Kebaktian Natal 2011 di Gereja HKBP Syalom Aurduri di Kota Jambi yang disegel. Tampak anggota Satpol PP berjaga-jaga. [Sumber] |
PERAYAAN NATAL Bersama di pengujung 2012 itu meriah. Digelar di sebuah gedung olahraga, jemaat memenuhi kursi-kursi yang biasanya diisi oleh penonton dalam sebuah pertandingan. Mereka duduk di empat sisi tribun, dan di tengah terdapat podium lengkap dengan pohon Natal yang menjulang. Suasana berlangsung khidmat terutama ketika sebuah paduan suara menyanyikan “Malam Kudus”.
Namun kemeriahan dan kekhidmatan itu “terganggu” oleh sebuah spanduk. Dipasang tinggi di salah satu tribun dan ditulis dengan huruf kapital, siapa pun jemaat bisa dengan jelas membaca tulisan dalam spanduk itu: “JANGAN SEGEL GEREJA KAMI”.
Tulisan dalam spanduk itu sebenarnya mewakili perasaan mereka selama setahun terakhir. Dua tahun lalu, tepatnya 24 Desember 2011 atau sehari menjelang Natal, Satpol PP dan Kepolisian Resort Kota Jambi datang ke Gereja HKBP Syalom Aurduri di Penyengat Rendah, Jambi, menyegel gereja tempat mereka biasa melakukan kebaktian. Seminggu sebelumnya, Walikota Jambi mengirimkan sepucuk surat kepada pengurus gereja yang telah berfungsi sejak 1997 tersebut. Isinya meminta rehab gereja untuk mengganti bangunannya yang semula kayu menjadi beton itu dihentikan.[1]
Tumpukan Masalah di Rumah Tuhan
Penyegelan gereja di Jambi tersebut adalah satu dari sekian cerita penyegelan gereja di Indonesia. Kisah yang lebih banyak antara lain bisa didapati dalam Kontroversi Gereja di Jakarta (Maret 2011).[2] Di dalam buku itu terang dibagi empat macam gereja: tak dipermasalahkan, bermasalah namun terselesaikan, tak bermasalah tapi dipermasalahkan, serta bermasalah dan belum terselesaikan. Dari 13 gereja yang diteliti, 12 masuk dalam tiga kategori terakhir. Artinya, gereja-gereja itu banyak yang (pernah) bermasalah. Permasalahan itu biasanya terkait perizinan, penolakan dari kelompok masyarakat, hingga penyegelan oleh pemerintah.
Tak hanya gereja, rumah ibadah agama lain juga tak luput dari persoalan yang kurang-lebih sama. Di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Front Pembela Islam (FPI) bersama masyarakat menolak pembangunan Vihara Ekadharma dengan alasan vihara tersebut berada di depan kantor Badan Amil Zakat (BAZ) Kepulauan Riau dan sebuah masjid. Karena berada di dekat masjid, FPI mengatakan vihara itu dapat mengganggu kekhusukan umat Islam dalam beribadat. Meski pembangunan itu berizin dan legal berdasarkan penelitian Kantor Wilayah Kementerian Agama Kepulauan Riau, FPI tetap menolak. Kelompok paramiliter ini acap menggelar demonstrasi di depan vihara.[3]
Sementara itu, di wilayah dengan penganut Islam sedikit seperti di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pembangunan masjid juga mengalami kendala. Sekelompok warga yang beragama berbeda menolak pembangunannya dengan alasan tak berizin. Meski dihentikan sementara untuk menghindari politisasi jelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kupang 2012, masyarakat Muslim tetap bertekad akan melanjutkan pembangunannya.[4] Kasus yang mirip juga terjadi di Manado yang penduduk Muslimnya bukan merupakan mayoritas.[5]
Persoalan rumah ibadah di Ambon, Maluku, agak berbeda. Sebelum konflik, masyarakat hidup berdampingan secara damai meskipun berbeda agama. Di sana ditemukan baik gereja maupun masjid yang merupakan tempat masyarakat beribadat. Pascakonflik, masyarakat Ambon tersegregasi secara geografis: ada wilayah atau kampung Islam dan ada yang disebut kampung Kristen. Kalau dulu kampung netral, dengan gereja dan masjid di dalamnya, pascakonflik terdapat gereja dan masjid yang “salah tempat”. Di kampung Islam terdapat gereja sebagaimana di kampung Kristen ada masjid. Gereja dan masjid “salah tempat” itu sekarang tidak terpakai, namun menimbulkan persoalan ketika akan dialihfungsikan untuk kegiatan di luar ibadah agama asal.
Data di atas adalah sebagian dari sekian persoalan rumah ibadah yang ada di Indonesia. Laporan tahunan yang dikeluarkan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), misalnya, mencatat bahwa dari wilayah yang dipantau (tidak semua wilayah di Indonesia diteliti) pada 2010 terdapat 39 kasus rumah ibadah dan pada 2011 ada 36 kasus. Kalau pada 2010 hanya ada 2 rumah ibadah bukan gereja yang bermasalah, pada 2011 terdapat 10.[6] Artinya, terjadi variasi (atau perimbangan?) kasus rumah ibadah yang bermasalah. Laporan-laporan yang dikeluarkan lembaga lain, seperti Setara Institute dan The Wahid Institute, juga menunjukkan hal yang kurang-lebih sama.
Ketidakbebasan Beragama?
Sejatinya, di negara yang menjamin kebebasan beragama di dalam konstitusinya, setiap warga Indonesia bebas beribadah sesuai agama mereka. Kenyataannya, sebagaimana dalam paparan sebelumnya, banyak warga negara yang kesulitan membangun prasarana peribadatan. Apakah dengan demikian telah terjadi ketidakbebasan dalam beragama? Pertanyaan ini akan dijawab dengan memakai instrumen ke(tidak)bebasan beragama yang diterapkan Center for Religious Fredom (CRF), yaitu (i) ada-tidaknya peraturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama; (ii) apakah pemerintah memfavoritkan agama tertentu; dan (iii) apakah terdapat dinamika atau konvensi sosial yang membatasi kebebasan beragama.
Terkait regulasi atau peraturan pemerintah mengenai pembangunan rumah ibadah, terdapat Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/Ber/MDN-MAG/1969 yang diperbarui oleh Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.[7] Dalam peraturan bersama menteri (PBM) yang disebut terakhir, dikatakan bahwa pendirian rumah ibadat adalah dalam rangka “keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama”. Apa yang disebut “keperluan nyata” itu adalah rumah ibadat tersebut untuk pengguna minimal 90 jemaat. Selain harus memeroleh dukungan sejumlah pengguna minimal, pendirian rumah ibadat juga mesti didukung masyarakat setempat (yang bukan pengguna atau beragama berbeda?) sejumlah 60 warga. Selain itu, pembangunan harus dengan rekomendasi Kantor Kementerian Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama setempat. Setelah semua syarat lengkap, baru bisa diusulkan ke bupati/walikota dan 90 hari kemudian bupati/walikota mengeluarkan keputusan.[8]
Persoalannya, tidak mudah mendapatkan tandatangan dari 90 calon jemaat apalagi 60 orang yang berbeda agama di sebuah kelurahan. Ini batu sandungan yang acap ditemui oleh rumah ibadah yang bermasalah. Kalaupun kemudian tandatangan dari warga bukan pengguna rumah ibadah yang dibangun didapat, kerap ada tuduhan bahwa dukungan itu palsu atau dipalsukan.
Kesulitan mendapat izin pendirian rumah ibadah diresistensi oleh masyarakat dengan membuat tempat ibadah di hotel atau gedung pertemuan. Di beberapa daerah, misalnya, terdapat apa yang dinamakan gereja-hotel. Masyarakat menyewa sebuah ruang pertemuan yang akan dipakai pada hari-hari ibadat saja. Memang dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi cara ini tidak mengharuskan izin yang njelimet. Di dalam PBM 8 dan 9 Tahun 2006 dikatakan bahwa tempat ibadah yang disebut rumah ibadat sementara ini hanya membutuhkan syarat keterangan laik fungsi gedung serta terpeliharanya ketertiban masyarakat. Ketertiban masyarakat kemudian dibuktikan dengan izin pemilik bangunan, rekomendasi dari lurah/kepala desa, serta membuat laporan tertulis ke FKUB kabupaten/kota dan kepala Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota. Setelah syarat-syarat terpenuhi, bupati/walikota mengeluarkan izin rumah ibadat sementara. Meskipun izin ini hanya berlaku dua tahun, mereka bisa memindahkannya ke gedung atau bangunan lain.[9]
Meskipun aturan pendirian rumah ibadah memperlakukan semua agama setara atau tidak ada agama tertentu yang difavoritkan, dinamika perizinan rumah ibadat yang tidak mudah sesungguhnya menunjukkan watak pembatasan kebebasan menjalankan agama bukan saja oleh pemerintah, melainkan oleh masyarakat atau warga. Hanya karena memeluk agama yang tidak sama, seseorang merasa risih, tidak suka, dan menunjukkan ketidaksukaan itu dengan menolak pembangunan rumah ibadah agama berbeda. Penolakan itu disertai kecurigaan bahwa agama yang akan membangun rumah ibadah di wilayahnya merupakan usaha dakwah atau misi yang akan memengaruhi masyarakat di wilayahnya untuk memeluk agama tersebut. Dalam beberapa kasus, penolakan warga tersebut tidak dilakukan perorangan dan sporadis, spontan, atau tanpa struktur, melainkan diorganisasi oleh kelompok-kelompok agama tertentu. Kelompok agama ini bahkan melakukan pemantauan rumah ibadat agama lain di sebuah wilayah, dengan tujuan mencegah pendirian rumah ibadah baru.[10]
Dendam dan Solidaritas
Di samping itu, alasan penolakan yang juga dipakai warga di antaranya “balas dendam” atau “solidaritas” karena kelompok agama yang sama dengan dirinya sulit mendapatkan izin ketika mendirikan rumah ibadat di provinsi lain. Beberapa pemeluk Katolik di Kupang yang menolak pembangunan masjid, misalnya, beralasan di Aceh atau Bogor kaum Kristiani juga mendapatkan kesulitan serupa. Tak hanya “balas dendam” dan “solidaritas” dengan daerah lain di Indonesia, ada juga yang ingin melampiaskan kekesalan dengan kenyataan di negara lain dengan mengatakan bahwa di Palestina umat Islam masih merasakan penindasan.
Penolakan dari warga yang berbeda tersebut memunculkan pertanyaan apakah seandainya peraturan pemerintah tentang pendirian rumah ibadah (yang syaratnya cukup sulit sehingga dirasakan menghalangi kebebasan menjalankan ibadah) dicabut, tidak akan ditemui kesulitan serupa? Dalam beberapa kasus, seperti di Aceh, regulasi sosial yang dibuat masyarakat ternyata jauh lebih sulit dari persyaratan yang dibuat pemerintah. Kesepakatan antara tokoh Islam dan Kristen Aceh pada 1979 hanya membolehkan satu gereja dan empat undung-undung (serupa kapel) di setiap kabupaten di Aceh.
Sayangnya, terhadap aturan yang dibuat, pemerintah juga tidak melaksanakannya secara konsekuen. Dalam kasus GKI Taman Yasmin di Bogor, pengadilan sudah memutuskan legalitas izin pendiriannya. Namun, kenyataannya, sampai sekarang gereja tersebut masih disegel. Kelompok paramiliter bersikukuh menolak keputusan itu. Pemerintah daerah sendiri, barangkali karena tekanan warga dan kelompok paramiliter, tak berdaya dan sampai sekarang tetap belum mengeluarkan izin.
Dalam kasus terakhir ini, tampak bahwa pemerintah atau negara lemah di hadapan warganya. Persoalan ini sesungguhnya muncul sejak transisi Orde Baru ke Reformasi. Pada awal-awal Reformasi, kasus perusakan rumah ibadah juga banyak terjadi disertai kerusuhan di banyak kota. Ketika kapasitas negara lemah, negara tidak bisa menjamin keamanan dan menegakkan ketertiban. Di sini negara juga tidak bisa menjaga keamanan ruang publik. Masyarakat kemudian saling melesakkan keinginan mereka di ruang publik yang tak terjaga itu, dengan mekanisme atau aturan main diabaikan, sehingga terjadi chaos. Negara yang lemah juga membuat individu atau warga menjadi tidak setara. Ada kelompok-kelompok yang kemudian tidak diakui hak-hak mereka selaku warga negara (citizen) dan ditindas oleh kelompok yang lebih besar dan berkuasa.[]
Catatan: Tulisan ini didasarkan atas diskusi dengan beberapa peserta program Pluralism Knowledge Program, Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, 2013. Mereka adalah Bandiyah, Dining, Fuad, dan Ryan. Tulisan pernah dimuat di website ICRP dan PUSAD Paramadina.
_________________
[1] Kronologi penyegelan Gereja HKBP Syalom Aurduri tersebut dapat dibaca dalam Gatra, 16 Februari 2012.
[2] Ihsan Ali-Fauzi et.al., Kontroversi Gereja di Jakarta, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-Cultural Studies, 2011).
[3] “FPI Berulah di Tanjung Pinang, Kep Riau”.
[4] “MUI NTT Minta Hentikan Sementara Pembangunan Masjid”.
[5] “Aparat Hukum Harus Serius Tangani Masalah Pembangunan Masjid Raya”, Tribun Manado, 11 Maret 2012. Persoalan mayoritas-minoritas ini penting karena rumah ibadah penganut agama yang lebih sedikitlah yang biasanya bermasalah. Di Bali, pembangunan gereja juga mendapat penolakan dari masyarakat yang mayoritas menganut agama Hindu.
[6] Lihat Zainal Abidin Bagir, et.al., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-Cultural Studies, 2012), hlm. 40.
[7] Trisno S. Sutanto, “Negara, Kekuasaan, dan ‘Agama’: Membedah Politik Perukunan Rezim Orba”, Zainal Abidin Bagir, et.al., Pluralisme Kewargaan, (Yogyakarta-Bandung: CRCS dan Mizan, 2011), hlm. 136.
[8] Lihat Bab IV Pendirian Rumah Ibadat, PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.
[9] Bab V Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung, PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.
[10] Ali-Fauzi, Kontroversi Gereja, hlm. 39.
0 komentar:
Posting Komentar