Sastra dan Religiusitas

“AKU HARUS menemukan Zabalawi (alaiya an ajida Zabalawi),” demikian kalimat pembuka cerpen Naguib Mahfouz yang terkenal, berjudul “Zabalawi” (dimuat dalam antologi Dunya Allah). Kalimat itu diucapkan oleh seseorang tak bernama, yang hanya memperkenalkan diri sebagai putra syaikh Ali al-Tatawi.
Di dalam sebuah esainya, Nadine Gordimer, pemenang Nobel Sastra 1991, menyebut “Zabalawi” karya Mahfouz sebagai parable, cerita yang didesain untuk mengajarkan moralitas. “Zabalawi” berkisah tentang putra Ali al-Tatawi yang sakit dan melakukan perjalanan mencari syaikh bernama Zabalawi untuk minta disembuhkan. Celakanya, setiap orang yang ditanya di mana keberadaan Zabalawi, tidak bisa memberi petunjuk secara pasti. Mereka hanya memberikan jawaban untuk selanjutnya bertanya dan berjalan dan bertanya lagi….
Perjalanan itu melelahkan. Dia harus melintasi kota-kota tua di Kairo, bertanya ke berbagai orang dengan jawaban tak pasti, dan tentu saja sebuah pertanyaan yang menyembul dari entah: sebenarnya Zabalawi ada atau tidak?
Zabalawi ada. Di akhir cerita, kesimpulan itu yang didapat sang tokoh. Di sebuah kafe, saat menunggu bersama seseorang yang sering ditemui Zabalawi di sana, ia tertidur. Ketika bangun, kepalanya basah. Orang-orang di bar memberitahunya bahwa Zabalawi telah datang dan memercikkan air ke kepalanya. Kata-kata yang sama dengan pembuka cerita ia ucapkan di akhir kisah, namun dengan keyakinan dan tekad berbeda, “Aku sangat yakin sekali (tamaman) bahwa aku harus menemukan Zabalawi; ya, aku harus menemukannya (na’am, alaiya an ajida Zabalawi).” Zabalawi ada, tapi tetap tak ditemukan.
Jalan Pencarian
SETIAP PENCARIAN atau proses penemuan memerlukan jalan. Menurut St. Sunardi, jalan pencarian Zabalawi di dalam cerita Mahfouz, pemenang Nobel Sastra 1988 yang pada akhir Agustus 2006 menghadap ke hadirat-Nya, terdiri dari tujuh langkah. Mengikuti petunjuk seorang syaikh yang berkantor di kawasan al-Azhar, sang tokoh menemui seorang pedagang buku kuno. Sang pedagang kenal dengan Zabalawi tapi tidak tahu lagi di mana keberadaannya kini. Jawaban ini menuntunnya pulang. Namun, setelah di rumah, sang tokoh sadar bahwa berhenti mencari Zabalawi berarti membiarkan dirinya digerogoti penyakit.
Seorang syekh mambuatkannya sebuah denah daerah yang diperkirakan tempat Zabalawi tinggal. Sampai di sana, Zabalawi tetap tak ditemukan. Dia hanya mendapati sahabat Zabalawi yang bilang bahwa ketidakjelasan Zabalawi adalah bagian dari keunikannya. Dalam ketidakjelasan, dia kemudian bertemu dengan seorang pencipta lagu yang mengatakan bahwa Zabalawi sering menemui seseorang di sebuah bar. Di bar itulah dia tertidur dan Zabalawi menyiramkan air ke kepalanya.
Senada dengan Gordimer, Sunardi mengatakan bahwa “Zabalawi” merupakan kisah religius, sebuah topografi rohani. Mahfouz sendiri, demikian Sunardi, adalah penyedia air bagi dahaga religiusitas umat manusia, khususnya warga Mesir. Namun, siapakah sebenarnya Zabalawi? Tidak ada yang tahu. Dalam cerita juga tidak dikisahkan.
Petunjuk barangkali bisa didapat kalau membaca novel Mahfouz berjudul Aulad Haratina (Anak-anak Kampung Kami). Di novel itu kita temukan nama “Za’balawi”, dengan sisipan hurup hamzah (‘). Apakah Zabalawi adalah Za’balawi? Za’balawi di dalam Aulad Haratina punya struktur yang mirip dengan Allah di dalam kisah Adam. Karena itu, otoritas al-Azhar melarang novel itu dan memvonis Mahfouz murtad.
Bisa jadi memang Zabalawi di dalam “Zabalawi” sama dengan atau dimaksudkan sebagai Za’balawi di dalam Aulad Haratina. Perbedaan tipis satu huruf (hamzah) bisa dianggap sebagai strategi literer dari sang penulis agar pembaca bisa menangkap makna melalui intertekstualitas dua cerita yang berbeda. Namun demikian, pentingkah kita mengetahui Zabalawi sesungguhnya?
Menurut Gordimer, pencarian kebenaran di dalam sastra adalah sesuatu yang klise. Namun demikian, kebenaran itu sendiri memiliki “arti lain” dan punya “sisi tersembunyi”. Alih-alih ditemukan, ia sendiri tidak dapat digambarkan. Karena itu, Mahfouz tidak menceritakan bagaimana Zabalawi, melainkan hanya bercerita tentang pencariannya. Zabalawi sendiri sulit atau mungkin tidak dapat diceritakan, juga ditemukan. Tapi dia ada.
Dengan kata lain, meminjam tahapan mimesisnya Paul Ricoeur, yakni mimesis-2 atau konfigurasi (baca dalam Time and Narrative, 1990), jalan pencarianlah yang penting diceritakan. Dalam cerita pencarian, nilai cerita tidak pada ditemukan atau tidaknya, melainkan pada pencarian itu sendiri. Jalan atau tahap pencarian menjadi titik baru bagi perjalanan. Titik itu bukan titik untuk berhenti, melainkan mestinya semakin menumbuhkan kesadaran bahwa pencarian belum dan tak pernah usai.
Ilham
PERTANYAANNYA ADALAH, apakah setiap pencarian harus dilakukan dengan berdarah-darah, menghabiskan banyak energi, segenap perhatian, niat yang tak cacat, hati dan perasaan yang berdebar? “Kedatanganku ke sini adalah bukan untuk apa-apa. Just traveling, cuma melancong (melancong—betapa sudah jarang kudengar kosakata kuno ini!). Tanpa visi dan misi apa pun.” Demikian kata tokoh Ratna dalam novel Lumbini (2006) karya Kris Budiman.
Ratna adalah putri seorang pengusaha sukses di Jakarta. Selepas menyelesaikan kuliah di UGM Yogyakarta, dia langsung duduk di jajaran top managers. Namun, hobi bertualang ke luar negeri lebih melenakan gadis penggemar berat Lara Croft itu ketimbang duduk manis di kursi manajer. Karena hobi itu, sehabis dari Singapura, tanpa niatan dan pikir panjang ia terbang ke Nepal.
Di Nepal Ratna bertemu dengan Niko. Seperti Ratna, Niko juga lulusan UGM. Dia bekerja sebagai peneliti di Pusat Studi Agama dan Budaya UGM. Dari pekerjaannya inilah kemudian dia mendapat kesempatan mengunjungi Nepal, menjadi relawan dalam program Bhaktapur Research Program Universitas Kathmandu, Nepal.
Lumbini karya Kris Budiman adalah sebuah kisah pertemuan dua anak manusia yang sama-sama berasal dari Indonesia di negeri orang, Nepal. Kesamaan asal membuat keduanya cepat akrab dan terlibat “cinta lokasi” (cinlok). Namun salah bila kita menganggap novel ini sebatas cerita pertemuan biasa. Dari yang sekadar melancong, mendapat pengetahuan tentang Nepal, terutama dari Niko, Ratna tertarik belajar Samadhi dan mengalami perjumpaan misterius dengan seorang bhikkhu saat mengunjungi Lumbini.
Lumbini adalah tempat lahir Siddharta Gautama. Lumbini is the Mecca of every Buddhist, Mekkah-nya penganut Buddha. Saat Niko sibuk menerangkan seputar Lumbini padanya, Ratna merasa dipanggil oleh seorang bhikkhu. Ratna masuk dalam alam meditasi, dibimbing oleh Bikkhu ke sebuah vihara, larut oleh puja-puji, hanyut dalam suasana ekstase, dan bersama Bikkhu membuat perjanjian untuk bertemu kembali di Vihara Mendut saat Waisak.
Lumbini adalah cerita tentang religiusitas; seseorang yang ditemukan dengan kesadaran butuh akan Yang Lain—sesuatu yang deep dalam bahasa teolog Kristen Paul Tillich. Bahasa yang ringan, terang, menguatkan kesan bahwa Lumbini bukan sebuah pencarian. Dan memang Ratna tak berniat mencari. Ini yang membedakan Lumbini dengan Siddharta-nya Hermann Hesse, peraih Nobel Sastra 1946, yang sama-sama mengangkat religiusitas Buddhis. Di dalam Siddharta, sebagaimana dalam “Zabalawi”-nya Mahfouz, tokoh utama memang mencari, sementara di dalam Lumbini tidak. Ratna hanya ingin berjalan-jalan ke negeri yang dalam benaknya ajaib. Dalam perjalanan itu ia memeroleh sesuatu, yang tak ia cari untuk menemukannya. Ratna hanya ditemukan dengan sesuatu yang tak ia cari itu.
Lumbini mengingatkan kita pada konsep “ilham” dalam agama. Ilham tak lain semacam hadiah (Arab: huda[n], hidayah). Dia tidak dicari atau dipinta, tapi diberikan begitu saja. Di dalam dunia tulis-menulis, ilham adalah inspirasi penciptaan. Dia tidak dicari-cari, tapi datang begitu saja, membuat penulis merasa perlu menuliskannya—semacam nubuwat.
Saat hari perjanjian tiba, saya menyangka Ratna tidak akan bertemu dengan Bhikku di Mendut. Bukankah dalam cerita pencarian, fokusnya adalah pencarian itu sendiri, dan pertemuan adalah sesuatu yang tak (perlu) diceritakan? Namun saya salah: Ratna bertemu dengan Bhikku! Sampai di situ kita dibuat tersadar bahwa sekali lagi Lumbini bukan kisah pencarian, tapi cerita tentang ilham. Ilham, saya rasa, adalah sesuatu yang menarik untuk diceritakan, selain tentu saja pencarian. Cerita religiusitas, kalau boleh dipilah, selain punya sisi pencarian, seperti dalam “Zabalawi” dan Siddharta-nya Hermann Hesse, sisi lain yang tak boleh dilupakan adalah ilham atau ditemukan.
Lebih dari itu, pencarian apa pun, yang “menemukan” atau tidak, pada dasarnya ilham juga. Bukankah ada kekuatan yang mengajak kita untuk melakukan pencarian? Karena itu, seperti dalam “Zabalawi”, juga kalau kita baca dalam Siddharta, yang penting dalam pencarian bukan pertemuan, melainkan bertambah kuatnya ajakan untuk terus mencari, kekuatan yang bukan berasal dari diri, tapi pemberian dari kekuatan di luar kita. Dan itu yang terjadi di akhir cerita “Zabalawi”: sang tokoh tidak menemukan Zabalawi, tapi ditemukan dengan ilham.
Betul sebuah ungkapan: barangsiapa mencari tidak akan menemukan, melainkan ditemukan.[]

0 komentar: