SAYA KIRA, dari banyak sarjana sosial Asia Tenggara yang produktif menelurkan karya-karya akademik, Khairudin Aljunied yang paling prolifik. Saya mengikuti karya-karyanya sejak beberapa tahun terakhir, dan tak ragu untuk menyebut demikian.
Di samping menulis banyak artikel di jurnal-jurnal penting bereputasi, Aljunied juga nyaris setiap tahun menulis buku utuh yang dipublikasikan oleh penerbit-penerbit terbaik di dunia: Muslim Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam in Comparative Perspective (Edinburg Univ Press, 2017); Hamka and Islam: Cosmopolitan Reform in the Malay World (Cornell Univ Press, 2018); Islam in Malaysia: An Entwined History (Oxford Univ Press, 2019); dan Shapers of Islam in Southeast Asia: Muslim Intellectuals and the Making of Islamic Reformism (Oxford Univ Press, 2022). Dosen National Univ of Singapore (NUS) Singapura itu juga penyunting Routledge Handbook of Islam in Southeast Asia (Routledge, 2022).
Tulisan-tulisan Aljunied khas. Dia barangkali tidak mengajukan topik “baru”, melainkan memunguti hal-hal lama yang sudah dilupakan banyak peneliti, lalu mengajukan interpretasi baru atasnya. Topik-topik itu berpusat pada tokoh-tokoh Muslim yang memberikan pengaruh pada Islam di Asia Tenggara, misalnya Hamka, Zakiah Daradjat, Harun Nasution, dan Kuntowijoyo—untuk menyebut beberapa subjek risetnya yang berasal dari Indonesia.
Siapakah lagi di antara sarjana Indonesia yang membaca karya-karya para tokoh tersebut? Adakah lagi buku-buku seperti Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya karya Harun Nasution atau Ilmu Jiwa Agama karangan Zakiah Daradjat dijadikan pegangan dan dipelajari oleh mahasiswa dalam ruang-ruang perkuliahan di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI)? Atau Tasawuf Modern-nya Hamka? Paradigma Islam-nya Kuntowijoyo? Sekali lagi, kita mungkin telah melupakan mereka.
Aljunied memunguti yang terlupakan itu dan menekuninya. Hasilnya dia tulis dalam banyak jurnal penting dan buku yang wah. Tapi untuk apa? Di dalam sebuah seminar yang saya ikuti, Aljunied bilang bahwa motivasinya menulis karya-karya adalah untuk memberikan narasi baru tentang Islam di Asia Tenggara. Narasi baru itu penting karena narasi tentang Islam Nusantara yang ada, menurut Aljunied, bermasalah, yakni memandang Islam Melayu inferior dibandingkan Islam di Arab. Di samping itu, banyak narasi melihat Islam di Asia Tenggara saat ini lebih radikal, konservatif, dan tertutup. Aljunied berusaha melawan itu. Meskipun juga mengakui bahwa radikalisme dan konservatisme ada, menurutnya, dari perspektif kehidupan sehari-hari (everyday life), Islam Melayu adalah terbuka.
Untuk mengungkap sikap terbuka itu, Aljunied menamakan proyeknya dengan Islam kosmopolitan. Dia lalu menggali nilai-nilai kosmopolitanisme itu melalui Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat Asia Tenggara. Bagi fellow dan profesor di Universiti Brunei Darussalam itu, Islam tidak bisa dipandang hanya dari gagasan yang berkembang dari dan di Arab, tapi juga yang hidup di wilayah lain, termasuk Asia Tenggara.
Dengan proyek Islam kosmopolitan tersebut, Aljunied lalu menggali gagasan-gagasan keislaman para tokoh yang telah disebutkan sebelumnya, di samping tentu saja para tokoh dari Malaysia dan Singapura. Di dalam buku terbarunya, Shapers of Islam in Southeast Asia, Aljunied bahkan menyertakan pengusung Islam kosmopolitan dari Filipina, negara yang sering memiliki “problem Islam”, terutama karena pemeluk Islam merupakan minoritas di sana, yakni Cesar Adib Majul.
Meskipun buku Majul, Muslims in Philippines, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1989 dan bisa dijumpai di perpustakaan, saya tidak menyadari pentingnya tokoh tersebut. Majul lahir sebagai pemeluk Kristen Ortodoks dan menempuh pendidikan di Univ of the Philippines-Diliman untuk meraih sarjana dan master, sebelum melanjutkan ke jenjang doktoral di Cornel University.
Majul adalah intelektual-cum-aktivis. Sewaktu menjadi mediator antara pemerintah Filipina dan Fron Pembebasan Nasional Moro (MNLF), Majul memeluk Islam dan mendalaminya. Di Diliman, dia mendirikan Institut Studi Islam. Namun, setahun setelah diangkat menjadi profesor, Majul justru mengundurkan diri dari Diliman dan pindah ke Amerika. Kebijakan tangan besi pemerintah Filipina terhadap Moro ditengarai menjadi pemicunya.
Sebagai intelektual, Majul menulis lebih dari 150 artikel dan puluhan buku. Minatnya luas. Menurut Julkipli Wadi, sebagaimana dikutip Aljunied, karya Majul dapat dibagi menjadi empat kategori topik: (1) filsafat dan logika, (2) Filipina, (3) studi Asia serta pemikiran dan sejarah Islam, (4) spiritualitas Islam dan tafsir Alquran.
Saya lantas coba menelusuri topik keempat. Saya kira yang disebut tafsir adalah karya terakhir Majul, berjudul Remembrance and Forgetfulness in the Holy Qur’an, yang diselesaikan beberapa saat sebelum meninggal pada 2003. Buku lain yang mendekati kategori tersebut tampaknya Islam and Conflict Resolution: Theories and Practices. Ditulis bersama Salmi dan Tanham, buku itu banyak didasarkan pada sejarah Islam awal serta pandangan pemikir Islam baik klasik maupun kontemporer.
Membaca Majul dan Aljunied menyadarkan bahwa ada banyak tokoh dan pemikiran penting di sekitar kita yang bisa dikaji (-ulang) dan ditulis. Setidaknya para tokoh tersebut dan karyanya tidak dilupakan, tapi dipelajari lagi di kelas-kelas kuliah. Terkhusus Majul, tafsirnya bisa diteliti di jurusan terkait. Jadi keluar sedikit dari pakem mempelajari tafsir karya ulama Timur Tengah atau tafsir Indonesia, studi tafsir bisa beranjak ke atau menambahkan pemikir atau ulama Asia Tenggara. Nuansanya bakal beda. Di banyak kampus PTKI, rasanya itu perlu, terutama untuk beringsut dari jebakan “the living….”[]
0 komentar:
Posting Komentar