BEBERAPA HARI ini Yogyakarta sering diguyur hujan. Hampir setiap hari hujan selalu turun. Dan ketika hujan turun, Yogyakarta menjadi kota yang sangat tidak nyaman, terutama bagi pengendara kendaraan. Beberapa ruas jalan tergenang air, hingga tidak dapat dilewati kendaraan baik motor maupun mobil.
Kalau Anda pernah berkendara lewat Jl. Kusbini di selatan Langensari saat hujan, Anda mesti mencari jalan alternatif lewat gang-gang kecil jika tak mau kendaraan Anda macet. Air menggenang cukup tinggi, hingga sulit dilewati kendaraan.
Hal serupa juga akan Anda temui di Jl. Solo di sebelah timur Hotel Ambarrukmo. Bila hujan, air menggenang tinggi di jalan itu. Dan banjir air tersebut baru akan benar-benar hilang setelah berjam-jam hujan reda. Tak hanya di sana, bahkan di Jl. Timoho, mulai dari Balaikota tempat wali kota berkantor hingga kantor DPRD Kota, bila hujan genangan air juga tinggi. Jalan itu nyaris mati saat hujan turun.
Yang terparah barangkali adalah di Jl. Colombo. Ketika hujan turun, mulai dari pertigaan Colombo sampai depan lapangan sepakbola UNY, genangan air luar biasa tinggi. Kendaraan apa pun tak dapat melewati jalan tersebut. Kendaraan dari Gejayan mungkin masih bisa menghindar dari genangan banjir dengan tidak berbelok ke jalan itu. Tapi dari Colombo sebelah barat yang sudah terlanjur masuk tidak mungkin mengelak. Alternatifnya hanya melewati Jl. Colombo Baru atau gang di sebelah lapangan sepakbola UNY terus keluar sampai Gg. Guru. Dan sebuah pemandangan ironis akan muncul di sana. Di gang itu, ada pungutan dari sekelompok orang untuk jenis kendaraan tertentu yang lewat!
Begitulah suasana Yogyakarta saat turun hujan. Banyak ruas jalan tergenang air dan berkendara menjadi tidak nyaman. Mengapa hal semacam itu bisa terjadi?
Penyebab terjadinya banjir atau genangan air, tidak semata hujan yang lebat. Etika lingkungan bahkan akan membantahnya mentah-mentah. Alam telah cukup bijak mengatur lingkungan hidup untuk selalu aman. Penyebab banjir lebih berupa ada yang salah menyangkut hubungan manusia dengan alam; banjir merupakan fenomena terganggunya alam dan sistem ekologi secara struktural dan sosial.
Meski demikian, mencari akar penyebab banjir tidaklah mudah, mengingat semakin kompleknya persoalan struktur pembangunan dan pola kehidupan sosial. Caranya barangkali melalui penyederhanaan, yaitu memilah faktor fisik dan perlakuan teknik terkait dengan bentang lahan. Di sini, perilaku pembangunan dan perilaku masyarakat sebagai penentu utama kejadian banjir merupakan bagian penting dalam pencarian penyebab banjir.
Kebijakan pembangunan adalah faktor penyebab penting terjadinya banjir. Peraturan pemukiman, penebangan pohon di areal sensitif bencana, perizinan pendirian bangunan, pembangunan perkantoran, perluasan kota, sangat berpengaruh terhadap keamanan lingkungan. Untuk menghindari terganggunya ekosistem, pembangunan mesti mematuhi studi analisis dampak lingkungan (Amdal).
Kenyataannya di Yogyakarta studi Amdal tampaknya kurang dihiraukan. Kita masih ingat bagaimana UGM membangun gedung di tepi Jl. Kaliurang tanpa Amdal. Pembangunan beberapa mall dan pusat perbelanjaan yang marak akhir-akhir ini juga tidak disertai studi Amdal sebelumnya. Lingkungan sepertinya sudah benar-benar diacuhkan demi mengejar investor dan pendapatan daerah.
Ketidakramahan terhadap lingkungan dalam pembangunan gedung-gedung besar tersebut antara lain akan menghilangkan pusat resapan air, padahal itu sangat berguna untuk menyerap air bila hujan turun. Sebagai misal, pengembangan kampus UIN Sunan Kalijaga yang membabat beberapa pepohonan di lembah Adab dekat pertigaan Jl. Solo-Jl. Timoho. Lembah Adab dan pepohonan di situ merupakan tanah lapang yang ada di wilayah itu yang berfungsi sebagai pusat resapan air. Ketika pepohonan itu ditebang dan diganti dengan “tanaman” gedung, fungsi resapan air pun hilang.
Pusat resapan air juga banyak hilang dalam pendirian rumah pemukiman. Di banyak tempat di Yogyakarta rumah-rumah saling berdempetan satu sama lain. Kita bisa melihat misalnya di daerah Karangmalang atau Sapen. Nyaris tak ada tanah kosong di situ. Kalaupun ada bisa dipastikan akan dibangun tempat pemondokan atau kos mahasiswa. Rumah pun berimpitan dan tak ada jarak lagi dengan jalan yang diaspal atau dikonblok. Sangat sulit, untuk bilang mustahil, menemukan rumah dengan halaman di sana.
Mungkin masih ada harapan air hujan akan mengalir melalui selokan-selokan, yang sekarang banyak digali kembali, untuk seterusnya menuju Selokan Mataram, Kali Gajah Wong, dan Kali Code. Tapi di saluran-saluran air itu ternyata banyak ditemukan sampah. Masyarakat kita rupanya masih hobi membuang sampah ke selokan dan sungai. Akibatnya, sungai dan selokan mengalami pendangkalan. Alih-alih menampung air hujan, air di selokan dan sungai meluap bila hujan tiba. Kalaupun bisa mengalir, akan sangat lambat dan bercampur sampah. Persis sama dengan Ciliwung yang digambarkan Hamsad Rangkuti dalam cerpen “Sampah Bulan Desember”-nya.
Itulah Yogyakarta sekarang. Tanpa sikap penghargaan kita pada lingkungan dan adanya usaha perbaikan serta rancangan planologi yang memuat sistem pengendalian banjir, entah apa jadinya Yogyakarta sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Sangat mungkin Yogyakarta menjadi kota terapung (atau tenggelam!) saat hujan turun. Setidaknya, generasi baru masyarakat Yogyakarta nanti itu tak lagi mengenal apa yang dinamakan halaman rumah.[]
=================* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas, hari dan tanggalnya saya lupa. Terus terang tulisan ini wujud kecintaan saya pada kota itu. Hmm, kapan ya saya bisa ke sana lagi.
0 komentar:
Posting Komentar