Membunuh Klise


7-11 Juli besok, akan diadakan Temu Sastrawan Indonesia (KSI) I di Jambi. Acara yang dihelat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Provinsi Jambi tersebut terdiri atas kongres sastrawan, panggung apresiasi, wisata budaya, bazar buku, dll. Lebih dari 100 sastrawan kenamaan negeri ini diundang. Tiket perjalanan, penginapan, dan biaya akomodasi, termasuk honor pembicara, ditanggung panitia. Biaya acara pun membengkak: sekitar Rp 700 juta! Biaya sebesar itu sepenuhnya ditanggung Dinas Budpar Provinsi Jambi melalui dana APBD.

Siapa pun yang mendengar itu saya yakin terhenyak. Tak biasanya acara sastra gemuk anggaran. Sebagai perbandingan, pada 2007 teman-teman di Yogyakarta mengadakan acara “Temu Penyair Muda Empat Kota”. Penyair-penyair muda dari Bandung, Padang, dan Denpasar diundang untuk berjumpa dengan penyair-penyair Yogyakarta. Total 100 penyair ada. Dan berapa dana Pemerintah Yogyakarta mengucur untuk kegiatan itu? Tak banyak, tak sampai Rp 3 juta. Selebihnya adalah bantingan teman-teman panitia, juga peserta. Saya ingat, cerpenis Joni Ariadinata menyumbang nasi bungkus untuk satu konsumsi makan pagi, penulis Muhidin M Dahlan mendonorkan uangnya untuk satu makan siang, begitu seterusnya.

Perbandingan itu mungkin tak tepat. Yang ingin saya katakan dari situ adalah betapa dana yang sedikit tak menghalangi antusiasme peserta menghadiri sebuah acara, katakanlah, pertemuan sastrawan, asal konsepnya jelas. Ada ungkapan yang nyaris klise: uang sedikit cukup, uang banyak tetap kurang. Alih-alih menghasilkan banyak faedah, dana menggunung bisa menjerumuskan pada kemubaziran.

Tapi ternyata tidak hanya itu. Lewat kawan yang juga duduk di jajaran panitia, saya diberitahu bila tahun depan akan diadakan festival folklore internasional serta festival teater nasional—mengingatkan saya pada angan sebuah SD di sudut kampung yang mendaku bertaraf nasional atau bahkan internasional. Dan dananya, sekitar Rp 1,5 miliar!


Derasnya aliran dana dari pemerintah daerah mendukung acara-acara seni budaya mestinya bukan disesali, tapi disyukuri. Dengan begitu kegiatan budaya tidak kalah dari, misalnya, kabar-kabar pembukaan lahan perkebunan nasional di sebuah kabupaten atau pembangunan Jembatan Batanghari 2. Tapi pertanyaannya, apakah penggunaan dana seperti itu efektif bagi, sebagaimana impian panitia, pembangunan rumah tangga sastra Indonesia yang mandiri dan harmonis? Juga bergunakah ia bagi regenerasi sastrawan, khususnya di Jambi?

Jujur saya meragukan itu. Pertama, para sastrawan yang diundang adalah sastrawan matang yang sudah malang-melintang di jagad sastra negeri ini. Sangat sedikit—untuk mengatakan tidak ada—sastrawan muda yang diajak berkiprah. Saya tidak tahu apakah kebijakan ini berpangkal dari keprihatinan panitia tentang tidak adanya karya sastra “masterpiece” (ini istilah panitia) yang muncul akhir-akhir ini. Kebanyakan terbit di tahun-tahun belakangan malah karya populer seperti Ayat-ayat Cinta yang sukses secara penjualan, telah difilmkan pula. Panitia memprihatinkan itu, dan barangkali mengumpulkan para sastrawan adiluhung demi mempergunjingkan masa keemasan mereka sembari menera langkah menghadapi (persaingan) atmosfer sastra mendatang.

Zaman sudah berganti, Bung! Lagipula, bila bermimpi langit sastra Indonesia ke depan cerah, bukankah mestinya menumpukan harapan pada generasi muda? Dan yakinlah, generasi sastrawan muda, yang terkapling dalam banyak komunitas, justru yang menyelamatkan “keadiluhungan” sastra sebagaimana diangankan.

Penelitian Shiho Sawai tentang komunitas sastra Indonesia, meski belum tuntas, punya kesimpulan sementara menarik: komunitas sastra adalah bentuk pelaksanaan sastra Indonesia. Dan mereka yang aktif di komunitas ini adalah anak muda yang masih berjuang untuk menjadi “sastrawan”. Mereka antusias menulis publikasi sastra di koran-koran. Beberapa dimuat, tidak sedikit ditolak. Mereka juga rajin berdiskusi, saling kritik karya, dll. Pada merekalah sastra Indonesia, demikian peneliti asal Jepang itu menyimpulkan, dilaksanakan.

Kesimpulan Shiho tak berlebihan. Saya mengenal beberapa komunitas itu. Di Solo ada Kabut Institut yang menerbitkan Buletin Sastra Pawon rutin bulanan. Formatnya memang sangat sederhana, kelas fotokopian. Tapi melihat kesungguhan mereka untuk terus berkarya dan membuat publikasi dengan dana, sekali lagi, bantingan, komunitas peramai sastra di Solo ini layak diapresiasi. Di Yogya lebih banyak lagi, yang muda ada Rumah Poetika, Selasar, serta Ben yang menerbitkan Buletin Ben. Di Aceh juga ada Tikar Pandan, Do Karim, dan sebagainya.

Tanpa bermaksud membuat dikotomi tua-muda dan memandang bahwa generasi tua-matang tak lagi punya greget di dunia ini, tapi harapan terhadap sastra Indonesia, menurut saya, sebagaimana Shiho, lebih layak ditumpukan pada mereka yang muda.

Tapi sayang, mereka tak dilibatkan dalam ajang “nasional” sastrawan di Jambi. Ah, mungkin mereka belum genap jadi sastrawan—yang syaratnya kata Budi Darma adalah menulis publikasi sastra di media, menerbitkan buku sastra, dan aktif dalam kegiatan sastra—meski mereka sebenar-benarnya aktif, sebagaimana dalam contoh komunitas tadi.

Kedua, forum-forum sastrawan serupa TSI sudah banyak digelar. Wadah sastrawan di Nusantara juga banyak, dari daerah hingga pusat. Dewan Kesenian, misalnya. Wadah itu sering tidak berfungsi, benang koordinasinya ruwet dan entah menyangkut di mana. Tiap-tiap daerah berjalan sendiri-sendiri, tak pernah sebangun ide mengurai kusut sastra Indonesia.

Dan di situlah TSI justru pongah dengan ambisi menghadirkan “ekologi sastra Indonesia yang harmonis”. Jangan-jangan TSI 1 di Jambi nanti juga menghasilkan satu wadah baru yang malah memperkusut, alih-alih membuat harmonis. Setidaknya itulah yang dikhawatirkan penyair Ahmadun Yosi Herfanda saat dihubungi soal kesediaannya menjadi pembicara.

Ahmadun, kita tahu, adalah Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang juga punya angan serupa TSI. Hingga kini KSI tak jua bisa menjadi sebuah rumah bagi sastrawan Indonesia keseluruhan yang membuat mereka at home. Kalau KSI gagal, apakah TSI juga bakal mengalami nasib serupa? Tak bisa dibilang begitu, walau ini sekaligus menegaskan bahwa tak ada jaminan TSI bakal mampu.

Namun, dari forum-forum yang sudah sering digelar, tampaknya gagasan yang menggelontor nyaris itu-itu juga. Saya curiga forum itu malah menjadi semacam euforia berkumpul sastrawan, setelah sekian lama forum-forum seni selalu dicurigai rezim penguasa. Tak ada hal baru yang diperbincangkan, juga diputuskan. Ini klise.

Klise, dalam sastra, adalah tabu yang harus disingkirkan jauh-jauh. Kata pengarang Eka Kurniawan, karya sastra yang berhasil adalah karya yang gigih menemukan cara pengungkapan baru. Ada progresivitas di sini. Progresivitas itulah yang dimaksudkan Milan Kundera dalam The Art of Novel-nya. Tulis Kundera, jangan bayangkan progresivitas dalam sejarah novel serupa progresivitas dalam sejarah umumnya. Bahkan kisah cinta Romeo-Juliet pun masih ditulis hingga kini—tak ada tema baru. Yang baru, atau yang progresif, adalah cara pengungkapannya. Ini yang mesti digali terus-menerus. Di sini jelas: klise adalah musuh yang mesti ditikam untuk dirayakan kematiannya.

Di luar karya, langit sastra saya rasa juga harus seperti itu. Untuk apa bila kita membincangkan hal-hal yang sudah-sudah tanpa pemecahan dan aksi berarti?

Ketiga, dan yang terpenting bagi Jambi, apa guna TSI bagi regenerasi sastrawan di Jambi, bagi maju-pesatnya dunia susastra di Jambi. Ini penting ditanyakan sebab inilah kebutuhan lokal kita yang selama ini hilang. Silakan Anda hitung, adakah sastrawan di Jambi yang mapan hingga tingkat nasional (jangan bayangkan ini serupa atlet bertaraf nasional)? Juga silakan cek, berapa buku sastra terbit di Jambi atau oleh sastrawan Jambi? Untuk tingkat area “Melayu” pun, kita nyaris hilang ditelan riuh sastrawan Riau dan Lampung, misalnya.

TSI, saya rasa, tidak lantas bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan itu. Pemenuhannya hanya bisa dilakukan lewat upaya tiada lelah dan terus-menerus menyemangati sastrawan (muda-tua) kita untuk terus berkarya dan memajukan dunia sastra Jambi. Kalaupun TSI digelar, ia akan menjadi sebuah acara gemerlap yang membuat kita silau sesaat, dan setahun ke depan, sebab dana telah habis untuk acara-acara “nasional” dan “internasional”, kita nyaris tenggelam dalam sunyi serta hanya bisa memandang keriuhan itu berpindah dan terus menyala di tempat lain.

Bagi sastra Indonesia TSI mungkin saja ada gunanya. Tapi apakah Jambi, dengan APBD-nya, yang belum tuntas mengurus diri sendiri, diharuskan menyingsingkan lengan baju mengurus hajat nasional? Saya kira, ini serupa SD di sudut kampung yang berangan nasional dan internasional tadi, yang hirau memandang seberang lautan tapi alpa dengan realitas di pelupuk mata.

Tapi mungkin saja, program elitis dengan angan serupa telah kadung merasuk dalam sukma kita. Dalam lapangan “kesenian” lain, lihatlah, saban tahun kita menggelar MTQ yang meriah dari tingkat desa hingga provinsi. Tapi, tahukah Anda, betapa sebagian besar kabupaten di Jambi hanya punya satu madrasah ibtidaiyah negeri (MIN)! Nyaris seluruh madrasah ibtidaiyah adalah swasta, yang tak mendapat kucuran BOS, yang terengah memajukan pendidikan Alquran. Sangat ironis.

Program-program ironis seperti itu, saya rasa, adalah klise yang tak boleh diulangi.[]



===================
Tulisan ini saya buat untuk merespons rencana kegiatan Temu Sastrawan Indonesia (TSI) beberapa waktu lalu. Selesai saya tulis, yakni menjelang pergelaran TSI, tak satu koran pun di Jambi mau memuatnya--entah kenapa. Oleh seorang kawan, tulisan ini difotokopi dan dibagi-bagikan ke panitia saat rapat. Konon waktu itu ada yang marah. Saya sendiri masuk dalam panitia yang sewaktu rapat itu tak hadir. Tentu tulisan ini tidak mencerminkan pandangan panitia, dan saya menuliskannya sebagai pribadi. Pemuatan di sini sekarang, selain sebagai dokumentasi, barangkali saja berguna.

0 komentar: