Handbook of Qur’anic Hermeneutics



SEORANG TEMAN mengabarkan bahwa buku terbaru Georges Tamer (ed.), Handbook of Qur’anic Hermeneutics: Contemporary Qur’anic Hermeneutics, yang diterbitkan oleh De Gruiter Jerman, sudah bisa diakses. 

Jelas Tamer adalah sarjana yang sangat serius mempelajari tafsir Al-Qur’an. Contemporary Qur’anic Hermeneutics adalah volume ke-5 dari handbook yang dia sunting. Volume 3 membahas Qur’anic Hermeneutics from the 13th to the 19th Century, sedangkan Volume 4 membahas Qur’anic Hermeneutics from the 19th and 20th Century.

Saya cari Volume 1 dan 2 tidak ada. Tampaknya belum terbit. Mungkin belakangan. Volume 3, 4, dan 5 juga tidak terbit berurutan. Volume 4 terbit lebih dulu 2024, sementara Volume 3 dan 5 baru 2025.

Begitu membuka-buka tiga volume yang sudah tersedia, pertanyaan yang segera menyergap adalah: apakah ada penafsir(an) Indonesia yang dibahas di dalamnya?

Tentu saja isi buku-buku Handbook of Qur’anic Hermeneutics didominasi oleh penafsir(an) dari Timur Tengah, wilayah yang sering dikategorikan sebagai pusat Islam. Meskipun begitu, penyunting tampaknya menyadari juga perlunya memasukkan penafsir(an) dari wilayah "periferal" seperti Indonesia. 

Karena itu, di dalam masing-masing volume, ulama Indonesia/Nusantara juga ada. Abdulrauf al-Sinkili menjadi wakil ulama Nusantara untuk volume yang membahas Abad Ke-13-19, sementara di dalam volume berikutnya ada Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka. Bab tentang penafsiran Hamka ditulis oleh Ervan Nurtawab, dosen IAIN Metro, Lampung, yang kini fellow di Univ Freiburg, Jerman, sementara bab mengenai al-Sinkili ditulis oleh pembimbing disertasi Ervan di Monash Univ, Peter G. Riddell.

Volume 5, membahas hermeneutika kontemporer Al-Qur'an, tentu diisi oleh bahasan tentang penafsiran dari nama-nama yang selama ini menjadi favorit topik skripsi di PTKI: Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Wahbah al-Zuhayli, Fatimah Mernissi, Shahrur, Mahmoud Ayoub, Musa al-Sadr, Hasan Hanafi, dan Abdulkarim Soroush. Beberapa nama asing bagi saya, misalnya Husein Fadlallah dan Mohamed Talbi, serta yang tampaknya berasal dari Anak Benua Hindia, Turki, atau Iran: Yasar Nuri Ozturk, Suleyman Ates, Mujtahid Shabistari, Imran Nazar Hosein, dan Javed Ghamidi. 

Menarik juga di volume ini ulama Arab Saudi terkemuka yang beraliran Wahabi, Ibnu Uthaymin, juga dibahas.

Saya awalnya mengira penafsir(an) dari Indonesia atau Asia Tenggara bakal banyak di volume ini. Kenyataannya hanya ada bab tentang M. Quraish Shihab yang ditulis oleh Munirul Ikhwan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Agak longgar sedikit ada amina wadud (memang amina minta namanya ditulis dengan huruf kecil semua), Muslimah Amerika Serikat yang pernah mengajar di IIUM Malaysia dan Univ Virginia serta sekarang mukim di Bali dan Yogyakarta dan mengajar di UGM dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kalau Volume 3 dan 4 hanya berisi bab-bab yang membahas tokoh-tokoh tafsir tertentu, Volume 5 tidak cuma demikian. Bisa dikata Volume 5 terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah bab-bab yang khusus membahas penafsir Al-Qur’an, sementara bagian kedua berisi bab-bab tentang corak-corak penafsiran tertentu. Jadi ada bab-bab, misalnya, soal penafsiran oleh dan untuk perempuan, penafsiran kalangan fundamentalis, dan penafsiran progresif. Nah, di bagian inilah, ada bab khusus yang membahas penafsiran modern di Indonesia dan Malaysia, yang kembali ditulis oleh Ervan Nurtawab dan Peter Riddell.

Saat ini Georges Tamer sedang menyiapkan Volume 6 "Qur’anic Hermeneutics by Non-Muslims”. Di laman De Gruyter disebutkan bahwa volume tersebut akan tersedia pada Desember 2025. Sangat pantas untuk dinantikan.[]

Strata dan Diploma



BAGAIMANA CARA menuliskan tingkatan kesarjanaan, baik jalur akademis (strata) maupun jalur profesional (diploma)? “Es satu” sampai “Es tiga”, “De satu” sampai “De empat”, bagaimana cara menuliskannya? 

Dulu, sewaktu bekerja di penerbitan, hal-hal kecil semacam itu sering kami diskusikan dengan sesama editor. 

Umumnya orang menuliskannya dengan ”S1” atau ”D4”. Penulisan itu tidak tepat. Pertama, angka 1 dan 4 di situ bukanlah jumlah huruf (penyingkat) sebelumnya. Jadi bukan “S yang berjumlah 1” atau “D yang berjumlah 4”. Kalau yang dimaksud adalah “S yang berjumlah 1” atau “D yang berjumlah 4”, penulisannya tepat untuk “D4” dan keliru untuk “S1”. “S1” cukup ditulis “S” saja.

Kedua, penulisan “S1” dan “D4” dengan demikian berarti ”S” dan ”DDDD”. Penyingkatan ”DDDD” dalam tulisan jelas dianjurkan dan resmi ketimbang ”D4”. ”D4” seharusnya hanya pengucapan ”De empat”, bukan untuk penulisan.

Jadi penulisan ”LP2M” tidak tepat, bukan? Seharusnya memang ”LPPM”. Membacanya boleh ”El pe dua em”. Sebagai perbandingan, “PPP” bisa dibaca “Pe tiga”, tapi seharusnya tidak ditulis "P3".

Kalau tidak tepat "S1" dan "D4", lantas bagaimana? Solusinya dikasih tanda hubung (-). Di samping digunakan untuk merangkaikan unsur yang tidak sejenis, misal huruf dengan angka, tanda hubung juga menunjukkan peringkat: "S-1" sampai "S-3" pada dasarnya adalah tingkat atau strata. Jadi "S-1" berarti strata ke-1, "S-2" adalah strata ke-2, dst.

Penulisan tanpa disingkat juga seharusnya tetap menggunakan tanda hubung: "strata-1", "strata-3", "diploma-1", "diploma-4"....[]

 

Apa Itu Otoritas Religius?



JUDUL DI atas adalah terjemahan dari judul utama buku Ismail Fajrie Alatas atau Habib Ajie, What is Religious Authority? Cultivating Islamic Communities in Indonesia (Princeton Univ Press, 2021). Buku tersebut membahas tentang Habib Luthfi bin Ali Yahya, seorang ulama dan pemimpin tarikat terkemuka di Indonesia. Pertanyaannya, mengapa sang habib bisa punya otoritas? Bagaimana otoritas tersebut dibangun? Apa sih sebetulnya otoritas itu?

Didiskusikan oleh beberapa pusat studi yang konsen dengan kawasan Indonesia dan Asia Tenggara, What is Religious Authority? mendapatkan banyak pujian dari para sarjana. Robert Hefner, misalnya, menyebut buku Ajie sebagai “salah satu buku terpenting tentang Islam di Indonesia” dan “menjadi referensi pokok bagi semua pengkaji Islam dan otoritas keislaman.”

Perdebatan tentang otoritas tentu saja bukan hal baru. Banyak orang mengaitkannya dengan karisma, istilah yang mengingatkan kita pada sosiolog Max Weber. Dalam hal kepemimpinan, kata Weber, karisma lahir karena adanya kebutuhan dan aspirasi yang belum terpenuhi oleh kenyataan. Ketundukan dan kepatuhan kepada pemimpin, karena itu, disebabkan anggapan bahwa dia mampu merealisasikan kebutuhan dan aspirasi yang tertunda tersebut. Anggapan kemampuan itulah yang disebut karisma. Otoritas kira-kira mirip seperti itu.

Para filsuf posmodernis Prancis juga sering dikutip terkait otoritas. Dua di antaranya adalah Michel Foucault dan Roland Barthes. Kalau yang pertama menulis “What is an Author?”, yang kedua mengarang “Author is Dead”. Dalam tulis-menulis, sering kali dikatakan bahwa author (sering diartikan pengarang, tapi tidak sekadar itu) adalah orang yang paling tahu atas sebuah karya. Jika kita bingung membaca buku atau teks, misalnya, kita tanya saja pengarangnya. Dialah yang dianggap punya otoritas atas karyanya. 

Sebagai posmodernis, Foucault dan Barthes tentu saja risau dengan kenyataan itu. Gak boleh dong ada yang berkuasa atas teks. Sebaliknya, semua orang seharusnya setara di hadapan teks. Kata Barthes, “kelahiran teks mesti dibayar dengan kematian author.” Jadi, author harus dimatikan, harus dibunuh!

Tapi siapakah author itu? Menariknya, dia bukan (hanya) pengarang. Dalam banyak kasus, author itu justru bukan pengarang, melainkan pembaca yang berusaha menguasai tafsir atas teks. Masih ingat kan kasus novel-novel Pramoedya Ananta Toer yang disebut oleh Orde Baru sebagai kiri dan, karena itu, dilarang beredar? Bukan Pram yang punya otoritas bicara atas karyanya, tapi tafsir Orde Baru yang dipaksakan harus diterima. Orde Baru adalah sang author, yang menggenggam atau merampas authority.

Atau, dalam kasus kitab suci, meskipun tahu bahwa yang punya otoritas atasnya adalah Tuhan, kita sering memaksakan tafsir kita atau tafsir tertentu supaya diterima semua orang. Diam-diam, kita ingin menjadi sang otoritas atas kitab suci. 

Dari banyak teori tentang otoritas, Ajie mendasarkan argumennya pada teorinya Hannah Arendt. Menurut Arendt, “otoritas adalah suatu relasi hierarkis yang mengkoneksikan satu kelompok masyarakat dengan masa lalu yang mereka yakini sebagai mendasar (foundational). Relasi itu kemudian memberikan kemampuan kepada mereka yang punya otoritas untuk menyambungkan dan mengubah masa lalu itu menjadi model atau contoh bagi masa kini.”

Jadi ada tiga unsur pembentuk otoritas. Pertama, gagasan tentang dan koneksi ke foundational past. Kedua, kapasitas untuk mengubah yang foundational menjadi model. Ketiga, kemampuan menghasilkan kepatuhan tanpa paksaan.

Di dalam kasus Habib Luthfi dan Islam secara umum, masa lalu yang foundational tersebut tentu saja adalah kehidupan Nabi Muhammad atau masa Islam awal. Koneksi dengan masa lalu yang foundational itu tidak saja dibangun oleh Habib Luthfi melalui silsilah atau nasab, melainkan juga sanad keilmuan yang tersambung ke Nabi.

Jika hidup Nabi di dalam Islam disebut sunnah, maka sunnah menjadi mode of action bagi Habib Luthfi. Agar tidak saja menjadi cerita masa lalu, sunnah harus diterjemahkan dan dihidupkan pada masa kini melalui upaya membayangkan dan menumbuhkan jamaah atau komunitas (cultivating communities; lihat anak judul buku ini. Istilah “membayangkan komunitas” tampak dipengaruhi Benedict Anderson: imagined community). 

Dalam menghidupkan sunnah itu, Habib Luthfi memerankan apa yang kemudian disebut sebagai articulatory labor atau kerja artikulasi. Di sini, sang habib menjadi jembatan yang menghubungkan antara sunnah dan jamaah: mengubah yang foundational menjadi model riil. Kerja artikulasi itu tidak hanya sekali dilaksanakan dan langsung jadi, tapi harus terus-menerus ditumbuhkan dan dirawat. Kontinuitas tersebut yang nanti menghasilkan kepatuhan.

Mengenai pentingnya kerja artikulasi, Ajie menyebut bahwa “salah satu cara untuk memahami Islam sebagai kenyataan sejarah dan sosiologis adalah dengan menempatkan Islam sebagai hasil dari kerja artikulasi.”[] 

Aljunied dan Majul



SAYA KIRA, dari banyak sarjana sosial Asia Tenggara yang produktif menelurkan karya-karya akademik, Khairudin Aljunied yang paling prolifik. Saya mengikuti karya-karyanya sejak beberapa tahun terakhir, dan tak ragu untuk menyebut demikian. 

Di samping menulis banyak artikel di jurnal-jurnal penting bereputasi, Aljunied juga nyaris setiap tahun menulis buku utuh yang dipublikasikan oleh penerbit-penerbit terbaik di dunia: Muslim Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam in Comparative Perspective (Edinburg Univ Press, 2017); Hamka and Islam: Cosmopolitan Reform in the Malay World (Cornell Univ Press, 2018); Islam in Malaysia: An Entwined History (Oxford Univ Press, 2019); dan Shapers of Islam in Southeast Asia: Muslim Intellectuals and the Making of Islamic Reformism (Oxford Univ Press, 2022). Dosen National Univ of Singapore (NUS) Singapura itu juga penyunting Routledge Handbook of Islam in Southeast Asia (Routledge, 2022).

Tulisan-tulisan Aljunied khas. Dia barangkali tidak mengajukan topik “baru”, melainkan memunguti hal-hal lama yang sudah dilupakan banyak peneliti, lalu mengajukan interpretasi baru atasnya. Topik-topik itu berpusat pada tokoh-tokoh Muslim yang memberikan pengaruh pada Islam di Asia Tenggara, misalnya Hamka, Zakiah Daradjat, Harun Nasution, dan Kuntowijoyo—untuk menyebut beberapa subjek risetnya yang berasal dari Indonesia.

Siapakah lagi di antara sarjana Indonesia yang membaca karya-karya para tokoh tersebut? Adakah lagi buku-buku seperti Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya karya Harun Nasution atau Ilmu Jiwa Agama karangan Zakiah Daradjat dijadikan pegangan dan dipelajari oleh mahasiswa dalam ruang-ruang perkuliahan di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI)? Atau Tasawuf Modern-nya Hamka? Paradigma Islam-nya Kuntowijoyo? Sekali lagi, kita mungkin telah melupakan mereka.

Aljunied memunguti yang terlupakan itu dan menekuninya. Hasilnya dia tulis dalam banyak jurnal penting dan buku yang wah. Tapi untuk apa? Di dalam sebuah seminar yang saya ikuti, Aljunied bilang bahwa motivasinya menulis karya-karya adalah untuk memberikan narasi baru tentang Islam di Asia Tenggara. Narasi baru itu penting karena narasi tentang Islam Nusantara yang ada, menurut Aljunied, bermasalah, yakni memandang Islam Melayu inferior dibandingkan Islam di Arab. Di samping itu, banyak narasi melihat Islam di Asia Tenggara saat ini lebih radikal, konservatif, dan tertutup. Aljunied berusaha melawan itu. Meskipun juga mengakui bahwa radikalisme dan konservatisme ada, menurutnya, dari perspektif kehidupan sehari-hari (everyday life), Islam Melayu adalah terbuka.

Untuk mengungkap sikap terbuka itu, Aljunied menamakan proyeknya dengan Islam kosmopolitan. Dia lalu menggali nilai-nilai kosmopolitanisme itu melalui Islam yang dipraktikkan oleh masyarakat Asia Tenggara. Bagi fellow dan profesor di Universiti Brunei Darussalam itu, Islam tidak bisa dipandang hanya dari gagasan yang berkembang dari dan di Arab, tapi juga yang hidup di wilayah lain, termasuk Asia Tenggara.

Dengan proyek Islam kosmopolitan tersebut, Aljunied lalu menggali gagasan-gagasan keislaman para tokoh yang telah disebutkan sebelumnya, di samping tentu saja para tokoh dari Malaysia dan Singapura. Di dalam buku terbarunya, Shapers of Islam in Southeast Asia, Aljunied bahkan menyertakan pengusung Islam kosmopolitan dari Filipina, negara yang sering memiliki “problem Islam”, terutama karena pemeluk Islam merupakan minoritas di sana, yakni Cesar Adib Majul.


Meskipun buku Majul, Muslims in Philippines, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1989 dan bisa dijumpai di perpustakaan, saya tidak menyadari pentingnya tokoh tersebut. Majul lahir sebagai pemeluk Kristen Ortodoks dan menempuh pendidikan di Univ of the Philippines-Diliman untuk meraih sarjana dan master, sebelum melanjutkan ke jenjang doktoral di Cornel University. 

Majul adalah intelektual-cum-aktivis. Sewaktu menjadi mediator antara pemerintah Filipina dan Fron Pembebasan Nasional Moro (MNLF), Majul memeluk Islam dan mendalaminya. Di Diliman, dia mendirikan Institut Studi Islam. Namun, setahun setelah diangkat menjadi profesor, Majul justru mengundurkan diri dari Diliman dan pindah ke Amerika. Kebijakan tangan besi pemerintah Filipina terhadap Moro ditengarai menjadi pemicunya.

Sebagai intelektual, Majul menulis lebih dari 150 artikel dan puluhan buku. Minatnya luas. Menurut Julkipli Wadi, sebagaimana dikutip Aljunied, karya Majul dapat dibagi menjadi empat kategori topik: (1) filsafat dan logika, (2) Filipina, (3) studi Asia serta pemikiran dan sejarah Islam, (4) spiritualitas Islam dan tafsir Alquran.

Saya lantas coba menelusuri topik keempat. Saya kira yang disebut tafsir adalah karya terakhir Majul, berjudul Remembrance and Forgetfulness in the Holy Qur’an, yang diselesaikan beberapa saat sebelum meninggal pada 2003. Buku lain yang mendekati kategori tersebut tampaknya Islam and Conflict Resolution: Theories and Practices. Ditulis bersama Salmi dan Tanham, buku itu banyak didasarkan pada sejarah Islam awal serta pandangan pemikir Islam baik klasik maupun kontemporer. 

Membaca Majul dan Aljunied menyadarkan bahwa ada banyak tokoh dan pemikiran penting di sekitar kita yang bisa dikaji (-ulang) dan ditulis. Setidaknya para tokoh tersebut dan karyanya tidak dilupakan, tapi dipelajari lagi di kelas-kelas kuliah. Terkhusus Majul, tafsirnya bisa diteliti di jurusan terkait. Jadi keluar sedikit dari pakem mempelajari tafsir karya ulama Timur Tengah atau tafsir Indonesia, studi tafsir bisa beranjak ke atau menambahkan pemikir atau ulama Asia Tenggara. Nuansanya bakal beda. Di banyak kampus PTKI, rasanya itu perlu, terutama untuk beringsut dari jebakan “the living….”[]

Hidup Bersama Raksasa



SAYA TIDAK bisa menahan diri untuk tidak membagikan buku penting ini: Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit karya Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Dalam beberapa tahun terakhir, itu salah satu buku terbaik yang saya baca.

Buku ini pertama kali terbit dalam versi Inggris, dengan judul Plantation Life: Corporate Occupation in Indonesia’s Oil Palm Zone oleh Duke Univ Press, pada 2021. Begitu ada informasi pre-order versi terjemahan dalam bahasa Indonesia, saya segera memesannya. Nama besar Li, yang bukunya pernah saya baca, The Will to Improve, adalah di antara alasan saya membelinya. Alasan lain adalah Pujo Semedi, antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya pernah dilatih menulis etnografi oleh Mas Pujo selama beberapa waktu pada 2007.

Di buku ini, Li dan Mas Pujo berkolaborasi menulis tentang perkebunan sawit di Kalimantan. Kerja kolaboratif semacam itu sesuatu yang aneh dalam etnografi. Mereka bahkan juga dibantu oleh lebih dari 50-an mahasiswa baik dari UGM maupun Univ Toronto, Kanada, tempat Li mengajar. Yang umum, kerja etnografi ya kerja sendiri, menulis sendiri. Di buku ini dijelaskan bagaimana mereka menulis bahkan di satu tempat, sering dengan satu komputer, dengan kalimat per kalimat disusun bersama.

Hidup Bersama Raksasa berkisah tentang bagaimana dua perusahaan perkebunan sawit, satu milik negara dan satu swasta, berdiri dan berkembang di Kalimantan serta berinteraksi dengan masyarakat setempat, baik yang lebih dulu ada di sana maupun yang dibawa oleh perusahaan. Li dan Pujo menunjukkan dua perusahaan itu berkolaborasi dengan kekuatan ilegal atau secara ilegal masuk. Kedua perkebunan tak jarang menggunakan aparat bersenjara dan paramiliter untuk memuluskan pendirian perusahaan.

Luasnya perkebunan mengubah kehidupan yang terjadi di desa. Tidak hanya bentang lahan dan ekosistem yang berubah, tapi juga struktur kehidupan: relasi penduduk dengan perusahaan, banyak penduduk setempat dipekerjakan, hubungan mandor-buruh yang timpang, pekerja yang rentan tanpa jaminan, sistem ekonomi menjadi sangat bergantung, munculnya penguasa-penguasa baru yang dibekingi perusahaan, aturan-aturan baru yang diterapkan perusahaan dan menjadi aturan yang diterapkan di desa… 

Menurut Li dan Pujo, ketimbang menjanjikan kemakmuran, kehadiran perusahaan lebih tepat disebut pendudukan, tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan (perusahaan masa) kolonial. Perusahaan itu mirip raksasa: besar, berkuasa, dan memaksa.

Dan ini yang penting dipelajari: dalam menceritakan itu, tuturan Hidup Bersama Raksasa sangat-sangat-sangat detail. Cara menulisnya, meminjam istilah yang sering digunakan dalam kursus penulisan, sangat “basah”.

Selesai membaca buku ini, saya jadi nggerundel, kenapa sih bukan kita yang menuliskannya? Konteks Kalimantan saya kira mirip dengan Jambi: ada banyak perusahaan perkebunan, besar-besar juga. Tapi kita abai meneliti dan menuliskannya. Padahal, sekali lagi, fenomena itu ada di sekitar kita. (Dalam konteks Jambi, saya membaca disertasi Arfan Aziz, topiknya mirip, hanya lebih sosiologis).

Atau kalau bukan perusahaan sawit, di Jambi ada pertambangan batubara, juga pertambangan emas, yang sering jadi objek kemarahan karena kemacetan jalan dan kerusakan yang diakibatkan. Kenapa “kemarahan” itu tidak diwujudkan dalam bentuk riset? Apakah kehadiran mereka juga ilegal? Atau resmi tapi diupayakan melalui cara ilegal, seperti di Kalimantan? Bagaimana relasi sosial-budaya-ekonomi-politik yang muncul dari kehadiran perusahaan-perusahaan seperti itu? Apa dampak dan “kerusakan” yang diakibatkannya? Meskipun hujan kritik, mengapa perusahaan-perusahaan seperti itu tetap berdiri dan tumbuh? 

Kata Li dan Pujo, keberlangsungan (sustainability) adalah istilah yang sekarang diciptakan untuk menjustifikasinya.