FILM,[1]
BAGAIMANAPUN, merupakan karya kebudayaan yang lebih baru dibanding karya lainnya
seperti buku.[2]
Dari sini bisa diduga bahwa kajian terhadap film, apalagi film perempuan atau
film feminis, relatif lebih sedikit. Dalam buku Feminist Thought: A More
Comprehensive Introduction (2005), yang disebut-sebut sebagai peta masuk ke
pemikiran feminis (Prabasmoro, 2005: xvii), misalnya, Rosemarie Putnam Tong
tidak mengulas bahkan tak menyinggung satu pun film perempuan atau film
feminis. Padahal, buku tersebut mengupas nyaris semua karya tentang feminisme,
dari masa klasik hingga kontemporer.
Namun,
seiring perkembangan, kajian terhadap budaya populer (popular culture),
tak terkecuali film, menguat, termasuk di Indonesia. Sayangnya, terutama dalam
konteks Indonesia, seperti sinyalemen Richard Oh, kajian-kajian yang muncul
sangat tidak mendalam, yang hanya menghasilkan apa yang disebut Roland Barthes
sebagai kritik “neither-no”, kritik yang bukan ini maupun itu. Kajian
semacam itu lebih untuk kepentingan resensi atau ulasan sekilas yang dimuat di
koran-koran dan majalah ketimbang demi kepentingan akademis. Berikut kegusaran
Oh (2008) tentang fenomena tersebut:
Menjadi kritikus film di negara ini ternyata sangat mudah. Tidak perlu prakualifikasi, tidak seperti seorang pakar ekonomi yang minimal perlu gelar sarjana ekonomi atau pengalaman sebagai seorang praktisi bisnis. Kredensial seorang kritikus film kita berkisar dari pemerhati film, kataloger film, penggiat film, hingga wartawan khusus film.
Maka, tidaklah mengherankan jika resensi film yang tiap minggu kita baca di beberapa media besar seperti saling sahut-menyahut, hampir seragam dalam penafsirannya, ataupun kisaran penafsirannya. Kritikan para ’kritikus’ ini pada akhirnya tidak ubahnya muntahan segar seorang penonton, sebuah impresi superfisial tentang sebuah karya. Tidak bisa ditanggapi sebagai sebuah kritikan. Karena tulisan seperti itu tidak menukik ke dalam eksplorasi-eksplorasi pemikiran (Oh, 2008).
Tulisan
ini pertama-tama akan mengemukakan apa itu film feminis. Definisi tersebut dipaparkan
secara historis sejak kemunculannya pertama kali serta perdebatan tentangnya. Kalau
bagian tersebut lebih bersifat teoretis, bagian selanjutnya dari tulisan ini merupakan
operasi dari teori tersebut. Bagian kedua ini akan melihat berbagai hasil penelitian
yang mengkaji film Indonesia berdasarkan perspektif feminisme.
Film Feminis
MENURUT
PATRICIA Erens (1990: xvi), kemunculan teori film feminis (feminist film)
dipengaruhi oleh feminisme gelombang kedua. Pendapat ini tentu saja
mempertimbangkan pembabakan feminisme oleh Julia Kristeva. Di dalam Women’s
Time, Kristeva menggambarkan bahwa feminisme bergerak dalam
gelombang-gelombang, yang terbagi menjadi tiga gelombang (Tong, 2005; bdk.
Prabasmoro, 2006: 40). Kalau gerakan feminisme gelombang pertama berusaha
menuntut kesejajaran hak antara perempuan dan lelaki, feminisme gelombang kedua
yang dimulai pada 1968 justru menekankan perbedaan radikal perempuan dan lelaki,
yakni ada hak yang berbeda antara lelaki dan perempuan yang tak bisa
dipersamakan. Namun demikian, hak-hak perempuan itu wajib dipenuhi.
Pertanyaannya,
apakah setelah semua hak itu diberikan, gerakan pembebasan perempuan telah
paripurna? Ternyata tidak. Dipengaruhi banyak pemikiran pascamodernisme,
feminisme gelombang ketiga atau belakangan disebut posfeminisme (post-feminism)
menengarai bahwa apa yang disebut “hak perempuan” telah terdefinisi oleh bahasa
yang menurut Jacques Derrida bersifat fasis (bdk. Al Fayyadl: 2005; Sumarwan,
2005). Karena itu, feminisme lanjut ini menawarkan pembebasan yang dimulai dari
dekonstruksi bahasa.
Dalam
konteks penekanan pada perbedaan perempuan dan lelaki itulah teori film feminis
lahir di Amerika Serikat pada awal 1970-an, dimulai dengan aplikasi teori-teori
baru yang bermunculan, yang secara umum merupakan teori sosiologi. Para sarjana
feminis memakai teori-teori itu untuk menganalisis film, terutama demi melihat
karakter perempuan di dalamnya, selain memeriksa stereotipe perempuan yang
muncul setelah masyarakat menontonnya. Buku yang dianggap penting pada awal
teori ini dibangun, menurut Erens (1990: xvi), adalah Popcorn Venus: Women,
Movies, and the American Dream karya Marjorie Rosen (1973) dan From
Reverence to Rape: The Treatment of Women in Movies karangan Molly Haskell
(1974). Kedua buku tersebut berusaha melihat bagaimana perempuan “dirusak” di
dalam film, yakni terkait stereotipe, lama-tidaknya screen time diberikan
kepada perempuan, juga apakah perempuan diperlihatkan sebagai aktif atau pasif.
Namun
demikian, menurut Freeland (2009), yang banyak menyumbang bagi pembangunan
teori film feminis adalah esai klasik Laura Mulvey, “Visual Pleasure and
Narrative Cinema” (1975). Esai ini sendiri acap disebut sebagai “founding
document teori film feminis” (Modleski) serta penyedia “dasar teoretis
untuk menolak Hollywood dan hasratnya” (Penley). Di dalam esai tersebut Mulvey
menegaskan bahwa lelaki dan perempuan diposisikan berbeda oleh film: lelaki
sebagai subjek yang memihak pada agen-agen yang menyetir narasi film, sementara
perempuan sebagai objek hasrat maskulin dan objek tatapan fetis (fetish).
Dia berasumsi bahwa gambar film merupakan media simbolik yang, seperti aspek
budaya massa lainnya, membentuk penonton sebagai subjek borjuis.
Menurut
Mulvey (via Freeland, 2009), ada tiga “pandangan” atau perspektif di dalam film
yang mengobjektifikasi perempuan. Pertama, perspektif karakter lelaki di atas
layar kaca dan bagaimana dia menyadari karakter perempuan. Kedua, perspektif
khalayak sebagai penonton karakter perempuan di layar kaca. “Pandangan” ketiga
menggabungkan keduanya: perspektif anggota khalayak lelaki terhadap karakter
perempuan di dalam film. Perspektif ini membolehkan khalayak lelaki mengambil
karakter perempuan sebagai objek personal seks dirinya sendiri karena dia bisa
menghubungkan dirinya, melalui tatapan, dengan karakter lelaki di dalam film.
Atas
objektifikasi itu, Mulvey menerima destruksi struktur film sebagai cara
pembebasan perempuan. Intinya kita harus mengambil nafsu pandangan yang
disediakan film dengan membuat jarak antara penonton lelaki dan karakter
perempuan. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah merusak elemen
kesenangan (voyeurism) dan “tamu yang tak tampak”.
Ide-ide
melihat film tersebut kemudian oleh para teoretisi Inggris diintegrasikan
dengan teori-teori psikoanalisis-nya Lacan (sebagaimana yang dilakukan Mulvey),
semiotika, dan Marxisme-nya Althusser (Erens, 1990: xvii; Freeland, 2009).
Dalam pandangan ini, subjek dibentuk melalui berbagai proses significatory (sign
factory, pabrikasi tanda) yang kompleks, termasuk melalui film. Mereka juga
menengarai, teks-teks realis klasik dalam film-film Hollywood tradisional
merupakan pelengkap bagi ideologi borjuis. Karena itu, analisis film secara
umum difokuskan pada “produksi makna di dalam sebuah teks film, cara teks
mengkonstruksi tontonan (viewing) subjek, dan cara-cara di mana
mekanisme produksi film itu juga memengaruhi representasi perempuan dan
memperkuat seksisme” (Erens, 1990: xvii).
Berdasarkan
analisis tersebut, dari perspektif feminisme, sebuah film kemudian bisa
dibedakan menjadi film feminis dan antifeminis. Teresa de Lauretis di dalam
“Rethinking Women’s Cinema: Aesthetic and Feminist Theory” menyebut film
feminis berupaya “menyapa penontonnya sebagai perempuan, apa pun gender si
penonton ... mendefinisikan semua titik identifikasi (dengan karakter, citra,
kamera) sebagai perempuan (female),[3]
feminin, atau feminis” (Prabasmoro, 2006: 331). Sementara menurut Sharon Smith,
film feminis adalah film yang di dalamnya tokoh perempuan diberi peran yang
berbeda dari stereotipe di “dunia nyata”. Di sini film feminis diharapkan dapat
menjadi perangkat untuk melakukan pemikiran serta penilaian ulang atas
stereotipe peran tradisional berdasarkan jenis kelamin (Prabasmoro, 2006: 335).
Definisi
film feminis tersebut, sebagaimana definisi film religius, tidak rigid.
Terlebih tak ada film yang secara terang diberi label “film feminis”, tidak
seperti “film dewasa”, di samping sebagai sebuah identifikasi, setiap pelabelan
selalu bersifat terbuka atau jamak atau terbelah (split) (bdk. Malouf,
2004).
Modleski
sendiri menyebut pelabelan, yang berangkat dari representasi, sejalan dengan
formasi diskursif sosial, kultural, dan tekstual. Artinya, suatu identitas bisa
bersama dengan identitas lainnya. Seseorang bisa sebagai warga negara sekaligus
aktivis perempuan. Karena itu, film Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2010) yang berkisah
tentang seorang perempuan yang mendapatkan kekerasan di pesantren namun
kemudian bisa membebaskan diri dan melakukan pemberdayaan perempuan di sana,
misalnya, bisa menjadi film feminis sekaligus (barangkali) film religius.[4]
Pertanyaannya,
(genre) film seperti apa yang bisa dikategorikan sebagai film feminis? Pertama,
film yang menyajikan perempuan bersifat disruptif (disruptive) terhadap
kebudayaan patriarkhal. Prabasmoro (2006: 335) mencontohkan:
Kekuatan disruptif sinema feminis atas nilai-nilai patriarkal dalam persoalan seksualitas, misalnya dapat dilihat dalam film seperti A Question of Silence, Antonia’s Line hingga film yang paling menohok seperti Boys Don’t Cry. Setiap film tersebut menampilkan perempuan yang lesbian atau transeksual/transgender, atau yang seksual, yang mempunyai kuasa dan kendali atas seksualitasnya sendiri dan dengan cara itu bahkan memperolok seksualitas laki-laki. A Question of Silence, yang disutradarai Marleen Gorris, misalnya, menampilkan dua tubuh telanjang laki-laki sedemikian sehingga menjadi objek pandangan penonton [yang memang dimaksudkan perempuan]. Film ini juga menertawakan ketidakmengertian laki-laki atas adanya hasrat membunuh pada perempuan. Film Gorris lainnya, Antonia’s Line, penuh dengan tokoh perempuan yang menolak untuk dikaitkan secara institusional kepada heteroseksualitas dan motherhood.
Sebagai
perbandingan, di dalam sastra, dua novel Ayu Utami, Saman dan Larung,
yang mengumbar seksualitas perempuan secara terang, sebagai dekonstruksi atas komodifikasi
seksualitas perempuan sebagai korban dan objek lelaki, sering dikatakan sebagai
novel feminis (bdk. Prabasmoro, 2006: 317-318; Bandel, 2005).
Tentu
saja ada bahaya ketika menjadikan kebebasan seksual seperti itu sebagai standar
atau penanda bagi kebebasan perempuan. Di dalam sastra, Katrin Bandel (2005)
berargumen, alih-alih membebaskan, karya Ayu Utami terperangkap pada
falogosentrisme[5]
bahkan antifeminis. Di lapangan film, Johnston mengatakan bahwa film semacam
itu tidak menyubversi mitos atau stereotipe yang sudah ada, melainkan
meneguhkannya. Intinya, cara pembebasan seperti itu kerap problematis dalam
dirinya sendiri.
Namun
demikian, hal yang tak kalah problematis juga terdapat dalam genre film
roman(tis) yang menurut Prabasmoro juga merupakan film feminis. Pearce &
Wisker di dalam Fatal Attractions: Rescripting Romance in Contemporary
Literature mendefinisikan kisah cinta romantis sebagai “re/produksi hasrat
infantil manusia” dan roman merupakan “representasi kultural atas hasrat itu”
(Prabasmoro, 2006: 333). Roman dipahami sebagai kisah cinta, dan biasanya
menampilkan problema yang dihadapi sepasang kekasih untuk dapat bersatu. Persoalannya,
dalam film roman(tis), perempuan sering ditampilkan dalam peran, sifat, serta
harapan dan gagasan dengan segenap stereotipe diatribusikan kepadanya. Kendrick
bahkan beragumentasi bahwa roman bersifat “eskapis, masturbatori, dan
eksploitatif” serta Ann Douglas menyebut roman sebagai “langkah mundur gerakan
perempuan” (Prabasmoro, 2006: 333).
Meski
demikian, bukan berarti tak ada “harapan” di dalam roman. Kata Radway, justru
terdapat kemungkinan resistensi di dalam genre roman. Prabasmoro sendiri yang
awalnya ragu dengan kemungkinan itu menaruh harapan terutama ketika menyadari
perempuan merupakan konsumen roman yang paling besar dan setia, baik roman
dalam bentuk buku, film, atau telenovela dan sinetron (bdk. Budiman, 1999).
Ketika kemungkinan resistensi ada, film roman(tis) dapat memberikan ruang bagi
perempuan yang berada di luar pagar akademis yang tidak membaca teks akademik
feminis untuk menjadi female, feminin, dan feminis dalam pengalaman
mereka sendiri (Prabasmoro, 2006: 333-334).
Kekosongan Akademik
SEBAGAIMANA SINYALEMEN Oh di awal tulisan ini, tidak banyak karya akademis yang membahas
film Indonesia secara serius, apalagi yang berhubungan dengan persoalan
perempuan. Oh sendiri membuat persyaratan sebuah ulasan film yang tidak mudah
dipenuhi, yakni karya yang dibuat “kritikus sejati” itu harus mampu “membedah
setiap detail gambar, suara, kerangka, makna, pergelutan ungkapan seorang
sutradara”, punya “kepiawaian”, mampu “merinci sinematografi” (Oh, 2008). Di
samping itu, kata Oh, penulisnya harus:
...punya kualifikasi juga dalam bidang ini [film], seperti pencahayaan, pengambilan sudut gambar, penggunaan lensa kamera, problema digital dan seluloid dan bahasa visual seorang sutradara... paham tentang penyuntingan film, struktur narasi, penguasaan genre film tertentu, konsistensi karakterisasi, nada yang ditekan pada satu titik atau titik-titik tertentu (Oh, 2008).
Oh
masih menambahkan satu syarat lagi, yakni penulisnya mesti seorang pemikir:
“boleh saja...tidak menguasai semua aspek perfilman, tetapi ia dituntut bisa
berpikir secara sistematis” (Oh, 2008).
Tentu
saja sebuah karya akan sangat sulit memenuhi harapan Oh itu. Dan di Indonesia,
yang banyak adalah ulasan-ulasan sekilas di blog-blog maupun koran, yang
membahas apa pun tentang sebuah film, antara lain fenomena histeria penonton,
sekilas tentang film tersebut, maupun sekadar pujian yang merupakan kesan
semata tentangnya, yang disebut Oh sebagai “neither-nor”.
Namun,
apa pun itu, studi “serius” tentang film Indonesia dan perempuan perlu juga dikemukakan
di sini, terutama studi yang panjang, bukan ulasan sekilas, melainkan minimal
sepanjang artikel yang dimuat di jurnal-jurnal ilmiah. Pertama, Krishna (Sen)
yang menulis “Wajah Wanita dalam Filem Indonesia: Beberapa Catatan”. Studi yang
dilakukan Krishna sudah sangat lama, sebagaimana ejaan yang dipakai masih
“filem”, bukan “film”, yakni 1981. Di sana Krishna membahas film-film dengan
bintang utama perempuan. Hasilnya, menurut Krishna, di dalam film Indonesia
kala itu, perempuan yang bisa diterima adalah perempuan yang menikah, yang
melahirkan dan mendidik anak, merawat rumah tangga, serta tergantung pada
lelaki. Artinya, ada upaya pengiburumahtanggaan (housewification)
terhadap perempuan di dalam film.
Hampir
sepuluh tahun kemudian atau 1990, Sita Aripurnami menulis “Sosok Perempuan
dalam Film Indonesia”. Studi Sita berusaha mengonfirmasi kesimpulan studi
Krishna di atas, sebagaimana dijelaskan dalam paragraf pembuka: “Kurang lebih
sembilan tahun yang lalu, sejak Krishna menuliskannya … boleh dikatakan hampir
tidak ada lagi yang mencoba melakukan pengamatan atas peran perempuan yang
dimunculkan dalam film” (Aripurnami, 1990: 55). Setelah sekian lama, apakah ada
perubahan terhadap peran perempuan di dalam film? Dari studinya, Sita menyimpulkan,
peran perempuan yang ditampilkan lebih variatif, namun “masih terjebak dalam
stereotip-stereotip peran perempuan yang diharapkan masyarakat” (Aripurnami,
1990: 60).
Selain
itu, studi yang dilakukan Karl G. Heider, Indonesian Cinema: National Culture
on Screen (1991), juga menyinggung tentang film Indonesia yang berbicara
soal perempuan dalam salah satu babnya. Sesuai judul bab dalam buku itu,
“Feminism in a Male World: Contradictory Messages”, Heider menyimpulkan bahwa “Indonesian cinema is a man’s world”,
yakni “All aspects of the film
industry—production, direction, criticism, in fact everything but acting—are in
the hands of men. Women are at best peripheral” (Heider, 1991: 118).
Setelah
Heider, terjadi kekosongan studi yang menyoroti soal perempuan dalam film
Indonesia. Kalau studi Heider terbit pada 1991, hingga sekarang kekosongan
tersebut telah berlangsung sangat lama, hampir 20 tahun. Memang kemudian ada
Krishna Sen yang menulis disertasi tentang film Indonesia pada 1987 dan di
Indonesia baru diterbitkan pada 2008, namun menurut Sen sendiri studinya telah
cukup lama dan butuh up-date berdasarkan film-film terbaru di samping,
sama dengan Heider, Sen juga mengulas film Indonesia dan perempuan hanya dalam
satu bab pendek.
Tahun
lalu, 2013, Centre of Southeast Asian Studies (CSEAS), University of London,
mengadakan workshop tentang film Indonesia. Ada dua makalah yang disajikan yang
terkait dengan perempuan dan film. Makalah pertama, “Women Filmmakers in
Indonesia”, ditulis oleh Yvonne Michalik. Makalah itu membahas tentang film-film
yang dibuat oleh para sutradara perempuan. Ada tiga film yang dibahas, yaitu The Photographer (Nan Achnas, 2007); Perempuan Punya Cerita (Nia Dinata dkk.,
2007); dan Mirror Never Lies (Kamila
Andini, 2011). Menurut Michalik, di dalam film-film mereka, para sutradara
perempuan itu banyak membicarakan hal-hal yang dianggap tabu di negara dengan
penduduk Muslim terbesar itu. Kalau Sen dan Aripurnami sebelumnya menyebutkan
perempuan banyak distereotipekan dalam film Indonesia, hal demikian berusaha
diubah oleh sutradara perempuan. Para perempuan itu berusaha mendefinisikan diri
mereka sendiri. Apa yang mereka bincangkan di ruang publik, sebagaimana tampak
dalam film, adalah yang mereka maui. Mereka tidak mau terjebak dalam ruang
publik yang kadung patriarkhal. Dalam hal ini, mereka kemudian menembus
tabu-tabu patriarkhal. Upaya menembus tabu jelas mengonfirmasi apa yang disebut
sebelumnya sebagai upaya disruptif, yang merupakan salah satu strategi filmis
film perempuan.
Kalau
makalah Michalik menunjukkan bahwa perempuan tampak begitu perkasa mengubah
struktur sosial yang sebelumnya tidak berpihak pada mereka, makalah Alicia
Izharuddin justru kebalikannya. Berjudul “The Muslim Female Body in Indonesian
Cinema and the Face Veil as ‘Other’”, makalahnya membahas film Khalifah (Nurman Hakim, 2011) yang
banyak menayangkan perempuan bercadar di dalamnya. Menurut Izharuddin, dalam
wacana media di Barat, cadar di situ merupakan sebentuk “opresi” terhadap tubuh
perempuan, ketidakmampuan perempuan berhadapan dengan kekuatan lain, yaitu
agama. Namun, bagi perempuan dalam film itu, pemakaian cadar dirayakan untuk
menentang wacana dominan itu. Terjadi kontestasi di sini.[]
Daftar
Bacaan
Al-Fayyadl, Muhammad, Derrida, (Yogyakarta: LkiS,
2005).
Aripurnami, Sita, “Sosok Perempuan dalam Film Indonesia”, Prisma
4, 1990.
Bandel, Katrin, Sastra, Perempuan, Seks, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2005).
Budiman, Kris, Di Depan Kotak Ajaib, (Yogyakarta:
Galang Press, 1999).
Erens, Patricia. “Introduction”, Patricia Erens (ed.), Issues
in Feminist Film Criticism, (Bloomington: Indiana University Press, 1990).
Gunawan, Ryadi, “Sejarah Perfilman Indonesia”, Prisma 4,
1990.
Heider, Karl G., Indonesian Cinema: National Culture on
Screen, (Honolulu: University of Hawaii Press).
Krishna, “Wajah Wanita dalam Filem Indonesia: Beberapa
Catatan”, Prisma 7, Juli 1981.
Malouf, Amin, In The Name of Identity, (Yogyakarta:
Resist Book, 2004).
Oh, Richard, “Siapa Lagi Ingin Jadi Kritikus Film?”, Kompas,
29/11/2008.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna, “Identifikasi Female,
Feminin, dan Feminis dalam Film Sense and Sensibility dan Crouching Tiger
Hidden Dragon”, dalam Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2006).
Sani, Asrul, “Perkembangan Film Indonesia dan Kualitas
Penonton”, Prisma 4, 1990.
Sen, Krishna, “Persoalan-persoalan Sosial dalam Film
Indonesia”, Prisma 4, 1990.
Sen, Krishna, Kuasa
dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru, (Yogyakarta: Ombak,
2008).
Sumarwan, A, “Membongkar yang Lama Menenun yang Baru”, Basis,
Nomor 11-12, Tahun ke-54, November-Desember 2005.
Tong, Rosemarie Putnam, Feminist Thought: Pengantar
Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna-Prabasmoro
(Yogyakarta: Jalasutra, cet. 2 2005).
Wright, Wendy M., “Babette’s Feast: A Religious Film”, dalam
Journal of Religion and Film, Vol. 1 No. 2 Oktober 1997, versi online http://www.unomaha.edu/jrf/BabetteWW.htm,
diunduh pada 18/3/2009.
Catatan:
[1] Dalam teorinya,
film (film) dibedakan dengan sinema (cinema). Sinema adalah
tayangan dengan kisah atau cerita, sebagaimana yang dimuat di bioskop (dan
sering ditayangkan ulang di televisi), sementara film adalah gambar bergerak di
televisi, bisa dokumenter atau bahkan gambar berita (bukan cerita). Dalam
praktiknya, baik teks-teks studi tentang film dan sinema yang berbahasa
Indonesia maupun Inggris, keduanya acap tak dibedakan. Dalam tulisan ini juga
tak dibedakan, dan yang dimaksud film di sini lebih pada sinema.
[2] Budaya sering dibedakan menjadi,
berturut-turut berdasarkan urutan kemunculannya, budaya oral, budaya tulis, dan
budaya visual. Film masuk dalam kategori terakhir.
[3] Female mengacu pada
kondisi biologis perempuan, sehingga tidak tepat diterjemahkan sebagai
“perempuan”, karena “perempuan” mengacu pada aspek lain yang lebih luas dari
sekadar kondisi biologis. Terjemahan paling tepat secara semantik adalah
“betina”. Tetapi secara sosial “betina” tidak layak digunakan untuk mengacu
pada perempuan.
[4] Tentang
definisi film religius, lihat antara lain Wright (1997).
0 komentar:
Posting Komentar