Hidup Bersama Raksasa



SAYA TIDAK bisa menahan diri untuk tidak membagikan buku penting ini: Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit karya Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Dalam beberapa tahun terakhir, itu salah satu buku terbaik yang saya baca.

Buku ini pertama kali terbit dalam versi Inggris, dengan judul Plantation Life: Corporate Occupation in Indonesia’s Oil Palm Zone oleh Duke Univ Press, pada 2021. Begitu ada informasi pre-order versi terjemahan dalam bahasa Indonesia, saya segera memesannya. Nama besar Li, yang bukunya pernah saya baca, The Will to Improve, adalah di antara alasan saya membelinya. Alasan lain adalah Pujo Semedi, antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya pernah dilatih menulis etnografi oleh Mas Pujo selama beberapa waktu pada 2007.

Di buku ini, Li dan Mas Pujo berkolaborasi menulis tentang perkebunan sawit di Kalimantan. Kerja kolaboratif semacam itu sesuatu yang aneh dalam etnografi. Mereka bahkan juga dibantu oleh lebih dari 50-an mahasiswa baik dari UGM maupun Univ Toronto, Kanada, tempat Li mengajar. Yang umum, kerja etnografi ya kerja sendiri, menulis sendiri. Di buku ini dijelaskan bagaimana mereka menulis bahkan di satu tempat, sering dengan satu komputer, dengan kalimat per kalimat disusun bersama.

Hidup Bersama Raksasa berkisah tentang bagaimana dua perusahaan perkebunan sawit, satu milik negara dan satu swasta, berdiri dan berkembang di Kalimantan serta berinteraksi dengan masyarakat setempat, baik yang lebih dulu ada di sana maupun yang dibawa oleh perusahaan. Li dan Pujo menunjukkan dua perusahaan itu berkolaborasi dengan kekuatan ilegal atau secara ilegal masuk. Kedua perkebunan tak jarang menggunakan aparat bersenjara dan paramiliter untuk memuluskan pendirian perusahaan.

Luasnya perkebunan mengubah kehidupan yang terjadi di desa. Tidak hanya bentang lahan dan ekosistem yang berubah, tapi juga struktur kehidupan: relasi penduduk dengan perusahaan, banyak penduduk setempat dipekerjakan, hubungan mandor-buruh yang timpang, pekerja yang rentan tanpa jaminan, sistem ekonomi menjadi sangat bergantung, munculnya penguasa-penguasa baru yang dibekingi perusahaan, aturan-aturan baru yang diterapkan perusahaan dan menjadi aturan yang diterapkan di desa… 

Menurut Li dan Pujo, ketimbang menjanjikan kemakmuran, kehadiran perusahaan lebih tepat disebut pendudukan, tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan (perusahaan masa) kolonial. Perusahaan itu mirip raksasa: besar, berkuasa, dan memaksa.

Dan ini yang penting dipelajari: dalam menceritakan itu, tuturan Hidup Bersama Raksasa sangat-sangat-sangat detail. Cara menulisnya, meminjam istilah yang sering digunakan dalam kursus penulisan, sangat “basah”.

Selesai membaca buku ini, saya jadi nggerundel, kenapa sih bukan kita yang menuliskannya? Konteks Kalimantan saya kira mirip dengan Jambi: ada banyak perusahaan perkebunan, besar-besar juga. Tapi kita abai meneliti dan menuliskannya. Padahal, sekali lagi, fenomena itu ada di sekitar kita. (Dalam konteks Jambi, saya membaca disertasi Arfan Aziz, topiknya mirip, hanya lebih sosiologis).

Atau kalau bukan perusahaan sawit, di Jambi ada pertambangan batubara, juga pertambangan emas, yang sering jadi objek kemarahan karena kemacetan jalan dan kerusakan yang diakibatkan. Kenapa “kemarahan” itu tidak diwujudkan dalam bentuk riset? Apakah kehadiran mereka juga ilegal? Atau resmi tapi diupayakan melalui cara ilegal, seperti di Kalimantan? Bagaimana relasi sosial-budaya-ekonomi-politik yang muncul dari kehadiran perusahaan-perusahaan seperti itu? Apa dampak dan “kerusakan” yang diakibatkannya? Meskipun hujan kritik, mengapa perusahaan-perusahaan seperti itu tetap berdiri dan tumbuh? 

Kata Li dan Pujo, keberlangsungan (sustainability) adalah istilah yang sekarang diciptakan untuk menjustifikasinya.

0 komentar: