Hidup adalah Persiapan

SETIAP MENJELANG Ramadan, saya selalu teringat kisah ini: Masyarakat Arab pra-Islam atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Jahiliyah” ternyata sangat religius. Ada satu peribadatan yang begitu antusias dilaksanakan oleh mereka, yakni haji—juga diwarisi umat Islam hingga sekarang.

Menjelang pelaksanaan ibadah haji, kala itu, diberlakukan apa yang disebut “bulan haram”, yaitu empat bulan sebelum Zulhijjah. Empat bulan itu adalah Sya’ban, Ramadan, Syawal, dan Zulqa’dah. Bila dalam bulan-bulan lain, sebagaimana kita baca dalam buku-buku sejarah, sering terjadi peperangan antarsuku dalam masyarakat Jahiliyah, memasuki bulan haram perang otomatis berhenti. Tak perlu dikomando, di bulan-bulan itu masyarakat menghentikan pertikaian demi menghormati bulan haram.

Bulan haram tak semata bulan “libur”, melainkan persiapan menghadapi bulan haji atau Zulhijjah. Di bulan haram, sejak Ramadan, digelar lomba puisi di seantero Mekah. Lomba itu dilaksanakan di pusat-pusat keramaian seperti pasar. Yang paling terkenal adalah Pasar Ukaz.
Hasil lomba tersebut, tentu saja berupa puisi terbaik, akan ditulis di selembar kain panjang dengan tinta emas. Kain berisi puisi itulah yang kemudian digantung di Kabah menjelang pelaksanaan ibadah haji sebagai hiasan, menggantikan kain yang sama yang ditulis sebelum haji setahun sebelumnya. Karena tergantung di Kabah, puisi terbaik itu dalam sastra Arab disebut dengan puisi muallaqat, artinya “yang tergantung”.

Pertanyaannya kemudian, sudahkah kita mempersiapkan diri menghadapi bulan ibadah Ramadan dengan antusiasme serupa kaum yang disebut Jahiliyah itu? Adakah kita menghadapinya dengan persiapan diri hingga empat bulan sebelumnya? Jangan-jangan, barangkali, kita kalah antusias dari mereka yang sering kita identikkan dengan bodoh dan tak berperadaban itu.

Di dalam Islam, perintah melakukan persiapan sebelum beribadah tersirat di banyak ayat di Alquran. Sebelum salat, misalnya, kita diperintahkan untuk berwudu terlebih dahulu. Selain berwudu, kita juga dianjurkan memilih tempat yang bersih dan suci, juga memakai pakaian terbaik.

Dalam menghadapi Ramadan, setidaknya ada dua persiapan yang harus dilakukan. Pertama, persiapan fisik. Persiapan ini berbentuk menyediakan sarana dan prasarana bagi kita untuk melakukan puasa.

Bila kita khawatir tentang kesehatan diri kita, misalnya, ada baiknya memeriksakan diri ke dokter sehingga kala Ramadan kita siap beribadah total. Saat puasa juga kita tidak mungkin secara berlebihan bekerja, karena itu persiapan “modal” selama kita tidak penuh bekerja pun diperlukan. Persiapan fisik juga berbentuk bila di rumah kita hanya memiliki Alquran kurang dari jumlah anggota keluarga kita, silakan membelinya lagi agar tak saling berebut saat akan bertadarus.

Tak hanya bagi perseorangan, persiapan fisik juga diperlukan oleh institusi “peramai” Ramadan seperti masjid. Perehaban masjid ada baiknya memang dilaksanakan menjelang Ramadan, karena biasanya jamaah membeludak selama bulan penuh rahmat itu. Bila jumlah keran tempat wudu dirasa kurang, bisa ditambah atau malah dilakukan perluasan tempat wudu agar jamaah mudah mempersiapkan diri untuk beribadah.

Demikian pula soal penerangan masjid serta kebersihan yang perlu ditingkatkan selama Ramadan. Satu hal lagi: panitia Ramadan, bila dirasa perlu, juga penting dibentuk. Tentu saja panitia ini bertugas membuat pelaksanaan ibadah Ramadan di masjid menjadi lancar. Jika setiap sore di masjid diadakan buka puasa bersama, misalnya, panitia bisa mempersiapkan jadwal siapa yang membawa makanan berbuka pada hari pertama dan seterusnya. Panitia juga menyiapkan jadwal siapa yang akan menjadi imam, bilal, serta memberi ceramah saat Tarawih.

Selain persiapan fisik, yang tak kalah penting, tentu saja adalah persiapan nonfisik atau rohani kita. Telahkah kita siap menghadapi Ramadan? Di Jawa, sebagaimana ditulis oleh antropolog Swedia, Andre Moller, dalam bukunya Ramadan in Java (2004), menjelang Ramadan biasanya diadakan pengajian jelang Ramadan di masjid-masjid dan musala. Di dalam pengajian itu, penceramah biasanya mengemukakan berbagai hal seputar ibadah Ramadan, seperti tatacara puasa, hal yang membatalkan puasa, termasuk ibadah yang dianjurkan di bulan Ramadan. Tujuan pengajian itu antara lain memberi modal rohaniah agar para jamaah pesertanya siap mental menghadapi Ramadan.

Di Jambi, seturut yang saya ketahui, juga ada pengajian serupa, namun tidak dilaksanakan oleh tempat ibadah, melainkan perorangan. Pengajian itu akrab kita dengar sebagai sedekah sya’ban atau sedekah ruwah.

Kecuali persiapan dalam wujud pengajian yang lebih bersifat komunal dan massal, persiapan juga bisa dilakukan perorangan. Kita, misalnya, bisa membaca-baca ulang buku tentang puasa Ramadan. Buku-buku panduan tersebut telah banyak dijual di sejumlah toko buku. Selain itu kita juga bisa bertanya kepada ahli agama seputar puasa.

Inti dari semua persiapan di atas, baik fisik maupun nonfisik, tentu saja agar kita benar-benar memahami ibadah Ramadan dan siap menyongsong bulan penuh rahmat itu. Persiapan itulah yang sesungguhnya meringankan lidah kita saat melafalkan tabik “marhaban ya Ramadan” (selamat datang Ramadan). Bila kita tak siap, tentu saja lidah kita bakal kelu mengucapkannya. Orang yang siap ini yang disebut “sang penggembira” dalam hadis Nabi: Barangsiapa bergembira dengan datangnya Ramadan, Allah mengharamkan api neraka menjilat tubuhnya.

Namun, terlambatkan bila hari ini, setelah memasuki Ramadan, kita tersadar untuk mempersiapkannya, bukan sejak empat bulan lalu sebagaimana umat pra-Islam menghadapi musim haji? Persiapan, saya rasa, tak semata soal kuantitas atau lamanya waktu yang dilalui. Persiapan lebih penting menyangkut kualitas. Untuk soal satu ini, tak ada kata sempurna atau terlambat bagi persiapan yang kita lakukan.

Karena itu, dalam kondisi bagaimanapun, seberapa pun waktu yang tersisa atau bahkan kita telah memasukinya, persiapan tetap mutlak dilakukan. Kecuali itu, banyak ulama memercayai, Ramadan juga sesungguhnya bulan persiapan. Bila di bulan tersebut kita ditempa dengan segenap amalan salih, diharapkan amalan serupa menulari perilaku kita pada sebelas bulan setelahnya. Di sini kita melihat bahwa tak semata di sebelas bulan lain kita mesti bersiap menghadapi Ramadan, tetapi Ramadan pun seyogianya kita gunakan bagi persiapan menghadapi bulan-bulan yang lain. Ramadan atau bulan lain, semua adalah persiapan.

Begitulah, tak melulu, seperti kata iklan, hidup adalah perbuatan. Yang tak kalah penting, hidup sesungguhnya persiapan. Ya, persiapan kita dalam menghadapi hidup setelah di dunia ini. Wallahu a’lam.

0 komentar: