Kandungan Alquran


SEBAGAIMANA TELAH diungkapkan, salah satu hal terpenting dalam suatu komunikasi adalah pesan yang dibawa atau, dalam konteks komunikasi Alquran, kandungan unit wahyu yang disampaikan Allah kepada Muhammad yang selanjutnya diperuntukkan bagi umat manusia. Unit wahyu tersebut, dari segi bentuk luarnya, diklasifikasi menjadi tiga puluh juz (bagian) yang kurang-lebih sama panjang. Tiap juz terdiri dari dua hizb yang masing-masing terbagi lagi menjadi perempat hizb (rub’ al-hizb). Selain itu ada juga pembagian yang disebut manazil, terdiri dari tujuh.[1] Pembagian-pembagian ini adalah pembagian luar yang tidak memperhatikan pembagian wajar dari Alquran, seperti surat dan kelompok surat. Padahal surat, menurut Watt, adalah pembagian sesungguhnya dalam Alquran,[2] yakni terdiri dari seratus empat belas surat yang saling berbeda panjangnya. Tiap surat terdiri dari sejumlah ayat yang juga tidak sama panjang.[3]
Apa yang terkandung dalam tiga puluh juz, seratus empat belas surat, dan enam ribu lebih ayat Alquran? Paling tidak terdapat dua cara yang dipakai para sarjana Alquran untuk melihat kandungan kitab suci tersebut. Pertama, berdasarkan periode sejarah kenabian Muhammad yang dapat dipilah menjadi periode Mekkah dan periode Madinah.[4] Sejarah kenabian di Mekkah diawali dengan peristiwa turunnya wahyu (nuzul al-Qur’an) pada 611 M sampai peristiwa hijrah pada 622 M, yang dilanjutkan dengan periode Madinah sampai sampai Muhammad wafat pada 632 M. Ayat-ayat Alquran dikelompokkan ke dalam dua periode tersebut berdasarkan kronologi turunnya wahyu. Ayat-ayat yang turun di Mekkah disebut ayat makkiyah, sementara ayat-ayat yuang turun di Madinah disebut ayat madaniyah.[5]
Selanjutnya berdasarkan klasifikasi tersebut, kandungan ayat-ayat Alquran diidentifikasi sebagai berikut: (i) Ayat-ayat makkiyah banyak melakukan elaborasi tauhid, risalah Islam, hari kebangkitan; sedang ayat-ayat madaniyah lebih fokus pada persoalan ibadah dan muamalah. (ii) Ayat-ayat makkiyah banyak memberikan landasan hukum dan perundang-undangan serta prinsip-prinsip pokok persoalan kemanusiaan, sementara ayat-ayat madaniyah lebih spesifik pada hal-hal yang bersifat praksis menyangkut had, warisan, jihad, peperangan dan perdamaian. (iii) Kisah-kisah para nabi dan umat terdahulu banyak diceritakan dalam ayat-yat makkiyah, sebagai pelajaran bagi umat Islam (awal); sedangkan ayat-ayat madaniyah banyak menyeru kalangan ahli kitab dan mengajak mereka untuk memeluk Islam berikut penjelasan mengenai penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan terhadap kitab-kitab Allah terdahulu.[6]
Dari ketiga point tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa ayat-ayat makkiyah lebih banyak berbicara mengenai persoalan-persoalan umum dan pokok tentang agama, seperti prinsip-prinsip akidah, dasar hukum, dan kesamaan visi kenabian Muhammad dengan para nabi terdahulu. Sementara ayat-ayat madaniyah lebih banyak bertutur tentang aplikasi praksis dari hal-hal yang pokok dan prinsipil dalam ayat-ayat makkiyah.
Kedua, dengan melihat langsung teks Alquran tanpa mempertimbangkan kronologi turunnya wahyu. Kalau yang pertama pengkajiannya bersifat historis (diakronis), maka metode kedua ini bersifat sinkronis. Ayat-ayat Alquran dikelompokan tidak berdasarkan pada teori makkiyah dan madaniyah, tetapi dengan melandaskannya pada tema yang dikandung ayat per-ayat.[7] Kesan yang ingin dihadirkan metode ini adalah membiarkan ayat-ayat Alquran berbicara dengan dirinya sendiri, tanpa pretensi dari pihak manapun—mirip dengan anggitan semiotikus.[8]
Klasifikasi kandungan Alquran dengan metode ini pernah dilakukan seorang sarjana Perancis Jowl la Boim. Di dalam bukunya Tafsil Ayat al-Qur’an al-Hakim, la Boim membuat klasifikasi ayat-ayat Alquran menjadi delapan belas kelompok bab. Masing-masing bab dibagi lagi menjadi sub-sub bab yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing bab. Dan masing-masing sub bab berisi ayat-ayat yang terkait atau membahas tema sub bab tersebut.[9]
Klasifikasi la Boim yang relatif terperinci di atas, dikarenakan pengkajiannya yang sinkronis, harus dipandang sebagai satu cerminan semangat sinkroni masa tertentu. Dengan kata lain, sesungguhnya tidak ada yang dinamakan klasifikasi final atau paripurna. Satu klasifikasi yang dibuat sarjana tertentu, akan berbeda dengan klasifikasi yang dibuat sarjana lain. Apalagi kemudian jika kedua sarjana tersebut berada dalam sinkroni waktu dan tempat yang berlainan. Latar kesejarahan dapat dipastikan akan mempengaruhi klasifikasi-klasifikasi tersebut, di samping juga suatu ayat dapat saja mempunyai tema-tema yang saling bertumpuk, tidak tunggal.
Sungguhpun demikian, klasifikasi-klasifikasi yang dibuat, seperti juga klasifikasi la Boim, tidak boleh diabaikan begitu saja. Paling tidak, sebagaimana sinyalemen Rahman, keseringan sesuatu hal dibicarakan dalam ayat-ayat Alquran, akan membantu menunjukkan tema atau arah pembicaraan ayat-ayat tersebut.[10] Klasifikasi ayat-ayat yang berujung pada tematisasi, dewasa ini tumbuh subur seiring dengan berkembang pesatnya penafsiran tematis.

Catatan:


[1] Menurut Watt dan Ayub, pembagian ini lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan pengucapan (resitasi), yang disesuaikan dengan jumlah hari dalam satu bulan (Ramadhan) dan jumlah hari dalam satu minggu. Watt, Richard Bell, h. 51; Mahmud Ayub, Qur’an dan Para Penafsirnya, terj. Nck G. Dharma Putra (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 22-23.
[2] Watt, Richard Bell, h. 51; selanjutnya Watt menduga, kata surat secara filologik berasal dari bahasa Ibrani shurah, “baris”, yang dipakai untuk bata dalam tembok dan untuk tanaman yang merambat; atau dari kata Syiria surta, yang berarti “tulisan”, “teks kitab suci”. Lihat h. 51-52. Pendapat ini mirip dengan pendapat al-Thabari yang menarik makna surat dari kata sur yang berarti “dinding” dan sur’ah (dengan hamzah) yang berarti bagian yang lebih baik dari sesuatu atau bagian yang terpisah, seperti bab. Lihat Ayub, Qur’an dan Para, h. 27-28.
[3] Lagi-lagi Watt mengaitkan ayat dengan kata Ibrani ‘oth dan Syiria ‘atha yang arti awalnya identik dengan ayat dalam bahasa Arab. Watt, Richard Bell, h. 54.
[4] Dua buku Watt secara jelas membagi periode sejarah Nabi ini, yaitu Muhammad at Mecca (1953) dan Muhammad at Madina (1956). Periodeisasi ini juga dipakai dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Lihat artikel yang ditulis Badri Yatim, “Muhammad saw. di Mekah” dan “Muhammad saw. di Madinah”, dalam Taufik Abdullah (editor kepala), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Akar dan Awal (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Houve, 2002), masing-masing h. 89-115 dan 117-141. Dalam kajian Alquran, lihat misalnya Watt, Richard Bell, h. 95; Marmaduke Pickthall, The Meanig of The Glorious Koran: an Explanatory Translation (London: George Allen and Ulwin ltd, cet. v 1969), h. 1-19.
[5] Kenyataannya kemudian tidak semua yang turun di Mekkah adalah ayat makkiyah, dan yang turun di Madinah ayat madaniyah. Ada tiga pendapat tentang hal ini. Pertama, dari segi waktu: makkiyah adalah yang diturunkan sebelum hijrah, sekalipun tidak di Mekkah; dan madaniyah setelah hijrah meski bukan di Madinah. Kedua, dari segi tempat turun: makkiyah turun di Mekkah dan sekitarnya (Mina, Arafah, Hudaibiyah, dll.); dan madaniyah turun di Madinah dan sekitarnya (Uhud, Quba, Sil’, dll.). Ketiga, dari segi sasaran: makkiyah ditujukan kepada penduduk Mekkah dengan panggilan al-nas (ya ayyuha al-nas); dan madaniyah ditujukan pada penduduk Madinah (ya ayyuha al-lazina amanu). al-Qattan, Mabahis, h. 83-86. Bandingkan dengan elaborasi Amal yang membandingkan kronologi pewahyuan sarjana muslim dan Barat secara lengkap dan kritis. Amal, Rekonstruksi, h. 81-122, di bawah bab Kronologi Pewahyuan al-Qur’an.
[6] Diolah dari al-Qattan, Mabahis, h. 86-88; bandingkan dengan Pickthall, The Meaning, h. 7.
[7] Amin al-Khuli, “Tafsir”, dalam Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zaid, Metode Tafsir Sastra, terj. dan suntingan Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: Adab Press, 2004), h. 59-63; Menurut al-Khuli, metode tematis merupakan kebutuhan dalam penafsiran Alquran, terutama karena susunan ayat-ayat dalam kitab suci tersebut mengabaikan pola tematis dan historis. Lihat h. 59-60.
[8] Tentang semiotika baca dalam van Zoest dan Sudjiman, Serba-serbi.
[9] Jowl la Boim, Tafsil Ayat al-Qur’an al-Hakim, terj. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Libanon: Dar al-Fikr, cet. II 1955), h. 1; lebih detail lagi lihat h. 452-460.
[10] Rahman, Tema Pokok, h. 1-2; pendapat senada disampaikan Abd al-Mun’im al-Sayid Hasan, Dzakirat al-Tikrar fi al-Qur’an al-Karim (Spanyol: Dar al-Matbu’at al-Dauliyat, 1980), h. 22-25.

0 komentar: