Bush-et! Sepatu Nomor 10!









PASTI GEORGE Walker Bush atau Bush Junior tak akan pernah melupakan kejadian ini: dilempar sepatu.

Dalam kunjungan ke Irak sebelum meletakkan jabatan presiden Amerika Serikat pada Januari mendatang, Senin (15/12) lalu Bush mengadakan jumpa pers bersama Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki. Keduanya memberikan penjelasan seusai menandatangani pakta keamanan bersama yang mensyaratkan seluruh pasukan Amerika meninggalkan Irak pada 2011.

Saat itu, mendadak, seseorang yang belakangan diketahui bernama Muntazar al-Zaidi melemparkan sepatunya ke arah Bush. “Ini adalah kado perpisahan dari rakyat Irak, Anjing!” teriaknya sembari melempar.

Tapi Bush cekatan. Dia bisa mengelak.

Tak puas, koresponden stasiun televisi al-Bagdadiyah itu segera melempar sepatu satunya lagi. “Ini untuk para janda, yatim piatu, dan orang-orang yang terbunuh di Irak!” umpat al-Zaidi. Lagi-lagi lemparan itu luput.

Di masyarakat Arab, konon, memperlihatkan tapak sepatu adalah sebentuk penghinaan. Saat patung Saddam Hussein dirobohkan tentara koalisi dalam invasi ke Irak beberapa tahun lalu, rakyat Irak menendangi serta memukul-mukulkan sepatu ke patung raksasa itu.

Apa rakyat Irak menyetujui hal serupa terjadi pada Bush? Mungkin saja.

Yang pasti, di beberapa media Indonesia, sepatu melayang ke wajah Bush disoraki senang. Koran Tempo yang memeroleh predikat koran berbahasa Indonesia terbaik 2008 dari Pusat Bahasa, misalnya, menyebut pada edisi 16 Desember 2008 terbitannya: “Sayang, lemparanya (al-Zaidi) meleset. Bush mengelak dengan menundukkan kepalanya.” Itu tertulis di halaman B8 di bawah rubrik “Internasional”. Di sana juga ada lima foto pelemparan-penghinaan itu.

Yang mengejutkan saya, di halaman muka, di pojok “Portal” yang berisi kartun nyelekit, Koran Tempo menggambar Bush yang mengelak. Di belakangnya bertumpuk sepatu. Sementara, ada lima sepatu yang tengah melayang. Dan di bawah kartun terdapat caption “Bushet, luput”, yang menyiratkan kegirangan pemasangnya andai sebuah atau semua sepatu itu telak mengenai wajah Bush. Bush-et!

Sementara Kompas yang dipredikati koran kedua berbahasa Indonesia terbaik memang tanpa pretensi memberitakannya di rubrik “Internasional” di halaman 9 edisi 16 Desember 2009. Koran dengan oplah terbesar di Indonesia itu menulis, “Lemparan pertama meleset. Sepatu kedua pun menyusul dan meleset lagi. Bush dengan sigap mengelakkan badan dan menundukkan kepala.”

“Kamera” koran tersebut hari itu bersih memotretnya. Tak menyampuri dengan kata-kata "sayang” seperti yang dipakai Koran Tempo atau gambaran pengandaian bila lemparan mengenai sasaran.

Tapi edisi esoknya, di “Pojok” di bawah “Opini” halaman 6, Mang Usil justru mengemukakan komentar khasnya. Kalimat “Menarik, kata Presiden Bush tentang insiden lempar sepatu”, dikomentari dengan “Asyik lagi kalau kena sasaran!”

Anda percaya Mang Usil kali itu benar-benar usil?

Kalaupun tidak sedang usil, juga tak masalah. Terhadap keseriusan penghinaan itu, Bush pun hanya tersenyum. Malah dia sempat berseloroh setelahnya, “Kalau Anda mau fakta, yang ia lempar tadi sepatu nomor 10.”

Mungkin atas candaan itu, Koran Tempo melaporkan, “Seorang wartawan yang ikut dalam acara itu melempar Bush dengan sepasang sepatu nomor 10-nya.”

Benar nomor 10 atau tidak, saya tak tahu.[]

Membunuh Klise


7-11 Juli besok, akan diadakan Temu Sastrawan Indonesia (KSI) I di Jambi. Acara yang dihelat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Provinsi Jambi tersebut terdiri atas kongres sastrawan, panggung apresiasi, wisata budaya, bazar buku, dll. Lebih dari 100 sastrawan kenamaan negeri ini diundang. Tiket perjalanan, penginapan, dan biaya akomodasi, termasuk honor pembicara, ditanggung panitia. Biaya acara pun membengkak: sekitar Rp 700 juta! Biaya sebesar itu sepenuhnya ditanggung Dinas Budpar Provinsi Jambi melalui dana APBD.

Siapa pun yang mendengar itu saya yakin terhenyak. Tak biasanya acara sastra gemuk anggaran. Sebagai perbandingan, pada 2007 teman-teman di Yogyakarta mengadakan acara “Temu Penyair Muda Empat Kota”. Penyair-penyair muda dari Bandung, Padang, dan Denpasar diundang untuk berjumpa dengan penyair-penyair Yogyakarta. Total 100 penyair ada. Dan berapa dana Pemerintah Yogyakarta mengucur untuk kegiatan itu? Tak banyak, tak sampai Rp 3 juta. Selebihnya adalah bantingan teman-teman panitia, juga peserta. Saya ingat, cerpenis Joni Ariadinata menyumbang nasi bungkus untuk satu konsumsi makan pagi, penulis Muhidin M Dahlan mendonorkan uangnya untuk satu makan siang, begitu seterusnya.

Perbandingan itu mungkin tak tepat. Yang ingin saya katakan dari situ adalah betapa dana yang sedikit tak menghalangi antusiasme peserta menghadiri sebuah acara, katakanlah, pertemuan sastrawan, asal konsepnya jelas. Ada ungkapan yang nyaris klise: uang sedikit cukup, uang banyak tetap kurang. Alih-alih menghasilkan banyak faedah, dana menggunung bisa menjerumuskan pada kemubaziran.

Tapi ternyata tidak hanya itu. Lewat kawan yang juga duduk di jajaran panitia, saya diberitahu bila tahun depan akan diadakan festival folklore internasional serta festival teater nasional—mengingatkan saya pada angan sebuah SD di sudut kampung yang mendaku bertaraf nasional atau bahkan internasional. Dan dananya, sekitar Rp 1,5 miliar!


Derasnya aliran dana dari pemerintah daerah mendukung acara-acara seni budaya mestinya bukan disesali, tapi disyukuri. Dengan begitu kegiatan budaya tidak kalah dari, misalnya, kabar-kabar pembukaan lahan perkebunan nasional di sebuah kabupaten atau pembangunan Jembatan Batanghari 2. Tapi pertanyaannya, apakah penggunaan dana seperti itu efektif bagi, sebagaimana impian panitia, pembangunan rumah tangga sastra Indonesia yang mandiri dan harmonis? Juga bergunakah ia bagi regenerasi sastrawan, khususnya di Jambi?

Jujur saya meragukan itu. Pertama, para sastrawan yang diundang adalah sastrawan matang yang sudah malang-melintang di jagad sastra negeri ini. Sangat sedikit—untuk mengatakan tidak ada—sastrawan muda yang diajak berkiprah. Saya tidak tahu apakah kebijakan ini berpangkal dari keprihatinan panitia tentang tidak adanya karya sastra “masterpiece” (ini istilah panitia) yang muncul akhir-akhir ini. Kebanyakan terbit di tahun-tahun belakangan malah karya populer seperti Ayat-ayat Cinta yang sukses secara penjualan, telah difilmkan pula. Panitia memprihatinkan itu, dan barangkali mengumpulkan para sastrawan adiluhung demi mempergunjingkan masa keemasan mereka sembari menera langkah menghadapi (persaingan) atmosfer sastra mendatang.

Zaman sudah berganti, Bung! Lagipula, bila bermimpi langit sastra Indonesia ke depan cerah, bukankah mestinya menumpukan harapan pada generasi muda? Dan yakinlah, generasi sastrawan muda, yang terkapling dalam banyak komunitas, justru yang menyelamatkan “keadiluhungan” sastra sebagaimana diangankan.

Penelitian Shiho Sawai tentang komunitas sastra Indonesia, meski belum tuntas, punya kesimpulan sementara menarik: komunitas sastra adalah bentuk pelaksanaan sastra Indonesia. Dan mereka yang aktif di komunitas ini adalah anak muda yang masih berjuang untuk menjadi “sastrawan”. Mereka antusias menulis publikasi sastra di koran-koran. Beberapa dimuat, tidak sedikit ditolak. Mereka juga rajin berdiskusi, saling kritik karya, dll. Pada merekalah sastra Indonesia, demikian peneliti asal Jepang itu menyimpulkan, dilaksanakan.

Kesimpulan Shiho tak berlebihan. Saya mengenal beberapa komunitas itu. Di Solo ada Kabut Institut yang menerbitkan Buletin Sastra Pawon rutin bulanan. Formatnya memang sangat sederhana, kelas fotokopian. Tapi melihat kesungguhan mereka untuk terus berkarya dan membuat publikasi dengan dana, sekali lagi, bantingan, komunitas peramai sastra di Solo ini layak diapresiasi. Di Yogya lebih banyak lagi, yang muda ada Rumah Poetika, Selasar, serta Ben yang menerbitkan Buletin Ben. Di Aceh juga ada Tikar Pandan, Do Karim, dan sebagainya.

Tanpa bermaksud membuat dikotomi tua-muda dan memandang bahwa generasi tua-matang tak lagi punya greget di dunia ini, tapi harapan terhadap sastra Indonesia, menurut saya, sebagaimana Shiho, lebih layak ditumpukan pada mereka yang muda.

Tapi sayang, mereka tak dilibatkan dalam ajang “nasional” sastrawan di Jambi. Ah, mungkin mereka belum genap jadi sastrawan—yang syaratnya kata Budi Darma adalah menulis publikasi sastra di media, menerbitkan buku sastra, dan aktif dalam kegiatan sastra—meski mereka sebenar-benarnya aktif, sebagaimana dalam contoh komunitas tadi.

Kedua, forum-forum sastrawan serupa TSI sudah banyak digelar. Wadah sastrawan di Nusantara juga banyak, dari daerah hingga pusat. Dewan Kesenian, misalnya. Wadah itu sering tidak berfungsi, benang koordinasinya ruwet dan entah menyangkut di mana. Tiap-tiap daerah berjalan sendiri-sendiri, tak pernah sebangun ide mengurai kusut sastra Indonesia.

Dan di situlah TSI justru pongah dengan ambisi menghadirkan “ekologi sastra Indonesia yang harmonis”. Jangan-jangan TSI 1 di Jambi nanti juga menghasilkan satu wadah baru yang malah memperkusut, alih-alih membuat harmonis. Setidaknya itulah yang dikhawatirkan penyair Ahmadun Yosi Herfanda saat dihubungi soal kesediaannya menjadi pembicara.

Ahmadun, kita tahu, adalah Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang juga punya angan serupa TSI. Hingga kini KSI tak jua bisa menjadi sebuah rumah bagi sastrawan Indonesia keseluruhan yang membuat mereka at home. Kalau KSI gagal, apakah TSI juga bakal mengalami nasib serupa? Tak bisa dibilang begitu, walau ini sekaligus menegaskan bahwa tak ada jaminan TSI bakal mampu.

Namun, dari forum-forum yang sudah sering digelar, tampaknya gagasan yang menggelontor nyaris itu-itu juga. Saya curiga forum itu malah menjadi semacam euforia berkumpul sastrawan, setelah sekian lama forum-forum seni selalu dicurigai rezim penguasa. Tak ada hal baru yang diperbincangkan, juga diputuskan. Ini klise.

Klise, dalam sastra, adalah tabu yang harus disingkirkan jauh-jauh. Kata pengarang Eka Kurniawan, karya sastra yang berhasil adalah karya yang gigih menemukan cara pengungkapan baru. Ada progresivitas di sini. Progresivitas itulah yang dimaksudkan Milan Kundera dalam The Art of Novel-nya. Tulis Kundera, jangan bayangkan progresivitas dalam sejarah novel serupa progresivitas dalam sejarah umumnya. Bahkan kisah cinta Romeo-Juliet pun masih ditulis hingga kini—tak ada tema baru. Yang baru, atau yang progresif, adalah cara pengungkapannya. Ini yang mesti digali terus-menerus. Di sini jelas: klise adalah musuh yang mesti ditikam untuk dirayakan kematiannya.

Di luar karya, langit sastra saya rasa juga harus seperti itu. Untuk apa bila kita membincangkan hal-hal yang sudah-sudah tanpa pemecahan dan aksi berarti?

Ketiga, dan yang terpenting bagi Jambi, apa guna TSI bagi regenerasi sastrawan di Jambi, bagi maju-pesatnya dunia susastra di Jambi. Ini penting ditanyakan sebab inilah kebutuhan lokal kita yang selama ini hilang. Silakan Anda hitung, adakah sastrawan di Jambi yang mapan hingga tingkat nasional (jangan bayangkan ini serupa atlet bertaraf nasional)? Juga silakan cek, berapa buku sastra terbit di Jambi atau oleh sastrawan Jambi? Untuk tingkat area “Melayu” pun, kita nyaris hilang ditelan riuh sastrawan Riau dan Lampung, misalnya.

TSI, saya rasa, tidak lantas bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan itu. Pemenuhannya hanya bisa dilakukan lewat upaya tiada lelah dan terus-menerus menyemangati sastrawan (muda-tua) kita untuk terus berkarya dan memajukan dunia sastra Jambi. Kalaupun TSI digelar, ia akan menjadi sebuah acara gemerlap yang membuat kita silau sesaat, dan setahun ke depan, sebab dana telah habis untuk acara-acara “nasional” dan “internasional”, kita nyaris tenggelam dalam sunyi serta hanya bisa memandang keriuhan itu berpindah dan terus menyala di tempat lain.

Bagi sastra Indonesia TSI mungkin saja ada gunanya. Tapi apakah Jambi, dengan APBD-nya, yang belum tuntas mengurus diri sendiri, diharuskan menyingsingkan lengan baju mengurus hajat nasional? Saya kira, ini serupa SD di sudut kampung yang berangan nasional dan internasional tadi, yang hirau memandang seberang lautan tapi alpa dengan realitas di pelupuk mata.

Tapi mungkin saja, program elitis dengan angan serupa telah kadung merasuk dalam sukma kita. Dalam lapangan “kesenian” lain, lihatlah, saban tahun kita menggelar MTQ yang meriah dari tingkat desa hingga provinsi. Tapi, tahukah Anda, betapa sebagian besar kabupaten di Jambi hanya punya satu madrasah ibtidaiyah negeri (MIN)! Nyaris seluruh madrasah ibtidaiyah adalah swasta, yang tak mendapat kucuran BOS, yang terengah memajukan pendidikan Alquran. Sangat ironis.

Program-program ironis seperti itu, saya rasa, adalah klise yang tak boleh diulangi.[]



===================
Tulisan ini saya buat untuk merespons rencana kegiatan Temu Sastrawan Indonesia (TSI) beberapa waktu lalu. Selesai saya tulis, yakni menjelang pergelaran TSI, tak satu koran pun di Jambi mau memuatnya--entah kenapa. Oleh seorang kawan, tulisan ini difotokopi dan dibagi-bagikan ke panitia saat rapat. Konon waktu itu ada yang marah. Saya sendiri masuk dalam panitia yang sewaktu rapat itu tak hadir. Tentu tulisan ini tidak mencerminkan pandangan panitia, dan saya menuliskannya sebagai pribadi. Pemuatan di sini sekarang, selain sebagai dokumentasi, barangkali saja berguna.

Pak Haji Marto



Labbaika allahumma labbaik
Labbaika la syarika laka labbaik
Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk
La syarika lak

RANGKAIAN kalimat talbiyah itu bergema di seantero padang Arafah. Hari ini berjuta-juta jamaah haji dari berbagai penjuru dunia berkumpul di sana. Semuanya datang memenuhi panggilan Allah. Berserulah mereka, “Labbaika allahumma labbaik, kami datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah.”
Suara talbiyah itu terus bergema. Turun-naik membuat irama yang sangat syahdu. Siapa pun orang yang hadir di sana, pasti dapat merasakan kesyahduan itu. Kesyahduan yang menciptakan rasa damai luar biasa.

Pak Marto duduk di antara jutaan jamaah itu. Kepalanya ia tekuk ke bawah. Memperhatikan ujung pakaian ihramnya yang tak berjahit. Ada debu padang pasir yang menempel. Tapi bukan itu. Ia tak memperhatikan itu benar. Ada hal lain yang ia rasakan. Perasaan yang bercampur aduk menjadi satu. Bahagia, haru, juga menyesal. Harus menyesalkah aku, bisik Pak Marto lirih. Toh apa yang ia lakukan adalah sebentuk kebaikan. Tapi pantaskah suatu kebaikan dijalankan dengan cara yang tak baik? Tentu saja tidak.

Sejenak Pak Marto tengadah. Ia sapukan pandangannya ke sekeliling. Diperhatikannya gelombang manusia yang semuanya memakai baju putih itu. Seragam. Tak ada kelebihan bagi yang berpangkat. Juga tak ada kesan rendah bagi rakyat jelata, termasuk dirinya. Semua sama. Yang membedakan adalah derajat iman dan takwa. Tapi lagi-lagi itu tak tampak. Yang beriman dan bertakwa serta yang bukan tak tampak berbeda. Memang keimanan dan ketakwaan tak harus ditampakkan. Bukan saja tak harus, tapi juga tak pantas. Siapa sih yang pantas dan berhak mengatakan saya beriman dan kamu tidak? Tak ada. Semuanya tak berhak. Semua sama. Hanya Allah sematalah yang berhak menilai si fulan beriman dan fulan yang lain tidak. Manusia hanya wajib berusaha beriman dan bertakwa. Hanya berusaha. Tidak lebih. Tapi kalau sudah urusan penempelan cap iman atau tidak, tak hanya tidak wajib, tapi juga dilarang.

Itulah yang dikehendaki Pak Marto. Usahanya sungguh-sungguh beriman dan bertakwa tak hendak ia kabarkan pada siapa pun. Biarlah Allah yang di atas sana yang menilai. Ikhlas tidakkah ia. Pantas tidakkah ia disebut mukmin dan muttaqin. Hanya Allah yang berhak menilai. Pak Marto tak ingin dengan diketahuinya rasa iman dan takwanya yang sungguh-sungguh akan membuatnya congkak, tinggi hati, riya’. Sungguh ia tak ingin itu. Meski memang awalnya sering tak diniatkan untuk sebuah kesombongan, tapi ketika usaha ke arah itu diketahui orang lain, bukan mustahil akan mengubah niat yang mulanya ikhlas itu. Bukan mustahil. Siapa sih yang berani menjamin niatnya akan terus lurus? Siapa yang berani menjamin kadar iman dan takwanya tak akan berkurang? Siapa yang berani? Kalau ada yang berani, sombong betul orang yang demikian.

Pak Marto tahu, apa yang telah dilakukannya tak salah benar. Bukankah itu ia lakukan agar usaha iman takwanya tak ditunggangi niat-niat tercela. Tapi bagaimanapun ia telah berbohong. Tidak hanya pada tetangga, kerabat, tapi juga pada seluruh penduduk desa. Pak Marto merasa menyesal.

Labbaika allahumma labbaik. Labbaika la syarika laka labbaik…. Talbiyah itu masih terus mengumandang.

“Aku datang penuhi panggilan-Mu, ya Allah. Aku datang….” Suara Pak Marto hampir terputus di cekat tenggorokan. Di bawah talbiyah entah kenapa sesal itu begitu menghunjam. Tubuhnya bergoyang keras. Pak Marto berusaha untuk tak terbawa emosi. Tapi tak bisa. Tangisnya meledak. Ia menyesal sekali.

“Tapi apakah Kamu mau menerima kehadiran hamba-Mu yang hina ini. Hamba-Mu telah berdosa, ya Allah.” Ratapnya dalam isak.

Ratapan itu hampir tak terdengar. Samar oleh suara talbiyah yang meninggi.

Di sampingnya, istri Pak Marto dapat memahami penyesalan suaminya. Sesal serupa juga ia rasakan. Masih bisakah hamba-Mu ini menjadi haji yang mabrur, sementara ada hal yang sangat Engkau benci hamba-Mu kerjakan, demikian suara isi hatinya. Tangis itu menular padanya. Mulutnya ia katupkan rapat-rapat dengan menggigit bibir tuanya. Agar isak tak keluar. Berkat itu seperti melenguhlah ia akhirnya. Lenguhan panjang tertahan di bawah syahdu talbiyah.

Sungguh dua insan yang sedang dimabuk taubat atas kesalahan yang tak seberapa besar. Tapi dalam pandangan keduanya ia tetap bernama kesalahan, yang mesti punya nilai hisab di sisi-Nya. Walau seberapa kecilnya kesalahan itu. Seperti halnya perbuatan baik sekecil debu yang luput tertangkap mata, ia tetap akan diperhitungkan.

Labbaika allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaik….

***

PAK Marto menghentikan pekerjaannya. Dipandanginya tandan-tandan segar kalapa sawit yang siap dipanen itu. Hari itu Pak Marto mulai menurunkan buah sawit dari pohonnya dan mengumpulkannya dalam satu gundukan. Nanti sore truk dari sebuah perusahaan yang sudah ia kabari kemarinnya akan datang bersama seorang juru timbang. Tandan buah segar yang berhasil ia turunkan hari itu akan ditimbang untuk kemudian diangkut ke perusahaan tadi.

Pak Marto teringat bagaimana usaha kerasnya membangun kebun itu. Selama tiga puluh tahun ia habiskan usianya di bawah rindang kelapa sawit. Ia ingin berhasil mengarungi hidup yang awalnya tak berpihak padanya itu.

Dan sekarang bolehlah ia dikatakan berhasil. Paling tidak tiga anaknya tak mengalami nasib serupa orangtua mereka yang hanya mengenyam pendidikan agama tingkat rendah di sebuah pesantren di desanya. Itu pun tidak sampai lulus. Zaman mengharuskannya demikian. Sebuah huru-hara skala besar memupus habis kecintaannya pada belajar. Ia tak pernah paham apa yang terjadi. Meski saat itu usianya mulai beranjak besar. Pun sampai sekarang. Yang ia tahu banyak orang dipenggal. Termasuk kiai pesantrennya. Rumah-rumah dibakar. Harta digarong. Ia sendiri menyelamatkan diri dengan berlari menyusuri kebun-kebun tebu. Sesampainya di rumah, hanya kedua orangtuanya saja yang tinggal menangisi rumah mereka yang hangus.

Kemiskinan keluarga memaksanya merantau jauh entah ke mana. Yang ia pikirkan saat itu adalah mencari sesuap nasi. Ke mana kaki melangkah ke situlah ia turutkan kehendak. Mungkin secara tak sadar pula ia sampai di tempat itu. Sebuah daerah di pulau seberang yang jauh dari daerah asalnya di Jawa.

Tak ada yang tahu saat itu ia ke mana. Bapak-ibunya telah merelakannya jauh sebelum kepergiannya. Masa-masa sulit revolusi memaksa keduanya menyapih anaknya lebih cepat. Keduanya sadar, kalau anaknya menginginkan lebih, ia harus cari sendiri. Saat itu keduanya tak berpunya sama sekali.

Selama sepuluh tahun Marto muda menghilang. Kabarnya tak pernah terdengar di telinga kedua orangtuanya. Hanya saja keduanya yakin nasib baik akan berpihak pada anak mereka yang rajin itu. Apalagi ketekunan Marto anaknya tak hanya ketekunan mengumpulkan peluh-peluh demi sesuap nasi, tapi juga ketekunan mengabdi pada sang pencipta. Tak pernah sekali pun ia tinggalkan perintah agama untuk mengejar dunia. Demikian juga tak pernah ia langgar agama demi harta. Bukankah Allah telah menjamin setiap hamba yang patuh pada-Nya?

Baru setelah memiliki sepetak tanah, ia berkirim kabar lewat selembar surat. Sayang kabar baik itu terlambat datang. Kedua orangtuanya telah berpulang ke hadirat-Nya sebelum kabar itu tiba. Hanya saudaranya saja yang kemudian mengabarkan duka itu dalam balasan surat. Kabar gembira yang dijawab oleh berita duka!

Pak Marto sedih. Tapi ia tak mau terus larut dalam suasana duka. Pak Marto berkeyakinan itu semua sudah diatur oleh-Nya. Dan aturan-Nya adalah aturan yang paling baik buatnya, buat saudaranya, dan juga buat semua orang. Ia yakin itu.

Pak Marto memandang lagi pohon-pohon sawitnya. Senyum kebanggaan mengambang. Dua puluh tahun ia memakmurkan petak kebun miliknya. Dan telah berusia selama itu pula pohon-pohon sawitnya. Pohon itu kini sedang sangat bagusnya. Buahnya melebat. Berkat petak itu, yang ia tambah dengan membeli beberapa petak lagi, ia mampu membiayai ketiga anaknya. Ketiganya ia kirim ke Jawa untuk bersekolah dan kuliah sambil belajar agama pula di pesantren. Pak Marto merasa sangat bersyukur dengan semua yang diperolehnya.

Tak hanya itu. Berkat petak kebunnya, dengan beberapa tetangga ia membangun sebuah musala. Tak seberapa besar memang. Tapi itu amat berarti bagi masyarakat desanya yang kini mulai diramaikan oleh kehadiran beberapa perusahaan perkebunan dan jalan raya. Amat berbeda dengan pertama kali ia menginjakkan kaki di tempat itu yang gelap dan sepi sekali.

Keramaian desanya tak selalu mengundang hal yang baik. Malah bisa sebaliknya. Masyarakat mulai ada yang kenal tuak. Menenggaknya ramai-ramai setelah memanen tandan segar buah sawit dan mendapat uang dari hasil jualnya. Kedai-kedai kecil mulai pula menyediakan tuak itu. Keberpunyaan uang sering membuat orang lupa pada larangan-Nya memang. Pak Marto sedih melihat ini. Dalam kesendirian seperti di kebun atau di rakaat tahajud panjangnya, sering kali hal-hal seperti itu mengusik pikirannya. Pak Marto mengelus dada. Musala menjadi tempat mengadu pada Allah pada hal-hal yang tak ia rela.

Pak Marto segera membersihkan diri. Matahari telah mulai melintas ke barat. Membentuk bayang tipis di timur. Zuhur telah datang. Pak Marto menunaikan shalat di atas hamparan rumput kecil di bawah rindang kelapa sawit. Tak lupa syukur ia ungkapkan dalam-dalam. Atas berbagai nikmat yang telah Allah karuniakan atasnya.

***

MALAMNYA, setelah menunaikan salat Isya di musala, Pak Marto segera beranjak pulang. Di bawah terang lampu listrik yang hampir tiga tahun ini masuk ke desanya, ia makan bersama istrinya. Hanya berdua. Dengan lauk sederhana dan seadanya.

“Tadi ada surat dari Jogja,” sela istrinya sambil mengambil lalap daun singkong.

“Bagaimana kabar anak-anak?” Pak Marto balik bertanya.

“Semuanya baik-baik. Ali sekarang sedang KKN.”

“Ada berita dari pakde, tidak?”

“O, ya, pakde kirim salam. Katanya kita jadi berangkat tahun ini.”

“Jadi berangkat?” Suap nasi di tangannya terhenti sejenak.

“Heeh.”

“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga panggilan Allah pada kita.”

“Alhamdulillah,” sahut istrinya pula.

Telah lama memang Pak Marto menginginkan berangkat ke tanah suci. Ia menabung sedikit demi sedikit untuk tujuan itu. Dan setelah tabungannya cukup, ia kirimkan uang itu pada saudaranya yang ada di Jogja. Pak Marto mendaftar haji dari sana. Ia ingin berangkat haji bersama saudaranya.

Hingga saat keberangkatan itu tiba, tak ada seorang pun tetangganya yang tahu kalau ia dan istrinya akan pergi menunaikan rukun Islam kelima. Ia rahasiakan memang. Semua warga hanya tahu kalau ia berangkat ke Jawa untuk melihat anak-anak mereka.

“Saya ingin mengunjungi anak-anak di Jogja. Rasanya sudah lama saya tidak menginjakkan kaki di tanah kelahiran. Jadi kepergian kami kali ini agak lama,” pamit Pak Marto pada Pak Soleh tetangganya.

“Yah, mudah-mudahan Pak Marto dan ibu selamat sampai di tujuan,” doa Pak Soleh, “Jangan lupa sampaikan salam kami pada Ali, Siti, dan Fahmi.”

“Insya Allah.”

Tak seorang pun yang tahu. Dan Pak Marto pun tak berniat memberi tahu. Tetapi hendak menyembunyikan malah. Pak Marto tak ingin jika niat haji itu diketahui tetangganya, niatnya jadi tak lurus lagi. Sangat disayangkan tentu, jika ibadah yang membutuhkan biaya besar itu harus berakhir dengan kesia-siaan. Dan itu bermula dari niat yang tak benar. Atau niatnya awalnya memang sudah pas, tetapi kemudian ketika niat itu terkabarkan ia menyimpang. Pak Marto tak ingin seperti itu. Ia merasa belum sanggup memperlihatkan amalnya. Agar jadi contoh warga masyarakat, misalnya. Pak Marto merasa tak mampu itu. Apalagi dengan mengundang banyak warga untuk menghadiri keberangkatan hajinya. Ia takut pengajian-pengajian haji seperti itu salah tujuan: menjadi pamer bahwa ia bisa berhaji, dan sebentar lagi ia akan bergelar haji. Tak jarang bahkan orang yang telah berhaji marah jika tidak dipanggil dengan “pak haji”.

Pak Marto hanya ingin berhaji murni untuk tujuan meningkatkan iman dan takwa, bukan gelar atau derajat haji!

***

TELAH empat bulan Pak Marto meninggalkan desanya. Hari ini dengan sebuah mobil yang dicarter dari kota kecamatan ia bersama istrinya tiba di rumah. Tak ada simbol haji yang ia gunakan. Topi haji atau tas bertulis jamaah haji kloter sekian ia tinggalkan di rumah kakaknya di Jogja. Juga air zamzam atau batu permata khas Arab, tak ia bawa sedikit pun dari sana. Bukankah haji itu berarti menghilangkan simbol-simbol sebagaimana tersirat dari perintah memakai pakaian seragam yang jauh dari ketidaksetaraan, termasuk simbol yang membedakan antara yang sudah haji dengan yang belum?

Baru saja ia bersama istrinya membuka dan masuk rumah yang telah sekian lama mereka tinggalkan, Pak Soleh tetangganya datang tergopoh-gopoh.

“Pak Haji Marto, kapan datang?” kata Pak Soleh sambil menyalami Pak Marto dan Bu Marto bergantian.

“Saya belum haji.”

“Tapi Pak Haji Sulaiman yang setengah bulan lalu pulang dari tanah suci bilang kalau ia melihat Bapak dan Ibu di Mekkah.”

“Pak Haji Sulaiman mengatakan demikian?”

“Pak Haji Sulaiman mengatakan demikian.”

“Pak Haji Sulaiman pasti salah lihat. Wong saya cuma di Jogja. Kebetulan pakdenya anak-anak sedang punya hajat.”

“Jadi Pak Marto cuma dari Jawa?”

“Masak Pak Soleh tidak percaya sama saya.”

“Kalau begitu, ya barangkali Pak Haji Sulaiman yang salah. Maklum kalau sudah tua memang jadi sering salah lihat.”

Pak Marto tersenyum. “Mudah-mudahan itu doa Pak Haji Sulaiman agar saya dapat mengikuti jejaknya,” katanya kemudian.

Keduanya kemudian bercakap tentang situasi desa selama ditinggalkan Pak Marto. Sementara tak lupa Pak Marto mengabarkan perihal anak-anaknya yang sekarang sudah rindu pada kampung halaman.

“Oya, Pak Soleh, ini ada oleh-oleh dari Jawa,” kata Ibu Marto yang dari tadi cuma mendengarkan sambil mengeluarkan satu kotak penuh bakpia patuk dan wingko nangka oleh-oleh khas Jogja.***

Yogyakarta, Januari 2003