“BAPAK, EMAK….”
Zubaidah berlari lintang-pukang menuju rumah. Di tangannya ember kecil berisi sabun terguncang-guncang, nyaris menumpahkan isinya. Kain basahan melilit tubuh gadis kecil sepuluh tahun itu. Kain itu tak basah, pertanda pemakainya belum sempat mencebur mandi di sungai.
“Bapak, Emak, ikan di keramba banyak mati!” tumpah jua apa yang membuat gadis itu berlari bak dikejar setan.
Sakib hampir terjengkang mendengarnya. Tapi ia cepat menguasai diri. Dicampakkannya rambut istrinya yang duduk di anak tangga di depannya. Seperti biasa, sembari mengeringkan keringat sehabis bekerja setengah harian di kebun dan menunggu Zubaidah yang sedang mandi, istrinya minta dicarikan kutu.
“Beberapa malam ini kepalaku gatal, Bang,” kata istrinya meminta. Maka seperti biasa, Sakib dengan senang hati memenuhinya. Istrinya duduk di anak tangga yang menghubungkan dengan pelasa, sementara Sakib duduk di lantai. Pelan ia mulai meriap rambut, menyusuri jalan kutu, menemukannya bersembunyi di sudut kepala, dan kemudian menangkap serta mencetusnya dengan gigi. Dengan begitu, Sakib merasa sedikit puas, sebab telah membalas sakit istrinya akibat digigit kutu.
Sakib telah mendapat lima kutu, sebelum kemudian dikejutkan oleh teriakan Zubaidah yang menyeru ikan di keramba mati.
“Apa kau bilang, ikan patin kita mati!?” cepat Sakib melompat dari pelasa, tak perlu menuruni anak tangga, dan kemudian menangkap kedua bahu putrinya, mengguncang-guncangnya sebagai usaha minta diyakinkan bahwa yang ia dengar tak salah.
“Iya, Pak. Ikan-ikan itu terapung, menampakkan kulit dadanya yang putih….”
Belum lagi selesai Zubaidah berucap dengan napas yang terengah-engah, Sakib sudah berlari ke pinggir sungai. Tak kalah gesit, istrinya segera menggelung rambut dan menyambar handuk yang menyangkut di pagar pelasa lalu berlari mengikuti sang suami. Zubaidah segera menyusul di belakang.
Sesampai di pinggir sungai, Sakib terlonjak. Segera ia turun ke jamban terbuat dari kayu-kayu gelondongan yang disusun menyerupai rakit. Di sebelah hilir jamban, terdapat keramba. Ikan-ikan patin setengah siap jual, terapung. Puluhan, bahkan mungkin ratusan. Tubuh ikan itu terlihat putih, terjungkang menampakkan dadanya. Sakib membuka pintu keramba, mengambilnya satu. Ia periksa ikan itu, dan segera berkesimpulan, “Pukimak, ikan ini kena racun!”
Sakib segera berbalik. Ia menatap ke tengah sungai. Air Batanghari mengalir dari hulu ke hilir. Ia menengok lebih awas, dan disadarinya air sungai itu menghitam keruh terlalu. Seketika wajahnya memerah.
“Emak, ambil pengayuh cepat, orang-orang itu berulah lagi!” teriaknya memerintah istrinya.
“Di mana kau lepak pengayuh?” balas sang istri.
“Di padu, dekat betung tempoyak!”
Istrinya segera kembali ke rumah. Zubaidah tiba dan ikut turun. Dan dengan lagak tahu yang terjadi ia memerhatikan ikan di tangan ayahnya sambil menggumam, “Iya, ini diracun. Kasihan.”
***
SAKIB MENYUSURI sungai dengan perahu jukung. Ia mengayuh cepat, dengan tergesa. Jukung itu melesat, meski ia menyusung arus, tak sedikit pun oleng oleh gerak pengayuhnya yang berderak-derak teratur.
Kemarau Agustus mengeringkan air Batanghari. Hampir separuh airnya menghilang. Lebar sungai pun kini berkurang. Di pinggir, pasir-pasir membentuk lereng, turun hingga mencapai air di tengah. Tapi panas kemarau tak ia hiraukan. Meski tak memakai baju, Sakib bersemangat mengayuh, menyusuri pasir sungai di pinggir.
“Pantek nian!” Sakib mengumpat, “Mereka melanggar perjanjian.”
Dulu Sakib pernah memperingatkan pada orang-orang hulu agar tak berbuat yang merusak alam. Orang-orang hulu itu awalnya berprofesi sampingan sebagai nelayan juga, seperti dirinya. Bedanya, kalau Sakib menjadi nelayan keramba, menebar benih ikan dan membesarkannya, mereka adalah nelayan penangkap. Saat menangkap, mereka tak segan memakai cara tak beradab. Dulu, mereka menangkap ikan dengan nuba. Akar tanaman tuba, yang menyerupai umbi, ditumbuk halus dan ditebar di sungai. Setengah jam kemudian, ikan-ikan baik kecil maupun besar akan mabuk atau mati dan terapung di air. Mereka tinggal mengambili saja dengan sauk atau mencetusnya dengan parang.
Mereka juga sering menangkap ikan dengan setrum. Memakai aki atau mesin generator kecil, mereka menyetrum air agar ikan-ikan mati lemas, dan mereka tinggal mengambili saja.
Baik cara nuba atau menyetrum, amat merugikan terutama bagi yang tinggal di sebelah hilir. Satu-dua ikan milik Sakib di keramba mati dalam sehari, dan ia curiga dengan air Batanghari yang berubah maung. Maka ia ke hulu dan mendapati perahu-perahu tengah nuba. Ia ingatkan agar jangan memakai cara itu lagi. Beruntung mereka diam dan patuh, padahal Sakib sudah siap memberi pelajaran bila mereka melawan. Siapa yang berani dengan Sakib yang jago silek kuntau itu?
Berbulan-bulan kemudian ia tak melihat air sungai bertambah maung, melainkan bau itu berkurang. Tapi kemudian ketika kemarau mulai datang, ia melihat air sungai yang bertambah keruh. Sakib menciduk air dengan tempurung dan mencicipnya. Tak berasa apa-apa selain pasir. Itu rasa Batanghari di musim kemarau, batin Sakib. Kemarau kali ini sungguh keterlaluan, tambahnya.
Tapi para tetangganya yang ke hulu bilang bahwa orang-orang hulu mendulang emas. Mendulang? Mereka mengambil pasir di dekat kelokan sungai, mengayaknya dengan kuali yang berbentuk kerucut, dan menemukan bijih emas di sudut. Ketika pasir telah habis diayak, mereka menggerus tebing di pinggir sungai untuk mendapat pasir. Pasir itulah yang kini banyak hanyut dibawa arus ke hilir. Air sungai menghitam memang, tapi tetap tak berakibat apa-apa bagi ikan-ikan, kecuali dasar sungai yang semakin mendangkal oleh pasir yang hanyut.
Dan kini Sakib telah hampir tiba di kelokan sungai itu. Dia mendengar suara menderu-deru. Suara apakah? Alangkah terkejutnya Sakib menyaksikan mesin donfeng tersusun di atas rakit bambu, berjajar memenuhi separuh lebih lebar air sungai. Mesin itu menyedot pasir dari dasar sungai. Pasir kemudian ditampung dalam pengayak raksasa. Dan guna membedakan butir pasir dengan bijih emas, mereka mencampur sesuatu di ayakan itu. Dan dari pasir yang dikeluarkan ayakan itu, yang jatuh ke air, Sakib melihat air yang berubah menghitam.
Sakib melompat dari jukung ke rakit bambu. Salah seorang yang mengoperasikan donfeng berhenti dan menghampiri. “Hoi Sakib,” sapanya.
Sakib telah siap dengan kuda-kuda.
***
KEJADIAN ITU tak sampai berujung pada perkelahian. Sakib memang meradang. Tapi dia juga mesti berhitung dengan keadaan yang tak berimbang. Sakib sempat hendak meninju lelaki itu, sebelum kemudian sepuluhan lelaki donfeng lainnya melerainya. Penuh murka Sakib meninggalkan mereka, sambil berucap, “Aku akan membuat perhitungan, sampai kalian menghentikan ini.”
Kata-kata itu disambut tawa terbahak mereka.
Dan kebencian itu semakin menggumpal di dada Sakib. Ia marah sebab sungainya kini rusak oleh donfeng-donfeng sialan itu. Maka kini kau tak akan lagi bisa mencicip air Batanghari. Wibawa orang Jambi kini telah boyak. Kau tak pernah dengar lagi orang bilang, “Seteguk kau minum air Batanghari, seumur hidup kau tak akan lupa dengan Jambi.” Pepatah itu kini raib, sebab tak ada air Batanghari yang bisa diminum. Airnya telah bercampur racun. Dan kini, orang bilang, “Bila meminumnya, seumur hidup kau tak lupa sebab dendam meminum racunnya.”
Marah itu semakin menggumpal-gumpal dalam hatinya, ketika Sakib tahu biang keladi semua itu. Tadi pagi dia pergi ke pekan berniat menjual para. Diboncengnya tiga keping para dengan sepeda unto-nya. Dan setiba di pekan, dia melihat orang yang hendak ia tinju di lanting beberapa waktu lalu. Sakib masih ingat betul wajah bopeng itu, dengan tahi lalat tumbuh besar di pipi tepat di bawah mata. Tak salah lagi. Orang itu memandang sinis pada Sakib yang hendak masuk ke gudang di tengah pekan itu. Lalu samar Sakib mendengar orang itu berbisik ke toke, “Ini orang yang hendak mengganggu proyek kita.”
Wajah pongah toke lekat memandangnya. Dan Sakib urung masuk ke gudang, melainkan lekas beranjak pulang.
Dari ujung jalan kampung, berjarak 300 meter dari rumahnya, Zubaidah sudah berseru-seru di jalan menyambutnya. Di tangannya segenggam buah keramunting yang ia cari semenjak pulang sekolah tadi. “Ayah tiba, ayah tiba…” ia berteriak-teriak, membayangkan jajan untuknya dari hasil menjual para. Tapi alangkah kecewanya dia saat tak dijumpainya sangkek asoi di setang Sakib. Dan lebih terkejut lagi saat melihat para yang masih ada.
Istri Sakib tak kalah terkejutnya. “Mengapa tak jadi kau jual para itu?” ia bertanya dari pelasa.
“Gudang toke tutup,” Sakib menjawab sekenanya.
“Ai, tumben nian tutup,” sahut istrinya. Dia heran tak biasanya gudang para itu tutup. Tapi bukankah akhir-akhir ini banyak hal aneh terjadi? Para yang menghilang getahnya seiring banyak petani para berpindah kerja ke hutan mencari kayu dengan chainsaw. Sepanjang Batanghari pula, banyak balok-balok kayu itu dilabuh menuju sawmill-sawmill di hilir. Tak banyak yang bertahan menyadap para seperti suaminya. Memang harga para sedang jatuh. Dan harapan pun ditumpukan pada kemarau yang kelewat panjang. Panas kemarau akan memeras getah para lebih cepat. Tapi ternyata tak banyak juga getah yang didapat. Batang-batang para itu sepertinya telah kering, tak bergetah lagi. Beruntung mereka punya keramba. Meski tak bisa diandalkan, keramba bisa jadi penutup menghilangnya getah para. Setidaknya, mereka tak akan mengeluarkan uang untuk membeli ikan bila musim durian tiba. Cukuplah ikan keramba itu menemani tempoyak buat dimasak gulai.
Tapi kini tutup pula gudang toke itu. Apa para sudah tidak laku lagi? Harganya yang turun saja terasa aneh, apalagi saat itu para sedang langka. Dan kini sudah tidak berharga lagi sebab gudang toke tutup. Ah, mungkin ikan-ikan pun tidak lama lagi juga tak ada harganya. Ai, hidup kok susah nian kini, ia mengeluh. Dan … kenapa pula kini cidakaing sering berbunyi? Bunyinya malam-malam seolah menyeru-nyeru mereka. Ini zaman paceklik. Ah, apa mereka akan mati di musim susah ini?
***
MALAM BELUM begitu larut, menyisakan kegelapan di rumah panggung milik Sakib. Sedari tadi dinamo listrik di rumah Haji Midin sudah tak menyala. Akhir-akhir ini, dinamo lebih awal dimatikan. “Solar mahal,” kata Haji Midin kepada para penyambung listrik dari rumahnya, termasuk juga Sakib. Beruntung, Haji Midin tak mengalihfungsikan donfeng pemutar dinamo miliknya buat menambang emas.
Seperti beberapa malam sebelumnya, malam itu cidakaing bersiul lagi. Bunyinya melewati batang para, batang rambutan, lapangan, musalla, semak-semak. Bunyi itu menyambangi rumah-rumah, menyampaikan kabar. Dan penduduk yang mendengar sudah mafhum dengan berita yang dibawa. Biasanya, bila bunyi itu dekat dengan rumah penduduk, satu-dua orang lelaki akan keluar, melempar burung itu dengan batu. Berharap dengan begitu kabar yang dibawa tak akan sampai, bala yang dijanji tak bakal jadi. Tapi aneh, burung itu hanya akan berhenti sebentar, bila tidak terbang menjauh. Namun tidak lama kemudian suaranya kembali bergema. Kali ini berat dan serak, seperti tersesat dari ujung yang jauh.
Di atas dipan, istri Sakib tak dapat menahan takut. Ia peluk Zubaidah dengan erat. Sementara Sakib mendongak ke atas, menatap kelambu. Entah dari mana datangnya, semenjak siang tadi kepalanya telah sarat oleh rencana. Rencana yang ingin ia tuntaskan malam ini juga.
“Bang,” terdengar istrinya memanggil. “Aku sering takut belakangan ini.”
Sakib menghela napas berat. Belum juga tidur orang ini, batinnya. “Sudahlah, apa yang kau takutkan?” katanya kemudian.
“Suara itu, Bang, cidakaing, ia seperti menyeru-nyeru kita….”
Sakib diam. Harus jujur bahwa dia juga merasa aneh dengan bunyi cidakaing yang tak berhenti-henti itu. Andai saja isyarat itu tak ada sejak malam-malam lalu, mungkin dia sudah meninju pendulang emas itu. Bunyi itu juga yang membuat hatinya mendua, antara melaksanakan niatan itu atau mengurungkannya. Sepulang dari pekan, diam-diam Sakib membawa belati dan batu asahan ke padang para. Di sana ia mengasahnya, berharap istri dan anaknya tak akan tahu rencananya. Tapi bunyi cidakaing itu, kenapa kini membuat hatinya surut hingga mendua. Ah, aku harus kuat, kata hatinya.
Sakib sudah hafal betul gudang milik toke para di pekan itu. Telah bertahun-tahun Sakib menjual keping para ke sana. Dia juga hafal bahwa di belakang gudang itulah sang toke tinggal. Ada penjagaan di sana. Titik-titik awas itu begitu sempurna diingat Sakib. Dan satu lagi: kebiasaan toke yang tak hilang sejak bertahun-tahun yang lewat. Tengah malam ia akan keluar lewat pintu gudang, berjalan menuju balik rumah tingkat dekat tanggaraja. Di sana ia akan bergabung dengan teman-temannya minum tuak dan main judi, kalau tidak membawa perempuan pasar ke penginapan murah di ujung pekan.
Dan Sakib akan menunggu di jalan masuk gudang itu. Dia bisa bersembunyi dari balik los yang tutup dan gelap. Dia akan menunggu, hingga toke itu lewat di sana dan dia akan menikamnya dengan belati yang ia asah siang tadi.
Rencana itu sudah terpacak kuat dalam benaknya. Ia hanya menunggu istrinya lelap, hingga tak akan pernah tahu bahwa bila esok pekan gempar oleh penemuan mayat toke, dialah sesungguhnya yang menghabisinya. Dia hanya menunggu itu, menunggu bahwa ketakutan istrinya tak beralasan, dan bunyi cidakaing itu adalah kabar dari jauh, yang bakal datang dari pekan.
Tapi bagaimana bila itu aku, bisik hatinya. Sakib mengusap tengkuknya yang tiba-tiba basah.
“Kau tak perlu takut. Abang ada bersamamu.”
Suara itu nyaris tak terdengar, dan yakin istrinya tak menangkapnya. Ajaib, tiba-tiba ia bisa tertidur, barangkali sebab Sakib yang terlalu lama terdiam.
Ini pertanda, bisik Sakib, bahwa rencana itu diberi restu. Pelan ia bangkit, menatap Zubaidah dan emaknya yang berpelukan. Ia angsurkan selimut yang tersingkap. Perlahan ia membuka kelambu dan keluar menuju betung tempoyak di padu. Di betung yang kosong, ia mengambil belati itu, lalu pelan menuju pintu, turun dari pelasa, dan menyambar sepeda unto yang terpacak di halaman. Di balik semak dan pohon keramunting bayangannya meriap. Tubuhnya raib ditelan gelap.
Esoknya, Zubaidah dan emaknya terjaga tanpa Sakib di dekat mereka.
Jambi-Yogya, 2006
===============
Catatan:
Pelasa: emper rumah panggung di Jambi
Lepak, melepak: menaruh
Betung tempoyak: ruas bambu tempat menyimpan tempoyak
Jukung: perahu kecil
Pantek: kata umpatan
Pukimak: kata umpatan
Nuba: meracun ikan dengan racun tradisional dari akar tanaman tuba.
Aki: baterei basah
Maung: bau tidak enak
Silek kuntau: beladiri silat harimau
Donfeng: merk mesin buatan China , biasa digunakan untuk menambang emas
Sepeda unto: sepeda kumbang
Lanting: perangkat lengkap untuk menambang, terdiri dari donfeng dan rakit
Toke atau tokeh: juragan
Sangkek asoi: tas plastik
Chainsaw: gergaji mesin
Sawmill: pabrik kayu
Para atau parah: karet
Cidakaing: jenis burung; bila berbunyi, dipercaya akan ada yang meninggal
Tanggaraja: pelabuhan
Pekan: pasar, disebut demikian sebab pasar hanya ada sekali dalam seminggu atau sepekan
=================
* Cerpen ini menempati julangan ketiga Lomba Menulis Cerpen Pemuda tingkat Nasional 2006, diadakan oleh Creative Writing Institute (CWI) Jakarta dan Kementerian Pemuda dan Olahraga RI. Cerpen ini, beserta cerpen lainnya, dibukukan dalam Loktong (Jakarta: CWI & Kemenpora, 2007).
0 komentar:
Posting Komentar