Orang-orang Agung: Sebuah Obituari

Agung Sutanto (paling kanan) saat hadir dalam pembukaan ICJS 1 pada November 2013.

Sabtu (11/1) pagi, ketika saya tengah sibuk menyiapkan sebuah hajatan keluarga, sebuah pesan pendek mampir ke ponsel saya. Pesan dari Joko, teman saya di IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, itu berisi pertanyaan pendek, “Mas Agung meninggal ya?”

Bagi saya, pesan itu lebih merupakan kabar ketimbang pertanyaan. Maka saya pun menghubungi beberapa orang yang saya duga tengah bersama dengan subjek yang jadi tanda tanya kami. Dan sekitar setengah jam kemudian, kebenaran kabar itu terkonfirmasi.

Namanya Agung Sutanto. Lahir sebagai migran Jawa di Jambi, dia biasa dipanggil dengan sapaan “Mas Agung”. Orangnya kecil, lincah, bicaranya ceplas-ceplos, dan tentu saja pintar. Dia alumnus SMA Titian Teras, sekolah unggulan yang dulu didesain seperti SMA Taruna Nusantara Magelang yang kesohor itu. Pada tahun 1990-an, saya dan teman-teman sering menyebut jika punya NEM SLTP di bawah 42, jangan bermimpi sekolah di sana. Selain pintar, syarat lain adalah punya fisik yang prima karena materi tesnya mirip masuk kesatuan tentara.

Selepas SMA, Mas Agung melanjutkan studi ke Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Setahu saya, pada awal 2000-an memang cukup banyak alumni SMA Titian Teras di UGM. Setelah bekerja di IAIN Jambi, dan pernah sekantor dengannya di Pusat Penelitian, saya jadi tahu ternyata Mas Agung salah satunya.

Mungkin karena gaul-nya ketika SMA dan kuliah dengan orang-orang pintar, sewaktu mengambil studi master, dia menulis tesis tentang bagaimana mendidik orang-orang gifted (pintar dan berbakat). Saya dikasih softcopy tesis itu. Intinya, menurut Mas Agung, orang gifted mesti diperlakukan secara khusus dalam pendidikan. Melengkapi tesisnya, dia kemudian membuat sebuah modul pelajaran Fisika untuk siswa SMA yang gifted itu.

Tapi bukan soal itu yang membuat saya takjub padanya, melainkan karena dia membuat sebuah pusat studi bersama beberapa orang muda di IAIN Jambi. Namanya Pusat Kajian Sosial Keagamaan (Puskasa). Saya tahu pertengahan tahun lalu ketika dia tiba-tiba mengajak saya dan beberapa teman untuk mengobrol. Dia bilang Puskasa akan mengajukan proposal ke Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kementerian Agama untuk mengadakan pelatihan penelitian di Jambi.

Saya tentu saja mendukung niatan itu. Kami pun berbagi tugas. Saya diminta menghubungi calon pemateri dari UGM, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan beberapa orang di luar negeri yang pernah meneliti Jambi. Mas Agung sendiri melakukan survei lapangan ke Desa Ngaol di Merangin. Topik yang diajukan adalah penelitian antropologi dengan dua fokus: masyarakat tradisional dan Orang Rimba. Dalam kaitan dengan topik Orang Rimba, saya menghubungkan Mas Agung dengan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI)-Warsi. Kepada Warsi, Mas Agung meminta nanti menjadi pendamping ketika masuk ke rimba.

Setelah melalui mekanisme presentasi di Solo, tak dinyana proposal itu lolos. Jadilah kemudian Puskasa sebagai pelaksana Short-Course Penelitian Antropologi. Pesertanya dari banyak daerah di Indonesia. Ada dari Gorontalo, Jawa Timur, Jakarta, Sumatera Barat, Banten, dll. Setelah menerima teori di Jambi, peserta yang berjumlah 25 orang beserta beberapa panitia mengadakan praktik penelitian lapangan di komunitas Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Di sela-sela itu, peserta juga menghadiri The First International Conference on Jambi Studies (ICJS 1) dan pada 6 Januari lalu beberapa ikut menonton perhelatan Malam Keagungan Melayu dalam rangka menyambut HUT Provinsi Jambi.

Oleh karena kesibukan saya kuliah di Yogyakarta, dari awal hingga nyaris akhir pelatihan saya tidak banyak terlibat. Saya juga tidak ikut masuk ke rimba. Saya baru terlibat ketika pada 5-6 Januari mendampingi Dr.Phil Al Makin dari jurnal al-Jami’ah yang memberi materi penulisan artikel hasil penelitian untuk jurnal terakreditasi.

Ketika mendampingi itulah, saya jadi tahu topik dan hasil riset yang dikerjakan para peserta short-course sangat menarik. Ada yang menulis tentang joke-joke Orang Rimba terhadap orang luar dan joke orang luar terhadap Orang Rimba. Ada yang menulis topik reproduksi perempuan Rimba. Ada juga yang tentang kesenian, agama, dan bahan kontak atau bakon. Al Makin berulang kali mengatakan short-course ini luar biasa sebab hasilnya sangat wah.

Tapi di manakah Mas Agung saat materi penulisan artikel itu? Saya tidak melihat dia di hotel. Sore hari 5 Januari, menjelang magrib, dia baru datang. Di depan hotel, diiringi rintik hujan, kami pun berbincang. Dia antusias sekali cerita bagaimana Dr Bisri Effendi dari LIPI yang sangat bersemangat memberikan coaching meskipun harus berada di dalam hutan. “Rencana awalnya dua hari, eh Pak Bisri malah hampir seminggu di sana,” kata Mas Agung.

Dia juga bercerita tentang ganasnya rimba TNBD. Dari 25 peserta, empat orang dirawat sepulang dari rimba. “Kamu kan tahu aku gak pernah sakit. Tapi dari sana, aku sempat demam juga,” katanya. Sore itu, bersama tiga anaknya yang masih kecil-kecil, dia baru saja menjenguk peserta yang dirawat. Dia juga bilang esok hari akan ke Jakarta mengurus berbagai hal terkait short-course. Saya pikir, sebagai ketua panitia, dia pasti sibuk sekali.

Sore itulah pertemuan terakhir saya dengannya. Pada 10 Januari saya masih kontak dengannya. Saat itu Pak Bisri dari LIPI menanyakan ke saya kapan konferensi hasil penelitian peserta short-course dilaksanakan. Saya segera kontak Mas Agung yang kemudian bilang, “Kepastian waktunya menunggu satu-dua hari lagi.” Dia mengatakan, panitia masih fokus mengurus peserta yang sakit, dan belum tahu apakah bisa membuat konferensi atau tidak karena beberapa komponen dana tersedot untuk biaya pengobatan.

Meskipun begitu, saya tahu Mas Agung sangat menginginkan konferensi itu. Sebelumnya dia sudah memaparkan rencana itu kepada saya. Dia katakan, konferensi itu nanti mesti juga mendatangkan perwakilan dari pemerintah. “Kita punya 25 hasil riset terbaru tentang Orang Rimba, dan para pengambil kebijakan mesti melihat dan membacanya,” kata dia penuh semangat. Saya tentu senang sekali kalau konferensi itu ada.

Tak saya sangka, kepastian konferensi yang menunggu satu-dua hari itu ternyata bukan soal dana, melainkan tentang kepergiannya untuk selamanya. Saya masih ingat betul kata-katanya, “Tunggu satu-dua hari lagi.” Tak butuh dua hari, karena sehari setelah dia menyebut itu, dia dipanggil Yang Mahakuasa.

Saya kira Mas Agung pergi dengan bahagia. Dia meninggal ketika sedang melaksanakan pekerjaan besar melatih banyak peneliti untuk membikin riset tentang Jambi. Pekerjaan yang tak biasa dan tak populer di Jambi. Ini kehilangan besar bagi IAIN Jambi, kehilangan besar bagi Jambi.

Saya bergidik karena tepat seminggu sebelum meninggalnya Mas Agung, saya merampungkan penyuntingan sebuah buku tentang Yusak Adrian Hutapea, penggagas dan perintis pertama pendidikan untuk Orang Rimba, yang akan diterbitkan KKI-Warsi. Ketika mengedit buku itu, saya tergetar membaca saat-saat jelang wafatnya Yusak. Begitu ganasnya malaria. Hanya beberapa menit setelah merasakan demam hebat dan menggigil, Yusak tak tertolong. Kepergian Mas Agung, saya dengar, juga hampir sama gejalanya dengan Yusak. Kecuali itu, saya kira Yusak dan Mas Agung punya kesamaan lain: sama-sama meninggal dalam pekerjaan yang mereka cintai.

Satu orang lagi di Jambi yang meninggal ketika tengah membaktikan diri untuk daerah ini adalah Fachruddin Saudagar. Dia wafat setelah terjatuh ketika tengah mengajar di Universitas Jambi. Dan siapa yang tak mengenal Pak Fachruddin? Dia salah seorang yang paling bersemangat dalam hal meneliti Jambi. Dia menulis beberapa buku tentang Jambi. Seingat saya, dia tak pernah absen ketika diundang untuk berdiskusi apa pun tentang daerah ini. Ketika didaulat menyampaikan laporan oleh teman-teman panitia ICJS 1 pada Nonember lalu, saya menyampaikan bahwa ICJS 1 didedikasikan untuk Almarhum Pak Fachruddin.

Sewaktu memberitahukan kabar wafatnya Mas Agung, Al Makin yang tengah berada di Jerman membalas e-mail saya dengan kata-kata berikut: “Pengorbanan yang tak sia-sia. Yang ditinggal harus meneruskan.”

Yusak, Pak Facruddin, dan Mas Agung adalah orang-orang besar. Karya mereka harus dilanjutkan.


Jambi, 17 Jan 2014

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Innalillaahi wa inna ilaihi roji'un. Lahum al fatihah. Sugeng tindak mas agung. Maaf renny baru tahu kabar kalau njenengan sudah wafat 9 tahun lalu. Terimakasih atas persahabatan bakti selama di pramuka ugm. Panjenengan pinter dan hebat. Bersyukur pernah bertemu dan bekerjasama. Nasehat njenengan agar selalu minum air putih setelah bangun tidur masih sy jalankan. Matur nuwun. Sugeng istirahat panjang. Semoga Allah swt mengampuni panjenengan dan membalas amal sholih panjenengan dg pahala yg terbaik. Semoga keluarga yg ditinggalkan sabar dan ikhlas. Aamiin.

Anonim mengatakan...

Semoga saya bisa ziarah di makam panjenengan dan bertemu keluarga kecilmu