Gradual Qur’an



RAMADAN DUA tahun lalu saya membaca disertasi Sukidi Mulyadi di Harvard University di Amerika Serikat, berjudul “Gradual Qur’an: Views of Early Muslim Commentators” (2019). Hitung-hitung sebagai “alternatif” dari tadarus Al-Qur'an yang konvensional.

Dalam klasifikasi keilmuan Islam, disertasi ini tentu saja masuk disiplin ilmu tafsir atau, lebih luasnya, ilmu Al-Qur'an. Saya sendiri agak menyukai disiplin ini. Ketika kuliah S-1 di UIN Yogyakarta, saya mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab, namun menulis skripsi yang ganjil untuk jurusan tersebut dan malah mungkin masuk ke disiplin tafsir, yakni tentang penafsiran kata tertentu dalam Al-Qur'an dari perspektif filsafat bahasa.

Meskipun membaca cukup banyak literatur kontemporer dalam bidang tafsir dan studi Al-Qur'an, saya tentu saja tetap awam dalam bidang itu. 

Ketika membaca disertasi Sukidi, dan juga disertasi lainnya, saya biasanya ingin tahu: mengapa (topik) disertasi tersebut penting, strukturnya seperti apa, kok bisa meluluskan penulisnya, apalagi di kampus yang dikenal sebagai perguruan tinggi terbaik di dunia? Di samping itu, sebagai orang yang belum pernah menulis disertasi, saya juga ingin belajar bagaimana membuatnya.

Dibandingkan yang lain, saya kira disertasi Sukidi tipis saja. Hanya tiga bab di luar pendahuluan dan penutup. Jumlah halamannya 163 dengan bibliografi. Bandingkan misalnya dengan disertasi orang Indonesia yang juga kuliah dan sekarang mengajar di Amerika Serikat dalam bidang yang sama, Mun’im A Sirry, yang bertebal 350 halaman. Disertasi Sukidi tidak sampai separuh dari disertasi Mun’im. Kalau begitu, apa istimewanya?

Sukidi menulis topik ‘gradual Qur’an’. Apa itu? Terjemahannya barangkali ‘Al-Qur'an yang (turun secara) bertahap’. Dalam membahas itu, Sukidi awalnya berusaha agar topik tersebut dibahas oleh Al-Qur'an itu sendiri, dari perspektif Al-Qur'an itu sendiri (in its own word), dengan pemaknaannya yang asli, dan bebas dari prakonsepsi. Apa bisa?

Dalam keilmuan Al-Qur'an kontemporer, pionir dalam studi “dari perspektif Al-Qur'an sendiri” tentu saja adalah Toshihiko Izutsu, sarjana dan penerjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa Jepang pertama, pengkaji mistik Islam, yang menulis dua tafsir simpatik, “Tuhan dan Manusia di dalam Al-Qur'an” dan “Konsep Etika-Religius di dalam Al-Qur'an”.

Di dalam tafsir-tafsirnya, Izutsu ingin memunculkan makna asli Al-Qur'an. Kenapa begitu? Al-Qur'an turun pada awal abad ke-7. Sejak itu, ada jutaan tafsir terhadap Al-Qur'an. Jangan-jangan kalau kita menafsirkan Al-Qur'an sekarang, tafsir kita dipengaruhi bacaan kita atas tafsir orang lain. Lalu orang lain itu menafsirkan berdasarkan tafsir orang lain pula. Begitu seterusnya. Bertumpuk-tumpuk. Yang ada tafsir kita bukannya merujuk langsung Al-Qur'an, tapi tertutupi oleh tafsir-tafsir yang bertumpuk-tumpuk tadi.

Jangan bayangkan itu seperti orang menulis skripsi yang bisa saja berkilah “saya tidak dipengaruhi si A, karena saya tidak merujuknya”. Tumpukan itu ada di kepala kita. Kata Arkoun, logosphere Al-Qur'an sudah seperti itu.

Izutsu punya cara menarik untuk menyiangi tumpukan itu. Untuk mendapatkan makna asli, dia merujuk bukan kamus yang ditulis orang belakangan, tapi merujuk ke puisi atau syair Arab jahiliyah. Tentu saja sampai di sini kita jadi tahu bahwa Izutsu jelas tidak percaya pada Thaha Husain yang menyebut bahwa syair Arab jahiliyah itu tidak ada yang asli. Yang sampai ke kita, kata Husain, merupakan bikinan orang belakangan yang kemudian diklaim dari masa pra-Islam.

Meskipun cara Izutsu sudah canggih, dia hanya sanggup mencari “makna asli” atas kata-kata kunci saja. Sedikit sekali. Kalau kita baca artikel panjang, yang bisa dicari hanya 4-5 keywords saja. Sedikit sekali dibanding lautan kata-kata Al-Qur'an. Walaupun begitu, tafsir Al-Qur'an ala Izutsu sudah sangat menarik dan canggih. Fazlur Rahman sampai angkat dua jempol untuknya.

Kembali ke Sukidi. Sukidi tidak senekat Izutsu, atau mungkin dia tidak percaya pada Thaha Husain. Belakangan dia bahkan bilang bahwa kalau dibaca dengan makna asli, Al-Qur'an menjadi tidak bisa dimengerti (unintelligible). Dia kemudian mengelak dari upaya itu dan mengambil “perantara” yang punya fungsi bilateral dan relasional. Sukidi berargumen, konsep pewahyuan Alquran sebetulnya menunjukkan pentingnya perantara. Jibril atau bahkan Muhammad sendiri bisa disebut perantara, karena tujuan pewahyuan adalah umat manusia.

Siapakah perantara yang membantu Sukidi membaca “gradual Qur’an”? Itulah yang dimaksudkan oleh dia di judul: early Muslim commentators atau para penafsir awal. Mereka dari generasi sahabat dan tabiin. Lalu dari mana Sukidi mengutip komentar sahabat dan tabiin? Dari penulis kitab-kitab tafsir klasik dan pertengahan seperti al-Tabari, al-Maturidi, al-Samarqandi, al-Wahidi, al-Zamakhshari, al-Razi, dll.

Dengan metode itu, Sukidi kemudian menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an yang menyatakan tentang “gradual Qur’an”. Karena itu disertasi Sukidi sebetulnya bisa disebut tafsir Sukidi atas tafsir awal tentang “gradual Qur’an”. Dengan demikian dia meta-tafsir.

Ada tiga (kelompok) ayat yang dikaji Sukidi. Pertama, QS al-Isra: 106: “Dan Qur'an kami turunkan berangsur-angsur agar kamu membacanya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.” Menurut Sukidi, ini basis argumen dari “gradual Qur’an”, yang kemudian dibahas panjang-lebar di dalam bab pertama (sebagaimana biasanya disertasi di luar negeri, pendahuluan menjadi bagian sendiri sebelum bab pertama; pendahuluan tidak menjadi bab).

Argumen “gradual Qur’an” dalam QS al-Isra: 106 tadi kemudian mendapatkan bantahan dari orang Kafir sebagaimana di dalam QS al-Furqan: 32: “Orang-orang kafir berkata, ‘Mengapa Alquran tidak turun sekali saja?’ Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dan Kami membacanya secara tartil.” Menariknya, terkait ayat kedua ini, Sukidi kemudian membahas panjang-lebar tentang kaum kafir dan basis pengetahuan mereka pada kitab suci pra-Islam. Perbantahan dan debat mengenai “gradual Qur’an” ini, kata Sukidi, menghasilkan suasana yang penuh polemik, yang dibahas dalam bab kedua.

Bab ketiga atau terakhir dari disertasi Sukidi membahas proses dari “gradual Qur’an”. Di sini, menariknya, Sukidi memilih QS al-Najm: 1-18 sebagai (kelompok) ayat ketiga yang dibahas, ketimbang QS al-‘Alaq: 1-5. Tampaknya pilihan itu didasari oleh “vision” (ke)Nabi(an) yang jelas dalam QS al-Najm. “Vision” pertama: Jibril berada di ufuk tinggi, terus mendekat hingga hanya dua busur panah, menampakkan rupa asli kepada Muhammad, dan selanjutnya menyampaikan wahyu. Nabi tidak mendustakan pertemuan dengan Jibril dan pewahyuan tersebut. “Vision” kedua: saat Israk Mikraj Nabi menyaksikan sebagian tanda Tuhan yang agung.

Bagi saya, struktur disertasi tersebut menarik. Mungkin bisa jadi bahan pembelajaran di jurusan terkait.

Tentang isi selanjutnya, silakan dibaca sendiri, daripada pandangan Anda terhalang “tumpukan” teks yang saya susun.[]


0 komentar: