Dicari: Rumah Cinta Seniman Jambi



KETIKA DISUGUHI sebuah kumpulan karangan atau antologi, baik kumpulan prosa maupun antologi puisi, saya selalu bertanya-tanya, kenapa mereka dikumpulkan? Apa yang mendasarinya? Lalu mereka mesti dibaca seperti apa?

Saya kira karya sastra dikumpulkan dengan banyak alasan atau simpul. Yang paling umum tentu saja karya disatukan oleh dan atas nama penulisnya. Berlimpahan contoh bisa disebutkan untuk antologi model ini. Di ranah puisi, setiap penyair mungkin punya antologi puisi masing-masing. Pada awal riwayat kepenyairan seseorang, antologi ini menjadi penahbis bahwa penulisnya telah layak disebut penyair. Di tangan penyair “senior”, selain menjadi peneguh eksistensi bahwa sang penyair masih menulis puisi, antologi disusun sebagai dokumentasi dan kadang-kadang juga untuk tujuan komersial. Apa pun itu, yang menarik, karena disatukan oleh nama pengarang, intensi pengarang yang dibunuh Roland Barthes dengan manifestonya “pengarang sudah mati” sulit dihindarkan.

Ada pula antologi yang dibuat karena “riwayat” puisi di dalamnya. Hijau Kelon dan Puisi 2002 dan Puisi Tak Pernah Pergi, misalnya, adalah kumpulan puisi yang punya riwayat pernah dimuat di rubrik “Bentara” di harian Kompas. Pertemuan-pertemuan penyair yang kerap diadakan setiap tahun juga melahirkan antologi yang tentu saja meriwayatkan pertemuan itu. Meski tidak banyak, tema juga bisa menjadi pemersatu sebuah antologi. Belakangan kita disuguhi puisi-puisi tentang korupsi dalam Puisi Menolak Korupsi yang sudah berjilid-jilid.

Kalau di dalam prosa antologi jenis ini sangat sedikit, tidak demikian di puisi: antologi yang didasarkan pada asal pengarang. Setiap kota nyaris punya antologi puisi masing-masing. Termasuk dalam kategori ini adalah Tiga Bukit Sungai Au yang menghimpun puisi-puisi para penyair Bungo serta antologi yang menjadi bahasan kita sekarang: Rumah Cinta: Antologi Puisi Penyair Jambi.

Pengumpul itu kemudian tidak sekadar pemersatu. Ia juga alat baca atau dijadikan sarana untuk mengulas. Puisi-puisi yang dikumpulkan atas nama pengarangnya berusaha dicari-cari pandangan dunia (worldview) pengarang di dalamnya. Puisi dari asal pemuatan yang sama bisa dilihat sebagai keberpihakan pemuatnya pada aliran puisi tertentu. Meski puisi tak selalu dikumpulkan karena tema yang sama, kecenderungan melihat tema dalam pembacaan sekilas atas puisi-puisi sangat sering dilakukan. Puisi dengan asal pengarang yang sama kerap dianggap menjadi representasi suatu daerah atau bahkan mouthpiece daerah itu.

Saya tentu tidak sedang mengusulkan cara pembacaan baru. Saya bahkan akan melihat Rumah Cinta juga sebagai kumpulan puisi. Dengan begitu, puisi-puisi di dalamnya tidaklah berdiri sendiri, tapi merupakan bagian dari puisi-puisi lainnya. Tanpa banyak menggunakan teori-teori yang njelimet, saya hanya akan mengandalkan kesan untuk membacanya—karena itu, pembacaan saya sangat besar kemungkinannya untuk keliru. Selain itu, saya juga tidak membaca keseluruhan puisi, melainkan hanya sebagian kecil.

Saya akan memulainya dari puisi “Rumah Cinta” karya Mhd. Ihsan yang menjadi judul antologi ini. Saya setuju dengan kurator yang menyebut puisi ini “terasa begitu murung”. Bayangkan, rumah cinta kita adalah pusara tanpa aksara, yang dipenuhi cungkup-cungkup kemboja meletup, angin yang melintas asin, suasananya bersepi-sepi musim berkalang tabah, bertabur kuntum saji, dan penuh harum aroma merah tanah. Bukannya penuh tawa dan kebahagiaan, rumah cinta sang pengarang lekat dengan kematian.

Kemurungan yang begitu terasa di dalam “Rumah Cinta” juga muncul-kuat dalam dua puisi Rini Febriani Hauri. Di dalam “Distikon Kau dan Aku”, aku kehilanganmu dan aku mencarimu. Setelah aku melihat wajahmu dan aku menemukanmu, berganti pula kau kehilanganku. Meskipun kemudian kau [juga] melihat wajahku dan kau menemukanku, tapi itu di antara lembar-lembar kenangan yang beterbangan di sudut angan.

Puisi kedua dari pengarang yang sama, “Pasar yang Tak Pernah Ditinggalkan dan Aku yang Telah Ditinggalkan”, jauh lebih muram ketimbang yang pertama. Puisi ini menghadirkan pertentangan sempurna antara pasar dan aku. Kalau pasar penuh dengan kendaraan dan lautan pedagang/ Yang menjajakan dagangannya di pinggiran jalan gang-gang sempit/ Asap-asap dapur penghuni pasar mengepul kental/ Dan saling bergelut memperebutkan nasib// Pasar tak pernah ditinggalkan oleh pemiliknya, pun peminatnya.

Dan aku-lirik bukanlah pasar: Aku hanyalah kesunyian yang telah ditinggalkan serpihan masa lalu// Aku telah ditinggalkan oleh keramaian/ Dan kerdil dalam lautan asap yang menyerangku. Kalau pasar menyediakan apa saja yang kaubutuhkan/ Aku tidak sepenuhnya begitu. Aku telah ditinggalkan, tampaknya oleh kau-lirik, karena aku tidak menyediakan semua kebutuhan kau, meskipun aku bisa saja menjelma pasar/ Menjadi transaksi yang kauinginkan/ Di antara carut marut dan getirnya hidup.

Kemurungan juga muncul dalam puisi-puisi Titas Suwanda. Puisi “Kepada Tepian” berkisah tentang pembebasan sungai-sungai yang tergadai: Sungai telah kian sangsai,/ memucat bersama hikayat sepasang angsa/ yang dicatat sejarah menjelma pusaka. Kepedihan pengarang akan sungai (dan lingkungan) yang tergadai juga muncul di dalam puisi “Ode Sebilah Mata Pisau”: baik di barat maupun di timur tak ada lagi harapan, sebagaimana tampak dalam tiga bait berikut:

Di barat, berbatas tanah kelahiranmu
Para petani pun telah benar-benar kaya
Mengganti karet menjadi sawit
Tak ada lagi kayu-kayu sebesar gajah, atau
Hutan-hutan ulayat yang benar-benar perawan,
dibuntingi alat-alat berat, kemudian
ditinggal pergi, menjanda

Di timur, sepanjang pesisir laut Jambi
Para nelayan berpantang lelah
Mengolah tanah-tanah gambut
Menjadi sawah, lalu
Menjelma pulau harapan
Membuka tempurung-tempurung kopra
Hingga kota berbatas kota

Tak ada lagi ke laut berbunga pasir, ke darat berbunga kayu
konon, mengisi lumbung padi marga-marga

Kemurungan yang menjelma pedih sebagaimana dirasakan Titas sangat mirip dengan yang dituliskan Utomo Soconingrat di dalam puisi “Air Mengalir ke Lembah-lembah”. Utomo menanyakan mengapa tanah tak lagi menyerap air hujan?/ “Sebab hutan tak lagi berakar, kebutaan telah membakar hati/ Gemintang binatang langka, punah terpanah api. Jawaban akhir dari puisi-yang-ingin-tampak-religius ini adalah kebutaan [dari] mengingat Allah.

Anggiri Penangsang menarasikan kemurungan itu dalam puisi “Narasi Semu: Lelaki Tua”: Mengaduk lautan gelisah/ tak ke tepi, tak pula ke tengah/ Terombang ambing tanpa lalu/ di lautan gelisah// Tak senyum, tak tangis dia tunjukkan. Meski tak begitu kentara, kemurungan tersisa juga dalam puisi Indarto Irwanto, “Di Jembatang Sungai Alai”: Angin bersekutu dengan hujan sebaris pohon dirundung mendung/ Demikianlah bila matahari enggan menabur cahayanya.

Mengapa puisi-puisi itu begitu murung? Mengapa para penyair yang diikat oleh “rumah cinta” bersama bernama Jambi menghadirkan kemuraman? Apakah mereka merasa tidak at home di Jambi? Kalau ya, apa yang membuat mereka merasa begitu? Apakah iklim kepenyairan di Jambi? Atau iklim berkesenian di daerah ini secara luas?



Saya tidak tahu banyak. Saya hanya akan membandingkan Rumah Cinta dengan narasi rumah yang dibangun oleh almarhum penyair Ari Setya Ardhi. Cukup mengejutkan, penyair ini ternyata banyak sekali menggunakan diksi atau narasi rumah di dalam puisi-puisinya. “Menerima Bingkisan Waktu”, “Mengemudikan Laut”, “Menjadi Pemirsa”, “Merajut Benang Gempa”, “Merebut Sejarah”, “Mendiami Rumah Tangga”, “Mempersiapkan Waktu”, “Menebar Pelangi”, “Membakar Kereta Waktu”, “Membaca Teks Sejarah”, dan “Menata Rumah Hujan” adalah beberapa puisinya yang menghamburkan diksi “rumah”.

Rumah di dalam puisi Ari juga tak selamanya menguarkan kebahagiaan dan kenyamanan. Kata “rumah” bahkan digandengkan dengan kata-kata lain atau digunakan untuk membentuk frasa muram seperti “rumah bencana” (“Merajut Benang Gempa”), “rumah air mata” (Membakar Kereta Waktu”), “rumah yang terbakar” (“Mengemudikan Laut”), “menimbun virus dalam rumah” (“Menjadi Pemirsa”), “ketandusan perumahan rayap” (“Merebut Sejarah”), dan “dinding-dinding retak/ mengalirkan embun dari luar rumah” (“Menerima Bingkisan Waktu”).

Namun, di beberapa puisi yang lain, Ari jelas sekali membangun rumah dengan optimisme: “rumah impian” (“Menata Rumah Hujan”), “rumah liberty” (“Membaca Teks Sejarah”), “dari penjuru rumah, lampu-lampu (mulai) gemerlap” (“Menebar Pelangi”), “rumah pelaminan” (“Mempersiapkan Waktu”), dan tentu saja “rumah bunga” di dalam “Mendiami Rumah Tangga”. Saya kutipkan puisi terakhir tersebut utuh:

sesekali kegetiran angin mendesir
merapatkan gigilan selimut
bersama aroma kesakralan percakapan
di kesyahduan ranjang mawarmu
membiarkan jendela cinta terpana
kemudian pintu kedamaian terkuak
seluas sabana rindu yang senantiasa
menggedor-gedor keterbatasan dengan
jemari ketabahan. sementara,
kerimbunan ilalang menebal lantai
memasrahkan rerumputan menumbuhkan
ruang-ruang kekekalan. lalu,
kita semaikan benih bunga-bunga
sepanjang helaan nafas, sampai
desah pelaminan itu melindapi
sekujur kebisuan ruang tamu. kita
hembuskan jiwa keheningan yang
berkeliaran di atas atap, melumatkan
kemekaran birahi yang tak henti mengerang,
menyatukan kepolosan tubuh bumi.

kita telah membangun rumah bunga nel,
menancapkan akar ketulusan sembari
terus memupuki tunas-tunas yang
mulai berkejaran, menuai
serbuk-serbuk yang menebarkan
benih-benih keasrian bunga
yang terus bermekaran. sementara
di luar rumah, sungai-sungai
mengalirkan pertentangan yang
harus ditebus tanpa perlu
membelanjakan keperihan masa lalu.
dekaplah kenangan angin yang menyebar,
menuai keganasan taufan jalanan.
peluk, rengkuhlah sisa gerimisku
jangan lepaskan kegemetaran pepohonan
yang membungkus kegairahan di tamanmu

Meski terlihat tak mudah, dengan segala keterbatasan, ketabahan, keperihan, dan pertentangan, “Membangun Rumah Tangga” bertekad mendirikan rumah yang penuh cinta, kedamaian, rindu, birahi, dan kekekalan. Ini mungkin rumah cinta yang jauh lebih tepat sebagaimana diidamkan oleh Ihsan.

Sekali lagi saya tidak tahu banyak apakah iklim kepenyairan dan berkesenian di masa Ari masih hidup yang membuat rumah cinta seperti itu bisa dibangun, yang berbeda dari sekarang, yang hanya menghadirkan kemuraman. Bisa jadi begitu. Ari sendiri menyebut dirinya sebagai bohemian yang, menurut KBBI, merupakan “orang yang hidup bebas... orang yang hidup mengembara dan tidak teratur serta tidak memikirkan masa depannya.” Dengan kata lain, bohemian adalah orang yang lentur atau tidak mau terikat terhadap aturan (atau “rumah”).

Dengan sifat yang lentur seperti itu, Ari kemudian tidak mempermasalahkan berbagai kritik yang ditujukan kepada karya-karyanya. Di dalam puisinya di atas, meskipun membangun rumah tangga, yang sifatnya sangat privat, Ari tetap membolehkan “pertentangan” atau kritik. Dia tidak antikritik. Ketika membahas puisi-puisi Chory Marbawi (juga sudah almarhum), Maizar Karim (2008) memuji Ari sebagai “penyair yang terbuka atas kritik dan selalu rendah hati”:

Pada awal kepenyairan Ari Setya Ardhi (alm.), saya membaca beberapa sajaknya di beberapa koran ibu kota dan koran daerah. Saya mencoba memberi catatan atas sajak-sajak itu, ada juga dari sajak-sajaknya itu saya beri komentar secara lisan pada pertemuan-pertemuan tidak resmi dengannya. Ternyata ia kemudian menerima komentar saya, dan mengubah di sana-sini sajak-sajaknya. Hal ini terbukti dari sajak-sajaknya yang terbit kemudian sebagai buku dan pada sajak-sajak yang kemudian dibacanya secara auditorium. Ari Setya Ardhi memang penyair yang terbuka atas kritik dan selalu rendah hati...

...komitmennya dalam dunia kepenyairan... tidak pernah goyah. Apa pun komentar dan kritik pembaca, ia terus-menerus berkarya. Seakan-akan menghasilkan karya sastra adalah jalan hidup atau profesi yang sudah merupakan takdirnya.
Dari beberapa segi, saya dengar, kritik seperti itu yang (mulai) hilang dari rumah kesenian di Jambi. Tak boleh ada pertentangan di dalamnya. Rumah tanpa kritik itu, meskipun diberi nama dengan rumah cinta, mungkin hanya akan menujumkan kematian dan kemuraman, sebagaimana dalam puisi-puisi di dalam Rumah Cinta.[]

___________

Disampaikan dalam diskusi buku Rumah Cinta yang diadakan oleh komunitas Lacak Literasi di aula Kantor Bahasa Provinsi Jambi, 26 Maret 2016.

Foto-foto diambil dari akun Facebook Mhd. Ikhsan.

0 komentar: