Ikhlas Mendapatkan


Setiap Ramadan tiba, saya selalu menantikan surprise dari Dedy Mizwar. Ya, bagi saya sutradara kenamaan itu selalu mengejutkan dengan ide-ide cemerlang yang tersaji dalam film dan sinetron yang dia produseri.
Ramadan 2005 adalah awal keterkejutan itu. Setelah sukses dengan film Kiamat Sudah Dekat, pada Ramadan tahun itu dia memunculkan versi sinetronnya. Sama dengan filmnya yang memukau, banyak penonton tetap tak beranjak setelah menyaksikan sinetron itu, hingga kemudian ditayangkan ulang setelah Ramadan usai.
Ramadan tahun berikutnya, sinetron Kiamat Sudah Dekat ternyata punya serial kedua. Kisah versi film dan sinetron sebelumnya, kemudian dilanjutkan di Kiamat Sudah Dekat 2. Tak hanya sinetron itu, mata penonton juga dimanjakan oleh karya apik sang maestro yang lain, yakni Lorong Waktu. Dan pada Ramadan 2007 lalu, daftar magnum opus-nya bertambah dengan kehadiran Para Pencari Tuhan yang juga terdapat serial lanjutannya pada Ramadan tahun ini.
Di antara sinetron Ramadan itu, jujur saya memfavoritkan Kiamat Sudah Dekat. Tak hanya saya barangkali. Pada 2005, seperti pernah saya baca di Tempo edisi entah, Presiden SBY mengundang Dedy Mizwar dan segenap kru sinteron tersebut ke Istana. Saat itu SBY antara lain mengatakan bahwa Kiamat Sudah Dekat adalah favoritnya dan keluarganya.
Namun, sememukaunya sinetron tersebut, paling tidak ada satu adegan yang kurang sreg di hati saya. Adegannya persis ketika Pandi harus ketemu babehnya Sarah untuk ujian ilmu ikhlas. Setelah melalui dua syarat sebelumnya, yakni bisa salat dan mengaji, Pandi diwajibkan menguasai ilmu itu. Dia mencari ke sana-kemari hingga nyaris putus asa saat perjanjian ba’da Asar tiba ketika dia akan diuji.
Pandi pasrah. Dia pun bilang, “Sudahlah, saya mengikhlaskan Sarah. Bagi saya cukuplah saya telah belajar salat dan mengaji.” Dia nyaris putus asa setelah menyadari mendapatkan Sarah sedemikian sulit. Kecuali itu, dia juga harus bersaing dengan seorang mahasiswa MA Universitas Al-Azhar, yang secara pengetahuan agama tentu jauh di atasnya. Pandi cukup menyadari itu dan baginya Sarah teramat jauh untuk dia gapai.
Namun, tak dinyana, jawaban Pandi yang pasrah itulah yang membawanya mendapatkan Sarah. Haji Romli memandangnya dan penuh senyum berkata, “Kamulah yang berhak mendapatkan anakku Sarah.”
Benarkah demikian yang dimaksud dengan ikhlas? Benarkah bahwa ikhlas adalah kerelaan kita tidak mendapatkan apa pun padahal kita telah mengusahakannya? Benarkah ikhlas seperti membuang sesuatu kemudian melupakannya?
Saya rasa tidak demikian. Namun, kalaupun kemudian kesan yang terepresentasikan dalam adegan tersebut begitu, kesalahan bukan terletak pada produser atau sutradaranya saja. Saya rasa ada saham kita yang sering melanggengkan pemaknaan ikhlas dengan cara itu.
Lihatlah, misalnya, kita sering bilang ketika seseorang kehilangan sesuatu, “Sudahlah, yang ikhlas ya.” Tak hanya benda yang hilang, kekasih yang lepas dari genggaman seseorang pun kita nasihatkan kepadanya, “Ikhlaskan saja. Untuk apa ditangisi terus. Yang lain banyak kok, bahkan yang lebih cakep dari dia.”
Kata-kata seperti itu, bila kita memakai perspektif discourse analysis, memang mengesankan bahwa ikhlas adalah membiarkan sesuatu yang terlepas atau hilang, begitu saja, dan tak usah diingat-ingat lagi. Mengingatnya barangkali malah akan membuat sakit hati atau mungkin mengaburkan maksud sesuatu itu dilepaskan, seumpama pahala.
Namun, ternyata, para ulama juga sering memaknainya begitu. Di dalam khazanah pesantren yang sering dikutip oleh penceramah terbaik kita kerap dikatakan bahwa “ikhlas itu serupa orang membuang hajat”. Pokoknya, setelah membuangnya, kamu tak perlu berpikir seberapa banyak kotoran itu masuk ke kloset, berasal dari makanan apa saja, pizza di restoran cepat saji atau rendang dari kondangan mana, dan sejak kapan itu menghuni lambung atau menjadi milikmu. Bahkan, kamu mesti bersyukur bisa membuangnya. Bila tidak, dia bisa jadi penyakit yang dapat mengantarmu menemui ajal.
Saya nyaris berpikir, kok jorok banget perumpamaan itu. Tapi begitulah, konon, dalam berinfak atau bersedekah kita harus meniru perilaku buang hajat tersebut. Setelah menyumbang ke takmir masjid, jangan ingat-ingat lagi atau minta diumumkan. Bukankah memalukan bila ada pengumuman si fulan tadi buang hajat sangat banyak? Kalau begitu, tak salah memang perumpamaan itu, bahwa ikhlas juga saat melepaskan atau menceraikan sesuatu dari status milik kita.
Namun, bila kita membaca detail di Alquran, kita mendapati setidaknya kata “ikhlas” muncul dalam berbagai varian. Yang terbanyak adalah “mukhlis” (bentuk singular) atau “mukhlisin” (plural), yang artinya “orang yang mengikhlaskan”. Selain itu ada pula “mukhlasin” yang awalnya berarti “yang diikhlaskan” kemudian dimaknai “yang mengikhlaskan”.
Saya kutipkan beberapa ayat itu: “Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, sebab Engkau telah memutuskan aku sesat, pasti aku akan menjadikan manusia di muka bumi memandang baik (perbuatan maksiat). Aku bertekad menyesatkan mereka, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlasin (ikhlas)’” (QS al-Hijr: 39-40). Di surat lain, ungkapan itu diulang, tapi dengan redaksi kalimat yang lebih pendek: “Iblis bilang, ‘Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan semua manusia, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlasin (ikhlas)’” (QS Shaad: 81-82).
Semua ayat-ayat Alquran yang mengandung kata “ikhlas” serupa itu, hanya mengatakan orang yang ikhlas akan... atau menyuruh manusia berbuat ikhlas. Tak ada keterangan ontologis tentang ikhlas itu apa (what).
Petunjuk barangkali bisa kita dapat ketika menemukan betapa di dalam Alquran ada surat yang dinamakan “al-Ikhlas”. Saya sempat terperanjat menyadari itu. Mengapa dinamakan demikian? Siapa yang menamai? Dan, setelah menelusuri beberapa buku tafsir, tak ada keterangan memadai bahwa penamaan itu dibuat oleh pencatat kitab suci seperti Usman bin Affan atau Zaid bin Haritsah.
Maka saya pun memercayai penafsir Indonesia yang dianggap paling otoritatif, M Quraish Shihab. Dia mengatakan di salah satu bukunya bahwa penamaan surat-surat di dalam Alquran dilakukan bukan sembarangan atau asal-asalan. Penamaan itu dilakukan oleh Muhammad berdasarkan petunjuk dari Allah. “Berdasarkan petunjuk Allah” perlu saya garisbawahi. Bila benar demikian, pasti ada maksud tertentu dalam penamaan itu, tak sekadar, misalnya, sebuah surat bercerita tentang Abu Lahab kemudian suratnya dinamai “al-Lahab”.
Lalu mengapa surat yang berkisah bahwa Allah itu “esa, ‘tempat bergantung’, tidak beranak dan diperanakkan, serta tak ada yang menyamai” kemudian dinamai “al-Ikhlas”? Jawaban sementara kita, pasti ada maksud tertentu dari penamaan itu.
Dan, kalau kita membuka terjemahan Terjemahan Alquran versi Departemen Agama (Depag), di pembuka terjemahan surat itu ditulis, “Pokok-pokok isinya: Penegasan tentang kemurnian keesaan Allah Swt dan menolak segala macam kemusyrikan dan menerangkan bahwa tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya.” Secara simplisit saya rasa Depag, sebagaimana banyak sarjana Alquran, memberi tema surat itu adalah tauhid. Tak hanya Depag, Fazlur Rahman dengan di dalam Major Themes of the Koran menyiratkan sepakat dengan tema itu ketika membahas persoalan teologi di dalam Islam.
Tak ada yang memberi tema ikhlas sebagaimana nama surat tersebut. Dan bila tema ini coba kita sepakati, setidaknya dalam konteks tulisan ini, persoalan sedari awal sesungguhnya terkuak, bahwa ikhlas adalah berbuat semata karena Allah. Keterangan tentang keesaan Allah di dalam surat itu bisa dimaknai bahwa tak semestinya manusia beramal dengan tendensi lain. Tendensi yang dibenarkan adalah karena Allah saja.
Kalau demikian, ikhlas juga bukan hanya berbuat lantas tanpa tendensi apa pun, seperti orang buang hajat di atas. Ikhlas adalah berbuat atau beramal dengan tendensi, namun tendensinya adalah karena Allah, bukan yang lain.
Dari sini pula, kita menjadi tahu bahwa ikhlas tak hanya ketika kita “kehilangan”, misalnya dengan memberi, apalagi kehilangan dalam pengertian yang sebenarnya. Ikhlas juga menyangkut penerimaan atau mendapatkan, yakni menerima sesuatu dengan ikhlas berarti menerima karena Allah dan berjanji menjadikan penerimaan itu semata untuk ibadah kepada Allah.
Dalam konteks pencarian jodoh seperti yang dialami Pandi dalam Kiamat Sudah Dekat, Muhammad pernah mengatakan bahwa seseorang dinikahi karena empat hal: harta, keturunan, rupa, dan agama. Namun di akhir Nabi menegaskan, pilihlah agama, yang pasti akan membahagiakan. Memilih alasan agama ketika menikahi seseorang, di atas godaan kekayaan, anak pejabat, serta kecantikan, itulah barangkali yang disebut ikhlas, yakni memilih alasan Allah ketika mendapatkan pendamping hidup.
Dan “ikhlas mendapatkan” itu yang tak tampak dalam Kiamat Sudah Dekat seperti saya katakan di awal tulisan ini, secara implisit sekalipun. Yang lebih kelihatan adalah kesan ikhlas karena (akan) kehilangan Sarah.
“Ikhlas mendapatkan”, bagi saya, sangat sulit. Jauh lebih sulit ketimbang ketika kita kehilangan (ikhlas kehilangan atau memberikan). Lagian untuk apa kita memikirkan sesuatu yang telah hilang atau lepas dari genggaman? Ini sama saja dengan menyesal kemudian: tak ada gunanya. Kita lebih mudah mengikhlaskannya. Sementara, ketika kita mendapat sesuatu, pemberian misalnya, sangat sulit kita berjanji akan menggunakan pemberian itu semata di jalan Allah (ikhlas mendapatkan). Berjanji saja barangkali mudah, tapi melaksanakan janji, minta ampun beratnya.
Juga dalam hal pernikahan sebagaimana dalam hadis Nabi. Misalkan ketika mendapat kesempatan memperistri anak gubernur yang cantik dan salehah serta kaya, apa yang ada di benak Anda? Jujur saja deh, sulit alasannya hanya salehah semata. Bayangkan bila itu tidak jadi, yang terbayang lebih dulu pasti kecantikan yang tak bisa lagi dinikmati, kekayaan yang batal diraih, atau kesempatan menumpang populer yang lenyap. Soal menyesal karena gagal mendapatkan seseorang yang salehah, berada di nomor kesekian.
Ah, entahlah, bila nanti masa saya tiba, saya akan “ikhlas mendapatkan” atau tidak.[]

Hidup adalah Persiapan

SETIAP MENJELANG Ramadan, saya selalu teringat kisah ini: Masyarakat Arab pra-Islam atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Jahiliyah” ternyata sangat religius. Ada satu peribadatan yang begitu antusias dilaksanakan oleh mereka, yakni haji—juga diwarisi umat Islam hingga sekarang.

Menjelang pelaksanaan ibadah haji, kala itu, diberlakukan apa yang disebut “bulan haram”, yaitu empat bulan sebelum Zulhijjah. Empat bulan itu adalah Sya’ban, Ramadan, Syawal, dan Zulqa’dah. Bila dalam bulan-bulan lain, sebagaimana kita baca dalam buku-buku sejarah, sering terjadi peperangan antarsuku dalam masyarakat Jahiliyah, memasuki bulan haram perang otomatis berhenti. Tak perlu dikomando, di bulan-bulan itu masyarakat menghentikan pertikaian demi menghormati bulan haram.

Bulan haram tak semata bulan “libur”, melainkan persiapan menghadapi bulan haji atau Zulhijjah. Di bulan haram, sejak Ramadan, digelar lomba puisi di seantero Mekah. Lomba itu dilaksanakan di pusat-pusat keramaian seperti pasar. Yang paling terkenal adalah Pasar Ukaz.
Hasil lomba tersebut, tentu saja berupa puisi terbaik, akan ditulis di selembar kain panjang dengan tinta emas. Kain berisi puisi itulah yang kemudian digantung di Kabah menjelang pelaksanaan ibadah haji sebagai hiasan, menggantikan kain yang sama yang ditulis sebelum haji setahun sebelumnya. Karena tergantung di Kabah, puisi terbaik itu dalam sastra Arab disebut dengan puisi muallaqat, artinya “yang tergantung”.

Pertanyaannya kemudian, sudahkah kita mempersiapkan diri menghadapi bulan ibadah Ramadan dengan antusiasme serupa kaum yang disebut Jahiliyah itu? Adakah kita menghadapinya dengan persiapan diri hingga empat bulan sebelumnya? Jangan-jangan, barangkali, kita kalah antusias dari mereka yang sering kita identikkan dengan bodoh dan tak berperadaban itu.

Di dalam Islam, perintah melakukan persiapan sebelum beribadah tersirat di banyak ayat di Alquran. Sebelum salat, misalnya, kita diperintahkan untuk berwudu terlebih dahulu. Selain berwudu, kita juga dianjurkan memilih tempat yang bersih dan suci, juga memakai pakaian terbaik.

Dalam menghadapi Ramadan, setidaknya ada dua persiapan yang harus dilakukan. Pertama, persiapan fisik. Persiapan ini berbentuk menyediakan sarana dan prasarana bagi kita untuk melakukan puasa.

Bila kita khawatir tentang kesehatan diri kita, misalnya, ada baiknya memeriksakan diri ke dokter sehingga kala Ramadan kita siap beribadah total. Saat puasa juga kita tidak mungkin secara berlebihan bekerja, karena itu persiapan “modal” selama kita tidak penuh bekerja pun diperlukan. Persiapan fisik juga berbentuk bila di rumah kita hanya memiliki Alquran kurang dari jumlah anggota keluarga kita, silakan membelinya lagi agar tak saling berebut saat akan bertadarus.

Tak hanya bagi perseorangan, persiapan fisik juga diperlukan oleh institusi “peramai” Ramadan seperti masjid. Perehaban masjid ada baiknya memang dilaksanakan menjelang Ramadan, karena biasanya jamaah membeludak selama bulan penuh rahmat itu. Bila jumlah keran tempat wudu dirasa kurang, bisa ditambah atau malah dilakukan perluasan tempat wudu agar jamaah mudah mempersiapkan diri untuk beribadah.

Demikian pula soal penerangan masjid serta kebersihan yang perlu ditingkatkan selama Ramadan. Satu hal lagi: panitia Ramadan, bila dirasa perlu, juga penting dibentuk. Tentu saja panitia ini bertugas membuat pelaksanaan ibadah Ramadan di masjid menjadi lancar. Jika setiap sore di masjid diadakan buka puasa bersama, misalnya, panitia bisa mempersiapkan jadwal siapa yang membawa makanan berbuka pada hari pertama dan seterusnya. Panitia juga menyiapkan jadwal siapa yang akan menjadi imam, bilal, serta memberi ceramah saat Tarawih.

Selain persiapan fisik, yang tak kalah penting, tentu saja adalah persiapan nonfisik atau rohani kita. Telahkah kita siap menghadapi Ramadan? Di Jawa, sebagaimana ditulis oleh antropolog Swedia, Andre Moller, dalam bukunya Ramadan in Java (2004), menjelang Ramadan biasanya diadakan pengajian jelang Ramadan di masjid-masjid dan musala. Di dalam pengajian itu, penceramah biasanya mengemukakan berbagai hal seputar ibadah Ramadan, seperti tatacara puasa, hal yang membatalkan puasa, termasuk ibadah yang dianjurkan di bulan Ramadan. Tujuan pengajian itu antara lain memberi modal rohaniah agar para jamaah pesertanya siap mental menghadapi Ramadan.

Di Jambi, seturut yang saya ketahui, juga ada pengajian serupa, namun tidak dilaksanakan oleh tempat ibadah, melainkan perorangan. Pengajian itu akrab kita dengar sebagai sedekah sya’ban atau sedekah ruwah.

Kecuali persiapan dalam wujud pengajian yang lebih bersifat komunal dan massal, persiapan juga bisa dilakukan perorangan. Kita, misalnya, bisa membaca-baca ulang buku tentang puasa Ramadan. Buku-buku panduan tersebut telah banyak dijual di sejumlah toko buku. Selain itu kita juga bisa bertanya kepada ahli agama seputar puasa.

Inti dari semua persiapan di atas, baik fisik maupun nonfisik, tentu saja agar kita benar-benar memahami ibadah Ramadan dan siap menyongsong bulan penuh rahmat itu. Persiapan itulah yang sesungguhnya meringankan lidah kita saat melafalkan tabik “marhaban ya Ramadan” (selamat datang Ramadan). Bila kita tak siap, tentu saja lidah kita bakal kelu mengucapkannya. Orang yang siap ini yang disebut “sang penggembira” dalam hadis Nabi: Barangsiapa bergembira dengan datangnya Ramadan, Allah mengharamkan api neraka menjilat tubuhnya.

Namun, terlambatkan bila hari ini, setelah memasuki Ramadan, kita tersadar untuk mempersiapkannya, bukan sejak empat bulan lalu sebagaimana umat pra-Islam menghadapi musim haji? Persiapan, saya rasa, tak semata soal kuantitas atau lamanya waktu yang dilalui. Persiapan lebih penting menyangkut kualitas. Untuk soal satu ini, tak ada kata sempurna atau terlambat bagi persiapan yang kita lakukan.

Karena itu, dalam kondisi bagaimanapun, seberapa pun waktu yang tersisa atau bahkan kita telah memasukinya, persiapan tetap mutlak dilakukan. Kecuali itu, banyak ulama memercayai, Ramadan juga sesungguhnya bulan persiapan. Bila di bulan tersebut kita ditempa dengan segenap amalan salih, diharapkan amalan serupa menulari perilaku kita pada sebelas bulan setelahnya. Di sini kita melihat bahwa tak semata di sebelas bulan lain kita mesti bersiap menghadapi Ramadan, tetapi Ramadan pun seyogianya kita gunakan bagi persiapan menghadapi bulan-bulan yang lain. Ramadan atau bulan lain, semua adalah persiapan.

Begitulah, tak melulu, seperti kata iklan, hidup adalah perbuatan. Yang tak kalah penting, hidup sesungguhnya persiapan. Ya, persiapan kita dalam menghadapi hidup setelah di dunia ini. Wallahu a’lam.