Lembaga Adat Melayu Jambi. Sebelum terbit Perda 5/2007 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi, lembaga ini bernama Lembaga Adat Propinsi Jambi [sumber foto] |
Artikel ini membahas adat dan kemelayuan dalam dinamika masyarakat Jambi. Dua “event” yang menjadi fokusnya adalah awal kedatangan Islam di Jambi dan pasca-Reformasi. Keduanya diambil karena di dalam dua kesempatan itulah masyarakat Jambi memikirkan adat mereka. Yang pertama ketika masyarakat Jambi yang telah memeluk Islam melakukan proses teliti atau penyaringan adat berdasarkan agama yang baru mereka peluk. Sementara yang kedua ketika terjadi gelombang kebangkitan adat setelah sebelumnya ekspresi lokal tidak mendapatkan ruang selama Orde Baru. Dalam dua kesempatan itu, Islam merupakan faktor yang sangat menentukan.
Bagi masyarakat Melayu Jambi, adat mereka adalah Islam. Islam dan adat adalah dua hal yang tidak terpisah. Sebuah seloko yang sering diulang-ulang adalah “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato adat memakai”. Seloko ini berarti bahwa adat atau kebiasaan masyarakat Melayu Jambi didasarkan pada syariat yang berasal dari kitab suci; apa yang dititahkan syariat, akan dipakai oleh adat. Dengan kata lain, adat masyarakat Melayu Jambi adalah Islam. Memang benar bahwa dalam sejarahnya semula masyarakat Melayu Jambi bukan memeluk Islam. Namun, ketika Islam telah datang ke daerah ini, dia dipeluk secara kuat oleh orang Melayu Jambi. Hal-hal yang sebelumnya dipraktikkan dalam hidup mereka kemudian mereka saring melalui proses teliti untuk menghasilkan rumusan adat yang selaras atau sesuai dengan Islam.
Kuatnya Islam dipegang oleh masyarakat Melayu Jambi membawa implikasi antara lain penolakan masyarakat Jambi terhadap hal-hal yang mereka anggap bukan Islam. Masyarakat Jambi misalnya memotong sejarahnya dan mengambil kedatangan Islam sebagai tonggak bermula. Saya kira, islamisasi di mana pun tidak pernah berjalan sangat mulus. Kalaupun bukan gelombang, riak-riak kecil mewarnai prosesnya. Di dalam masyarakat Melayu Jambi, cerita tentang riak itu tidak pernah (di)muncul(kan) karena merupakan bagian dari masa lalu yang bukan Islam, yang justru ingin mereka hilangkan.
Padahal, seperti dalam kasus krinok, kentara sekali ada perbenturan antara nilai lama yang terkandung dalam tradisi krinok dan nilai Islam yang datang. Krinok adalah kesenian yang dipercaya berasal dari masa pra-Islam. Kesenian ini merupakan tradisi meratap ketika seseorang ditimpa musibah seperti kematian pasangan hidup atau kehilangan kekasih hati. Orang yang ditimpa musibah biasanya meratap di sawah-sawah atau pinggir hutan. Masyarakat Jambi memercayai bahwa ratapan itu akan semakin hebat dan menghiba bila pelantunnya sudah di luar kesadaran atau telah kemasukan binun (sejenis jin atau makhluk halus).
Dalam beberapa hal, menarik membandingkan antara krinok dan puisi Arab pra-Islam (jahiliya) yang juga memiliki genre ratapan (ratsà). Di dalam sejarah sastra Arab pra-Islam disebutkan bahwa puisi Arab yang baik diyakini bukan berasal dari sang penyair, melainkan dari jin; penyair dirasuki jin, yang disebut majnùn. Untuk memeroleh inspirasi agar puisi yang dihasilkan bagus atau agar dirasuki jin, penyair Arab pergi ke goa atau naik ke atas bukit, mirip dengan krinok yang pelantunnya pergi ke sawah atau pinggir hutan pada tengah malam. Baik puisi Arab maupun krinok juga punya nasib yang kurang-lebih sama ketika Islam datang, yakni sulit berkembang karena dipandang negatif. Bagi masyarakat Melayu Jambi pasca-Islam, meratap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga krinok tidak boleh ada dalam masyarakat Melayu yang sudah memeluk Islam. Lagi pula, seseorang yang berduka tak selayaknya meminta bantuan jin atau makhluk halus untuk menenangkan diri, melainkan semestinya kembali kepada agama. Inilah penjelasan kenapa dalam waktu yang sangat lama krinok tidak terdengar. Ketika kemudian di beberapa tempat para seniman berusaha mengalihkan tradisi ini menjadi semacam nyanyian, penolakan datang dari kalangan agamawan.
Kasus krinok menunjukkan bahwa nilai lama sulit dan tidak bisa berkembang karena dianggap tidak sesuai dengan nilai baru. Bahkan dalam kasus incung, aksara ini sekarang hilang dan tidak ada seorang Melayu pun yang dapat menulis-bacanya. “Totalitas” identitas Islam diterima masyarakat Melayu Jambi, membuatnya tidak ramah terhadap keragaman atau perbedaan. Setiap yang berbeda atau tidak sama dan sesuai dengan Islam tidak diakui dan berusaha dihilangkan. Inilah teliti atau proses penyaringan nilai lama berdasarkan nilai-nilai Islam. Teliti menjadi semacam alat untuk menyaring tidak hanya tradisi, tetapi juga sejarah, agar sesuai dengan Islam. Apa yang sejalan dengan syariat dipakai dan diteruskan, yang bertentangan ditolak dan ditinggalkan. Hasil saringan itulah yang kemudian disebut adat, yang layak dipedomani masyarakat Melayu Jambi. Tetapi apakah semua masyarakat Melayu sepakat bahwa yang telah disaring itu benar-benar sesuai dengan pemahaman mereka tentang Islam?
Selepas Reformasi bergulir, terjadi kebangkitan adat di banyak tempat di Indonesia. Jambi juga tidak lepas dari fenomena itu. Kesultanan Jambi yang sudah lama jatuh sekarang dihidupkan lagi, muncul organisasi-organisasi yang secara eksklusif menamakan diri Melayu, termasuk lembaga adat yang semula bernama Lembaga Adat Propinsi Jambi berubah menjadi Lembaga Adat Melayu Jambi, perubahan desa menjadi rio, dan muncul peraturan daerah yang mengatur kebudayaan Melayu secara khusus. Seorang pegiat kebudayaan di Jambi mengatakan bahwa terjadi “orientasi Melayu” dalam banyak peraturan daerah yang diterbitkan. Padahal, masyarakat Jambi sekarang tidak hanya terdiri atas etnis Melayu, tetapi multietnis. Kebangkitan adat ini tentu saja mengabaikan keragaman etnis yang ada di Jambi. Beberapa kabupaten yang didominasi oleh etnis lain, seperti Kerinci serta Tanjung Jabung Barat dan Timur, seolah keluar dari aturan yang ada.
David Henley dan Jamie Davidson (2010: 5-7) menyebutkan bahwa kebangkitan gerakan masyarakat adat sering dimaksudkan sebagai “upaya mempertahankan keberagaman budaya”. Dalam konteks Indonesia, tentu saja ini karena selama lebih dari 30 tahun keragaman budaya tidak mendapat tempat dan terjadi penyeragaman dalam pengelolaan negara. Kalau sebelumnya desa di berbagai daerah di Indonesia disebut dengan banyak nama, yang struktur adat juga ada dalam penamaan itu, setelah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kelembagaan tradisional yang berfungsi dalam pengurusan daerah itu menjadi rusak. Ketika keran desentralisasi dibuka pasca-Reformasi, yang beragam itu berusaha dimunculkan kembali. Sayangnya, terutama dalam konteks Jambi, apa yang disebut “upaya mempertahankan keberagaman budaya” itu juga jatuh pada penyeragaman dan mengabaikan pluralitas yang ada di tingkat lokal.
Setelah Reformasi pula, muncul kelompok-kelompok agama yang oleh beberapa sarjana dikatakan sebagai gerakan transnasional. Di Jambi perkembangan gerakan ini cukup massif terutama di kampus umum seperti Universitas Jambi. Di tingkat masyarakat, gerakan ini berkembang juga disumbang oleh karakter masyarakat Melayu Jambi yang agamis, yang dalam beberapa tahun belakangan lembaga pendidikan keagamaannya banyak tutup karena kebijakan pemerintah. Tawaran lembaga pendidikan gerakan baru ini kemudian banyak disambut oleh masyarakat yang butuh baik pendidikan umum maupun pendidikan agama. Kehadiran gerakan ini belakangan menimbulkan gesekan-gesekan dengan kalangan adat. Kalau masyarakat Melayu Jambi mengklaim adatnya adalah Islam, bagi kelompok ini keislaman mereka dianggap tidak Islam yang sebenarnya. Karena Islam adat bukan yang semestinya, gerakan ini menolak praktik-praktik adat yang ditampilkan masyarakat Melayu Jambi, seperti dalam perkawinan. Mereka lalu menampilkan Islam secara berbeda, dengan jilbab panjang, berbicara dengan beberapa istilah dalam bahasa Arab, cenderung tertutup, dan hanya peduli dengan sesama mereka. Tampilan eksklusif Islam inilah yang mereka klaim sebagai Islam yang benar sebagaimana yang dipraktikkan Nabi di masa lalu.
Sampai di sini kita melihat bahwa dalam konteks masyarakat Jambi, Melayu—dan dengan demikian Islam—telah ditafsirkan dan maknanya ditarik ke sana-kemari. Bagi kalangan adat, Melayu adalah Islam, tapi keislaman Melayu oleh sebuah gerakan transnasional dianggap bukanlah Islam yang sesungguhnya. Mereka kemudian membuat representasi Islam yang benar itu. Problemnya adalah baik oleh kalangan adat maupun penentangnya, Islam yang ditampilkan adalah yang tak ramah terhadap perbedaan dan ekspresi kebudayaan lain. Demikian pula, kebangkitan adat atau Melayu juga cenderung mengabaikan keberagaman.[]
_____________
Ini adalah ringkasan dari artikel 9.000 kata yang saya presentasikan dalam Konferensi Pengelolaan Keragaman pada November 2013. Konferensi ini merupakan pertemuan alumni Sekolah Pengelolaan Keragaman (SPK) I yang dikelola Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM Yogyakarta. Versi lengkap keseluruhan artikel yang dipresentasikan sedang dalam proses cetak oleh CRCS UGM.
Ketua Lembaga Adat Melayu Jambi sedang memasangkan keris ke pinggang Presiden SBY, yang menandai penganugerahan gelar adat kepada SBY [sumber foto] |
0 komentar:
Posting Komentar