep ruang publik dalam pengalaman Eropa lahir dari kesadaran akibat dari hilangnya kebebasan-diri di dalam negara. Jadi justru berangkat dari “kepemilikan pribadi”.

Ketiga, dalam kaitannya dengan agama, kugai pada awalnya berangkat dari konsep suci dalam Buddhisme dan Shinto. Apa yang disebut ruang bebas, di dalam konsep agama-agama tersebut antara lain samudera, gunung, hutan, yang merupakan ruang bersama. Tempat-tempat itu juga disebutkan merupakan tempat yang suci. Dengan mengambil inspirasi dari ruang suci bersama itu, gagasan kugai dibentuk. Ada nuansa agama di situ. Sebaliknya, dalam pengalaman Eropa, agama justru menjadi belenggu yang membuat ruang publik hilang. Gagasan ruang publik pada akhirnya adalah gagasan menentang dominasi agama.

Keempat, terkait elemen struktural ruang publik dan kugai. Struktur ruang publik adalah ruang intim keluarga borjuis, masyarakat aristokrat, dan pasar. Dalam membentuk ruang publik literer, elemen-elemen itu kemudian saling bahu-membahu menyongsong pencerahan. Sedangkan di dalam kugai, menurut Animo, awalnya adalah rumah tangga ningrat, ruang urban, dan hiburan. Kelima, tentang media: warung kopi, klub makan, dan pamflet menjadi media yang efektif untuk warga bertukar gagasan. Sementara di dalam kugai, ada biarawan penggerak amal yang berperan menjadi mediator dan galeri penonton dalam hiburan yang menjadi ruang media.

Dengan lima perbedaan konsep kugai dan ruang publik, artikel Hanada setidaknya menunjukkan bahwa di dalam masyarakat non-Eropa barangkali ada konsep-konsep seperti ruang publik. Tidak persis sama memang, namun konteks tempat akan memperlihatkan keunikan hal-hal yang mirip dan berbeda dengan ruang publik ala Eropa. Dengan mencari akar sejarah atau tradisi ruang publik di luar Eropa, Hanada membuktikan ada ruang publik yang lain.

Namun, pertanyaannya, mengapa ruang publik kugai itu hilang dan hanya menjadi masa lalu Jepang? Sayangnya Hanada tidak membahas ini. Padahal, jika ini dibahas, kita akan mendapati contoh kasus jatuhnya ruang publik di hadapan kapitalisme yang pasti berbeda-beda penyebab dan prosesnya di tempat yang berlainan. Saya menduga, konsep kugai yang menghasilkan kota kemudian menghilangkan dan mematikan kugai itu sendiri. Di dalam kota, kapitalisme kemudian tumbuh yang kemudian segera direspons dengan kehadiran modernitas. Hanada menyebutkan, “Tidak seperti ruang publik, setelah kehadiran kota, kugai tidak terkopseptualisasi dan terinstitusinalisasi sehingga tidak bisa bertahan” (hlm. 103). Kugai dengan demikian bermasalah bahkan di dalam konsepnya.[]


0 komentar: