Dua Wajah Kekerasan


Judul : Pulau Cinta di Peta Buta
Penulis : Raudal Tanjung Banua
Cetakan : Pertama, Juli 2003
Penerbit : Jendela, Yogyakarta
Tebal : xii + 177 halaman

Judul : Parang Tak Berulu
Penulis : Raudal Tanjung Banua
Cetakan : Pertama, Mei 2005
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 182 halaman


TIADA HARI tanpa kekerasan. Kekerasan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita. Di televisi, koran, kita membaca dan menyaksikan seorang preman menghajar korbannya hingga babak belur, seorang anak membakar ayahnya hidup-hidup hanya karena sang ayah tak kunjung sembuh dari sakitnya, nun jauh di sana sekelompok tentara dari suatu negara membombardir wilayah dari negara lain, dan seterusnya….
Kekerasan yang bergentayangan di ranah realitas itu banyak mengispirasi sastrawan yang mengabadikannya dalam karya-karyanya. Sastrawan tidak sekadar meceritakan kekerasan itu apa adanya, tapi menyuguhkan tafsir atasnya. Dengan tafsir sastrawan, menurut teori mimesisnya Paul Ricoeur (mimesis-2 atau konfigurasi), peristiwa kekerasan tidak berlalu begitu saja, tapi menjadi suatu media bagi sebuah pembelajaran.
Salah satu sastrawan yang banyak menyuguhkan kekerasan sebagai tema dalam karyanya adalah Raudal Tanjung Banua. Dua kumpulan cerpennya, yaitu Pulau Cinta di Peta Buta (2003) dan Parang Tak Berulu (2005) menyuguhkan kekerasan dengan dua wajah yang berbeda.
***
PULAU CINTA di Peta Buta berisi delapan belas cerita pendek. Cerpen pembuka “Elegi Kantor Pos” menjadi alasan Raudal menyuguhkan tema-tema kekerasan di dalam cerpen-cerpennya. Di dalam cerpen itu, sang tokoh “aku” bertemu dengan seorang gadis di kantor pos yang menawarkan menjilat prangko surat yang akan ia kirim.
“Aku mengirim cerita ke koran-koran,” kata tokoh “aku”, yang barangkali adalah Raudal sendiri. Kata sang gadis, “Oh, betapa menyenangkan… Tentu kau akan menulis tentang negeri yang rakyatnya miskin dan lapar, sekarat dihajar dendam dan pertikaian…?”
Kata-kata sang gadis membuat “aku” malu dan merasa bersalah. Betapa tidak, selama ini, “Ceritaku hanya tentang negeri yang penuh warna. Keluarga bahagia. Percintaan Cinderella.” Cerita yang ia tulis seperti prangko yang, kata sang gadis, “hanya mengabadikan keindahan semata-mata, kekayaan alam, flora dan fauna, prestasi atau hasil-hasil pembangunan. Mengapa tidak yang lain? Begitu banyak kepahitan, semua terlupa.” Perjumpaan dengan sang gadis membuat “aku” menulis “cerita yang bertolak-belakang” dengan cerita-ceritanya sebelumnya, cerita tentang kekerasan.
Maka di dalam kumpulan cerpen itu kita temukan berbagai wujud kekerasan bergentayangan. Cerpen “Lengking Pilu Terompet Waktu” berkisah tentang seorang anak bernama Naomi yang “merayakan” malam pergantian tahun baru bersama kakeknya. Mama Naomi, seperti biasa, pergi “semalam”—kecuali kalau ke luar kota—bersama taksi warna pelangi. Papanya? Naomi tidak tahu di mana. Maka ketika kakeknya bertanya tentang impiannya pada tahun mendatang, Naomi bilang impiannya, “Tentang papa. Tentang hidup bersama. Berbahagia.”
Mendengar harapan cucunya, sang kakek tak tahan. Ia keluarkan sebuah kalender lusuh-tua, kalender tujuh tahun lalu. Di bulan Desember hari terakhir kalender itu, ada lingkaran merah. Itulah tanggal ketika, “Lelaki yang baik, menantu yang setahuku tak pernah berbuat jahat, tapi pada angka berlingkar merah itu justru diculik, dibawa pergi segerombolan lelaki lain, sampai kini tak kembali.” Di akhir cerita, Mama Naomi yang pergi kembali dengan terluka, berdarah-darah. Terompet tahun baru Naomi pun melengking pilu.
Penculikan juga bisa ditemukan dalam cerpen “Bis Berhenti di Kampung Lengang” dan “Truk Berderak Membelah Malam”. “Bis Berhenti di Kampung Lengang” bercerita tentang sopir bis yang menghentikan bisnya di kampungnya yang dibelah jalan lintas. Dia berhenti karena tak tahan rindu dengan orangtuanya. Padahal, sejak beberapa lama kampung itu sering disisir aparat yang datang dari pangkalan di utara untuk mencari pengkhianat. Dan sopir itu pun dikepung saat berhenti di depan rumahnya pada tengah malam.
Sementara “Pulau Cinta di Peta Buta” yang menjadi judul kumpulan cerpen, bercerita tentang harapan anak bernama Liana. Saat diberi pekerjaan rumah (PR) dari gurunya untuk menggambar salah satu pulau di Indonesia, Liana semula ingin menggambar pulau Halmahera. Di pulau tersebut keluarganya pernah tinggal dan akhirnya terpencar. Ayah dan kakaknya dibawa sekelompok orang entah ke mana. Liana akhirnya menggambar pulau berbentuk hati, pulau cinta, walaupun jelas tak ada di peta Indonesia.
Kekerasan bergentayangan di cerpen-cerpen dalam kumpulan ini. Senjata, parang, darah, aparat, penculikan, luka, bisa dengan mudah ditemukan hampir di tiap lembarannya.
***
MESKIPUN BERTAJUK Parang Tak Berulu, kekerasan di dalamnya tidak disuguhkan seperti dalam Pulau Cinta di Peta Buta. Di dalam cerpen “Parang Tak Berulu” parang tidak digunakan menebas atau mengintimidasi orang lain. “Parang tak berulu” adalah istilah adat suatu kampung bagi perempuan yang tak lagi punya suami. Gondan, seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang asal-usulnya tak jelas, bernama Jibun. Mamak-nya tak restu. Meski bertahun-tahun Jibun sudah berusaha “mengambil hati” sang mamak, dengan memanjakan istri dan anaknya, Gombak, membangun rumah sendiri, tapi hati Mamak Sutan Mangkudu tetap bersikukuh tak restu. Tak tahan dengan perlakuan sang mamak, Jibun memilih mundur dengan menceraikan Gondan.
Lalu suara-suara penduduk kampung pun riuh. Gondan yang dulu dimanja kini harus bekerja keras menghidupi Gombak. Dia bekerja membelah kayu untuk dijual. Saat membelah kayu itulah, parang yang ia gunakan lepas dari ulunya. “Parang tak berulu” yang mulanya istilah, kini hadir jadi kenyataan. Dan baik Gondan maupun Gondam tak bisa memberi ganti ulu yang lain, karena keduanya tak pernah belajar membuat ulu sewaktu Jibun masih bersama mereka. Mereka terpaksa tebal telinga mendengar suara-suara penduduk yang makin riuh.
Cerpen lain dengan bentuk kekerasan serupa adalah “Ranah Berkabut”, yang berkisah tentang Upik yang punya dua pusar-pusar (uyeng-uyeng) di kepala. Konon, setiap orang yang punya dua pusar-pusar berbakat jadi peternak. Maka kemudian Upik tidak disekolahkan, berbeda dengan kakaknya Kandik yang hanya berpusar-pusar satu, disekolahkan hingga ke sekolah tentara. Sejak belia Upik sudah disuruh menggembalakan ternak milik keluarga dan juga tetangganya. Ternaknya memang membiak banyak. Tapi Upik menderita karenanya, terlebih ayahnya suka menjual ternak sembarangan untuk berjudi, begitu juga kakaknya.
Begitu juga cerpen “Perempuan yang Jatuh dari Pohon”. Cerpen ini berkisah tentang Hindun yang suka memanjat pohon, terjatuh. Dan warga mempercayai, perempuan jatuh dari pohon adalah aib. “Konon, perempuan yang jatuh dari pohon, bila sakit, sakitnya tak akan diobati; bila mati, matinya tak akan disembahyangkan!” Karena itu setiap ibu pasti melarang anak perempuannya memanjat pohon.
Tapi Hindun amat suka memanjat. Meski mulut ibunya berbuih melarang, ia akan tetap memanjat pohon yang ia senangi. Hingga tiba hari nahas itu, Hindun terjatuh. Karena kepercayaan, Hindun hanya diobati sekadarnya hingga mati dan tak disembahyangkan.
Cerpen dengan judul puitis “Batang Pinang Batang Pisang, Kenangan Terus Memanjang” bercerita tentang Bualis yang dipasung dengan batang pinang, dengan sandaran kaki dan tubuhnya adalah batang pisang. Bualis adalah cucu seorang kepala aktivis tani, yang rumahnya dipasang “bendera dan umbul-umbul, bergambar bintang dan alat tani.” Begitu pula ayahnya, yang jadi tumpuan para petani sebab menguasai seluk-beuk patok tanah dan irigasi. Suatu malam, sekelompok orang mendatangi rumah Bualis dan membunuh ayah serta kakeknya, “sehubungan sebuah peristiwa penting di ibukota.”
Bualis pandai memanjat. Setiap perayaan tujuhbelasan, dia selalu jadi pemenang lomba panjat pinang. Tapi banyak oang tak senang, dan mengumpatnya, “Dasar anak kepala gerombolan!”, “Dan cucu gerombolan!” Perilaku Bualis pun lama-kelamaan berubah. Ia memanjat setiap pinang dan mengambil buahnya, tak peduli sudah ranum atau masih putik, milik keluarganya atau bukan. Karena perilaku itu, Bualis akhirnya dipasung dengan batang pinang dan pisang.
***
DILIHAT DARI bentuk dan sifatnya, kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, kekerasan dengan bentuknya yang telanjang, kasar, bengis. Ini model kekerasan anarkis. Kekerasan jenis ini, meminjam teorinya Louis Althusser, muncul dari sebuah pendekatan represif. Bila dilakukan oleh negara, ia lahir dari tangan aparat represif atau repressive state apparatus (RSA).
Kekerasan model itulah yang tampak di dalam cerpen-cerpen dalam kumpulan Pulau Cinta di Peta Buta. Senjata, parang, darah, luka, banyak mucul di sana. Peristiwa seperti penculikan oleh aparat, kerusuhan Halmahera, tragedi Aceh, menjadi inspirasi Raudal untuk mencatatkannya dalam cerita.
Kedua, kekerasan dengan bentuknya yang santun, tertutup, dan halus. Dalam pandangan biasa, ia tampak tidak seperti kekerasan. Tentu saja agar tak terlihat, kekerasan ini dilakukan dengan sangat rapih, direncanakan matang. Kekerasan ini disebut juga kekerasan simbolik, yang berlindung atas nama simbol-simbol seperti simbol bahasa, adat, dan ideologi. Simbol-simbol itu juga dianut oleh korban, sehingga korban tak menyadari kehadirannya. Negara melakukan kekerasan jenis ini melalui tangan aparat ideologis (ideological state apparatus atau ISA dalam bahasanya Althusser).
Kekerasan simbolik kita temukan di dalam cerpen-cerpen dalam kumpulan Parang Tak Berulu. Simbol adat seperti dua pusar-pusar digunaan sebagai pembenar oleh sang ayah untuk melakukan kekerasan terhadap Upik. Demikian pula, mitos perempuan jatuh dari pohon dijadikan alasan untuk tidak mengobati dan mensalatkan Hindun, dan kekerasan bahasa “anak gerombolan” didengung-dengungkan hingga perilaku Bualis berubah aneh.
Kekerasan simbolik itu, di dalam cerpen-cerpen Raudal, hendak dipatahkan dengan perlawanan terhadap simbol. Tokoh Gombak di dalam “Parang Tak Berulu”, misalnya, saat suara-suara yang menyebut ibunya sebagai “parang tak berulu” kian berdengung, bertekad membuat ulu parang sendiri. Namun demikian, perlawanan itu jatuh di hadapan kekuatan dan keperkasaan simbol. Yang terjadi kemudian cerpen-cerpen dalam Parang Tak Berulu semakin meneguhkannya. Gombak misalnya tidak mampu membuat ulu parang yang kuat. Demikian pula, Hindun yang akhirnya mati akibat jatuh dari pohon.
Terlepas dari itu, Pulau Cinta di Peta Buta dan Parang Tak Berulu menyuguhkan dua wajah kekerasan yang berbeda. Apakah keduanya bisa disebut sebagai periode kepengarangan Raudal? Cerpen-cerpen dalam Pulau Cinta di Peta Buta yang dibuat pada awal kepengarangannya hingga 2003, mengangkat kekerasan dengan wajahnya yang telanjang; sementara cerpen dalam Parang Tak Berulu yang dibuat pada 2003 hingga 2005, merupakan periode lanjutannya, menyajikan cerita dengan kekerasan simbolik.
Saya teringat sebuah tulisan Raudal saat dia menjadi salah satu juri Lomba Cerpen Mahasiswa se-Jawa oleh Majalah Balairung UGM yang dimuat dalam Risalah Kekerasan: Kumpulan Cerpen Terpilih Balairung 2004. Di sana Raudal “mengeluhkan” bagaimana tema kekerasan yang ditawarkan panitia lomba, diterjemahkan oleh para peserta dengan mentah sebatas kekerasan yang kasat mata. Kalau demikian, barangkali, Parang Tak Berulu mengoreksi kumpulan cerpennya sebelumnya yang banyak mengangkat kekerasan model itu. Raudal ingin menunjukkan bahwa kekerasan juga punya wajah lain, wajahnya yang santun, namun tak kalah bengis dan membunuh.[]

Living Quran, Sebuah Tawaran

Oleh: Hamam Faizin


DALAM BUKUNYA, Al-Quran: a Short Introduction (2002), Farid Esack menyatakan bahwa al-Quran fulfills many of functions in lives of moslem. Alquran mampu memenuhi banyak fungsi di dalam kehidupan muslim. Alquran bisa berfungsi sebagai pembela kaum tertindas, pengerem tindakan zalim, penyemangat perubahan, penenteram hati, dan bahkan obat (syifa’) atau penyelamat dari malapetaka. Dari fungsi-fungsi itu, mulai nyatalah bahwa Alquran benar-benar memberikan makna yang konkret dalam kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu, hingga kini, Alquran tetap dijadikan pegangan hidup.
Banyak sekali cara interaksi yang digunakan oleh setiap muslim dalam merengkuh dan menggali makna Alquran sehingga bisa berarti dan bermakna dalam kehidupannya. Sejauh ini, ada dua cara interaksi. Pertama, cara interaksi muslim terhadap Alquran melalui pendekatan atau kajian teks Alquran. Cara yang pertama ini telah lama dilakukan oleh para mufasir klasik maupun kontemporer, yang kemudian menghasilkan beberapa produk kitab tafsir.
Dalam cara tersebut, teks Alquran diperlakukan sebagai objek kajian. Mau tak mau, ia harus tunduk pada pengkajinya (subjek). Sebab, sebesar apa pun kekuatan teks, tetap akan ditafsirkan oleh penafsirnya. Di sinilah sebenarnya berbagai wacana kepentingan bisa masuk dan berjalin kelindan, yang pada akhirnya akan memengaruhi karakter penafsiran tersebut.
Dengan begitu, tak mengherankan bermunculan tafsir dengan karakter teologis, filosofis, fiqhi, sufi, dan sebagainya. Sebetulnya, berbagai corak itu akan memperkaya khazanah tafsir. Akan tetapi di balik itu semua tersimpan bahaya laten, yakni “manipulasi” dalam pemaknaan teks. Teks Alquran akan diseret dan dipermainkan sejauh keinginan penafsir. Ini terjadi dalam sejarah Islam, terutama dalam konteks konflik antara kaum Mu’tazilah dan anti-Mu’tazilah. Tampaknya, kecenderungan seperti itu masih saja terjadi hingga kini.
Cara yang pertama tersebut, rupa-rupanya, mendominasi dan menjadi semacam mainstream dalam kajian Alquran. Dan, cara ini biasanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai otoritas keagamaan dan kemampuan dalam memahami bahasa Alquran. Sebaliknya, mereka yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan kemampuan memahami bahasa agama hanya bisa mengekor pada figur kepercayaannya, misalnya kiai atau ulama.
Akan tetapi, anehnya, orang-orang yang tidak mempunyai otoritas dan kemampuan dalam memahami bahasa Alquran—di samping mengekor pada tokoh kepercayaannya—juga mempunyai cara tersendiri dalam memperlakukan atau berinteraksi dengan Alquran. Hal ini, sekali lagi, dilakukan hanya semata ingin menemukan signifikansi Alquran terhadap kehidupan mereka. Cara yang tersendiri itu memang jauh berbeda dengan cara pertama.
Cara kedua tersebut tidak melalui pendekatan teks atau bahasa Alquran, sebab mereka (orang-orang yang tidak mempunyai otoritas keagamaan dan tidak mempunyai kemampuan dalam memahami bahasa Alquran) tidak pernah melakukan pendekatan terhadap bahasa atau teks Alquran. Mereka hanya mencoba secara langsung beinteraksi, memperlakukan, dan menerapkan Alquran dalam kehidupan sehari-hari mereka secara praktis.
Dikisahkan oleh Farid Esack, sebagai ibu rumah tangga, ibunya tatkala memasak makanan sering bergumam membacakan salah satu ayat Alquran dengan tujuan agar makanannya menjadi lezat. Sebagian besar rumah di Afrika dipajangi beberapa tulisan Alquran dengan tujuan agar selamat dari ancaman bahaya. Anak-anak kecil bila ingin terhindar dari gonggongan atau gigitan anjing membaca ayat-ayat tertentu dari Alquran.
Di Yogyakarta, misalnya, setiap kali ada orang yang meninggal, ahli warisnya akan memutarkan kaset tartilan Alquran mulai pagi hari hingga waktu pemakaman. Di pesantren-pesantren yang masih salaf, sebagian besar santrinya meletakkan Alquran di rak paling atas dibandingkan dengan kitab-kitab lain yang berbahasa Arab. Sebagian muslim juga memperlakukan ayat-ayat al-Quran tertentu sebagai azimat (Jawa: jimat); kekebalan tubuh, penglaris, dan sebagainya. Masih banyak lagi contoh cara berinteraksi atau memperlakukan Alquran pada masyarakat yang tidak mampu memahami bahasa Alquran. Di sini teks Alquran ditransformasikan hingga menjadi bernilai dengan sendirinya.
Nah, cara berinteraksi atau memperlakukan Alquran seperti di atas, di Indonesia khususnya, belum benar-benar mendapat perhatian serius oleh pengkaji Alquran. Padahal cara seperti itu pada intinya sama dengan menafsirkan Alquran dengan melalui teks, yakni sama-sama mencari makna Alquran sehingga Alquran bisa bermakna dan berarti dalam kehidupan.
Keterluputan perhatian itu, bagi penulis, paling tidak disebabkan oleh, pertama, anggapan bahwa cara berinteraksi terhadap Alquran sebagaimana di atas bukanlah termasuk dalam ruang lingkup kajian Alquran atau tafsir. Atau, kedua, anggapan bahwa cara tersebut memang sesat, bidah, khurafat, atau tidak sesuai dengan ajaran-ajaran tafsir pada umumnya.
Perlu dicatat, interaksi terhadap Alquran semacam itu sudah menjadi budaya atau lebih tepatnya sudah mendarah daging bagi mereka, yang pada akhirnya akan memproduk mode of conduct (pola perilaku) tertentu. Pola perilaku ini didasarkan pada asumsi-asumsi mereka terhadap objek yang dihadapi, yakni Alquran. Asumsi-asumsi inilah yang disebut dengan mode of thought (pola berpikir).
Yang jelas, bagi pelakunya, cara interaksi itu lebih bermanfaat (meaningful), dinamis, dan memengaruhi banget sisi psikologis si pelaku. Bagaimana hal yang seperti itu luput dari perhatian atau bahkan dicap sesat? Bukankah cara interaksi yang seperti itu masuk dalam jenis tafsir anagogik? Juga, bukankah cara seperti itu pantas disebut sebagai Alquran yang hidup dalam fenomena sosial-budaya masyarakat atau living Quran? Wallahualam. [ ]
* Hamam Faizin, peminat kajian Alquran dan alumnus UIN Sunan Kalijaga
Tulisan ini pernah dimuat di Suara Merdeka dan www.islamlib.com

Kandungan Alquran


SEBAGAIMANA TELAH diungkapkan, salah satu hal terpenting dalam suatu komunikasi adalah pesan yang dibawa atau, dalam konteks komunikasi Alquran, kandungan unit wahyu yang disampaikan Allah kepada Muhammad yang selanjutnya diperuntukkan bagi umat manusia. Unit wahyu tersebut, dari segi bentuk luarnya, diklasifikasi menjadi tiga puluh juz (bagian) yang kurang-lebih sama panjang. Tiap juz terdiri dari dua hizb yang masing-masing terbagi lagi menjadi perempat hizb (rub’ al-hizb). Selain itu ada juga pembagian yang disebut manazil, terdiri dari tujuh.[1] Pembagian-pembagian ini adalah pembagian luar yang tidak memperhatikan pembagian wajar dari Alquran, seperti surat dan kelompok surat. Padahal surat, menurut Watt, adalah pembagian sesungguhnya dalam Alquran,[2] yakni terdiri dari seratus empat belas surat yang saling berbeda panjangnya. Tiap surat terdiri dari sejumlah ayat yang juga tidak sama panjang.[3]
Apa yang terkandung dalam tiga puluh juz, seratus empat belas surat, dan enam ribu lebih ayat Alquran? Paling tidak terdapat dua cara yang dipakai para sarjana Alquran untuk melihat kandungan kitab suci tersebut. Pertama, berdasarkan periode sejarah kenabian Muhammad yang dapat dipilah menjadi periode Mekkah dan periode Madinah.[4] Sejarah kenabian di Mekkah diawali dengan peristiwa turunnya wahyu (nuzul al-Qur’an) pada 611 M sampai peristiwa hijrah pada 622 M, yang dilanjutkan dengan periode Madinah sampai sampai Muhammad wafat pada 632 M. Ayat-ayat Alquran dikelompokkan ke dalam dua periode tersebut berdasarkan kronologi turunnya wahyu. Ayat-ayat yang turun di Mekkah disebut ayat makkiyah, sementara ayat-ayat yuang turun di Madinah disebut ayat madaniyah.[5]
Selanjutnya berdasarkan klasifikasi tersebut, kandungan ayat-ayat Alquran diidentifikasi sebagai berikut: (i) Ayat-ayat makkiyah banyak melakukan elaborasi tauhid, risalah Islam, hari kebangkitan; sedang ayat-ayat madaniyah lebih fokus pada persoalan ibadah dan muamalah. (ii) Ayat-ayat makkiyah banyak memberikan landasan hukum dan perundang-undangan serta prinsip-prinsip pokok persoalan kemanusiaan, sementara ayat-ayat madaniyah lebih spesifik pada hal-hal yang bersifat praksis menyangkut had, warisan, jihad, peperangan dan perdamaian. (iii) Kisah-kisah para nabi dan umat terdahulu banyak diceritakan dalam ayat-yat makkiyah, sebagai pelajaran bagi umat Islam (awal); sedangkan ayat-ayat madaniyah banyak menyeru kalangan ahli kitab dan mengajak mereka untuk memeluk Islam berikut penjelasan mengenai penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan terhadap kitab-kitab Allah terdahulu.[6]
Dari ketiga point tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa ayat-ayat makkiyah lebih banyak berbicara mengenai persoalan-persoalan umum dan pokok tentang agama, seperti prinsip-prinsip akidah, dasar hukum, dan kesamaan visi kenabian Muhammad dengan para nabi terdahulu. Sementara ayat-ayat madaniyah lebih banyak bertutur tentang aplikasi praksis dari hal-hal yang pokok dan prinsipil dalam ayat-ayat makkiyah.
Kedua, dengan melihat langsung teks Alquran tanpa mempertimbangkan kronologi turunnya wahyu. Kalau yang pertama pengkajiannya bersifat historis (diakronis), maka metode kedua ini bersifat sinkronis. Ayat-ayat Alquran dikelompokan tidak berdasarkan pada teori makkiyah dan madaniyah, tetapi dengan melandaskannya pada tema yang dikandung ayat per-ayat.[7] Kesan yang ingin dihadirkan metode ini adalah membiarkan ayat-ayat Alquran berbicara dengan dirinya sendiri, tanpa pretensi dari pihak manapun—mirip dengan anggitan semiotikus.[8]
Klasifikasi kandungan Alquran dengan metode ini pernah dilakukan seorang sarjana Perancis Jowl la Boim. Di dalam bukunya Tafsil Ayat al-Qur’an al-Hakim, la Boim membuat klasifikasi ayat-ayat Alquran menjadi delapan belas kelompok bab. Masing-masing bab dibagi lagi menjadi sub-sub bab yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing bab. Dan masing-masing sub bab berisi ayat-ayat yang terkait atau membahas tema sub bab tersebut.[9]
Klasifikasi la Boim yang relatif terperinci di atas, dikarenakan pengkajiannya yang sinkronis, harus dipandang sebagai satu cerminan semangat sinkroni masa tertentu. Dengan kata lain, sesungguhnya tidak ada yang dinamakan klasifikasi final atau paripurna. Satu klasifikasi yang dibuat sarjana tertentu, akan berbeda dengan klasifikasi yang dibuat sarjana lain. Apalagi kemudian jika kedua sarjana tersebut berada dalam sinkroni waktu dan tempat yang berlainan. Latar kesejarahan dapat dipastikan akan mempengaruhi klasifikasi-klasifikasi tersebut, di samping juga suatu ayat dapat saja mempunyai tema-tema yang saling bertumpuk, tidak tunggal.
Sungguhpun demikian, klasifikasi-klasifikasi yang dibuat, seperti juga klasifikasi la Boim, tidak boleh diabaikan begitu saja. Paling tidak, sebagaimana sinyalemen Rahman, keseringan sesuatu hal dibicarakan dalam ayat-ayat Alquran, akan membantu menunjukkan tema atau arah pembicaraan ayat-ayat tersebut.[10] Klasifikasi ayat-ayat yang berujung pada tematisasi, dewasa ini tumbuh subur seiring dengan berkembang pesatnya penafsiran tematis.

Catatan:


[1] Menurut Watt dan Ayub, pembagian ini lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan pengucapan (resitasi), yang disesuaikan dengan jumlah hari dalam satu bulan (Ramadhan) dan jumlah hari dalam satu minggu. Watt, Richard Bell, h. 51; Mahmud Ayub, Qur’an dan Para Penafsirnya, terj. Nck G. Dharma Putra (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 22-23.
[2] Watt, Richard Bell, h. 51; selanjutnya Watt menduga, kata surat secara filologik berasal dari bahasa Ibrani shurah, “baris”, yang dipakai untuk bata dalam tembok dan untuk tanaman yang merambat; atau dari kata Syiria surta, yang berarti “tulisan”, “teks kitab suci”. Lihat h. 51-52. Pendapat ini mirip dengan pendapat al-Thabari yang menarik makna surat dari kata sur yang berarti “dinding” dan sur’ah (dengan hamzah) yang berarti bagian yang lebih baik dari sesuatu atau bagian yang terpisah, seperti bab. Lihat Ayub, Qur’an dan Para, h. 27-28.
[3] Lagi-lagi Watt mengaitkan ayat dengan kata Ibrani ‘oth dan Syiria ‘atha yang arti awalnya identik dengan ayat dalam bahasa Arab. Watt, Richard Bell, h. 54.
[4] Dua buku Watt secara jelas membagi periode sejarah Nabi ini, yaitu Muhammad at Mecca (1953) dan Muhammad at Madina (1956). Periodeisasi ini juga dipakai dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Lihat artikel yang ditulis Badri Yatim, “Muhammad saw. di Mekah” dan “Muhammad saw. di Madinah”, dalam Taufik Abdullah (editor kepala), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Akar dan Awal (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Houve, 2002), masing-masing h. 89-115 dan 117-141. Dalam kajian Alquran, lihat misalnya Watt, Richard Bell, h. 95; Marmaduke Pickthall, The Meanig of The Glorious Koran: an Explanatory Translation (London: George Allen and Ulwin ltd, cet. v 1969), h. 1-19.
[5] Kenyataannya kemudian tidak semua yang turun di Mekkah adalah ayat makkiyah, dan yang turun di Madinah ayat madaniyah. Ada tiga pendapat tentang hal ini. Pertama, dari segi waktu: makkiyah adalah yang diturunkan sebelum hijrah, sekalipun tidak di Mekkah; dan madaniyah setelah hijrah meski bukan di Madinah. Kedua, dari segi tempat turun: makkiyah turun di Mekkah dan sekitarnya (Mina, Arafah, Hudaibiyah, dll.); dan madaniyah turun di Madinah dan sekitarnya (Uhud, Quba, Sil’, dll.). Ketiga, dari segi sasaran: makkiyah ditujukan kepada penduduk Mekkah dengan panggilan al-nas (ya ayyuha al-nas); dan madaniyah ditujukan pada penduduk Madinah (ya ayyuha al-lazina amanu). al-Qattan, Mabahis, h. 83-86. Bandingkan dengan elaborasi Amal yang membandingkan kronologi pewahyuan sarjana muslim dan Barat secara lengkap dan kritis. Amal, Rekonstruksi, h. 81-122, di bawah bab Kronologi Pewahyuan al-Qur’an.
[6] Diolah dari al-Qattan, Mabahis, h. 86-88; bandingkan dengan Pickthall, The Meaning, h. 7.
[7] Amin al-Khuli, “Tafsir”, dalam Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zaid, Metode Tafsir Sastra, terj. dan suntingan Khoiron Nahdiyyin (Yogyakarta: Adab Press, 2004), h. 59-63; Menurut al-Khuli, metode tematis merupakan kebutuhan dalam penafsiran Alquran, terutama karena susunan ayat-ayat dalam kitab suci tersebut mengabaikan pola tematis dan historis. Lihat h. 59-60.
[8] Tentang semiotika baca dalam van Zoest dan Sudjiman, Serba-serbi.
[9] Jowl la Boim, Tafsil Ayat al-Qur’an al-Hakim, terj. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Libanon: Dar al-Fikr, cet. II 1955), h. 1; lebih detail lagi lihat h. 452-460.
[10] Rahman, Tema Pokok, h. 1-2; pendapat senada disampaikan Abd al-Mun’im al-Sayid Hasan, Dzakirat al-Tikrar fi al-Qur’an al-Karim (Spanyol: Dar al-Matbu’at al-Dauliyat, 1980), h. 22-25.

Alquran


BAGI UMAT Islam, Alquran adalah kitab suci yang berasal dari ucapan Allah (kalam Allah, verbum Dei) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan Jibril as. selama lebih kurang dua puluh tiga tahun.[1] Menurut William Montgomery Watt, Alquran termasuk salah satu dari sejumlah kecil kitab yang memiliki pengaruh luas dan dalam terhadap faktor kejiwaan manusia. Kitab tersebut merupakan dasar keyakinan agama, ibadat dan hukum; merupakan pedoman berperilaku secara sosial dan pribadi; merupakan dasar pembentuk peradaban Islam.[2]
Secara etimologis, terdapat beberapa teori pembentukan nama kitab suci umat Islam tersebut. Yang paling populer berasal dari kata kerja (fi’il) qara’a, “membaca”, yang berarti “bacaan” atau “yang dibaca” (maqru’).[3] Dalam manuskrip Alquran awal, kata tersebut ditulis tanpa menggunakan hamzah, sehingga menyebabkan beberapa kalangan memandang kata itu berasal dari kata qarana, yang berarti “menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain” (qarana al-syai’ bi al-syai’).[4] Ada juga yang berpendapat berasal dari qara’in, “saling berpasangan”, karena ayat-ayatnya satu sama lain saling menyerupai.[5] Dua pendapat terakhir, oleh al-Qattan, diragukan keabsahannya, dan ia sendiri berpegang pada pendapat yang pertama.[6]
Dalam tradisi Barat, pendapat orientalis Jerman Friedrich Schwally yang mengatakan bahwa kata qur’an dalam bahasa Arab merupakan derivasi (isytiqaq) dari kata dalam bahasa Syiria/Ibrani qeryana atau qiryani yang berarti juga “bacaan” atau “yang dibaca” yang sering digunakan dalam liturgi Kristen,[7] banyak dipegang oleh para pengkaji Alquran yang lebih belakangan, termasuk Gibb dan Watt. Bahkan menurut Watt, tujuan Alquran yang berbahasa Arab adalah memberikan sejumlah pelajaran kepada penduduk Arab yang sebanding dengan kitab yang dimiliki penganut Kristen atau Yahudi.[8]
Terlepas dari perdebatan etimologis di atas, Abu Zaid berpendapat bahwa makna sentral Alquran dapat dilihat dengan melakukan analisis terhadap kata wahyu yang merupakan salah satu nama lain kitab suci tersebut.[9] Meskipun bukan nama diri (proper name) seperti halnya nama al-Kitab dan al-Qur’an, namun kata wahyu, demikian Abu Zaid, mempunyai acuan yang meluas, meliputi semua nama-nama yang dilekatkan untuk kitab suci tersebut sebagai konsep yang bermakna dalam kebudayaan, baik sebelum maupun sesudah terbentuknya teks.[10]
Dengan mengacu pada pengertian wahyu dalam kamus Lisan al-Arab yang mencakup ilham, isyarat, tulisan, risalah dan ujaran,[11] Abu Zaid berpendapat bahwa:
Makna sentral wahyu adalah “pemberian informasi” secara rahasia. Dengan kata lain, wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi—pesan—secara samar dan rahasia. Oleh karena “pemberian informasi” dalam proses komunikasi dapat berlangsung apabila melalui kode tertentu maka dapat dipastikan bahwa konsep kode melekat (inherent) di dalam konsep wahyu, dan kode yang dipergunakan dalam proses komunikasi tersebut pastilah kode bersama antara pengirim dan penerima, dua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi/wahyu tersebut.[12]
Sebagai suatu proses komunikasi, Alquran tentu tidak dapat melepaskan diri dari beberapa prasyarat dalam teori komunikasi, agar informasi yang dibawanya sampai pada tujuan pewahyuan itu sendiri. Beberapa prasyarat itu, mengacu pada Roman Jakobson, dan tampak dalam ungkapan Abu Zaid di atas, adalah adanya pengirim (addresser), penerima (adresse), pesan (message), konteks (context), kontak (contact), dan kode (code).[13] Menurut John Fiske dalam Introduction to Communication Studies, prasyarat-prasyarat yang diajukan Jakobson tersebut bekerja seperti berikut:
Pengirim menyampaikan pesan pada penerima. Pengirim menyadari bahwa pesannya pasti terkait dengan hal-hal di luar pesan itu sendiri. Inilah yang dinamakan konteks, yang menempati titik ketiga dalam sebuah segitiga, dimana dua titik lainnya adalah pengirim dan penerima… Ia kemudian menambahkan dua faktor lain: yang pertama adalah kontak, yaitu channel fisik dan hubungan psikologis antara pengirim dan penerima; dan kedua, yang merupakan faktor terakhir, adalah kode, yakni sistem makna yang menyertai proses strukturasi pesan.[14]

Konteks
Pesan
Pengirim Penerima
Kontak
Kode
Skema 2: Teori Komunikasi Roman Jakobson
Hubungan faktor-faktor komunikasi Jakobson beserta proses yang menyertainya, digambarkan dalam skema berikut:[15]





Dari sini kemudian, jika Alquran dianggap sebagai suatu informasi yang dikomunikasikan, maka prasyarat-prasyarat itu menjadi: Allah sebagai pengirim; Muhammad penerima; Alquran atau unit wahyu adalah pesan; bahasa Arab sebagai kode wahyu. Semuanya berproses karena adanya kontak antara Allah dan Muhammad dalam situasi atau konteks tertentu. Sehingga:




Situasi komunikasi yang terjadi dalam konteks wahyu, menurut Abu Zaid, tidaklah sesederhana seperti digambarkan skema di atas. Tetapi sebaliknya, terdapat kompleksitas yang berbeda dari proses komunikasi biasa.[16] Pertama, ini disebabkan karena tingkat eksistensi dua pilar utama komunikasi wahyu, yaitu Allah dan Muhammad yang merupakan manusia, tidaklah sama. Karena itu kemudian, kedua, dalam salah satu bentuknya, komunikasi wahyu melibatkan pihak ketiga sebagai perantara yang bertugas membawa unit wahyu dari Allah untuk disampaikan kepada Muhammad.[17] Ketiga, Muhammad juga bukan tujuan utama wahyu, melainkan tujuannya adalah manusia seluruhnya.[18] Posisi Muhammad di sini mirip dengan posisi perantara sebelumnya (Jibril), yaitu sebagai penyampai wahyu ilahi, meski tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai manusia biasa Muhammad juga menjadi obyek wahyu. Keempat, unit wahyu merupakan pesan final yang berfungsi sebagai petunjuk (hudan) manusia menghadapi problematika kesejarahannya. Di sini wahyu ditantang untuk bisa operasional dalam medan dan zaman yang terus berganti. Paska Alquran, tidak ada lagi unit wahyu sejenis yang diturunkan. Jadi Alquran menjadi apa yang diistilahkan Arkoun sebagai “penanda terakhir” (le signifie dernier) yang konsepnya bisa berubah sesuai konteks zaman dan tempat.[19]
Terkait dengan tingkat eksistensi dua komunikan yang tidak sama, Abu Zaid berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru dalam masyarakat Arab kala itu. Menurutnya, fenomena komunikasi tersebut mempunyai landasan kultural dalam peradaban Arab sebelum Islam, yaitu adanya praktik penciptaan puisi oleh seorang penyair dan praktik perdukunan yang bersumber dari jin. Dalam pembahasan Abu Zaid:
Jika kita berasumsi bahwa peradaban Arab sebelum Islam tidak memiliki konsep-konsep seperti itu (fenomena puisi dan perdukunan—penulis), niscaya fenomena wahyu tidak dapat dipahami dari sudut pandang budaya. Bagaimana mungkin orang Arab dapat menerima ide tentang malaikat turun dari langit kepada seorang manusia, apabila konsep itu tidak memiliki akar kulturalnya dalam pembentukan nalar mereka. Semua ini menegaskan bahwa fenomena wahyu Alquran tidak terpisah dari realitas; tidak melangkahi atau melampaui hukum-hukum realitas, melainkan justru fenomena tersebut merupakan bagian dari konsep-konsep budaya dan muncul berdasarkan konvensi dan konsepsi budaya itu. Bagi orang Arab yang mengetahui bahwa jin berbicara kepada penyair dan membisikkan puisi kepadanya serta mengetahui bahwa ramalan-ramalan dukun itu bersumber dari jin, tidak sulit baginya untuk membenarkan adanya malaikat yang turun membawa kalam untuk manusia.[20]
Karena perbedaan eksistensi seperti di atas, maka struktur wahyu pertama-tama vertikal dari Allah ke Jibril (perantara) dan kemudian baru horizontal dari Jibril menuju Muhammad. Perhatikan skema-skema berikut:[21]




Persoalannya kemudian adalah, bagaimana wahyu secara umum—tanpa perantara malaikat saja, tetapi juga melalui wahyu dan dari balik tabir[22]—disampaikan atau dikomunikasikan dari Allah kepada Muhammad? Fazlur Rahman berpendapat bahwa komunikasi tersebut berlangsung melalui inspirasi. Menurutnya, wahyu sendiri berdekatan artinya dengan kata dalam bahasa Inggris “inspiration”, inspirasi—tanpa bermaksud menghilangkan pentingnya cara pewahyuan dengan kata-kata (verbal), dengan catatan bahwa “kata-kata” di sini tidak dimaksudkan sebagai “suara”.[23] Tentu inspirasi dalam pengertian ini berbeda dengan inspirasi yang seringkali dimaksudkan sebagai kelahiran ide-ide belaka, melainkan juga terkait dengan pengucapan secara verbal. Penamaan Alquran sebagai kitab kumpulan wahyu yang berarti bacaan, menurut Rahman, tidak saja secara gamblang menunjukkan ide wahyu verbal tersebut, tetapi juga di beberapa tempat[24] telah dijelaskan oleh ayat-ayat Alquran sendiri.[25]
Inspirasi itu muncul, dalam pandangan Muhammad Iqbal, dalam bentuk kata-kata Muhammad yang keduanya (inspirasi dan kata-kata) merupakan entitas organis yang tidak terpisahkan. Meskipun demikian, karena asal mula kompleksitas inspirasi kata itu terletak di luar kontrol Muhammad dan merupakan, memakai istilahnya Rahman, suatu fi’il kreatif (creative act), maka wahyu harus dipandang berasal dari sumber yang berada di luar Muhammad.[26]
Penjelasan Iqbal tentang inspirasi yang lebih bersifat psikologis di atas tentu kurang memuaskan, sebab ia tidak membedakan antara inspirasi wahyu ilahi dengan inspirasi-inspirasi puisi dan tradisi Arab Jahiliyyah lain yang merupakan akar kultural wahyu. Rahman berusaha menutupi kekurangan ini dengan mengatakan bahwa élan dasar Alquran adalah moral. Hukum moral, dalam pandangan Rahman, bersifat abadi, karena merupakan “perintah” Tuhan; manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral itu.[27] Selanjutnya Rahman mengatakan:
[S]eorang nabi adalah seorang yang keseluruhan karakter dan perilaku aktualnya adalah jauh lebih tinggi dari manusia pada umumnya… Karena itu, ortodoksi Islam mengambil kesimpulan yang secara logis adalah tepat bahwa Nabi-nabi mestilah dipandang kebal dari kesalahan-kesalahan yang serius (doktrin tentang ishmah/ma’shum)… Itulah sebabnya seluruh perilakunya dipandang oleh kaum muslimin sebagai sunnah atau ‘model yng sempurna’. Tetapi, dengan adanya semua itu, ada saat-saat dimana ia, sebagaimana telah terjadi, ‘melampaui dirinya sendiri’ dan persepsi kognitif moralnya (yang berbeda dari persepsi intelektual—penulis) menjadi demikian tajam hingga kesadarannya menjadi identik dengan hukum moral sendiri… Tetapi hukum moral dan nilai-nilai religius adalah perintah Tuhan, dan walaupun keduanya tidak seluruhnya identik dengan Tuhan, tapi adalah bagian daripada-Nya. Karena itu Alquran adalah betul-betul murni ilahi.[28]
Alquran atau wahyu verbal yang diterima Muhammad kemudian dikomunikasikan kepada kaum muslimin awal. Dalam sejarah Alquran seringkali dikabarkan bahwa terjadi perbedaan-perbedaan pelafalan dalam proses transmisi kitab suci tersebut. Ini terkait dengan doktrin sab’ah ahruf (tujuh huruf) yang sering diulang-ulang dalam studi Alquran. Oleh mayoritas sarjana Alquran, sab’ah ahruf sering dimaknai sebagai tujuh macam dialek dalam bahasa Arab yang dipergunakan untuk mengungkapkan suatu makna.[29] Faktor keberbedaan dialek ini, di samping juga faktor ketidaksempurnaan aksara Arab yang waktu itu tidak memiliki tanda-tanda vokal dan titik-titik diakritis pembeda konsonan berlambang sama,[30] menyebabkan munculnya keragaman bacaan Alquran.[31]
Standardisasi teks Alquran yang dilakukan pada masa pemerintahan Usman, pada dasarnya bertujuan membuat unifikasi bacaan Alquran. Akan tetapi, lantaran aksara Arab belum mencapai tingkatan sempurna seperti sekarang,[32] keragaman bacaan masih tetap mewarnai sejarah awal kitab suci tersebut. Alhasil, setelah proses penyempurnaan aksara Arab mencapai bentuk finalnya menjelang abad 3 H/9 M, perbedaan bacaan tetap saja terjadi. Sekitar awal abad 4 H/10 M, variasi bacaan itu mulai disaring dengan dukungan otoritas politik berdasarkan keselarasan bacaan dengan teks mushaf usmani (textus receptus), di samping kriteria lain seperti bersambungnya transmisi (tawatur) dan kesesuaian dengan kaidah bahasa Arab. Hasilnya, ortodoksi Islam menyepakati eksistensi tujuh bacaan (al-qira’ah al-sab’ah) yang dihimpun oleh Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn al-Abbas Ibn Mujahid (w. 935) yang diupayakan oleh Ibn Muqlah (w. 940) dan Ibn Isa (w. 946).[33]
Bacaan-bacaan yang terkumpul dalam mushaf pilihan inilah yang kemudian disebut oleh Arkoun sebagai Korpus Resmi Tertutup (Corpus Officiel Clos). Yaitu teks resmi yang ditetapkan oleh seperangkat keputusan yang diambil oleh otoritas-otoritas yang diakui komunitas muslim dan bersifat tertutup, karena tidak seorangpun diperkenankan memodifikasi bacaan yang sudah dinyatakan otentik tersebut.[34]

Catatan:


[1] al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, h. 17; al-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, h. 18; bandingkan dengan Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: FKBA, 2001), h. 1.
[2] Watt, Richard Bell: Pengantar Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998), h. 1; Amal, Rekonstruksi Sejarah, h. 1.
[3] al-Qattan, Mabahis, h. 15-17; al-Shabuni, al-Tibyan, h. 26.
[4] al-Qattan, Mabahis, h. 17; Amal, Rekonstruksi, h. 45.
[5] al-Qattan, Mabahis, h. 17.
[6] Ibid.
[7] Amal, Rekonstruksi, h. 45.
[8] Watt, Richard Bell, h. 119-120; pendapat senada juga dikemukakan Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah, terj. Abusalamah (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, cet. iv 1983), h. 28-29.
[9] al-Suyuthi dan al-Zarkasyi menghimpun nama-nama Alquran lebih dari lima puluh kata yang terdiri dari berbagai kata benda dan kata sifat yang mengacu pada Alquran. al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Juz I, h. 50; al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz I, h. 273-276.
[10] Abu Zaid, Tekstualitas, h. 29-30.
[11] Periksa kembali dalam Ibn Munzhir, Lisan al-Arab, Jilid XV (Beirut: Dar Shadir, 1990), h. 379, entri wahy.
[12] Abu Zaid, Tekstualitas, h. 30.
[13] Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca dalam artikel Roman Jakobson, “Linguistik dan Bahasa Puitik”, dalam van Zoest dan Sudjiman, Serba-serbi Semiotika (Jakarta: Gramedia, cet ii 1996), h. 64-79; dan dalam John Fiske, Introduction to Communication Studies (London-New York: Routledge, 1990), terutama sub "Jakobson", h. 35-38.
[14] Fiske, Introduction to Communication, h. 35, terjemahan dari penulis (MHA).
[15] Jakobson, “Linguistik”, h. 70; Fiske, Introduction to Communication, h. 35.
[16] Abu Zaid, Tekstualitas, h. 41.
[17] Dalam QS. 42: 51-52 disebutkan bahwa terdapat tiga cara komunikasi Allah dengan manusia, yaitu (i) melalui wahyu, (ii) dari balik tabir (hijab), dan (iii) melalui utusan. Lihat pembahasan ketiganya dalam Abu Zaid, Tekstualitas, h. 41-46; lihat juga al-Suyuthi, al-Itqan, h. 45-46; al-Qattan, Mabahis, h. 44-50.
[18] QS. 2:2; menurut Arkoun, konsepsi ini termasuk konsepsi wahyu ortodoks dan tradisional. Arkoun, "Gagasan tentang”, h. 39; bandingkan Abu Zaid, Tekstualitas, h. 52.
[19] Arkoun, “Gagasan tentang”, h. 41.
[20] Abu Zaid, Tekstualitas, h. 33.
[21] Abu Zaid, Tekstualitas, h. 43 dan 62. Karena tujuan utamanya adalah manusia (catatan kaki no. 18), skema A berkembang menjadi skema B.
[22] Catatan kaki no. 17.
[23] Rahman, Islam, h. 32; Rahman, Metode dan Alternatif, h. 40.
[24] Antara lain QS. 2: 97; Qs. 26: 195; Qs. 42: 12.
[25] Rahman, Islam, h. 32-34; Rahman, Metode dan Alternatif, h. 40.
[26] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, terj. Osman Raliby (Djakarta: Bulan-Bintang, 1966), h. 25-27; bandingkan dengan Rahman, Metode dan Alternatif, h. 39-41; dan Baljon, Tafsir Qur'an Muslim Modern, terj. A. Niamullah Muiz (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet III 1993), h. 99.
[27] Rahman, Islam, h. 35.
[28] Ibid.
[29] al-Suyuthi menyebutkan bahwa penafsiran ulama tentang makna sab’ah ahruf tidak kurang dari empat puluh pendapat. al-Suyuthi, al-Itqan, h. 47, pembahasan secara panjang-lebar dapat dibaca pada h. 46-51. al-Qattan melakukan tarjih (klarifikasi) terhadap pendapat-pendapat tersebut dan menyimpulkan bahwa pendapat yang mengatakan sab’ah ahruf adalah tujuh bahasa rumpun Arab dalam mengungkap makna, merupakan pendapat yang sesuai dengan zahir nas-nas dan didukung oleh bukti-bukti yang sahih. al-Qattan, Mabahis, h. 229-244; bandingkan dengan Amal, Rekonstruksi, h. 297-304.
[30] Sudut pandang tradisional berpegang pada pendapat pertama (perbedaan dialek) yang didasarkan pada hadits-hadits Nabi, dan menolak pendapat terakhir ini (ketidaksempurnaan aksara Arab).
[31] Amal, Rekonstruksi, h. 297-299.
[32] Penyemputnaan aksara Arab dimulai oleh Abu al-Aswad al-Duwali bersama dua muridnya Nasr Ibn Ashim dan Yahya Ibn Ya’mur yang berhasil membuat titik-titik huruf berlambang sama dan titik-titik harkat (vocal). Titik-titik tersebut yang dibedakan dengan dua warna berbeda, lama-kelamaan menjadi kabur dan sulit dibedakan. Oleh al-Khalil Ibn Ahmad al-Farahidi, titik-titik harkat dirobah menjadi panjang seperti sekarang. Lebih lanjut baca dalam Didin Sirajuddin AR., Seni Kaligrafi Islam (Bandung: Rosda, 2000), h. 65-86.
[33] Amal, Rekonstruksi, h. 307-308.
[34] Arkoun, Rethingking Islam, h. 50.