Otoritas Keilmuan Perempuan dalam Islam



PERSOALAN PEREMPUAN telah memeroleh perhatian besar di seantero dunia di masa sekarang. Alasannya jelas, yakni untuk waktu yang lama perempuan tunduk sepenuhnya kepada laki-laki, khususnya dalam masyarakat patriarkhal, sementara kebanyakan masyarakat adalah patriarkhal. Jadi, selama berabad-abad, barangkali hampir disebut sebagai hukum alam, perempuan dipandang inferior di depan laki-laki dan kebanyakan mereka tunduk di bawah otoritas laki-laki.
Sekarang struktur sosial telah banyak berubah. Dalam struktur yang baru ini, akan sulit mempertahankan sikap lama terhadap perempuan. Oleh karenanya kitab suci pun kemudian dibaca dan diinterpretasi ulang. Para sarjana tafsir kontemporer, baik dari kalangan Islam sendiri maupun islamisis, meyakini bahwa kitab suci umat Islam, yakni Alquran, mempunyai semangat keadilan dan egalitarian, termasuk dalam menempatkan hubungan antara laki-laki dan perempuan.[1] Kalau anggapan ini benar, pertanyaannya adalah mengapa dalam masyarakat muslim seringkali praktik-praktik yang mendiskreditkan perempuan berkembang, termasuk dalam lapangan pengetahuan yang mestinya bebas dari bias-bias gender dan sikap tidak mengakui terhadap otoritas keilmuan jenis kelamin tertentu?
Adalah Michel Foucault, filsuf asal Prancis, yang meyakini terdapat satu sistem kuasa tertentu yang berkembang dan digunakan untuk mengunggulkan suatu rezim (termasuk rezim pengetahuan) sehingga tampak wajar dan alami dan membenamkan potensi lain (dalam hal ini keilmuan perempuan) yang mestinya juga tumbuh sebagai sesuatu yang normal. Sistem kuasa itu beroperasi melalui tiga teknik, yaitu teknik pemilahan (classification practices), teknik normalisasi (dividing practices), dan teknik pendisiplinan (self-subjectivication practices) yang kesemuanya bermain dalam sejarah.[2] Bagi Foucault, sejarah yang tak lain merupakan entitas-entitas yang berdiri sendiri dan antarperistiwa terlepas satu sama lain, tidak pernah terkait apalagi natural, berusaha dibuat berkesinambungan dan bergerak ke arah tertentu oleh sistem kuasa tersebut. Karena itu, melihat otoritas keilmuan perempuan dalam Islam adalah menyelam ke akar sejarah dan menemukan retakan-retakan sejarah yang telah diperhalus oleh sistem kuasa keilmuan laki-laki.[3]
Dalam sejarah manapun, partisipasi perempuan dapat dilihat pada dua level, yaitu level human female (manusia perempuan) dan level feminis atau ideal women.[4] Sebagai penganut Islam, pada level human female perempuan adalah muslimah, yang mengamalkan ajaran agamanya, melakukan ibadah yang bersifat ritual dan dijanjikan pahala nantinya. Sementara pada level ideal women perempuan adalah simbol kebaikan dan kasih Tuhan, sesuatu yang diidamkan semua perempuan. Dalam lapangan keilmuan, yang terakhir ini dimaksudkan sebagai perempuan yang berpengetahuan luas dan diakui karena keilmuannya.
Dengan teori-teori di atas, tulisan ini berusaha melihat peran keilmuan perempuan dalam Islam. Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu agama (Islam), yaitu ilmu Alquran, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu akhlak dan tasawuf, ilmu fikh (termasuk juga qawaidul fikh), dan ilmu sejarah (Islam).[5] Peran perempuan dalam ilmu-imu tersebut dilihat pada level-level human female dan ideal women.
Penulis kurang sepakat dengan istilah 'otoritas', seperti yang dipakai dalam judul tulisan ini. Alasan sederhananya barangkali karena istilah ini menyiratkan adanya sistem kuasa tertentu yang beroperasi—sesuatu yang justru ingin digugat oleh tulisan ini. Karena itu, di bagian akhir tulisan juga akan dipaparkan tentang gagasan-gagasan penolakan terhadap otoritas keilmuan yang barangkali akan lebih menarik untuk didiskusikan.
Ulama: Sebuah Penelusuran Sinkronis
PERADABAN ISLAM pada dasarnya merupakan kompleks gagasan dan kenyataan yang penuh dengan jaringan-jaringan hermeneutis yang terpusat pada sentralitas Alquran. Nasr Hamid Abu Zaid di dalam bukunya Mafhum al-Nash: Dirasah fi Ulum al-Quran bahkan menyebut peradaban tersebut sebagai peradaban teks.[6] Artinya, fundamen intelektual dan kultural umat Islam tidak mungkin mengabaikan sentralitas posisi teks Alquran dalam dialektikanya dengan realitas. Pada titik ini, berbagai sikap terhadap keilmuan dalam Islam, termasuk keilmuan perempuan, tidak dapat dilepaskan dari pergumulan kaum muslimin dengan Alquran.[7]
Dengan demikian, sebelum masuk ke penelusuran sejarah (diakronis), terlebih dahulu akan dibahas tentang ulama itu sendiri secara sinkronis.[8] Karena teks yang paling sentral dalam hal ini adalah Alquran, maka penelusuran ini akan diarahkan kepada teks suci tersebut. Asumsinya adalah pergumulan dengan Alquran inilah yang nantinya banyak memengaruhi kamu muslimin dalam memandang ulama atau ulama perempuan dalam sejarah.
'Ulama atau, bentuk personalnya, 'alim, secara etimologis berasal dari kata yang sama dengan 'ilm, 'alam, atau ma'lum.[9] 'Ilm adalah pengetahuan yang teratur (systematic knowledge),[10] 'alam adalah benda yang kita tangkap dengan pancaindra, dan ma'lum adalah mengetahui. Dari hubungan ketiga kata tersebut, dapat dipahami bahwa ilmu berkaitan dengan sesuatu yang diketahui atau dapat diketahui oleh manusia. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan manusia.
Di dalam Alquran kata 'ulama hanya disebutkan sebanyak dua kali, yaitu dalam surat al-syu'ara dan al-fathir. Dalam surat al-fathir, diberitakan tentang berbagai fenomena alam, dan disebutkan hanya ulamalah yang takut kepada Allah. Sedangkan kata 'alim dalam Alquran disebutkan sebanyak 163 kali. Hampir semua kata ini merujuk pada Allah sebagai Yang Maha Mengetahui, kecuali di beberapa tempat saja. Di dalam surat al-ankabut 'alim muncul setelah dipaparkan perumpamaan tentang sebuah rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba; yang dapat memahami perumpamaan tersebut hanyalah manusia yang mempunyai ilmu ('alim). Konteks penempatan dua ayat tersebut setidaknya menegaskan bahwa aktifitas keilmuan adalah mengamati, meneliti, observasi.
Selain itu, konteks ayat yang mengklasifikasi respon terhadap berbagai fenomena alam tersebut dan menegaskan keutamaan yang memiliki pengetahuan dibanding yang tidak, menunjukkan anjuran untuk menjadi kelompok berpengetahuan. Di dalam hadis, kalau kemudian hadis diyakini merupakan tafsir yang punya otoritas (hujjah) kuat dibanding penafsiran lain,[11] sangat populer diberitakan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim (penganut Islam laki-laki) dan muslimah (penganut Islam perempuan).
Menarik bahwa dalam hadis tersebut dibedakan antara muslim dan muslimah. Namun, meskipun dibedakan, keduanya mempunyai kewajiban sama untuk menuntut ilmu. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pembedaan tersebut tidak terkait dengan pengunggulan satu jenis kelamin tertentu untuk memeroleh ilmu, melainkan menegaskan keduanya sama-sama berhak. Ini sangat berbeda jika tidak dipisahkan dan hanya akan disebut secaara umum wajib bagi muslimin (dalam bahasa Arab muslim laki-laki dan perempuan bisa terkumpul dalam kata ini) yang barangkali akan ditafsir dengan mengunggulkan laki-laki atas perempuan.
Dalam Alquran mereka yang berilmu dan mau melakukan observasi alam sering disebut sebagai ulul albab.[12] Prinsip yang terkandung dalam istilah ini sama sekali tidak bias jender, misalnya menetapkan bahwa laki-laki saja yang bisa meraihnya, melainkan hanya mereka yang dapat melakukan observasi keilmuan semata, baik laki-laki maupun perempuan. Ada kesempatan yang sama untuk masuk dalam posisi itu. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan perempuan tidak lebih rendah dari kecerdasan laki-laki. Bahkan kecerdasan emosional (emotional quotient, EQ) yang muncul pada tahun 90-an sebagai kritik terhadap teori kecerdasan rasional (intellectual quotient, IQ), justru mengesankan kaum perempuan lebih potensial memilikinya.[13]
Pertanyaannya kemudian menyangkut akses, adakah Aquran membatasi perempuan untuk memeroleh akses ilmu pengetahuan? Dalam Alquran ini tidak pernah disinggung, akan tetapi jika diperhatikan bagaimana Alquran membuka akses dalam bidang apa pun, misalnya akses mendapatkan derajat taqwa[14] dan ulul albab seperti di atas, sangat jelas bahwa akses ilmu pengetahuan juga terbuka bagi perempuan, sama terbukanya juga bagi laki-laki.
Jika di dalam Alquran akses pengetahuan tidak disinggung, ini bisa dimaklumi karena Alquran tidak mengatur persoalan-persoalan teknis, kecuali dalam ibadah-ibadah tertentu saja dan itu sangat minim, di dalam hadis pernah diberitakan bagaimana Nabi memberi ruang yang sama bagi perempuan untuk memeroleh akses pengetahuan. Abu Said al-Khudri menjelaskan bahwa suatu ketika Nabi didatangi oleh seorang perempuan yang mengatakan bahwa kaum perempuan ingin 'membawa' hadis, seperti juga laki-laki, lalu Nabi menyanggupi dan memerintahkannya untuk mengumpulkan kaum perempuan pada suatu waktu tertentu dan nanti Nabi akan mendatangi mereka.[15] Sekali lagi jika fungsi hadis adalah menjelaskan ayat-ayat Alquran (bayan tafsir), maka dalam Alquran akses pengetahuan tidak dibedakan antara kaum laki-laki dan perempuan dan, siapa pun itu, dari jenis kelamin mana pun, ia bisa memeroleh predikat ulama atau 'alim (yang memiliki ilmu pengetahuan).
Human Female dan Ideal Woman dalam Sejarah Keilmuan
Setelah melakukan penelusuran sinkronis terhadap ulama dalam Alquran secara sekilas dan tidak ditemukan adanya subordinasi perempuan dalam keilmuan, sekarang akan dilakukan penelusuran sejarah keilmuan Islam. Anggapannya adalah jika nanti dalam penelusuran diakronis ini terdapat praktik-praktik subordinasi peran keilmuan perempuan, maka di sinilah sesungguhnya letak retakan-retakan sejarah yang dimaksudkan Foucault dalam teorinya di atas (atau nurture menurut Megawangi).
Pada masa turun wahyu, peran baca-tulis sangat besar artinya. Di antara sedikit penduduk Suku Quraisy yang dapat baca-tulis, menurut berita al-Baladzuri (w. 892), terdapat beberapa perempuan.[16] Salah satu cerita yang populer adalah adik perempuan Umar bersama suaminya tengah membaca mushaf Alquran ketika Umar datang untuk membunuhnya karena telah memeluk Islam. Jika memang kemampuan baca-tulis ketika itu sangat minim dan bisa dikatakan sebagai standar intelektualitas, maka telah ada ulama atau intelektual perempuaan. Pada masa sebelumnya, pra-Islam, penyair yang mempunyai kedudukan tinggi dalam startifikasi sosial masyarakat Arab juga terdapat perempuan. Bahkan di antara penyair perempuan ada yang masuk dalam kategori penyair mu'allaqat[17], yaitu al-Nabighah.
Pada masa pengumpulan wahyu, di antara yang mempunyai catatannya adalah Aisyah, Ummu Salamah, dan Hafsah. Menarik menurut Amal, catatan wahyu Hafsah ternyata merupakan catatan personal, dan bukan berasa dari catatan resmi yang telah ada sebelumnya pada masa Khalifah Umar—meskipun Umar adalah ayahnya. Menurut catatan sejarah, naskah Hafsah ini pada masa Usman digunakan sebagai salah satu sumber dalam kodifikasi Usman (mushaf usmani).[18] Mushaf-mushaf perempuan ini menunjukkan betapa pada masa itu perempuan telah dipercaya memegang peran intelektual.
Namun pada perkembangan keilmuan Alquran selanjutnya peran ideal itu kurang terlihat. Kitab-kitab tafsir klasik, menurut catatan Abdillah, tidak satu pun ditulis oleh oleh perempuan (dengan kapasitas keilmuannya). Namun bukan berarti peran itu tidak ada. Pada masa kodifikasi ilmu tafsir, yakni pembagian dua aliran tafsir menjadi bil ma'tsur (dengan riwayat) dan bil mansyur, pada yang pertama riwayat-riwayat dari perempuan juga menjadi bahan penafsiran.[19] Artinya kapasitas intelektual mereka juga tetap diakui dalam bidang ini, meskipun barangkali sangat minim.
Peran-peran perempuan di atas jelas tidak sekadar peran keperempuanan semata (human female), melainkan lebih pada peran ideal women yang sejajar dengan laki-laki. Sebaliknya, di dalam keilmuan Alquran peran sebagai human female seringkali justru lebih mengarah ke persoalan-persoalan fiqh menyangkut pola relasi hubungan suami-istri, kesaksian perempuan, dan bahkan terkait dengan hal lain yang sebenarnya barangkali tidak terlalu perlu diperdebatkan, seperti penciptaan perempuan.[20]
Seperti halnya dalam penafsiran bil ma'tsur yang menggunakan riwayat-riwayat dari perempuan, dalam hadis pun periwayatan mereka juga dipakai. Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), salah seoran imam mazhab terkemuka, menulis satu jilid khusus hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat perempuan (sahabiyat) dalam Musnad-nya. Dari catatan Hanbal terdapat 125 sahabiyat dari sekitar 700 periwayat hadis pada periwayatan pertama (al-rawi al-a'la). Jumlah tersebut sama dengan 18% dari jumlah sahabiyat pada masa Nabi.[21] Karya lain, yaitu al-Isabah fi Ma'rifah al-Ashab-nya Ibn Hajar al-Asqalani, juga mencatat sejumlah biografi sahabiyat. Menurut Mahmud Atthahan, jumlah sahabiyat dalam karya al-Asqalani tersebut adalah 1522 di antara 12267 biografi periwayat. Ini berbeda dengan hitungan Roded atas karya tersebut yang menurutnya sebanyak 1551 sahabiyat dari jumlah keseluruhan 12304.[22] Perbedaan penghitungan tersebut wajar karena tarajim (biografi) yang ditulis al-Asqalani tidak seluruhnya ditulis per item, melainkan kebanyakan bersifat naratif dengan menyebutkan banyak tokoh yang saling terkait dalam satu item.
Jumlah yang disebutkan di atas sesungguhnya ingin mengatakan bahwa terdapat fakta konkret perempuan pada masa awal Islam mengambil peran signifikan dalam transmisi hadis. Harus diakui memang peran itu memudar pada masa setelah sahabat (tabi'in) yang dalam catatan Ibn Hibban hanya sekitar 90 perempuan atau 1,9% dari keseluruhan tabi'in periwayat hadis.[23] Penurunan jumlah ini bukan berarti bahwa secara intelektual perempuan lebih rendah dari laki-laki atau adanya kelemahan dari yang mereka riwayatkan, melainkan lebih pada adanya faktor sosial-politik yang memengaruhi.
Faktor sosial-politik dimaksud adalah adanya perdebatan tajam antara kalangan muhaddisin (ahli hadis) dan kalangan fuqaha (ahli fikh). Para ahli hadis menyepakati bahwa dalam periwayatan tidak ada ketentuan periwayat harus dari jenis kelamin tertentu, melainkan yang lebih penting adalah faktor 'adalah (keadilan) dan dhabith (kekuatan daya ingat). Lagi-lagi, para ahli hadis tidak memandang kedua hal ini ada pada satu jenis kelamin tertentu, tetapi baik laki-laki atau perempuan mempunyai potensi keadilan dan daya ingat yang sama. Alhasil, tidak masalah apakah laki-laki atau perempuan yang meriwayatkan hadis.
Terkait dengan kedua faktor tersebut, dalam catatan biografi periwayat yang ditulis al-Nasa'i, hanya ada satu periwayat perempuan yang riwayatnya tergolong lemah. Sungguhpun lemah, menurut al-Nasa'i, hadis riwayat perempun tersebut tidak masuk dalam kategori yang ditinggalkan (mardud), melainkan tidak dianjurkan pemakaiannya. Ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I'tidal yang banyak dipandang merupakan sebagai karya terlengkap memuat perawi lemah, bahwa ia tidak menemukan satu periwayat perempuan pun yang hadisnya tertuduh dusta[24] dan ditinggalkan.[25]
Hal tersebut sangat berbeda dengan yang disepakati dalam fikh (klasik) bahwa persyaratan diterimanya suatu berita harus memuat kriteria zukurah ([ke]lelaki[an]) dan hurriyah (merdeka). Kriteria zukurah memandang perempuan kurang kuat ingatannya dan sering emosional sehingga dikhawatirkan akan menyelewengkan berita (persaksian). Karena itu, berita bisa diterima jika mengganti zukurah dengan dua perempuan. Di samping itu, dalam fikh, perempuan juga kurang dipandang memiliki kemerdekaan. Dalam fikh privat atau personal (al-ahwal al-syakhsiyah) perempuan belum bersuami selalu bergantung pada orangtuanya, sementara setelah bersuami kemerdekaannya bergantung pada suaminya.[26]
Memang perdebatan muhaddisin dan fuqaha tersebut tetap tidak menyurutkan ahli hadis untuk menerima periwayatan perempuan, tetapi efek sosial ketetapan hukum (fikh) tentu akan berakibat sangat luas. Kecenderungan fikh menempatkan perempuan hanya dalam wilayah-wilayah privat dengan ideologi housewification (pengiburumahtanggaan) tanpa diperkenankan masuk dalam wilayah sosial berakibat pada akses perempuan dalam menerima hadis dari upline (al-rawi al-a'la) dan meriwayatkannya. Akibatnya wajar kemudian kalau pada masa tabi'in dan setelahnya periwayat perempuan menurun drastis dibanding pada masa sahabat.
Akan tetapi, kalau dari sisi periwayatan hadis peran perempuan tidak dibedakan dengan peran laki-laki, dari sisi materi hadis sangat lain.[27] Dari sisi yang terakhir ini dikenal sitilah hadis misoginis (hadis yang mendiskreditkan perempuan). Boleh dikata bahwa fikh yang cenderung menempatkan perempuan lebih inferior dari laki-laki juga dipengaruhi oleh materi-materi hadis. Dalam kaidah fikh (qawaid al-fiqh), (materi) hadis merupakan sumber kedua pengambilan hukum. Jadi tidak semata inferioritas perempuan dalam fikh didasarkan dari penafsiran harfiah terhadap Alquran, akan tetapi hadispun turut menyumbang saham yang tidak sedikit.[28]
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran, materi hadis banyak berpengaruh dalam membentuk pandangan muslim tentang agamanya. Dalam ilmu kalam misalnya, salah satu hadis misoginis yang banyak dipegangi untuk mendiskreditkan tingkat keimanan perempuan sekaligus keilmuannya adalah hadis yang menyatakan perempuan sebagai makhluk yang "naqishat dinin wa aqlin" (kurang kadar agama dan intelektualitasnya).
Di dalam buku-buku klasik istilah "kurang kadar agama dan intelektualitas" ini sering dipahami sebagai sifat indikatif yang ada pada perempuan sehingga membuat perempuan, menurut mayoritas ahli kalam dan hukum klasik seperti al-Ghazali, diberikan tuntutan syar'i yang lebih ringan jika dibandingkan dengan laki-laki. Belakangan, oleh seorang pemikir kontemporer, Muhammad Abdul Halim Abu Syuqqah, keyakinan tersebut dibantah. Menurutnya, kekurangan ini tidak bersifat fitrah, melainkan lebih pada kekurangan biologis (nau'i) menyangkut haid, nifas, dll. Kekurangan ini tidak berhubungan sama sekali dengan kualitas kemanusiaan, termasuk kualitas keagamaan dan intelektualitas.[29]
Dilihat dari segi objeknya, sesungguhnya ilmu kalam berpotensi "selamat" dari bias-bias gender. Objek ilmu ini adalah masalah ketuhanan (uluhiyah) yang tak menyangkut persoalan jenis kelamin tertentu. Namun, karena seringkali sumber utama ilmu ini, yaitu kalam Allah, ditafsir terlalu harfiah, bias gender pun turut muncul. Pemakaian kata ganti (dhamir) Allah dengan huwa (ia) yang merupakan kata ganti maskulin dalam tata bahasa Arab, sering dianggap sebagai keberpihakan Allah pada kaum laki-laki. Lebih dari itu, keberpihakan ini juga diikuti sikap menganggap bahwa perempuan lebih rendah dan inferior dari laki-laki.[30]
Sikap seperti itu dapat ditelusuri secara genealogis, yakni bahwa pada awal kemunculannya hampir tidak ada sama sekali perempuan yang menjadi ahli kalam, tetapi hampir semuanya—untuk tidak mengatakan keseluruhannya—adalah laki-laki. Tampak wajar kemudian jika perspektif perempuan atau perspektif netral, yaitu potensi terkuat ilmu ini, tidak diakomodir di dalamnya. Bahkan pada kalam aliran Mu'tazilah yang notabene merupakan aliran (paling) rasional dalam teologi Islam,[31] kecenderungan kalam yang mendiskreditkan perempuan juga tampak. Ini bisa dilihat ketika Mu'tazilah menjelaskan tentang keesaan dan kesucian Allah dengan memberikan ilustrasi bahwa Allah suci dari menyentuh perempuan, mengangkat pembantu dan anak.[32] Dilihat dari sifat teologisnya yang rasional tentu ini merupakan satu hal yang ironis. Tampaknya, dari sisi redaksi, ilustrasi itu dipengaruhi oleh ayat Alquran yang apabila diartikan secara harfiah menyebutkan bahwa salah satu yang membatalkan wudhu (bersuci) adalah menyentuh perempuan.[33]
Padahal, identifikasi Tuhan maskulin, dilihat dari perpektif sejarah, sesungguhnya merupakan usaha dekonstruksi atas sistem ketuhanan agama non-samawi yang berkembang hampir ke seluruh dunia yang menyebutkan bahwa Tuhan berjenis kelamin perempuan. Tuhan perempuan (the mother God) ini di dalam Alquran disebutkan mempunyai anak dengan nama-nama Latta, Manna, dan 'Uzza. Dengan alasan inilah kemudian Alquran melakukan dekonstruksi sistem ketuhanan yang dicitrakan sebagai perempuan dengan menggunakan kata ganti maskulin (dhamir muzakkar).[34] Tetapi, sangat disayangkan ternyata usaha dekonstruktif Alquran tersebut sering tidak dipahami dari perspektif kesejarahan ini, sehingga yang terjadi adalah adanya semacam keterputusan rantai historis ketuhanan baik pada jahiliyyah ke masa awal Islam atau bahkan pada masa awal Islam sampai timbul berbagai aliran kalam.
Menarik kemudian bahwa dalam keilmuan tasawuf gambaran Tuhan yang maskulin ditafsir setara dengan ideal women. Adalah ibn al-Arabi, sufi asal Andalusia yang digelari al-syaikh al-akbar (doctor maximus) dan muhyi al-din (penghidup agama), mengubah pandangan tentang konsep cinta Tuhan (mahabbah Allah) menjadi creative feminine (ideal women) yang kemudian ia kembangkan dalam tasawufnya.
Konsep mahabbah Allah pertama kali dikembangkan oleh sufi perempuan Rabiah al-Adawiyah.[35] Konsep mahabbah merupakan gugatan atas konsep relasi manusia-Tuhan yang sebelumnya cenderung dipahami sebagai relasi pertentangan. Tuhan dipahami sebagai sang superior yang disembah dengan perasaan takut, sementara manusia adalah inferior yang, untuk mendekati-Nya, hanya bisa dilakukan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi ancaman-Nya. Ibadah di sini tak ubahnya upeti untuk menyogok Tuhan agar menjauhkan pelakunya dari ancaman neraka yang selalu menganga lebar. Para pemikir Islam modern seperti Fazlur Rahman dan Toshihiko Izutsu mengungkapkan bahwa konsep Tuhan seperti ini tak ubahnya konsep Tuhan dalam masyarakat pagan Arab yang sesungguhnya digugat Alquran.[36]
Konsep mahabbah Allah sebaliknya menganggap Tuhan layaknya sang kekasih dan ibadah merupakan sarana agar bisa bersatu (kemudian pada Ibn al-Arabi dikembangkan menjadi paham wahdat al-wujud) dengan kekasih itu. Konsep ini tercermin jelas dalam ungkapan Rabiah al-Adawiyah yang sangat terkenal:
O my Lord, if I worship You for fear of Hell, burn me in Hell.
If I worship You from hope of Heaven, exclude me from there.
But if I worship You for Your own sake, do not withhold Your eternal beauty.[37]
Sebagaimana Rabiah, alasan menjadi kekasih Tuhan secara utuh banyak dipegangi para sufi untuk hidup sendiri tanpa pasangan atau selibat. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa selibat dalam tasawuf muncul setelah paham mahabbah Allah ada. Jauh sebelumnya, pada abad pertama, sufi perempuan Hasna al-Abida dari Basra telah pula melakukan selibat. Menurutnya alasannya karena tidak ada seorang pun yang cukup zuhud (detached) dari dunia yang dapat menemaninya menolak kehidupan duniawi.[38]
Memang jika dibandingkan dengan laki-laki, selibat lebih banyak dilakukan perempuan. Tetapi sesungguhnya tidak hanya sufi perempuan saja yang menyetujuinya. Shihab al-Din Suhrawardi di dalam Awarif al-Ma'arif menyebutkan bahwa hidup selibat adalah hidup sufi yang terbaik. Al-Hujwiri memang setuju dengan pernikahan, tetapi baginya pernikahan ideal adalah kondisi dimana suami dan istri tidak merasakan daya tarik seksual satu sama lain. Pernikahan ideal seperti ini bagi Hujwiri tak akan terjadi, sebab menurutnya tidak mungkin untuk menemukan istri yang cocok yang keinginannya tidak berlebihan serta tuntutannya rasional. Pandangan-pandangan para sufi laki-laki ini tampak sekali sangat bias, karena hanya dari sudut pandang mereka semata serta menganggap perempuan tidak lebih dari sebagai yang mengalihkan ketaatan, yaitu mengalihkan yang sacred ke yang profane.[39]
Alasan asketisme dan selibat seperti itu tampaknya juga mirip dengan alasan para sufi perempuan. Tetapi bagi sufi perempuan sesungguhnya ada alasan lain yang lebih dari sekadar menganggap laki-laki sebagai sumber yang melalaikan ketaatan. Alasan tersebut terkait dengan pandangan umum mengenai inferioritas perempuan secara spiritual. Ada istilah yang muncul dalam hal ini, yaitu 'perempuan yang mencapai status laki-laki' bagi perempuan yang salihah. Latihan-latihan asketisme yang keras dan hidup selibat dapat mengakibatkan perempuan mengalami amenorrhea atau berhentinya siklus menstruasi. Dengan menghindarkan diri dari menstruasi maka sebenarnya mereka menghindarkan diri dari tanda kategoris perempuan dalam spiritualitas, karena menstruasi sering dijadikan justifikasi untuk menentukan peranan inferior perempuan dalam pemikiran Islam.[40] Jika kita lihat, alasan ini cocok dengan pendapat Abu Syuqqah yang telah disebutkan di atas bahwa yang dimaksud dalam hadis Nabi dengan 'kurang kadar agama dan intelektualitas' lebih pada kekurangan secara biologis, dan bukan dalam kadar spiritual atau intelektual.
Ibn al-Arabi tidak termasuk kelompok sufi laki-laki di atas yang merendahkan kualitas spiritual dan intelektual perempuan.[41] Sikap sufi asal Andalusia ini barangkali berasal dari kenyataan bahwa sepanjang hidupnya ia selalu berhubungan dengan dan dipengaruhi oleh perempuan yang baginya sangat spiritualis. Setidaknya tercatat lima perempuan yang banyak memengaruhi pandangan Ibn al-Arabi tentang perempuan, yaitu Maryam istrinya sendiri, Nizam 'Ain Shams wa al-Baha' yang banyak menjadi inspirasi puisi sufistiknya, serta tiga guru spiritualnya yaitu Yasamin, Fatimah bint Ibn al-Mutsanna, dan Fakhr al-Nisa' bint Rustam.
Menurut Ibn al-Arabi, sifat Tuhan dapat dibagi menjadi dua, yaitu terkait dengan keindahan-Nya (jamal) dan keagungan-Nya (jalal). Hubungan sifat jamaliyyah dan jalaliyyah mirip dengan hubungan perempuan-laki-laki. Jadi, menurutnya, sejumlah sifat Tuhan adalah feminine, seperti cinta, penyayang, dll. Dan karena sifat Tuhan tersebut esensial bagi wujud-Nya, maka dalam diri Tuhan terdapat sifat feminine. Sifat feminin dan maskulin Tuhan dipandang Ibn al-Arabi untuk menandai 'perempuan' sebagai satu ciri khas Tuhan.[42]
Karena menurut Ibn al-Arabi sifat Tuhan merupakan cermin sifat manusia sempurna (insan kamil), dari sana kemudian perempuan adalah cermin (madzhar) dimana laki-laki dapat berkontemplasi darinya, sebagaimana fungsi Adam juga sebagai cermin kontemplasi Tuhan. Melihat perempuan, dengan demikian, tergantung kepada kreatifitas kita bercermin, yaitu apakah ia sebagai sang pelalai atau sebagai cermin kontemplasi. Syaikh akbar ini ternyata lebih memilih yang belakangan. Satu ungkapannya yang sangat terkenal adalah, "Aku ingin melihat Tuhan pada tubuh perempuan." Dari perempuan, Ibn al-Arabi banyak belajar tentang spiritualitas dan Tuhan.
Dari pembahasan-pembahasan di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan-perbedaan memandang otoritas keilmuan perempuan dalam sejarah keilmuan Islam. Perempuan dalam fikh yang dikenal rigid dan kaku dilihat dengan mendasarkannya pada Alquran yang ditafsir secara tekstual, misalnya tentang persaksian perempuan. Sementara itu, tasawuf yang lebih mementingkan olah rasa atau batin sangat terang banyak memakai takwil dalam melihat Alquran.[43] Dari sini jelas bahwa perbedaan pandangan tersebut dari sisi sejarah didasarkan pada bagaimana memandang Alquran sebagai sumber keilmuan Islam. Dari sudut sejarah pula kita tahu bahwa tesis Ruth Roded yang menyebutkan adanya pasang-surut keilmuan perempuan,[44] tampaknya benar.
Lebih jauh, jika kita memakai teori sejarah Foucault, pasang-surut keilmuan itu terkait dengan satu sistem tertentu yang membentuknya. Dari pembahasan di atas, sistem itu beroperasi melalui klasifikasi laki-laki dan perempuan secara fisik, misalnya ciri fisik haid pada perempuan. Klasifikasi ini disertai pula oleh pandangan bahwa perempuan inferior di depan laki-laki. Inferioritas perempuan ini berusaha disisipkan dalam sejarah agar dipandang sebagai sesuatu yang normal dan alami. Dan kemudian dalam disiplin-disiplin ilmu, pandangan tersebut berusaha dicarikan alat justifikasi. Disiplin-disiplin ilmu yang dijadikan alat justifikasi inilah yang disebut Foucault sebagai rezim pengetahuan atau sang otoritas. Seperti kita lihat, rezim atau otoritas ini bermain sangat halus dan nyaris tak disadari (nirsadar). Alhasil, di satu sisi, sebagai manusia (human female) peran perempuan telah diminimalkan menjadi aksesori semata, dinilai sebatas fisiknya saja. Padahal, di sisi lain, peran ideal perempuan sebenarnya tidak sedikit.
Protestanisme Islam: Menggugat Otoritas Keilmuan
Rezim atau otoritas keilmuan, baik otoritas keilmuan perempuan maupun, terlebih-lebih, laki-laki, seringkali memanfaatkan atau dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tertentu di luar tujuan keilmuan. Di atas, otoritas keilmuan laki-laki telah terbukti menghasilkan satu kondisi dimana perempuan kemudian ditempatkan subordinate di wilayah peripheral. Kritik terhadap rezim atau otoritas keilmuan telah banyak dilancarkan oleh kaum posmodernis semisal Foucault yang menihilisasi segala hal, termasuk nilai unggul atau otoritas keilmuan laki-laki. Bagi posmodernis, tidak ada keunggulan atau otoritas satu keilmuan atas keilmuan lain. Jika ada, maka otoritas ini pasti beroperasi melalui sistem kuasa tertentu. Walhasil, jika nilai tidak ada, yang muncul kemudian adalah kesetaraan, kesejajaran, atau pluralitas.[45]
Lebih dari sekadar alasan posmodernis, gugatan atas otoritas keilmuan dalam sejarah agama tampaknya didasari keinginan agar tidak terjadi pemanfaatan (ilmu) agama untuk kepentingan-kepentingan individu atau golongan tertentu. Kritik semacam ini wajar karena ulama atau intelektual sebagai elite (ilmu) agama memang sering terlibat dalam perilaku destruktif yang kemudian mereka cari pembenarannya dalam (ilmu) agama. Dalam Kristen sejarah menyaksikan bagaimana elite intelektual gereja mengkorup tafsir kitab suci untuk melancarkan serangan atas kaum intelektual (non-gereja) yang dituduh mengembangkan keilmuan bidah dan sekular di luar kehendak Gereja. Kritik datang dari Martin Luther yang menyerukan pembaharuan gereja dan desentralisasi kebenaran ilmu. Revolusi pun pecah dan memuncukan satu friksi agama 'Protestan' yang keluar dari Gereja Roma.
Peristiwa perselingkuhan elite (ilmuwan) agama juga pernah terjadi dalam Islam. Muhammad Abid al-Jabiri mencatat dua peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu pengujian kepercayaan atau inkuisisi (mihnah) yang dilakukan penguasa Bani Abbas pada abad IX dan pengadilan (nakbah) terhadap Ibn Rusyd yang banyak menganjurkan cara-cara berpikir rasional. Pada peristiwa mihnah, elite negara yang didominasi golongan rasionalis Mu'tazilah memaksakan kehendak atas kepercayaan rakyat yang kala itu banyak berkiblat pada Ibn Hanbal. Sementara dalam nakbah pemikir rasional diadili oleh penguasa dan ilmuwan agama yang antifilsafat dan pemikiran rasional.[46]
Pangkal penyebab mihnah atau nakbah di atas sesungguhnya adalah perebutan otoritas terakhir untuk membicarakan masalah-masalah agama.[47] Dalam dua kasus tersebut, golongan pemikiran rasional disingkirkan oleh golongan ulama antirasionalitas. Pada peristiwa yang pertama yang lebih berpengaruh panjang dalam sistem otoritas pemikiran agama, kemenangan ulama dinilai lebih positif dibanding jika penguasa atau khalifah yang memegangnya, karena pemaksaan kekuasaan aparatus tentu lebih potensial jika dipegang khalifah. Kegagalan mihnah juga meniscayakan bahwa tradisi sentral di Islam Sunni tetap menjadi sebuah pola 'multipusat' otoritas keagamaan, tidak terpusat pada satu otoritas keagamaan, karena komunitas intelektual dan orang beriman pada Islam Sunni lebih luas dan menyebar.
Ini berbeda dengan yang terjadi pada Islam Syiah yang menganut sistem yang kurang lebih sama dengan yang ada pada agama Katholik. Pada abad XVIII dan XIX Islam Shi’ah Iran mengalami transformasi doktrin dan organisasi yang tak ada bandingannya dengan yang terjadi di dunia Sunni. Secara lebih khusus, setelah konflik antara mazhab Akhbari dan Ushuli, sebuah konsensus baru lahir di antara para intelektual agama yang berpusat pada kewajiban semua mukmin untuk menaati doktrin tentang marja’ (referensi). Menurut konsep ini, setiap muslim saleh diwajibkan tunduk kepada seorang mujtahid yang berfungsi sebagai marja’ taklidnya, referensi keagamaannya. Beberapa dekade setelah doktrin marja’ disebarluaskan, otoritas keagamaan di Iran Shi’ah mengalami evolusi lebih jauh. Perubahan itu berpusat pada ide bahwa tidak hanya setiap orang awam yang harus memiliki sebuah marja’, tetapi juga harus ada sebuah marja’ tunggal tempat para intelektual Muslim bersandar. Yang paling terhormat adalah seseorang yang disebut sebagai ayat Allah (tanda Allah, ayatullah).[48]
Meskipun secara structural mirip dengan hieraki Gereja Katholik Roma, namun tak dapat disangkal bahwa struktur hierarkis Shi’ah Iran tak sekental dan sehierarkis itu. Seorang intelektual menjadi seorang ayatullah bukan karena dipilih atau diangkat oleh ulama, melainkan melalui sebuah proses intelektual informal dan pengakuan publik.[49] Tetapi belakangan, bersamaan dengan Revolusi Islam Iran yang digerakkan oleh kaum mullah, posisi ayatullah juga memegang kendali sosial-polittik yang bahkan lebih luas dari kepala negara.
Struktur hierarki dan pemusatan otoritas inilah yang kemudian memunculkan kritik terhadap Syiah Iran. Gerakan ini dikenal dengan nama Protestanisme Islam, karena identik dengan kritik pada Gereja yang dilakukan Martin Luther. Di antara para penggerak Protestanisme Islam adalah Jamaluddin al-Afghani, Ali Syariati, dan Hashem Aghajari.[50] Di antara hal pokok yang mereka kemukakan dalam kritiknya adalah bahwa mestinya umat Islam menjadi penafsir Alquran independen bagi dirinya sendiri, dan bukan berpegang saja dari tafsir-tafsir otoritas yang dilakukan oleh ulama. Mengikuti jejak Luther tentang pentingnya umat Kristen mengakses langsung Bibel, mereka berseru agar muslim diberi jaminan sepenuhnya dan sebebas-bebasnya dalam mengakses Alquran, tidak seperti ororitarianisme mullah yang melarang muslim mengakses Alquran melalui metodenya sendiri. Ajakan penafsiran Alquran secara rasional dan independen ini ditujukan untuk mendeligitimasi otoritas tunggal dan hierarkis ulama Syiah. Mereka menghendaki agar muslim Iran diberikan hak yang setara dengan ulama dalam mengakses dan menafsirkan Alquran, karena memang tak ada keistimewaan apalagi status kesakralan di kalangan ulama.
Terlepas dari seberapa jauh pengaruh kritik mereka terhadap cara keberagamaan muslim Iran, gagasan Protestanisme Islam ini menaarik untuk didiskusikan lebih jauh. Minimal, kalau kita membuka-buka kembali Alquran, kita akan mendapati bahwa setiap individu muslim bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Gagasan Protestanisme Islam setidaknya merangsang kita untuk kembali mendiskusikan persoalan ijtihad, tanggung jawab individu (taklif), dan persoalan taklid. Diskusi, siapa takut!!***


Catatan:


[1] Dari kalangan Islam antara lain Fazlur Rahman dan Amina Wadud-Muhsin. Lihat dalam JMS. Baljon, Tafsir Quran Muslim Modern, terj. A. Niamullah Muiz (Jakarta: Pusstaka Firdaus, cet. III 1993).
[2] Michel Foucault, Beyond Structuralism and Hermeneutics, eds. Hubert L. Dreyfus dan Paul Robinow (Chicago: University of Chicago Press, 1983), h. 208-210.
[3] Ratna Megawaangi menyebut faktor ini dengan istilah nurture, yang berbeda dengan nature. Selengkapnya dalam Megawangi, Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender (Bandung: Mizan, 1999), h. 93-102.
[4] Syafa'atun Elmirzana, "Layla dan Zulaykha", dalam Basis, no 07-08, Juli-Agustus 2001
[5] Klasifikasi ilmu agama ini didassarkan dari Masykuri Abdillah, "Ilmu Agama", dalam Taufik Abdullah (ed kepala) EnsiklopediTematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Houve, 2002), h. 231-253. Ilmu fikh daan ilmu qawaidul fikh sebenarnya oleh Abdullah dibedakan, tetaapi dalam tulisan ini digabung atau disamakan, dengan alasan
[6] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Quran, terj. Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: LkiS, cet. II 2002), h. 1-2.
[7] Pergumulan itu sendiri ditandai dua gerak sekaligus, yaitu geraak sentrifugal dan gerak sentripetal. Tentang kedua gerak ini, baca dalam Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 15.
[8] Pengkajian sinkronik dan diakronik dicetuskan pertama kali oleh Bapak Semiotika Ferdinand de Saussure dalam keilmuan bahasa. Sekarang, kajian dalam ilmu-ilmu sosial biasanya dipilah dengan dua jenis pengkajian itu. Lihat bukunya Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989).
[9] Untuk pengertian ulama di sini penulis banyak mengutip dari M Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 2002), terutama h. 684 dan seterusnya.
[10] Bandingkan dengan AF. Chalmers, Apa itu yang Dinamakan Ilmu?, terj. Redaksi Hasta Mitra (Jakarta: Hasta Mitra, 1983).
[11] Salah satu fungsi hadis terhadap Alquran adalah sebagai bayan tafsir, menjelaskan ayat-ayat Alquran.
[12] Misalnya Qs. 2: 163, 269; Qs. 3: 190-191.
[13] John Hendrik-Meuleman (ed), Perempuan Islam dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: INIS, 1993), h. 11; Tentang kecerdasan emosional baca dalam Goleman, Kecerdasan Emosional (1996).
[14] Disebutkan dalam suatu ayat bahwa yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah adalah yang bertawa.
[15] Hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Tentang materi hadis secara keseluruhan baca Nasaruddin Umar dan Amany Lubis, "Hawa sebagai Simbol Ketergantungan: Relasi Gender dalam Kitab Tafsir", dalam Ali Munhanif (ed), Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 37.
[16] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an (Yogyakarta: FKBA, 2001), h. 125.
[17] Berarti 'yang tergantung', yaitu para penyair yang karya-karyanya digantung pada dinding Kabah setelah mengalami seleksi .
[18] Amal, Rekonstruksi, h. 149 dan 158.
[19] Abdillah, "Ilmu Agama", h. 232-235.
[20] Bandingkan dengan Syafiq Hasyim, Hal-hal yang tak Terpikirkan (Bandung: Mizan, …)
[21] Ruth Roded, Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim (Bandung: Mizan, 1999), h. 17.
[22] Ibid, h. 18.
[23] Ibid, h. 11.
[24] 'Tertuduh dusta' berada satu tingkat lebih tinggi dari hadis 'dusta'.
[25] Badriyah Fayuni dan Alai Najib, "Makhluk yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam Hadis", dalam Munhanif, Mutiara Terpendam, h. 53.
[26] Yang pertama misalnya dalam ekspresi persetujuan perkawinan serta harus sepengetahuan orangtua (wali) ketika menikah; ini sangat berbeda dengan laki-laki. Sementara yang kedua dapat dilihat pada, misalnya, bagaimana fikh mengatur kepatuhan istri terhadap suami, seperti istri tidak boleh keluar dari tempat tidurnya tanpa seizin suaminya, demikian juga ketika ia akan berpuasa sunat.
[27] Ilmu hadis sering dibagi menjadi dua, yaitu ilmu dirayah menyangkut materi atau matan dan ilmu riwayah menyangkut transmisi atau periwayatan. Penelitian hadis biasanya juga diklasifikasi menjadi dua cabang ini.
[28] Misalnya ada materi hadis yang menyebutkan bahwa istri wajib melayani suami meski ia sedang berada di punggung onta. Hadis-hadis semacam ini tidak bisa tidak menjadi landasan fikh memutuskan bagaimana istri harus patuh pada suami.
[29] Syafiq Hasyim, "Gambaran Tuhan yang Serba Maskulin: Perspektif Gender Pemikiran Kalam", dalam Munhanif, Mutiara Terpendam, h. 170-171.
[30] Ibid, h. 146-149.
[31] Tentang rasionalitas kalam Mu'tazilah baca dalam Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah (Jakarta: UI Press, 1987).
[32] Selengkapnya dalam Hasyim, “Gambaran Tuhan”, h. 160-161.
[33] Qs. Annisa: 42.
[34] Untuk menelusuri sejarah ketuhanan, ada baiknya membaca buku Karen Amstrong, Sejarah Tuhan (Bandung: Mizan, 2000).
[35] Tentang konsep mahabbah­ Rabiah selengkapnya, baca dalam Adul Mun'im Qandil, Cinta Mistik Rabiah al-Adawiyah: Sebuah Memoar Spiritual, terj. Moh Royhan dan Moh Syofyan Amrullah (Yogyakarta: Mujadalah, 2002).
[36] Rahman, Islam, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1999), h. 2-4; Izutsu, Relasi Tuhan ddan Manusia, terj. Agus Fakhri Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 35.
[37] Dalam Fariduddin Attar, "Tadhkira al-Awliya'", dalam RA. Nicholson (ed), Persian Historical Text, vol I (Leiden: EJ Brill, 1905), h. 73.
[38] Elmirzana, "Layla dan Zulaykha", h. 31.
[39] Ibid, h. 33.
[40] Ibid, h. 32.
[41] Biografi dan pandangan Ibn al-Arabi tentang keilmuan dapat dilihat dalam William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Hermeneutika al-Quran Ibn al-Arabi, terj. Ruslani, dkk (Yogyakarta: Qalam, 2001), h. 1-94.
[42] Elmirzana, "Layla dan Zulaykha", h. 34.
[43] Hermeneutika para sufi, misalnya hermeneutika Ibn al-Arabi, dikenal dengan takwil. Chittick, The Sufy, h. 153-178.
[44] Roded, Kembang Peradaban, h. 119, dst.
[45] I Bambang Sugiharto, Posmodernisme: Tantangan bagi Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, cet VI 2003), h. 23-40.
[46] Selengkapnya baca dalam Muhammad Abid al-Jabiri, Perselingkuhan Politik dan Agama, terj. Zamzam Afandi (Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003).
[47] Robert W. Hefner, "Protestanisme Islam dan Reformasi Protestan: Tanggapan untuk Sukidi", dalam Bentara Kompas, 06 April 2005.
[48] Ibid.
[49] Ibid.
[50] Sukidi, "Pengembaraan Gagasan Protestanisme Islam", dalam Bentara Kompas, 02 April 2005.

==================
* Tulisan ini adalah tugas matakuliah saya waktu ambil S1 dulu. Doain ya saya bisa kuliah lagi....

0 komentar: