Menikmati Ramadan di Jawa

Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar
Penulis : André Möller
Penerbit : Nalar, Jakarta
Cetakan : 2006
Tebal : xi + 309 halaman (termasuk indeks)

“…Pusat kenyataan agama terdapat dalam pengalaman [orang] yang beragama, dan […] para peneliti harus berpartisipasi dalam pengalaman tersebut.”
—Charles J. Adams
BUKU TENTANG puasa Ramadan telah banyak ditulis. Biasanya, buku-buku tersebut membahas seputar puasa Ramadan secara doktrinal. Dalil tentang puasa Ramadan dikupas, hukum puasa Ramadan dijabarkan, amalan yang sebaiknya dikerjakan pada Ramadan diterangkan.
Buku Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar karangan André Möller ini tidak demikian. Meskipun dalam bab tiga Moller membahas Ramadan dalam Alquran, Sunnah, dan syariat Islam, fokus buku ini tidak ke sana. Doktrin Ramadan tersebut digunakan Möller untuk melihat bagaimana aktualisasi Ramadan di Indonesia, khususnya Jawa.
André Möller adalah doktor dalam bidang politik dan antropologi kelahiran Swedia. Ketertarikannya meneliti Ramadan di Jawa bermula ketika menuntut ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta. Saat Ramadan, Möller terkagum-kagum pada umat Islam yang begitu menikmati “penindasan tahunan” itu. Möller menulis, “Kesan saya, umat Islam di Jawa betul-betul menikmati bulan ini” (hlm. 185).
Karena kesan itulah, Möller, dalam bahasa Charles J. Adams, ingin berpartisipasi dalam pengalaman menikmati Ramadan. Mengikuti Tord Olsson, Möller memaknai metode antropologi “observasi melalui partisipasi” (participant observation) yang dipakainya dengan “pengalaman dalam praktik”. Dari sini, anak judul buku “Pandangan dari Luar” tidak sepenuhnya demikian. Yang dikaji Möller pada dasarnya adalah pengalaman orang Jawa menikmati Ramadan, di mana dia terlibat di dalamnya, bukan pandangan murni “dari luar”.
Menurut Möller, Ramadan di Jawa adalah suatu fenomena yang tak ada bandingannya dengan Ramadan di belahan dunia mana pun. Keistimewaan itu terletak pada kompleksitas Ramadan, yaitu banyaknya subritual yang menyertainya. Möller menyebut (sub)-ritual-ritual itu dengan “Ramadanic ritual complex” (kompleksitas ritual Ramadan), yang secara keseluruhan tidak hanya sebulan (Ramadan), melainkan berlangsung kurang-lebih tiga bulan.
“Ramadanic ritual complex” dimulai sejak Ruwah atau Sya’ban. Di bulan ini umat Islam bersiap-siap menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Berbagai ritual seperti mengirim dunga, nyekar, padusan, slametan, saling kirim makanan, nisfu sya’ban, diadakan.
Masuk bulan Ramadan, kemeriahan semakin tampak. Masjid dan surau penuh oleh jemaah mengadakan salat tarawih bersama, tadarusan, buka bersama atau takjil, dan jaburan. Di buku ini Möller bahkan menceritakan bagaimana ia dengan sukacita ikut menyiapkan makanan untuk takjil. Selain itu, di bulan ini televisi-televisi ikut “berpuasa” dan koran-koran dipenuhi artikel-artikel tentang Ramadan. Ramadan dalam media dibahas dalam satu bab tersendiri oleh Möller.
Di akhir Ramadan umat Islam berbondong-bondong mudik untuk berlebaran di kampong halaman. Dan tibalah saat Lebaran atau Syawal yang menggembirakan. Umat Islam bertakbir keliling, melakukan salat id di lapangan, saling memaafkan, dan bagi anak-anak ada salam tempel.
Bagi kita (“orang dalam”) berbagai hal itu mungkin biasa. Namun, di dalam buku ini kita akan dibuat terpikat dengan analisis perbandingannya dengan belahan dunia Islam lain. Hasilnya, menurut Möller, “Ramadanic ritual complex” tersebut adalah khas Jawa dan tidak terdapat di negeri berpenduduk muslim lain. Pertanyaannya, bisakah “Ramadanic ritual complex” tersebut dipandang sebagai islami?
Banyak peneliti Barat meyakini bahwa ritual-ritual semacam slametan adalah ritual peninggalan Hindu-Buddha atau malah animisme. Pandangan ini banyak dipicu oleh karya terkenal antropolog Amerika Clifford Geertz The Religion of Java (1960). Dalam pandangan Geertzian, Islam menempati posisi marginal dalam masyarakat Jawa. Selebihnya, Islam Jawa adalah Islam sinkretis dan tidak murni.
Buku Möller ini berupaya membantah pandangan tersebut. Meski bukan yang pertama membuktikan bahwa tesis Geertz tidak relevan lagi, argumen yang dikemukakan Möller bisa disebut baru. Menurut Möller, umat Islam di Jawa lebih memperhatikan ortopraksi ketimbang ortodoksi. Artinya, agama bagi umat Islam di Jawa dipandang berdasarkan ritus-ritus atau laku yang dilaksanakan.
Dalam tulisannya yang lain (2004), Möller mengutip intelektual Tariq Ramadan yang mengatakan bahwa Islam murni yang satu diaktualisasikan oleh beragam warna lokal, yang kesemuanya sah untuk disebut islami. Walau kental nuansa lokal Jawa atau Indonesia, intisari “Ramadanic ritual complex” menurut Möller adalah Islam; ritus-ritus di dalamnya adalah aktualisasi dari Islam murni.
Sangat disayangkan di beberapa tempat keunggulan buku ini dicederai simpulan yang terkesan terburu-buru. Kategorisasi modernis-tradisionalis yang dilekatkan pada dua ormas Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, misalnya, tidak hilang dalam buku ini. Meski demikian, secara keseluruhan buku ini menarik untuk dibaca saat mudik atau menanti bedug berbuka tiba.[]
=================
* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia pada Ramadan tiga tahun lalu. Ramadan, hmm, jadi rindu suasananya.

0 komentar: