Pak Haji Marto



Labbaika allahumma labbaik
Labbaika la syarika laka labbaik
Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk
La syarika lak

RANGKAIAN kalimat talbiyah itu bergema di seantero padang Arafah. Hari ini berjuta-juta jamaah haji dari berbagai penjuru dunia berkumpul di sana. Semuanya datang memenuhi panggilan Allah. Berserulah mereka, “Labbaika allahumma labbaik, kami datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah.”
Suara talbiyah itu terus bergema. Turun-naik membuat irama yang sangat syahdu. Siapa pun orang yang hadir di sana, pasti dapat merasakan kesyahduan itu. Kesyahduan yang menciptakan rasa damai luar biasa.

Pak Marto duduk di antara jutaan jamaah itu. Kepalanya ia tekuk ke bawah. Memperhatikan ujung pakaian ihramnya yang tak berjahit. Ada debu padang pasir yang menempel. Tapi bukan itu. Ia tak memperhatikan itu benar. Ada hal lain yang ia rasakan. Perasaan yang bercampur aduk menjadi satu. Bahagia, haru, juga menyesal. Harus menyesalkah aku, bisik Pak Marto lirih. Toh apa yang ia lakukan adalah sebentuk kebaikan. Tapi pantaskah suatu kebaikan dijalankan dengan cara yang tak baik? Tentu saja tidak.

Sejenak Pak Marto tengadah. Ia sapukan pandangannya ke sekeliling. Diperhatikannya gelombang manusia yang semuanya memakai baju putih itu. Seragam. Tak ada kelebihan bagi yang berpangkat. Juga tak ada kesan rendah bagi rakyat jelata, termasuk dirinya. Semua sama. Yang membedakan adalah derajat iman dan takwa. Tapi lagi-lagi itu tak tampak. Yang beriman dan bertakwa serta yang bukan tak tampak berbeda. Memang keimanan dan ketakwaan tak harus ditampakkan. Bukan saja tak harus, tapi juga tak pantas. Siapa sih yang pantas dan berhak mengatakan saya beriman dan kamu tidak? Tak ada. Semuanya tak berhak. Semua sama. Hanya Allah sematalah yang berhak menilai si fulan beriman dan fulan yang lain tidak. Manusia hanya wajib berusaha beriman dan bertakwa. Hanya berusaha. Tidak lebih. Tapi kalau sudah urusan penempelan cap iman atau tidak, tak hanya tidak wajib, tapi juga dilarang.

Itulah yang dikehendaki Pak Marto. Usahanya sungguh-sungguh beriman dan bertakwa tak hendak ia kabarkan pada siapa pun. Biarlah Allah yang di atas sana yang menilai. Ikhlas tidakkah ia. Pantas tidakkah ia disebut mukmin dan muttaqin. Hanya Allah yang berhak menilai. Pak Marto tak ingin dengan diketahuinya rasa iman dan takwanya yang sungguh-sungguh akan membuatnya congkak, tinggi hati, riya’. Sungguh ia tak ingin itu. Meski memang awalnya sering tak diniatkan untuk sebuah kesombongan, tapi ketika usaha ke arah itu diketahui orang lain, bukan mustahil akan mengubah niat yang mulanya ikhlas itu. Bukan mustahil. Siapa sih yang berani menjamin niatnya akan terus lurus? Siapa yang berani menjamin kadar iman dan takwanya tak akan berkurang? Siapa yang berani? Kalau ada yang berani, sombong betul orang yang demikian.

Pak Marto tahu, apa yang telah dilakukannya tak salah benar. Bukankah itu ia lakukan agar usaha iman takwanya tak ditunggangi niat-niat tercela. Tapi bagaimanapun ia telah berbohong. Tidak hanya pada tetangga, kerabat, tapi juga pada seluruh penduduk desa. Pak Marto merasa menyesal.

Labbaika allahumma labbaik. Labbaika la syarika laka labbaik…. Talbiyah itu masih terus mengumandang.

“Aku datang penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku datang….” Suara Pak Marto hampir terputus di cekat tenggorokan. Di bawah talbiyah entah kenapa sesal itu begitu menghunjam. Tubuhnya bergoyang keras. Pak Marto berusaha untuk tak terbawa emosi. Tapi tak bisa. Tangisnya meledak. Ia menyesal sekali.

“Tapi apakah Kamu mau menerima kehadiran hamba-Mu yang hina ini. Hamba-Mu telah berdosa, ya Allah.” Ratapnya dalam isak.

Ratapan itu hampir tak terdengar. Samar oleh suara talbiyah yang meninggi.

Di sampingnya, istri Pak Marto dapat memahami penyesalan suaminya. Sesal serupa juga ia rasakan. Masih bisakah hamba-Mu ini menjadi haji yang mabrur, sementara ada hal yang sangat Engkau benci hamba-Mu kerjakan, demikian suara isi hatinya. Tangis itu menular padanya. Mulutnya ia katupkan rapat-rapat dengan menggigit bibir tuanya. Agar isak tak keluar. Berkat itu seperti melenguhlah ia akhirnya. Lenguhan panjang tertahan di bawah syahdu talbiyah.

Sungguh dua insan yang sedang dimabuk taubat atas kesalahan yang tak seberapa besar. Tapi dalam pandangan keduanya ia tetap bernama kesalahan, yang mesti punya nilai hisab di sisi-Nya. Walau seberapa kecilnya kesalahan itu. Seperti halnya perbuatan baik sekecil debu yang luput tertangkap mata, ia tetap akan diperhitungkan.

Labbaika allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaik….

***

PAK Marto menghentikan pekerjaannya. Dipandanginya tandan-tandan segar kalapa sawit yang siap dipanen itu. Hari itu Pak Marto mulai menurunkan buah sawit dari pohonnya dan mengumpulkannya dalam satu gundukan. Nanti sore truk dari sebuah perusahaan yang sudah ia kabari kemarinnya akan datang bersama seorang juru timbang. Tandan buah segar yang berhasil ia turunkan hari itu akan ditimbang untuk kemudian diangkut ke perusahaan tadi.

Pak Marto teringat bagaimana usaha kerasnya membangun kebun itu. Selama tiga puluh tahun ia habiskan usianya di bawah rindang kelapa sawit. Ia ingin berhasil mengarungi hidup yang awalnya tak berpihak padanya itu.

Dan sekarang bolehlah ia dikatakan berhasil. Paling tidak tiga anaknya tak mengalami nasib serupa orangtua mereka yang hanya mengenyam pendidikan agama tingkat rendah di sebuah pesantren di desanya. Itu pun tidak sampai lulus. Zaman mengharuskannya demikian. Sebuah huru-hara skala besar memupus habis kecintaannya pada belajar. Ia tak pernah paham apa yang terjadi. Meski saat itu usianya mulai beranjak besar. Pun sampai sekarang. Yang ia tahu banyak orang dipenggal. Termasuk kiai pesantrennya. Rumah-rumah dibakar. Harta digarong. Ia sendiri menyelamatkan diri dengan berlari menyusuri kebun-kebun tebu. Sesampainya di rumah, hanya kedua orangtuanya saja yang tinggal menangisi rumah mereka yang hangus.

Kemiskinan keluarga memaksanya merantau jauh entah ke mana. Yang ia pikirkan saat itu adalah mencari sesuap nasi. Ke mana kaki melangkah ke situlah ia turutkan kehendak. Mungkin secara tak sadar pula ia sampai di tempat itu. Sebuah daerah di pulau seberang yang jauh dari daerah asalnya di Jawa.

Tak ada yang tahu saat itu ia ke mana. Bapak-ibunya telah merelakannya jauh sebelum kepergiannya. Masa-masa sulit revolusi memaksa keduanya menyapih anaknya lebih cepat. Keduanya sadar, kalau anaknya menginginkan lebih, ia harus cari sendiri. Saat itu keduanya tak berpunya sama sekali.

Selama sepuluh tahun Marto muda menghilang. Kabarnya tak pernah terdengar di telinga kedua orangtuanya. Hanya saja keduanya yakin nasib baik akan berpihak pada anak mereka yang rajin itu. Apalagi ketekunan Marto anaknya tak hanya ketekunan mengumpulkan peluh-peluh demi sesuap nasi, tapi juga ketekunan mengabdi pada sang pencipta. Tak pernah sekali pun ia tinggalkan perintah agama untuk mengejar dunia. Demikian juga tak pernah ia langgar agama demi harta. Bukankah Allah telah menjamin setiap hamba yang patuh pada-Nya?

Baru setelah memiliki sepetak tanah, ia berkirim kabar lewat selembar surat. Sayang kabar baik itu terlambat datang. Kedua orangtuanya telah berpulang ke hadirat-Nya sebelum kabar itu tiba. Hanya saudaranya saja yang kemudian mengabarkan duka itu dalam balasan surat. Kabar gembira yang dijawab oleh berita duka!

Pak Marto sedih. Tapi ia tak mau terus larut dalam suasana duka. Pak Marto berkeyakinan itu semua sudah diatur oleh-Nya. Dan aturan-Nya adalah aturan yang paling baik buatnya, buat saudaranya, dan juga buat semua orang. Ia yakin itu.

Pak Marto memandang lagi pohon-pohon sawitnya. Senyum kebanggaan mengambang. Dua puluh tahun ia memakmurkan petak kebun miliknya. Dan telah berusia selama itu pula pohon-pohon sawitnya. Pohon itu kini sedang sangat bagusnya. Buahnya melebat. Berkat petak itu, yang ia tambah dengan membeli beberapa petak lagi, ia mampu membiayai ketiga anaknya. Ketiganya ia kirim ke Jawa untuk bersekolah dan kuliah sambil belajar agama pula di pesantren. Pak Marto merasa sangat bersyukur dengan semua yang diperolehnya.

Tak hanya itu. Berkat petak kebunnya, dengan beberapa tetangga ia membangun sebuah musala. Tak seberapa besar memang. Tapi itu amat berarti bagi masyarakat desanya yang kini mulai diramaikan oleh kehadiran beberapa perusahaan perkebunan dan jalan raya. Amat berbeda dengan pertama kali ia menginjakkan kaki di tempat itu yang gelap dan sepi sekali.

Keramaian desanya tak selalu mengundang hal yang baik. Malah bisa sebaliknya. Masyarakat mulai ada yang kenal tuak. Menenggaknya ramai-ramai setelah memanen tandan segar buah sawit dan mendapat uang dari hasil jualnya. Kedai-kedai kecil mulai pula menyediakan tuak itu. Keberpunyaan uang sering membuat orang lupa pada larangan-Nya memang. Pak Marto sedih melihat ini. Dalam kesendirian seperti di kebun atau di rakaat tahajud panjangnya, sering kali hal-hal seperti itu mengusik pikirannya. Pak Marto mengelus dada. Musala menjadi tempat mengadu pada Allah pada hal-hal yang tak ia rela.

Pak Marto segera membersihkan diri. Matahari telah mulai melintas ke barat. Membentuk bayang tipis di timur. Zuhur telah datang. Pak Marto menunaikan shalat di atas hamparan rumput kecil di bawah rindang kelapa sawit. Tak lupa syukur ia ungkapkan dalam-dalam. Atas berbagai nikmat yang telah Allah karuniakan atasnya.

***

MALAMNYA, setelah menunaikan salat Isya di musala, Pak Marto segera beranjak pulang. Di bawah terang lampu listrik yang hampir tiga tahun ini masuk ke desanya, ia makan bersama istrinya. Hanya berdua. Dengan lauk sederhana dan seadanya.

“Tadi ada surat dari Jogja,” sela istrinya sambil mengambil lalap daun singkong.

“Bagaimana kabar anak-anak?” Pak Marto balik bertanya.

“Semuanya baik-baik. Ali sekarang sedang KKN.”

“Ada berita dari pakde, tidak?”

“O, ya, pakde kirim salam. Katanya kita jadi berangkat tahun ini.”

“Jadi berangkat?” Suap nasi di tangannya terhenti sejenak.

“Heeh.”

“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga panggilan Allah pada kita.”

“Alhamdulillah,” sahut istrinya pula.

Telah lama memang Pak Marto menginginkan berangkat ke tanah suci. Ia menabung sedikit demi sedikit untuk tujuan itu. Dan setelah tabungannya cukup, ia kirimkan uang itu pada saudaranya yang ada di Jogja. Pak Marto mendaftar haji dari sana. Ia ingin berangkat haji bersama saudaranya.

Hingga saat keberangkatan itu tiba, tak ada seorang pun tetangganya yang tahu kalau ia dan istrinya akan pergi menunaikan rukun Islam kelima. Ia rahasiakan memang. Semua warga hanya tahu kalau ia berangkat ke Jawa untuk melihat anak-anak mereka.

“Saya ingin mengunjungi anak-anak di Jogja. Rasanya sudah lama saya tidak menginjakkan kaki di tanah kelahiran. Jadi kepergian kami kali ini agak lama,” pamit Pak Marto pada Pak Soleh tetangganya.

“Yah, mudah-mudahan Pak Marto dan ibu selamat sampai di tujuan,” doa Pak Soleh, “Jangan lupa sampaikan salam kami pada Ali, Siti, dan Fahmi.”

“Insya Allah.”

Tak seorang pun yang tahu. Dan Pak Marto pun tak berniat memberi tahu. Tetapi hendak menyembunyikan malah. Pak Marto tak ingin jika niat haji itu diketahui tetangganya, niatnya jadi tak lurus lagi. Sangat disayangkan tentu, jika ibadah yang membutuhkan biaya besar itu harus berakhir dengan kesia-siaan. Dan itu bermula dari niat yang tak benar. Atau niatnya awalnya memang sudah pas, tetapi kemudian ketika niat itu terkabarkan ia menyimpang. Pak Marto tak ingin seperti itu. Ia merasa belum sanggup memperlihatkan amalnya. Agar jadi contoh warga masyarakat, misalnya. Pak Marto merasa tak mampu itu. Apalagi dengan mengundang banyak warga untuk menghadiri keberangkatan hajinya. Ia takut pengajian-pengajian haji seperti itu salah tujuan: menjadi pamer bahwa ia bisa berhaji, dan sebentar lagi ia akan bergelar haji. Tak jarang bahkan orang yang telah berhaji marah jika tidak dipanggil dengan “pak haji”.

Pak Marto hanya ingin berhaji murni untuk tujuan meningkatkan iman dan takwa, bukan gelar atau derajat haji!

***

TELAH empat bulan Pak Marto meninggalkan desanya. Hari ini dengan sebuah mobil yang dicarter dari kota kecamatan ia bersama istrinya tiba di rumah. Tak ada simbol haji yang ia gunakan. Topi haji atau tas bertulis jamaah haji kloter sekian ia tinggalkan di rumah kakaknya di Jogja. Juga air zamzam atau batu permata khas Arab, tak ia bawa sedikit pun dari sana. Bukankah haji itu berarti menghilangkan simbol-simbol sebagaimana tersirat dari perintah memakai pakaian seragam yang jauh dari ketidaksetaraan, termasuk simbol yang membedakan antara yang sudah haji dengan yang belum?

Baru saja ia bersama istrinya membuka dan masuk rumah yang telah sekian lama mereka tinggalkan, Pak Soleh tetangganya datang tergopoh-gopoh.

“Pak Haji Marto, kapan datang?” kata Pak Soleh sambil menyalami Pak Marto dan Bu Marto bergantian.

“Saya belum haji.”

“Tapi Pak Haji Sulaiman yang setengah bulan lalu pulang dari tanah suci bilang kalau ia melihat Bapak dan Ibu di Mekkah.”

“Pak Haji Sulaiman mengatakan demikian?”

“Pak Haji Sulaiman mengatakan demikian.”

“Pak Haji Sulaiman pasti salah lihat. Wong saya cuma di Jogja. Kebetulan pakdenya anak-anak sedang punya hajat.”

“Jadi Pak Marto cuma dari Jawa?”

“Masak Pak Soleh tidak percaya sama saya.”

“Kalau begitu, ya barangkali Pak Haji Sulaiman yang salah. Maklum kalau sudah tua memang jadi sering salah lihat.”

Pak Marto tersenyum. “Mudah-mudahan itu doa Pak Haji Sulaiman agar saya dapat mengikuti jejaknya,” katanya kemudian.

Keduanya kemudian bercakap tentang situasi desa selama ditinggalkan Pak Marto. Sementara tak lupa Pak Marto mengabarkan perihal anak-anaknya yang sekarang sudah rindu pada kampung halaman.

“Oya, Pak Soleh, ini ada oleh-oleh dari Jawa,” kata Ibu Marto yang dari tadi cuma mendengarkan sambil mengeluarkan satu kotak penuh bakpia patuk dan wingko nangka oleh-oleh khas Jogja.***

Yogyakarta, Januari 2003

0 komentar: