Alquran


BAGI UMAT Islam, Alquran adalah kitab suci yang berasal dari ucapan Allah (kalam Allah, verbum Dei) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan Jibril as. selama lebih kurang dua puluh tiga tahun.[1] Menurut William Montgomery Watt, Alquran termasuk salah satu dari sejumlah kecil kitab yang memiliki pengaruh luas dan dalam terhadap faktor kejiwaan manusia. Kitab tersebut merupakan dasar keyakinan agama, ibadat dan hukum; merupakan pedoman berperilaku secara sosial dan pribadi; merupakan dasar pembentuk peradaban Islam.[2]
Secara etimologis, terdapat beberapa teori pembentukan nama kitab suci umat Islam tersebut. Yang paling populer berasal dari kata kerja (fi’il) qara’a, “membaca”, yang berarti “bacaan” atau “yang dibaca” (maqru’).[3] Dalam manuskrip Alquran awal, kata tersebut ditulis tanpa menggunakan hamzah, sehingga menyebabkan beberapa kalangan memandang kata itu berasal dari kata qarana, yang berarti “menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain” (qarana al-syai’ bi al-syai’).[4] Ada juga yang berpendapat berasal dari qara’in, “saling berpasangan”, karena ayat-ayatnya satu sama lain saling menyerupai.[5] Dua pendapat terakhir, oleh al-Qattan, diragukan keabsahannya, dan ia sendiri berpegang pada pendapat yang pertama.[6]
Dalam tradisi Barat, pendapat orientalis Jerman Friedrich Schwally yang mengatakan bahwa kata qur’an dalam bahasa Arab merupakan derivasi (isytiqaq) dari kata dalam bahasa Syiria/Ibrani qeryana atau qiryani yang berarti juga “bacaan” atau “yang dibaca” yang sering digunakan dalam liturgi Kristen,[7] banyak dipegang oleh para pengkaji Alquran yang lebih belakangan, termasuk Gibb dan Watt. Bahkan menurut Watt, tujuan Alquran yang berbahasa Arab adalah memberikan sejumlah pelajaran kepada penduduk Arab yang sebanding dengan kitab yang dimiliki penganut Kristen atau Yahudi.[8]
Terlepas dari perdebatan etimologis di atas, Abu Zaid berpendapat bahwa makna sentral Alquran dapat dilihat dengan melakukan analisis terhadap kata wahyu yang merupakan salah satu nama lain kitab suci tersebut.[9] Meskipun bukan nama diri (proper name) seperti halnya nama al-Kitab dan al-Qur’an, namun kata wahyu, demikian Abu Zaid, mempunyai acuan yang meluas, meliputi semua nama-nama yang dilekatkan untuk kitab suci tersebut sebagai konsep yang bermakna dalam kebudayaan, baik sebelum maupun sesudah terbentuknya teks.[10]
Dengan mengacu pada pengertian wahyu dalam kamus Lisan al-Arab yang mencakup ilham, isyarat, tulisan, risalah dan ujaran,[11] Abu Zaid berpendapat bahwa:
Makna sentral wahyu adalah “pemberian informasi” secara rahasia. Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi—pesan—secara samar dan rahasia. Oleh karena “pemberian informasi” dalam proses komunikasi dapat berlangsung apabila melalui kode tertentu maka dapat dipastikan bahwa konsep kode melekat (inherent) di dalam konsep wahyu, dan kode yang dipergunakan dalam proses komunikasi tersebut pastilah kode bersama antara pengirim dan penerima, dua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi/wahyu tersebut.[12]
Sebagai suatu proses komunikasi, Alquran tentu tidak dapat melepaskan diri dari beberapa prasyarat dalam teori komunikasi, agar informasi yang dibawanya sampai pada tujuan pewahyuan itu sendiri. Beberapa prasyarat itu, mengacu pada Roman Jakobson, dan tampak dalam ungkapan Abu Zaid di atas, adalah adanya pengirim (addresser), penerima (adresse), pesan (message), konteks (context), kontak (contact), dan kode (code).[13] Menurut John Fiske dalam Introduction to Communication Studies, prasyarat-prasyarat yang diajukan Jakobson tersebut bekerja seperti berikut:
Pengirim menyampaikan pesan pada penerima. Pengirim menyadari bahwa pesannya pasti terkait dengan hal-hal di luar pesan itu sendiri. Inilah yang dinamakan konteks, yang menempati titik ketiga dalam sebuah segitiga, dimana dua titik lainnya adalah pengirim dan penerima… Ia kemudian menambahkan dua faktor lain: yang pertama adalah kontak, yaitu channel fisik dan hubungan psikologis antara pengirim dan penerima; dan kedua, yang merupakan faktor terakhir, adalah kode, yakni sistem makna yang menyertai proses strukturasi pesan.[14]

Konteks
Pesan
Pengirim Penerima
Kontak
Kode
Skema 2: Teori Komunikasi Roman Jakobson
Hubungan faktor-faktor komunikasi Jakobson beserta proses yang menyertainya, digambarkan dalam skema berikut:[15]





Dari sini kemudian, jika Alquran dianggap sebagai suatu informasi yang dikomunikasikan, maka prasyarat-prasyarat itu menjadi: Allah sebagai pengirim; Muhammad penerima; Alquran atau unit wahyu adalah pesan; bahasa Arab sebagai kode wahyu. Semuanya berproses karena adanya kontak antara Allah dan Muhammad dalam situasi atau konteks tertentu. Sehingga:




Situasi komunikasi yang terjadi dalam konteks wahyu, menurut Abu Zaid, tidaklah sesederhana seperti digambarkan skema di atas. Tetapi sebaliknya, terdapat kompleksitas yang berbeda dari proses komunikasi biasa.[16] Pertama, ini disebabkan karena tingkat eksistensi dua pilar utama komunikasi wahyu, yaitu Allah dan Muhammad yang merupakan manusia, tidaklah sama. Karena itu kemudian, kedua, dalam salah satu bentuknya, komunikasi wahyu melibatkan pihak ketiga sebagai perantara yang bertugas membawa unit wahyu dari Allah untuk disampaikan kepada Muhammad.[17] Ketiga, Muhammad juga bukan tujuan utama wahyu, melainkan tujuannya adalah manusia seluruhnya.[18] Posisi Muhammad di sini mirip dengan posisi perantara sebelumnya (Jibril), yaitu sebagai penyampai wahyu ilahi, meski tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai manusia biasa Muhammad juga menjadi obyek wahyu. Keempat, unit wahyu merupakan pesan final yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) manusia menghadapi problematika kesejarahannya. Di sini wahyu ditantang untuk bisa operasional dalam medan dan zaman yang terus berganti. Paska Alquran, tidak ada lagi unit wahyu sejenis yang diturunkan. Jadi Alquran menjadi apa yang diistilahkan Arkoun sebagai “penanda terakhir” (le signifie dernier) yang konsepnya bisa berubah sesuai konteks zaman dan tempat.[19]
Terkait dengan tingkat eksistensi dua komunikan yang tidak sama, Abu Zaid berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru dalam masyarakat Arab kala itu. Menurutnya, fenomena komunikasi tersebut mempunyai landasan kultural dalam peradaban Arab sebelum Islam, yaitu adanya praktik penciptaan puisi oleh seorang penyair dan praktik perdukunan yang bersumber dari jin. Dalam pembahasan Abu Zaid:
Jika kita berasumsi bahwa peradaban Arab sebelum Islam tidak memiliki konsep-konsep seperti itu (fenomena puisi dan perdukunan—penulis), niscaya fenomena wahyu tidak dapat dipahami dari sudut pandang budaya. Bagaimana mungkin orang Arab dapat menerima ide tentang malaikat turun dari langit kepada seorang manusia, apabila konsep itu tidak memiliki akar kulturalnya dalam pembentukan nalar mereka. Semua ini menegaskan bahwa fenomena wahyu Alquran tidak terpisah dari realitas; tidak melangkahi atau melampaui hukum-hukum realitas, melainkan justru fenomena tersebut merupakan bagian dari konsep-konsep budaya dan muncul berdasarkan konvensi dan konsepsi budaya itu. Bagi orang Arab yang mengetahui bahwa jin berbicara kepada penyair dan membisikkan puisi kepadanya serta mengetahui bahwa ramalan-ramalan dukun itu bersumber dari jin, tidak sulit baginya untuk membenarkan adanya malaikat yang turun membawa kalam untuk manusia.[20]
Karena perbedaan eksistensi seperti di atas, maka struktur wahyu pertama-tama vertikal dari Allah ke Jibril (perantara) dan kemudian baru horizontal dari Jibril menuju Muhammad. Perhatikan skema-skema berikut:[21]




Persoalannya kemudian adalah, bagaimana wahyu secara umum—tanpa perantara malaikat saja, tetapi juga melalui wahyu dan dari balik tabir[22]—disampaikan atau dikomunikasikan dari Allah kepada Muhammad? Fazlur Rahman berpendapat bahwa komunikasi tersebut berlangsung melalui inspirasi. Menurutnya, wahyu sendiri berdekatan artinya dengan kata dalam bahasa Inggris “inspiration”, inspirasi—tanpa bermaksud menghilangkan pentingnya cara pewahyuan dengan kata-kata (verbal), dengan catatan bahwa “kata-kata” di sini tidak dimaksudkan sebagai “suara”.[23] Tentu inspirasi dalam pengertian ini berbeda dengan inspirasi yang seringkali dimaksudkan sebagai kelahiran ide-ide belaka, melainkan juga terkait dengan pengucapan secara verbal. Penamaan Alquran sebagai kitab kumpulan wahyu yang berarti bacaan, menurut Rahman, tidak saja secara gamblang menunjukkan ide wahyu verbal tersebut, tetapi juga di beberapa tempat[24] telah dijelaskan oleh ayat-ayat Alquran sendiri.[25]
Inspirasi itu muncul, dalam pandangan Muhammad Iqbal, dalam bentuk kata-kata Muhammad yang keduanya (inspirasi dan kata-kata) merupakan entitas organis yang tidak terpisahkan. Meskipun demikian, karena asal mula kompleksitas inspirasi kata itu terletak di luar kontrol Muhammad dan merupakan, memakai istilahnya Rahman, suatu fi’il kreatif (creative act), maka wahyu harus dipandang berasal dari sumber yang berada di luar Muhammad.[26]
Penjelasan Iqbal tentang inspirasi yang lebih bersifat psikologis di atas tentu kurang memuaskan, sebab ia tidak membedakan antara inspirasi wahyu ilahi dengan inspirasi-inspirasi puisi dan tradisi Arab Jahiliyyah lain yang merupakan akar kultural wahyu. Rahman berusaha menutupi kekurangan ini dengan mengatakan bahwa élan dasar Alquran adalah moral. Hukum moral, dalam pandangan Rahman, bersifat abadi, karena merupakan “perintah” Tuhan; manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral itu.[27] Selanjutnya Rahman mengatakan:
[S]eorang nabi adalah seorang yang keseluruhan karakter dan perilaku aktualnya adalah jauh lebih tinggi dari manusia pada umumnya… Karena itu, ortodoksi Islam mengambil kesimpulan yang secara logis adalah tepat bahwa Nabi-nabi mestilah dipandang kebal dari kesalahan-kesalahan yang serius (doktrin tentang ishmah/ma’shum)… Itulah sebabnya seluruh perilakunya dipandang oleh kaum muslimin sebagai sunnah atau ‘model yng sempurna’. Tetapi, dengan adanya semua itu, ada saat-saat dimana ia, sebagaimana telah terjadi, ‘melampaui dirinya sendiri’ dan persepsi kognitif moralnya (yang berbeda dari persepsi intelektual—penulis) menjadi demikian tajam hingga kesadarannya menjadi identik dengan hukum moral sendiri… Tetapi hukum moral dan nilai-nilai religius adalah perintah Tuhan, dan walaupun keduanya tidak seluruhnya identik dengan Tuhan, tapi adalah bagian daripada-Nya. Karena itu Alquran adalah betul-betul murni ilahi.[28]
Alquran atau wahyu verbal yang diterima Muhammad kemudian dikomunikasikan kepada kaum muslimin awal. Dalam sejarah Alquran seringkali dikabarkan bahwa terjadi perbedaan-perbedaan pelafalan dalam proses transmisi kitab suci tersebut. Ini terkait dengan doktrin sab’ah ahruf (tujuh huruf) yang sering diulang-ulang dalam studi Alquran. Oleh mayoritas sarjana Alquran, sab’ah ahruf sering dimaknai sebagai tujuh macam dialek dalam bahasa Arab yang dipergunakan untuk mengungkapkan suatu makna.[29] Faktor keberbedaan dialek ini, di samping juga faktor ketidaksempurnaan aksara Arab yang waktu itu tidak memiliki tanda-tanda vokal dan titik-titik diakritis pembeda konsonan berlambang sama,[30] menyebabkan munculnya keragaman bacaan Alquran.[31]
Standardisasi teks Alquran yang dilakukan pada masa pemerintahan Usman, pada dasarnya bertujuan membuat unifikasi bacaan Alquran. Akan tetapi, lantaran aksara Arab belum mencapai tingkatan sempurna seperti sekarang,[32] keragaman bacaan masih tetap mewarnai sejarah awal kitab suci tersebut. Alhasil, setelah proses penyempurnaan aksara Arab mencapai bentuk finalnya menjelang abad 3 H/9 M, perbedaan bacaan tetap saja terjadi. Sekitar awal abad 4 H/10 M, variasi bacaan itu mulai disaring dengan dukungan otoritas politik berdasarkan keselarasan bacaan dengan teks mushaf usmani (textus receptus), di samping kriteria lain seperti bersambungnya transmisi (tawatur) dan kesesuaian dengan kaidah bahasa Arab. Hasilnya, ortodoksi Islam menyepakati eksistensi tujuh bacaan (al-qira’ah al-sab’ah) yang dihimpun oleh Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn al-Abbas Ibn Mujahid (w. 935) yang diupayakan oleh Ibn Muqlah (w. 940) dan Ibn Isa (w. 946).[33]
Bacaan-bacaan yang terkumpul dalam mushaf pilihan inilah yang kemudian disebut oleh Arkoun sebagai Korpus Resmi Tertutup (Corpus Officiel Clos). Yaitu teks resmi yang ditetapkan oleh seperangkat keputusan yang diambil oleh otoritas-otoritas yang diakui komunitas muslim dan bersifat tertutup, karena tidak seorangpun diperkenankan memodifikasi bacaan yang sudah dinyatakan otentik tersebut.[34]

Catatan:


[1] al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, h. 17; al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, h. 18; bandingkan dengan Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: FKBA, 2001), h. 1.
[2] Watt, Richard Bell: Pengantar Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998), h. 1; Amal, Rekonstruksi Sejarah, h. 1.
[3] al-Qattan, Mabahis, h. 15-17; al-Shabuni, al-Tibyan, h. 26.
[4] al-Qattan, Mabahis, h. 17; Amal, Rekonstruksi, h. 45.
[5] al-Qattan, Mabahis, h. 17.
[6] Ibid.
[7] Amal, Rekonstruksi, h. 45.
[8] Watt, Richard Bell, h. 119-120; pendapat senada juga dikemukakan Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Abusalamah (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, cet. iv 1983), h. 28-29.
[9] al-Suyuthi dan al-Zarkasyi menghimpun nama-nama Alquran lebih dari lima puluh kata yang terdiri dari berbagai kata benda dan kata sifat yang mengacu pada Alquran. al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Juz I, h. 50; al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz I, h. 273-276.
[10] Abu Zaid, Tekstualitas, h. 29-30.
[11] Periksa kembali dalam Ibn Munzhir, Lisan al-Arab, Jilid XV (Beirut: Dar Shadir, 1990), h. 379, entri wahy.
[12] Abu Zaid, Tekstualitas, h. 30.
[13] Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca dalam artikel Roman Jakobson, “Linguistik dan Bahasa Puitik”, dalam van Zoest dan Sudjiman, Serba-serbi Semiotika (Jakarta: Gramedia, cet ii 1996), h. 64-79; dan dalam John Fiske, Introduction to Communication Studies (London-New York: Routledge, 1990), terutama sub "Jakobson", h. 35-38.
[14] Fiske, Introduction to Communication, h. 35, terjemahan dari penulis (MHA).
[15] Jakobson, “Linguistik”, h. 70; Fiske, Introduction to Communication, h. 35.
[16] Abu Zaid, Tekstualitas, h. 41.
[17] Dalam QS. 42: 51-52 disebutkan bahwa terdapat tiga cara komunikasi Allah dengan manusia, yaitu (i) melalui wahyu, (ii) dari balik tabir (hijab), dan (iii) melalui utusan. Lihat pembahasan ketiganya dalam Abu Zaid, Tekstualitas, h. 41-46; lihat juga al-Suyuthi, al-Itqan, h. 45-46; al-Qattan, Mabahis, h. 44-50.
[18] QS. 2:2; menurut Arkoun, konsepsi ini termasuk konsepsi wahyu ortodoks dan tradisional. Arkoun, "Gagasan tentang”, h. 39; bandingkan Abu Zaid, Tekstualitas, h. 52.
[19] Arkoun, “Gagasan tentang”, h. 41.
[20] Abu Zaid, Tekstualitas, h. 33.
[21] Abu Zaid, Tekstualitas, h. 43 dan 62. Karena tujuan utamanya adalah manusia (catatan kaki no. 18), skema A berkembang menjadi skema B.
[22] Catatan kaki no. 17.
[23] Rahman, Islam, h. 32; Rahman, Metode dan Alternatif, h. 40.
[24] Antara lain QS. 2: 97; Qs. 26: 195; Qs. 42: 12.
[25] Rahman, Islam, h. 32-34; Rahman, Metode dan Alternatif, h. 40.
[26] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby (Djakarta: Bulan-Bintang, 1966), h. 25-27; bandingkan dengan Rahman, Metode dan Alternatif, h. 39-41; dan Baljon, Tafsir Qur'an Muslim Modern, terj. A. Niamullah Muiz (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet III 1993), h. 99.
[27] Rahman, Islam, h. 35.
[28] Ibid.
[29] al-Suyuthi menyebutkan bahwa penafsiran ulama tentang makna sab’ah ahruf tidak kurang dari empat puluh pendapat. al-Suyuthi, al-Itqan, h. 47, pembahasan secara panjang-lebar dapat dibaca pada h. 46-51. al-Qattan melakukan tarjih (klarifikasi) terhadap pendapat-pendapat tersebut dan menyimpulkan bahwa pendapat yang mengatakan sab’ah ahruf adalah tujuh bahasa rumpun Arab dalam mengungkap makna, merupakan pendapat yang sesuai dengan zahir nas-nas dan didukung oleh bukti-bukti yang sahih. al-Qattan, Mabahis, h. 229-244; bandingkan dengan Amal, Rekonstruksi, h. 297-304.
[30] Sudut pandang tradisional berpegang pada pendapat pertama (perbedaan dialek) yang didasarkan pada hadits-hadits Nabi, dan menolak pendapat terakhir ini (ketidaksempurnaan aksara Arab).
[31] Amal, Rekonstruksi, h. 297-299.
[32] Penyemputnaan aksara Arab dimulai oleh Abu al-Aswad al-Duwali bersama dua muridnya Nasr Ibn Ashim dan Yahya Ibn Ya’mur yang berhasil membuat titik-titik huruf berlambang sama dan titik-titik harkat (vocal). Titik-titik tersebut yang dibedakan dengan dua warna berbeda, lama-kelamaan menjadi kabur dan sulit dibedakan. Oleh al-Khalil Ibn Ahmad al-Farahidi, titik-titik harkat dirobah menjadi panjang seperti sekarang. Lebih lanjut baca dalam Didin Sirajuddin AR., Seni Kaligrafi Islam (Bandung: Rosda, 2000), h. 65-86.
[33] Amal, Rekonstruksi, h. 307-308.
[34] Arkoun, Rethingking Islam, h. 50.

0 komentar: