Perjumpaan Feminisme dan Ekonomi Politik Komunikasi




Ellen Riordan, “Feminist Theory and the Political Economy of Communication”, Andrew Calabrese & Colin Sparks, Toward a Political Economy of Culture: Capitalism and Communication in the Twenty-First Century, (Lanham-Boulder-New York-Oxford: Rowman & Littlefield Publishers Inc., 2003): 342-355.


ADA BANYAK definisi feminisme. Wikipedia mengartikannya sebagai “gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.” Tuntutan itu dilakukan karena terjadi ketidakadilan dan praktik yang merendahkan perempuan di hadapan lelaki. Tak hanya sebagai gerakan, pada 1970-an feminisme juga menjadi “disiplin ilmu” yang melahirkan banyak pusat studi wanita (PSW) di berbagai universitas, termasuk di Indonesia. Sebagai sebuah kajian, atau setidaknya metode, feminisme banyak meminjam teori-teori sosial seperti Marxisme, strukturalisme, dan lain-lain. Termasuk nanti feminisme berjumpa dengan teori ekonomi politik dan komunikasi sebagaimana dibahas dalam artikel Ellen Riordan, “Feminist Theory and the Political Economy of Communication” (2003).

Di dalam bukunya yang terkenal, Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction (1998), Rosemarie Tong menunjukkan bahwa setidaknya terdapat tiga gelombang dalam sejarah feminisme. Tuntutan terhadap emansipasi telah muncul sejak gelombang pertama feminisme. Hanya saja saat itu persamaan yang diinginkan adalah hak dan kesempatan di area publik seperti bekerja dan memeroleh pendidikan, belum melihat apa atau siapa yang menyebabkan ketidakadilan itu. Persoalan terakhir inilah yang diverbalkan oleh feminisme gelombang kedua. Lahir pada 1960-an, feminisme gelombang kedua mulai mempertimbangkan struktur tersembunyi yang membentuk patriarki dan kemudian mendorong lahirnya struktur alternatif yang setara. Teori-teori tentang kekuasaan, terutama yang datang dari Prancis, banyak digunakan di sini.

Ketika persoalan perempuan mulai dianggap “selesai”, para feminis menyadari bahwa jangan-jangan ada kesalahan dalam melihat diri: siapa yang disebut perempuan? Ketidaksetaraan rupanya tidak hanya datang dari laki-laki, tetapi bisa juga dari perempuan itu sendiri. Feminis gelombang ketiga yang fokus pada persoalan ini kemudian membuat dua pembedaan penting: woman dan women.

Dilihat dari sejarahnya tersebut, perjumpaan feminisme dengan analisis ekonomi-politik sesungguhnya telah lahir sejak gelombang kedua, yakni oleh aliran-aliran feminisme Marxis, neo-Marxis, dan sosialis. Menurut Ellen Riordan, ketiga aliran itu melihat adanya hubungan antara patriarki dan kapitalisme. Dalam menjelaskan hubungan itu, Riordan mengawali artikelnya dengan melihat globalisasi yang mewujud dalam ekspansi korporat untuk melipatgandakan kekuatan kapital mereka.

Dalam kaitannya dengan komunikasi, Riordan mencontohkan Disney yang menjalin kerja sama dengan ABC pada 1995 untuk mendistribusikan produk-produknya melalui jaringan televisi. Kekuatan jaringan media Amerika membuatnya begitu digdaya dalam menyebarkan budaya mereka melalui produksi film, acara televisi, dan majalah. Kalau para penganut ekonomi politik melihat kehadiran jaringan media global menyebabkan hilangnya nilai dan budaya lokal yang digantikan oleh ide-ide kapital, feminis mencatat ketidaksetaraan relasi lelaki-perempuan juga dilanggengkan. Kaum feminis berpendapat, globalisasi membuat produksi dan konsumsi budaya tidak hanya meminggirkan yang lokal atau nasional, tetapi juga menyangkut persoalan gender atau relasi lelaki-perempuan.

Produksi dan konsumsi kebudayaan adalah dua kata penting yang menjadi konsen penganut ekonomi politik. Banyak disumbang pendekatan Marxis, produksi mewujud dalam komoditas yang tidak hanya menjadi alat kontrol, tetapi juga sebentuk dominasi ideologi-politik kaum kapital. Untuk lebih memahami kapitalisme dan relasinya dalam kehidupan sehari-hari, Riordan menyarankan bahwa kajian ekonomi politik juga harus sampai pada konsumsi yang bertumpu pada hasrat (pleasure). Konsumsi, kata Riordan, adalah bagian integral dari reproduksi yang dalam praktiknya bersinggungan dengan soal ras, kelas, agama, usia, dan tentu saja gender.

Karena itu kemudian, ekonomi politik feminis dalam komunikasi menekankan pentingnya memahami isu-isu identitas, subjektivitas, hasrat, konsumsi, hukum, hak asasi, dan kerja dalam konteks kehidupan perempuan sehari-hari. Riordan selanjutnya memaparkan beberapa contoh penelitian yang mengangkat isu-isu tersebut, misalnya penelitian Roopali Mukherjee (kampanye hak sipil yang buta-gender), Fred Fejes (iklan dan identitas homoseksual), Eileen R. Meehan (politik rating yang bias), dan Amy Beer (homogenisasi identitas perempuan dalam majalah perempuan Latina). Dalam penelitian-penelitian tersebut, penganut ekonomi politik feminis mengintegrasikan banyak metode dan mengambil sebuah area spesifik yang dimasuki melalui salah satu dari tiga pintu masuk ekonomi politik yang disarankan Vincent Mosco, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi.

Tak syak lagi bahwa contoh-contoh yang dikemukakan Riordan berasal dari buku yang dia sunting bersama dengan Eileen R. Meehan, Sex and Money: Feminism and Political Economy in the Media (2002). Buku itu merupakan kumpulan artikel dengan fokus feminisme dan ekonomi politik media yang berasal dari beberapa konferensi sebagaimana disebutkan di awal artikel “Feminist Theory and the Political Economy of Communication”, yaitu IAMCR (Skotlandia, 1998), ICA (San Fransisco, 1999), UDC (San Fransisco, 1998), dan Capitalism and the Twenty-First Century (London, 2002). Artikel ini bahkan hanya perluasan dari artikel pengantar buku tersebut, berjudul “Intersections and New Directions: on Feminism and Political Economy”.

Karena itu, membaca artikel ini mestilah disandingkan dengan Sex and Money. Membaca contoh penelitian secara utuh, ketimbang hanya cuplikan, ditambah banyak contoh penelitian ekonomi politik feminis yang tidak disinggung dalam artikel, lebih memudahkan dalam memahami perjumpaan feminisme dan ekonomi politik komunikasi. Contoh-contoh itu juga dapat ditarik dalam konteks lokal, selain dapat ditambahkan contoh lain seperti bukunya Vissia Ita Yulianto, Pesona 'Barat': Analisa Kritis-Historis tentang tentang Warna Kulit di Indonesia (2007), dan Aquarini Priyatna-Prabasmoro, Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun (2003), yang menyoal identitas perempuan Indonesia dalam iklan media, untuk lebih memahami perjumpaan itu dalam konteks yang lebih dekat. Perjumpaan itu bukan sekadar pertemuan dua pendekatan besar, tapi juga harapan untuk lahirnya sebuah tatanan yang lebih lebih setara.[]

0 komentar: