Apa Itu Otoritas Religius?



JUDUL DI atas adalah terjemahan dari judul utama buku Ismail Fajrie Alatas atau Habib Ajie, What is Religious Authority? Cultivating Islamic Communities in Indonesia (Princeton Univ Press, 2021). Buku tersebut membahas tentang Habib Luthfi bin Ali Yahya, seorang ulama dan pemimpin tarikat terkemuka di Indonesia. Pertanyaannya, mengapa sang habib bisa punya otoritas? Bagaimana otoritas tersebut dibangun? Apa sih sebetulnya otoritas itu?

Didiskusikan oleh beberapa pusat studi yang konsen dengan kawasan Indonesia dan Asia Tenggara, What is Religious Authority? mendapatkan banyak pujian dari para sarjana. Robert Hefner, misalnya, menyebut buku Ajie sebagai “salah satu buku terpenting tentang Islam di Indonesia” dan “menjadi referensi pokok bagi semua pengkaji Islam dan otoritas keislaman.”

Perdebatan tentang otoritas tentu saja bukan hal baru. Banyak orang mengaitkannya dengan karisma, istilah yang mengingatkan kita pada sosiolog Max Weber. Dalam hal kepemimpinan, kata Weber, karisma lahir karena adanya kebutuhan dan aspirasi yang belum terpenuhi oleh kenyataan. Ketundukan dan kepatuhan kepada pemimpin, karena itu, disebabkan anggapan bahwa dia mampu merealisasikan kebutuhan dan aspirasi yang tertunda tersebut. Anggapan kemampuan itulah yang disebut karisma. Otoritas kira-kira mirip seperti itu.

Para filsuf posmodernis Prancis juga sering dikutip terkait otoritas. Dua di antaranya adalah Michel Foucault dan Roland Barthes. Kalau yang pertama menulis “What is an Author?”, yang kedua mengarang “Author is Dead”. Dalam tulis-menulis, sering kali dikatakan bahwa author (sering diartikan pengarang, tapi tidak sekadar itu) adalah orang yang paling tahu atas sebuah karya. Jika kita bingung membaca buku atau teks, misalnya, kita tanya saja pengarangnya. Dialah yang dianggap punya otoritas atas karyanya. 

Sebagai posmodernis, Foucault dan Barthes tentu saja risau dengan kenyataan itu. Gak boleh dong ada yang berkuasa atas teks. Sebaliknya, semua orang seharusnya setara di hadapan teks. Kata Barthes, “kelahiran teks mesti dibayar dengan kematian author.” Jadi, author harus dimatikan, harus dibunuh!

Tapi siapakah author itu? Menariknya, dia bukan (hanya) pengarang. Dalam banyak kasus, author itu justru bukan pengarang, melainkan pembaca yang berusaha menguasai tafsir atas teks. Masih ingat kan kasus novel-novel Pramoedya Ananta Toer yang disebut oleh Orde Baru sebagai kiri dan, karena itu, dilarang beredar? Bukan Pram yang punya otoritas bicara atas karyanya, tapi tafsir Orde Baru yang dipaksakan harus diterima. Orde Baru adalah sang author, yang menggenggam atau merampas authority.

Atau, dalam kasus kitab suci, meskipun tahu bahwa yang punya otoritas atasnya adalah Tuhan, kita sering memaksakan tafsir kita atau tafsir tertentu supaya diterima semua orang. Diam-diam, kita ingin menjadi sang otoritas atas kitab suci. 

Dari banyak teori tentang otoritas, Ajie mendasarkan argumennya pada teorinya Hannah Arendt. Menurut Arendt, “otoritas adalah suatu relasi hierarkis yang mengkoneksikan satu kelompok masyarakat dengan masa lalu yang mereka yakini sebagai mendasar (foundational). Relasi itu kemudian memberikan kemampuan kepada mereka yang punya otoritas untuk menyambungkan dan mengubah masa lalu itu menjadi model atau contoh bagi masa kini.”

Jadi ada tiga unsur pembentuk otoritas. Pertama, gagasan tentang dan koneksi ke foundational past. Kedua, kapasitas untuk mengubah yang foundational menjadi model. Ketiga, kemampuan menghasilkan kepatuhan tanpa paksaan.

Di dalam kasus Habib Luthfi dan Islam secara umum, masa lalu yang foundational tersebut tentu saja adalah kehidupan Nabi Muhammad atau masa Islam awal. Koneksi dengan masa lalu yang foundational itu tidak saja dibangun oleh Habib Luthfi melalui silsilah atau nasab, melainkan juga sanad keilmuan yang tersambung ke Nabi.

Jika hidup Nabi di dalam Islam disebut sunnah, maka sunnah menjadi mode of action bagi Habib Luthfi. Agar tidak saja menjadi cerita masa lalu, sunnah harus diterjemahkan dan dihidupkan pada masa kini melalui upaya membayangkan dan menumbuhkan jamaah atau komunitas (cultivating communities; lihat anak judul buku ini. Istilah “membayangkan komunitas” tampak dipengaruhi Benedict Anderson: imagined community). 

Dalam menghidupkan sunnah itu, Habib Luthfi memerankan apa yang kemudian disebut sebagai articulatory labor atau kerja artikulasi. Di sini, sang habib menjadi jembatan yang menghubungkan antara sunnah dan jamaah: mengubah yang foundational menjadi model riil. Kerja artikulasi itu tidak hanya sekali dilaksanakan dan langsung jadi, tapi harus terus-menerus ditumbuhkan dan dirawat. Kontinuitas tersebut yang nanti menghasilkan kepatuhan.

Mengenai pentingnya kerja artikulasi, Ajie menyebut bahwa “salah satu cara untuk memahami Islam sebagai kenyataan sejarah dan sosiologis adalah dengan menempatkan Islam sebagai hasil dari kerja artikulasi.”[] 

0 komentar: