Sistem Media



ADA BEBERAPA cara yang digunakan para peneliti untuk melihat kenyataan dan sistem pers di sebuah negara. Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm di dalam buku mereka yang telah menjadi klasik, Four Theories of the Press: The Authoritarian, Libertarian, Social Responsibility, and Soviet Communist Concepts of What the Press Should Be and Do (1963), menganjurkan untuk mengkaji pandangan-dunia (worldview, welltanschauung) yang dianut warga negara itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan-dunia tersebut akan memengaruhi dan pada gilirannya tecermin di dalam media. Mereka mengatakan:

To see the social system in their true relationship to the press, one has to look at certain basic beliefs and assumption which the society and the state, the relations of the state and the nature of knowledge and truth.[1]

Pendapat Siebert, Peterson, dan Schramm tersebut telah banyak dikritik terutama karena terlalu normatif dan ahistoris,[2] bias Barat terutama ketika menggambarkan pers Uni Soviet,[3] serta kunonya teori tersebut sehingga tidak relevan lagi digunakan setelah Uni Soviet runtuh pada 1980-an.[4] Yang sangat mendasar dari banyak kritik itu sesungguhnya mempersoalkan teori mereka yang sangat deduktif: bila sistem yang dianut negara adalah A, maka sistem pers yang ada di negara itu juga A. Model penalaran silogis yang ada dalam pendapat Siebert, oleh para pengkritiknya, dianggap mengabaikan kenyataan atau fakta yang kerap berbeda dengan sistem besar negara.

Achmad Zaini Abar, salah seorang pengkritik empat teori pers ala Siebert, Peterson, dan Schramm, menyatakan bahwa kenyataan yang berbeda tersebut sering terjadi terutama di negara dunia ketiga. Di dalam bukunya, Kisah Pers Indonesia: 1966-1974, Abar menunjukkan bahwa di Indonesia, yang merupakan negara dunia ketiga, pers jauh dari apa yang dicita-citakan oleh demokrasi Pancasila, sistem yang digadang-gadang oleh Orde Baru. Di bawah Orde Baru, pers Indonesia adalah pers yang terkungkung dalam hegemoni dan ketakutan sebab sewaktu-waktu pembredelan bisa terjadi bila pemberitaannya tak memeroleh restu rezim.[5]

Setidaknya ada dua kelemahan dalam kritik Abar terhadap Siebert dkk. Pertama, persoalan sebenarnya bukanlah apa yang dibilang oleh Abar sebagai inkonsistensi sistem dan kenyataan, melainkan bahwa demokrasi Pancasila benar-benar dijadikan sebagai sistem oleh Orde Baru juga masih bisa diperdebatkan. Belakangan lebih banyak yang menyebut sistem pemerintahan Orde Baru adalah otoritarianisme. Walhasil, bila pendapat terakhir ini dipegangi, sistem pers di bawah Orde Baru sesungguhnya sesuai dengan sistem yang dianut negara.[6] Di sini inkonsistensi yang merupakan titik kritik Abar untuk Siebert dkk dengan sendirinya tidak tepat dan malah menguatkan pendapat mereka.

Kedua, pendapat Abar bahwa inkonsistensi sistem negara-sistem pers terjadi di negara dunia ketiga jelas sangat bias Barat. Di dalam ilmu sosial cara pandang ini disebut orientalisme: melihat timur atau dunia ketiga sebagai jelek dan barat sebagai maju dan berperadaban. Cara pandang yang digunakan Abar ini mengabaikan banyak fakta inkonsistensi yang juga terjadi di negara maju. Di Italia di masa kepemimpinan Perdana Menteri Silvio Berlusconi, misalnya, pers dimiliki dan digunakan oleh penguasa untuk kepentingan politiknya. Fakta bahwa sistem pers yang dianut negara-negara maju tidak sama, meskipun mereka mengklaim diri sebagai penganut demokrasi, dengan sendirinya menunjukkan bahwa di sana juga terjadi ketidaksamaan sistem negara dan pers. Paling tidak itu memperlihatkan bahwa sistem pers di negara maju tidaklah monolitik dan tidak mengikut saja, untuk mengatakan sesuai dengan, sistem yang dianut negara.

Meskipun kritiknya mengandung kelemahan, usulan Abar terkait pendekatan untuk melihat sistem pers di suatu negara menarik disimak lebih lanjut. Abar menyebut pendekatan usulannya sebagai pendekatan struktural. Pendekatan yang dipinjam dalam analisis-analisis ilmu sosial, yang mulai marak pada 1970-an, itu berupaya melihat lebih jauh dinamika hubungan pers dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik. Meskipun menjelaskan panjang-lebar soal pendekatan struktural yang diusulkannya, Abar abai menunjukkan variabel yang meyakinkan yang dia gunakan dalam melihat sistem pers Indonesia.[7] Bukunya kemudian nyaris bercerita lepas terkait sejarah pers di paruh awal Orde Baru.

Pada titik itu, apa yang ditulis Daniel C. Hallin dan Paolo Mancini melengkapi pendekatan yang dimaksud Abar. Sama dengan Abar, Hallin dan Mancini juga mengkritik empat teori pers yang mereka sebut sebagai normatif. Sebagai gantinya, mereka mengusulkan pendekatan yang lebih historis, dengan tujuan-tujuan yang dijelaskan sebagai berikut:

We are interested here not in measuring media systems againts a normative ideal, but in analyzing their historical development as institutions within particular social settings. We want to understand why they developed in the particular ways that they did; what roles they actually play in political, social, and economic life; and what patterns of relationship they have with other social institutions. Our models of journalism are intended as empirical, not normative models.[8]

Berbeda dengan Abar, Hallin dan Mancini menjelaskan variabel yang digunakan untuk melihat sistem pers tersebut, yang seluruhnya ada empat variabel. Pertama, industri pers, yang ditekankan pada kuat atau lemahnya sirkulasi media. Kedua, paralelisme politik, yaitu hubungan media dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada di masyarakat; sistem media merefleksikan kekuatan politik. Ketiga, profesionalisme jurnalis. Keempat, intervensi pemerintah terhadap pers.[9]

Meskipun yang ditekankan Hallin dan Mancini dengan menggunakan empat variabel tersebut adalah perbandingan sistem pers di beberapa negara, pendekatan yang digunakannya jelas sekali memadai dipakai untuk melihat sistem pers di sebuah wilayah di suatu negara. Bahkan dengan menggunakannya untuk membandingkan sistem pers di banyak negara, pendekatan Hallin dan Mancini berarti telah dipakai dan memadai untuk melihat pers di wilayah-wilayah yang berbeda. Memang ada kritik bahwa pendekatan mereka terlalu mempertimbangkan faktor politik, sebagaimana anak judul buku mereka, three models media and politics, namun, sebagaimana dalam banyak kasus, kaitan keduanya memang sangat erat.

Tinggal persoalannya, kalau Halllin dan Mancini melihat pers dalam konteks politik negara, apakah bisa pendekatannya dipakai untuk melihat pers di sebuah daerah di suatu negara? Apakah tidak cukup melihat sistem pers di tingkat negara lalu kemudian menderivasinya ke dalam sistem pers di daerah?

Pasca-Reformasi, Indonesia menerapkan kebijakan otonomi daerah secara berlebihan di Indonesia. Banyak hal yang sebelumnya diatur oleh dan menjadi kewenangan pemerintah pusat, kemudian didelegasikan dan menjadi hak daerah. Kebijakan desentralisasi ini, dalam pandangan banyak pengamat, mengubah secara total landscape politik Indonesia.[10] Aktor-aktor politik lokal bermunculan d(eng)an memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki daerah, termasuk sumber daya media. Media di daerah kemudian banyak digunakan untuk melayani kepentingan elite-elite lokal tersebut. Meskipun urusan tentang regulasi media masih berada di pusat, kenyataan antara media di pusat dan di daerah bisa berbeda sama sekali. Ini alasan pentingnya melihat pers di daerah di Indonesia terutama pasca-Reformasi.

______________

[1] Siebert, Peterson, and Schramm, Four Theories of the Press: The Authoritarian, Libertarian, Social Responsibility, and Soviet Communist Concepts of What the Press Should Be and Do, (Urbana: University of Illinois Press, 1963), hlm. 1.

[2] Misalnya Jay G. Blumler, Jack M. McLeod, Karl Erik Rosengren (eds.), Comparatively Speaking: Communication and Culture Across Space and Time, (California : Sage Publications, 1992); Daniel C. Hallin dan Paolo Mancini, Comparing Media System: Three Models Media and Politics, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 7-15.

[3] Antara lain Christopher Simpson, Science of Coercion: Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960, (Oxford: Oxford University Press, 1994); Everett M. Rogers, A History of Communication Study: A Biographical Approach, (New York: Free Press, 1994).

[4] Robert G. Picard, The Press and the Decline of Democracy: The Democratic Socialist Response in Public Policy, (Connecticut: Greenwood Press, 1985).

[5] Lihat lebih lanjut Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia, 1966-1974, (Yogyakarta: LKiS, 1995).

[6] Di dalam teori Siebert, Peterson, dan Schramm disebut pers otoritarian.

[7] Lihat bab dua bukunya, Kisah Pers Indonesia.

[8] Hallin dan Mancini, Comparing Media System, hlm. 14.

[9] Lihat Hallin dan Mancini, Comparing Media System, hlm. 21 dan seterusnya.

[10] Lihat misalnya pendapat banyak pakar dalam kumpulan buku yang disunting Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (eds.), Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Soeharto Indonesia, (Leiden: KITLV, 2007).


______________

Sumber gambar: Infertility Network.

0 komentar: