Dari Kisah Nyata ke Kisah dalam Cerita



BAGAIMANA SEBUAH kumpulan cerpen dibaca dan diulas? Apakah per cerpen, dengan pertimbangan bahwa sebuah cerpen adalah sebuah diri utuh dan tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan cerpen-cerpen lainnya, ataukah mesti memandangnya sebagai satu bagian dari suatu kumpulan?
Dalam tradisi kritik sastra Indonesia yang kata Katrin Bandel mirip gosip sebab ketakmendalamannya, cara pertama bisa diduga jarang dilakukan. Yang lebih sering adalah estafet atau berpindah-pindah dari satu cerpen ke cerpen lainnya, melihat kesamaan atau perbedaannya, dan bahkan di situ yang terjadi kerap berupa verbalisasi ulang gagasan dalam bentuk lain.
Cerpen-cerpen dikumpulkan bisa dengan banyak alasan atau simpul pengumpul, dan dengan alasan itu biasanya cerpen-cerpen di dalam kumpulan dibaca. Yang paling umum, kumpulan cerpen disatukan oleh nama pengarangnya. Ada kumpulan cerpen pengarang Agus Noor, Musthofa Bisri, Afrizal Malna, Hamsad Rangkuti, dll. Karena disatukan oleh nama pengarang, intensi pengarang yang dibunuh Roland Barthes dengan manifestonya “pengarang sudah mati” sulit dihindarkan.
Ada pula kumpulan cerpen yang disatukan oleh riwayat pemuatannya, misalnya Kompas mentradisikan penerbitan kumpulan cerpen terbaik Kompas dari cerpen-cerpen yang pernah tayang di sana. Ada yang dikumpulkan karena terbaik memenangkan perlombaan cerpen, misalnya Creative Writing Institute (CWI) yang mendokumentasikan cerpen-cerpen terbaiknya hasil lomba yang rutin diadakan setiap tahun. Kumpulan cerpen terbaik Balairung (KCTB) juga melakukan hal serupa.
Tema juga bisa menjadi pemersatu sebuah kumpulan cerpen. Tahun lalu kita disuguhi oleh sebuah kumpulan cerpen tentang homoseksualitas yang diterbitkan Gramedia. Demikian pula asal pengarang. Ada kumpulan cerpen Riau, Bali, Yogyakarta, dll dalam serial “Horison Sastra Indonesia” yang diterbitkan Penerbit Mahatari beberapa tahun yang lewat.
Dan pengumpul itu kemudian tidak sekadar pemersatu. Ia juga alat baca atau dijadikan sarana untuk mengulas. Cerpen-cerpen yang dikumpulkan dengan nama pengarangnya berusaha dicari-cari pandangan dunia (worldview atau weltanschauung) pengarang di dalamnya. Cerpen pemenang lomba kemudian disodorkan alasan mengapa ia menang, sama halnya pembantahnya yang mencari-cari kelemahan sehingga mestinya ia tidak menang. Cerpen dari asal pemuatan yang sama bisa dilihat sebagai keberpihakan pemuatnya pada aliran tertentu. Meski tak banyak cerpen dikumpulkan karena tema yang sama, tapi kecenderungan melihat tema dalam pembacaan sekilas atas cerpen-cerpen sangat kuat. Cerpen dengan asal pengarang yang sama sering dianggap menjadi representasi suatu daerah atau bahkan mouthpiece daerah itu.
***
ITULAH KEGALAUAN saya ketika disodori oleh Joko Sumantri untuk membaca cerpen-cerpen teman-teman Solo. Saya harus membacanya seperti apa? Atau ala siapa? Saya ingin mencoba ala saya sendiri. Saya buat kemudian, sebelum membukanya, berdasarkan nama-nama file yang dikirimkan ke saya, urut-urutan membacanya. Saya buat dengan melihat nama-nama file-nya yang setelah saya buka, kebetulan dan ternyata, merupakan judul cerpen. Saya membacanya pun nyaris satu kali baca. Dengan begitu saya ingin menemukan kesan saya ketika pertama kali membacanya. Kalaupun ada yang saya ulang, saya hanya ingin menguatkan kesan itu demi menuliskan bacaan saya tersebut di sini.
Saya hanya ingin membacanya sebagai saya-pembaca.
Kebetulan cerpen yang saya baca pertama adalah cerpen “Batas Kenangan”. Tidak ada alasan mengapa saya menjatuhkan pilihan membukanya pertama kali kecuali ini satu-satunya file cerpen yang selain nama file tampaknya bernama penulisnya. Cerpen berupa potongan-potongan kisah, bergantian, susul-menyusul antara perjalanan pulang Jakarta-Solo dengan kereta dan kenangan tentang tragedi Solo 1998. Dua kisah berbeda, satu perjalanan yang sedang terjadi dan kedua kenangan yang sudah lewat, disatukan oleh seorang tokoh: dia yang sedang dalam perjalanan, dan dia pernah mengalami peristiwa itu. Perjalanan pulang menjadi penanda kembali ke masa silam. Menarik, namun jujur saya terperangah oleh kisah yang kelewat gagah: Sukro yang meninggalkan cinta demi dunia aktifis. Kenyataan sering berbeda: aktifis meninggalkan dunianya oleh cinta.
Saya beralih ke “Pemabuk”. Masih tentang sesuatu yang pernah terjadi: seorang pemabuk bernama Han (tidak bernama lengkap Hans Gagas saya kira) ditemukan mati. Setelah dikubur, teman-temannya sesama pemabuk menyiram kuburnya dengan minuman keras. Sejak awal pengarang bersembunyi, namun tiba-tiba muncul di akhir sebagai “Aku” yang membatin “Gila!” ketika mendengar cerita itu. Bukti kejadian itu sesuatu yang pernah terjadi, dinyatakan jelas oleh pengarang yang membubuhi kata-kata “based on true story” setelah tanggal dia menulis cerita.
Cerita ketiga jelas tentang kematian juga. Diberi judul “Penggali Makam Sendiri”, saya kira pengarangnya ingin membuat sensasi biar banyak orang ingin tahu begitu membaca judulnya. Ternyata kisah tentang pembunuh bayaran yang membunuh dengan sadis namun tanpa sedikit pun seni: sejak awal pembaca sudah diberitahu korban bakal mati di kubur yang digalinya, tak ada kejutan cerita, dan tak ada seni menghilangkan jejak khas pembunuh bayaran profesional.
“Perpisahan dari Sebuah Duka” juga tentang kematian yang pernah terjadi. Kembali pembaca diberitahu sumber cerita dari ibu yang meracuni anak-anaknya dan dirinya sendiri ketika sang suami pergi, seperti yang terjadi di suatu tempat beberapa waktu lalu. Pengarang di sini ingin menjelaskan ini lho yang membuat sang istri berbuat begitu. Sayang, alasannya justru alasan yang telah banyak dikemukakan orang: motif ekonomi, yang terlalu sederhana menurut saya untuk sebuah kasus bunuh diri.
“Senyum Ibu” berkisah aneh: Istri yang terus tersenyum dan sabar padahal suaminya tak pernah memberi nafkah selama berpuluh-puluh tahun. Sang anak membenci ayahnya itu tanpa ampun: “Aku dan juga adik-adikku belum pernah mencium tangan bapak ketika akan pamit pergi ke sekolah sebagai tanda hormat seperti yang biasa kami semua lakukan pada ibu.” Di akhir cerita, kebencian sang anak berubah seratus delapan puluh derajat menjadi kebanggaan, karena sang ayah ternyata tidak bisa mencari nafkah sebab “dibuat” orang yang tidak senang dengan posisinya dulu sebagai direktur. Sang anak ternyata tak tahu menahu tentang ayahnya, dan sang ibu merahasiakannya, termasuk barang-barang seperti penghargaan dsb—nyaris mustahil dalam keluarga kebanyakan.
Saya cukup menikmati cerpen "Persimpangan". Dibangun dengan cukup banyak dialog, baik langsung maupun chatting, namun cerita bisa sampai pada pembaca sebab dialog itu efektif. "Persimpangan" berkisah tentang lesbianisme: seorang perempuan yang telah menikah selama tujuh tahun tiba-tiba ingin kembali menjalani masa lalunya sebagai lesbian setelah bertemu perempuan lesbi di Prancis. Bukan pertimbangan keluarga yang akhirnya menyurutkannya, melainkan pasangan lesbiannya yang menyuruhnya kembali pada keluarganya dan menghindar dalam arti sebenar-benarnya.
Kalau tahapan peristiwa yang diceritakan dalam "Persimpangan" sedikit dan efektif, tidak demikian dalam "Konstruksi Cintaku". Cerpen ini penuh dengan peristiwa, juga pesan yang disampaikan terkadang kelewat verbal. Saya menduga penulisnya punya latar belakang keluarga pegawai negeri sipil (PNS) atau mungkin bercita-cita jadi PNS setamat kuliah. Cukup detail dia mengungkapkan pernak-pernik PNS, mulai dari mobil sampai tipe rumah. Tokoh "Aku" dalam cerita bersyukur menjadi PNS, bukan " anggota DPR atau KPU yang bisanya cuma mikir uang-dan uang, dan uang-uang itu bagaimana caranya bisa mengucur ke kantong mereka sendiri-sendiri". Pernak-pernik itu, bagi saya pembaca, cukup mengganggu menikmati kisah cinta yang disampaikan.
Kisah cinta yang biasa dan terkesan dibuat-buat itu berbeda dengan kisah perjalanan mencari (atau menanti) labuhan cinta dalam "Labuhan Cinta". Gaya cerita "Labuhan Cinta" berbeda sama sekali dengan gaya-gaya cerita sebelumnya, entah yang akan saya baca nanti. Kalau sebelumnya lurus-lurus saja, "Labuhan Cinta" kaya dengan metafora sehingga cerita menjadi relatif sulit ditangkap. Tokoh "Aku" yang mencari bahkan tak dijelaskan bagaimana sosoknya, kecuali dia dipanggil dengan "Perkasa", yang menyiratkan dia pria. "Aku" tak mau digelapmatakan oleh emas yang tak susut nilainya dan tak sudi bercumbu kecuali dengan-Nya, kekasih Maha Sempurna. "Aku" bertemu dengan "Lembut", "Cantik", dan "Bidadari". Tak diceritakan bagaimana pertemuan dengan masing-masing mereka, kecuali akhirnya "Aku" menemukan yang dicarinya. Pesan yang ingin disampaikan persis kisah Muhammad bertemu Tuhan di tangga mi'raj: bukan pada bagaimana mereka bertemu, melainkan bahwa mereka telah bertemu atau menemukan; latar dibuang jauh-jauh.
"Katastrofe" tampaknya dimaksudkan pengarang sebagai cerita “tragedi”. Tragedi dimaksud adalah tukang copet yang mentas dari dunianya namun kembali lagi ke dunia itu setelah dia kecopetan. Penokohan sedikit ambigu: bagaimana mungkin mantan copet yang kemudian jualan obat kuat "tak mengerti" cafe atau pub, padahal "kerja"-nya itu di kota. Suara pengarang terlihat sangat dominan: sang tokoh sering disebut merasa diri kere, dengan berbagai pernak-perniknya. Dalam cerita, deskripsi psikologis dengan menyatakan suasana hati secara langsung oleh pengarang menurut saya kurang mengena. Cara yang lebih baik adalah menyatakan dengan tingkah-laku tokoh. Bukankah tingkah laku berasal dari sesuatu yang di dalam, psyche?
Selain "Persimpangan", "3B~" (Betina, Bitch, Banci) juga bercerita tentang homoseksualitas, namun dalam bingkai spiritualitas Buddhisme. Membacanya saya ingat Sidharta dan Lumbini-nya Kris Budiman.
Begitu kesan-kesan saya membacanya, yang tentu saja bisa sama atau bertentangan sama sekali dengan kesan Anda. Begitulah cerita. Ia tidak diurai oleh intensi pengarang, melainkan mestinya pembacanya bebas memberikan tafsiran.
***
Mohon ampun, Para teoresi, bila saya sering menyederhanakan bahwa prosa yang baik dan berhasil punya dua prasyarat: kisah yang disampaikan menarik dan cara ungkapnya memikat. Bila harus dirujukkan, pendasarannya ada pada teori kisah (narrative)-nya Paul Ricoeur dalam Time and Narrative. Dalam berkisah, kata Ricoeur, seorang pencerita mesti melewati tahap yang dinamakan seleksi dan kombinasi. Dengan bahasa berbeda Afrizal Malna secara puitis mengatakan bahwa berkisah adalah bekerja di dua meja. Ada semesta yang akan dikisahkan. Tentu tidak semuanya bisa masuk dalam sebuah kisah seperti novel, apalagi cerpen. Ada proses seleksi. Setelah menemukan apa saja yang akan dikisahkan, masuk tahap mengkombinasikan hasil seleksi itu. Seleksi dan kombinasi tidak saja terkait kisah-nya, tapi yang tak kalah penting adalah seleksi bahasa, menyangkut komposisi, genre literer, serta gaya yang merupakan kaidah penyusunan dan perangkaian (kombinasi) yang paling elementer dari sebuah karya literer.
Inilah soalnya: kisah yang memikat sering tidak disertai dengan cara berkisah yang mengesankan. Sebaliknya, kerap terjadi penulis terlalu terpukau pada bahasa, memperhatikan hingga detail-detail kata yang digunakan agar bernuansa puitis, walhasil lupa pada kisah yang ingin disampaikan. Sudah barang tentu bila keduanya terjalin bagus, akan lahir kisah yang sempurna. Namun bila keduanya terabaikan, cerita yang ditulis bakal tidak mengesankan pembacanya alias gagal.
Kita bisa menemukan, misalnya, cerpen-cerpen Raudal Tanjung Banua amat kuat secara bahasa, secara cara berkisah. Kritikus Kris Budiman pernah berkomentar, "Pada Raudal, bahasa tunduk di tangannya, sehingga dia bisa menulis cerita apa pun dengan mudahnya. Bahasa tinggal mengikuti saja." Dalam banyak kasus, kata Kris, penulis muda kita sering tidak mau belajar bahasa. Keleluasaan berkisah kerap direcoki oleh pilihan kata. Pada kasus ekstrem, sebab tak belajar bahasa itu, cerita yang ingin disampaikan tak sampai hanya karena pilihan kata yang tak pas, dan kemudian lahir tudingan bahasa terbatas dan ide jauh lebih luas!
Kita juga melihat cerita-cerita yang ditulis oleh Taufik Ikram Jamil kerap menyampaikan tema biasa namun dikemas dalam kisah yang menarik, tak terduga, sering tak masuk akal sebab tak mungkin terjadi di dunia nyata, namun logis!
Dan satu lagi: saya pernah membaca cerpen yang ceritanya kuat hingga tak pernah saya lupa, namun penulis serta judulnya tak sekuat ceritanya mampir di kepala saya. Dikisahkan, dua orang tua bertemu di sebuah acara. Terkenang kembali masa lalu mereka berpacaran, terlalu jauh, hingga sang perempuan mengandung. Sayang, benih mereka tak bisa dimiliki berdua sebab orangtua yang tak restu. Ini mungkin kisah klise. Namun tidaklah begitu karena setelah bertemu kembali di usia tua mereka ingin menyatukan hati kembali, sebab sang perempuan tua telah tak bersuami lagi dan sang lelaki tidak lagi beristri. Tak ada penghalang bagi keduanya bersatu, kecuali di akhir kisah kita dikejutkan oleh anak pertama sang perempuan, yang sebenarnya merupakan anak mereka berdua, tak setuju. Kalau mengakui telah mencoreng muka orangtua kepada mereka barangkali tak terlalu sulit, siapa berani mengakui sesuatu yang amat ditakutkan sang anak kepadanya? Lebih jauh, logiskah di Indonesia 20 atau 30 tahun lalu orang bercinta hingga terlalu jauh? Dengan cerdik sang pengarang menarik konteks cerita ke Spanyol. Cerita dibumbui pula dengan pertemuan kedua tokoh menonton matador atau pertandingan sepakbola; keduanya penyuka Raul Gonzales yang pada masa mereka muda juga ada pesepakbola Spanyol punya gaya dan karakter permainan serupa.
Yang ingin saya katakan adalah betapa kreatifnya pengarang cerita itu mengolah kisah. Dalam beberapa hal, ini yang tidak saya temukan pada cerpen teman-teman Solo yang saya baca. Pada banyak cerpen, kisah dicomot begitu saja dari kenyataan riil sehari-hari, “based on true story”. Jebakan mencomot begitu saja seperti ini adalah kita tidak selalu memahami kisah dengan jelas atau kalaupun memahaminya secara baik kita terjebak dengan pengetahuan kita dan luput mengolah sudut pandang. Pengarang menjadi paling tahu dan logika cerita diabaikan. Ini pertama.
Kedua, ruang cerpen tentu saja sangat terbatas. Di sini kepandaian pengarang memilih apa yang akan diceritakan dipertaruhkan. Karena tak semua hal bisa masuk, pengarang harus benar-benar selektif dan seleksi mesti efektif. Berbagai hal pengganggu cerita, termasuk pesan verbal yang mestinya tak masuk, mestinya benar-benar dihilangkan.
Cerpen “Pemabuk” dan “Perpisahan dari Sebuah Luka” menurut saya punya dua kelemahan di atas. Pada kedua cerpen ini kita tidak disuguhi kejelasan bagaimana pemabuk mati dan mengapa teman-temannya menyiramkan tuak di sana. Dalam satu-dua paragraf, cerita bergerak maju sangat cepat.
Ketiga, karena kita mesti benar-benar selektif, dari yang tak banyak yang kita ambil itu detail amat diperlukan. Sering terjadi salah paham tentang detail ini. Detail tentu bukan bercerita tentang semua hal, mengabaikan seleksi, seolah kisah adalah gambar rekam ulang kehidupan: setiap langkah dan detik mesti tercatat; melainkan detail yang benar-benar efektif menunjang tahapan kisah.
Cerpen “Senyum Ibu” dan “Konstruksi Cinta” terlihat lemah kedua dan ketiga. Tak ada detail meski pengarangnya menceritakan banyak hal di sini. Termasuk bahkan dimasukkan dalam cerita seorang tokoh duduk di mana dan melangkah ke mana. Tahapan yang terjadi seperti dalam kenyataan ingin direngkuh, seolah tak memerhatikan seleksi sama sekali.
Ini beberapa pembacaan saya. Sekali lagi, abaikan ini demi semangat kepenulisan teman-teman. Akhirnya, saya masih tak terlalu percaya melakukan ini: benarkah saya menganjurkan cerpen ini begini dan begitu—sesuatu yang tak saya sukai sesungguhnya?
Tabik!

============
* Tulisan ini merupakan kertas kerja saya saat diundang mengulas kumpulan cerpen sastrawan muda Solo di Dewan Kebudayaan Solo, 2007.

0 komentar: