Perpustakaan di Kota Pelajar


BILA HENDAK membaca buku lengkap dengan kondisi nyaman, ke mana itu didapatkan? Jawabannya: perpustakaan. Namun, kenyataannya sulit ditemukan sebuah perpustakaan dengan koleksi lengkap, up to date, suasananya nyaman, tenang, mampu menerbitkan inspirasi untuk terus menggali pengetahuan sebanyaknya—bahkan di kota dengan predikat “Kota Pelajar” sekalipun.

Hal itulah yang terpikirkan oleh penulis ketika membaca sebuah surat pembaca di harian Kompas beberapa waktu lalu. Surat pembaca tersebut menggugat ketiadaan perpustakaan yang lengkap menyajikan koleksi tentang Yogyakarta.

Sebagai seorang yang punya kedekatan dengan dunia perbukuan, penulis kerap mengunjungi beberapa perpustakaan yang ada di Yogyakarta. Perpustakaan-perpustakaan itu punya ciri dan karakteristik masing-masing. Perpustakaan Hatta di Jalan Adisucipto, misalnya, mempunyai koleksi buku-buku lama yang lumayan bagus. Sayang, buku-buku berharga tersebut kurang terawat, sama halnya dengan gedung perpustakaannya yang bocor di sana-sini.

Di Yogyakarta ada dua perpustakaan milik pemerintah, yaitu Perpustakaan Daerah di Jalan Malioboro dan Perpustakaan Daearah di Jalan Tentara Rakyat Mataram. Perpustakaan di Jalan Malioboro banyak menyimpan koleksi buku sastra, sementara yang di daerah Badran lebih komplek, termasuk skripsi para mahasiswa perguruan tinggi di Yogyakarta. Di kedua perpustakaan ini buku baru sulit ditemukan.

Lain halnya dengan Perpustakaan Stuppa Data Indonesia di Ringroad Utara. Perpustakaan ini banyak menyimpan koleksi pustaka pariwisata Indonesia. Sementara Perpustakaan Kolese St. Igantius (Kolsani) di Jalan Abubakar Ali banyak menyimpan koleksi buku filsafat dan agama. Suasana di perpustakaan terakhir ini nyaman dan tenang, bukunya juga terawat baik, berbeda dengan kebanyakan perpustakaan yang lain.

Perpustakaan besar lain tentu adalah perpustakaan milik perguruan tinggi di Yogyakarta. Perpustakaan UGM punya dua gedung besar dengan koleksi buku puluhan ribu. Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga pengunjungnya amat ramai. Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta juga dibuka pada hari Minggu. Atau Perpustakaan Univ. Sanata Dharma dengan koleksi lengkap karya Zoetmulder.

Agaknya, ada perpustakaan yang perlu disebut tersendiri. Di Jalan Suroto dulu terdapat Perpustakaan DuniaTera. Perpustakaan mungil tempat bertemu para pegiat penulisan ini sungguh unik dan mampu memberi inspirasi tersendiri bagi pengunjungnya. Sayang, perpustakaan milik sebuah penerbitan itu kini telah tiada. Di bilangan Kauman ada Perpustakaan Mabulir (Majalah dan Buku Bergilir) milik Mbah Dauzan Farook. Hampir setiap hari Mbah Dauzan yang sudah berumur 70-an tahun itu berkeliling menggunakan sepeda menggilirkan bukunya untuk dipinjam.

Dari beberapa perpustakaan di atas, dan juga perpustakaan lain yang tidak cukup disebutkan di sini, bisa dikata tak ada yang memenuhi impian kita tentang sebuah perpustakaan: lengkap, up to date, tenang, nyaman…. Selain itu, kebanyakan perpustakaan tersebut tertutup dan terbatas hanya untuk kalangan tertentu.

Penulis mengangankan, seandainya Yogyakarta punya perpustakaan seperti itu, nyaman bagi siapa pun dan terbuka untuk umum. “Terbuka untuk umum” dirasa perlu sebab Yogyakarta merupakan Kota Wisata. Bolehlah sesekali para wisatawan yang capai berkeliling Yogyakarta melepas lelah sambil membaca buku di perpustakaan. Apalagi bila perpustakaan itu punya koleksi lengkap tentang Yogyakarta. Penulis yakin, setiap orang yang datang dan menikmati wisata di Yogyakarta, pasti ingin juga menikmati Yogyakarta dalam literatur. Kenyataan lain adalah banyak orang yang datang ke Yogyakarta untuk “berwisata pikir” mencari atau membaca buku. Namun hal itu sering terhalang oleh sebuah peraturan: perpustakaan hanya untuk kalangan tertentu yang terdaftar sebagai anggota.

Perpustakaan lengkap dan bagus di Kota Pelajar adalah sebuah keniscayaan. Perpustakaan itu akan menjadi landmark dan mengukuhkan predikat Yogyakarta sebagai Kota Pelajar. Contoh di kota lain bisa kita tengok. Sejarah hingga kini mengenang Perpustakaan Baitul Hikmah di masa Abbasiyah yang dibangun oleh Khalifah Al-Makmun, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Kota Baghdad sebagai kota pengetahuan. Demikian pula, perpustakaan Leiden, Belanda, yang menyimpan koleksi lengkap tentang Indonesia, menjadi rujukan bagi siapa pun yang ingin belajar sejarah Indonesia.

Diam-diam, disengaja atau tidak, predikat Yogyakarta sebagai Kota Pelajar mulai mengabur. Maraknya pendirian mal beberapa tahun terakhir mengubah watak Yogyakarta dari terpelajar menjadi konsumeris. Mahasiswa atau pelajar lebih suka menenteng handphone ketimbang buku. Semakin sedikit mahasiswa yang melirik Yogyakarta sebagai tempat kuliah, menjadi bukti makin terkikisnya predikat itu.

Perpustakaan memang tak otomatis mengembalikan predikat tersebut. Setidaknya, ia akan menggairahkan masyarakat untuk kembali bertekun membaca dan belajar. Adakah tempat yang nyaman bagi berkecambahnya pengetahuan selain perpustakaan?

Selain itu, adanya perpustakaan yang representatif di Yogyakarta tak akan menghilangkan atau mengurangi pengunjung perpustakaan-perpustakaan yang telah ada. Semuanya punya peminat dan pengunjungnya masing-masing. Mabulir tak akan lenyap. Kolsani tetap punya pengunjung. Mbah Dauzan, dan masyarakat Yogyakarta umumnya, akan sangat bergembira bila perpustakaan impian itu ada.

Sebagai penutup, sewaktu hendak ke luar kota beberapa waktu lalu, di Stasiun Tugu penulis melihat tulisan “Perpustakaan” di dekat ruang tunggu. Di bawah tulisan itu, ada puluhan buku dikelola tiga orang mahasiswa IST Akprind Yogyakarta untuk dipinjamkan bagi para calon penumpang yang tengah menunggu kereta tiba. Program perpustakaan di stasiun itu dibiayai oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas RI. Sayang, pogram kreativitas mahasiswa (PKM) itu hanya akan berlangsung tiga bulan. Namun demikian, Pemprov atau Pemkot mestinya bisa belajar dari mahasiswa-mahasiswa tersebut tentang betapa pentingnya sebuah perpustakaan bagi Kota Pelajar.
Bagaimana, Pak Gubernur atau Pak Wali?[]


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Hi..salam kenal