Pamflet Itu Bernama Novel


INGATAN SAYA langsung tertuju pada Akhrej Minha ya Mal'un-nya Saddam Hussein saat membaca paragraf-paragraf awal Perahu karya Conie Sema. Ada beberapa persamaan antara kedua novel itu. Pertama, kalau Perahu didahului “khotbah” panjang tentang berbagai ketidakadilan di “Intro”, mulai dari masa penjajahan Belanda, 1965, Orde Baru, hingga masa subur LSM dan nekolim serta neolib; Akhrej Minha ya Mal'un didahului oleh narasi tentang setan yang agak berlebihan—karena itu, dalam edisi Inggris, Jepang, maupun Indonesia, novel ini diberi judul dengan arti “tarian setan” atau yang serupa dengan itu. 

Karena itu kemudian, kedua, baik Perahu maupun Akhrej Minha ya Mal'un, sejauh pembacaan saya, adalah cerita tentang perlawanan terhadap ketakadilan itu. Dan ketidakadilan tentu saja bukan sesuatu yang kodrati atau terberi, melainkan berasal dari proses sosial yang alih-alih alamiah, justru disetir oleh suatu rezim kekuasaan. Karena itu, perlawanan terhadap ketidakadilan berarti juga perlawanan terhadap penguasa. Di dalam Perahu, para tokohnya kentara sekali menggugat ketakadilan (borjuis dan pemerintah), karena acap gugatan itu disampaikan dalam dialog verbal. Sementara di dalam Akhrej Minha ya Mal'un, ketidakadilan dituding berpangkal dari Yahudi. Tokoh Salim (Islam) kemudian melawan simbol Yahudi yang mewujud pada tokoh Hasqil. 

Bedanya, kalau perlawanan di dalam Akhrej Minha ya Mal'un menghasilkan pemenang, yaitu Salim, yang berhasil menghancurkan menara kembar milik Hasqil, tidak demikian di dalam Perahu. Perlawanan di dalamnya berujung pada kekalahan semua tokohnya. 

Tokoh Baya hidup bersuamikan Umar dan kedua anaknya, Lina dan Gofur. Umar dan Baya adalah pekerja pada keluarga suami-istri Boni dan Lastri. Umar bekerja di bagan milik mereka, sedangkan Baya adalah pembantu rumah tangga mereka. Pada awalnya hidup mereka baik-baik jika saja rumah tangga Boni dan Lastri harmonis gara-gara mereka tak punya anak. Umar yang sering menemani Lastri mengurus usaha kemudian terlibat perselingkuhan. Di akhir cerita, Lastri melahirkan anak dari perselingkuhan itu. 

Sementara Baya yang membantu mengurus rumah tangga Boni dan Lastri, karena Boni sering berada di rumah ketimbang istrinya, terlibat pula perselingkuhan dengan sang majikan. Perselingkuhan awalnya diceritakan dengan sedikit paksaan, tapi kemudian Baya menikmatinya. Tak sampai di situ, Lina, anak Umar dan Baya, terlibat hubungan terlarang dengan Along, seorang agen obat yang telah beristri, sebelum kemudian juga berselingkuh dengan Boni dan teman kuliahnya serta para aktivis LSM. 

Dari selingkuh itu, Lina hamil. Demi mendapati Lina yang mengandung, Baya kalap. Usai persetubuhan panjang, dengan bengis dia menghabisi Boni, yang dia anggap menghamili Lina—Lina hanya mengaku dipaksa melayani Boni; tak diceritakan dia mengaku pada Baya bahwa telah bersebadan pula dengan teman-temannya serta Along. Andaipun belum pernah membuka-buka novel klasik Germinal karangan sastrawan Prancis Emile Zola, pembaca akan tahu bahwa referensi yang dipakai pengarang untuk membuat cerita sadisme itu adalah novel tersebut. Selain Baya yang melengkapi prosesi pembalasan dendamnya dengan (maaf) memotong kemaluan Boni, persis yang terjadi dalam Germinal, berkali-kali juga buku Zola tersebut disebut oleh pengarang saat bercerita tentang sadisme yang dilakukan Baya. Tak hanya itu, pembaca juga disodori perdebatan yang pernah terjadi di Indonesia bahwa apakah sadisme yang dilakukan Gerwani, salah satu organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI), terhadap para jenderal di Lubang Buaya, jika sejarah 1965 versi Soeharto diterima, diinspirasi oleh Germinal. 

Dalam struktur cerita yang demikian, siapakah yang menjadi pemenang? Kalau kita setuju dengan postrukturalis Prancis Michel Foucault dan Roland Barthes yang bersepakat bahwa struktur perlu dilihat setidaknya untuk melihat siapa penguasa—minimal yang diuntungkan dari—struktur itu—untuk kemudian mendekonstruksinya—tak ada tokoh pemenang. Di akhir kisah, diceritakan Baya dipenjara dan gila dengan mengamuk membunuhi rekan-rekannya sesama tahanan. Demikian pula Umar yang terusir karena tidak dibutuhkan lagi oleh Lastri sebab perempuan itu telah menjadi lesbian berpasangan dengan Lina. Tak ada pemenang, tak ada yang diuntungkan, dan semua tokoh kalah. 

Sebagaimana dalam sadisme Baya yang nyata referensinya ditunjukkan ke pembaca berasal dari Germinal karangan Zola, banyak peristiwa yang terjadi dalam ranah realitas yang dihamburkan di dalam novel itu, semisal Tragedi Talangsari, Peristiwa 1965, juga Reformasi 1998—kaver novel itu bahkan dibubuhi kata “a story behind the political reform of Indonesia”. Artinya, referensi penulisan novel ini disodorkan ke pembaca dengan gamblang. Maka jangankan berteka-teki, sadar atau tidak, tafsir pembaca pun tergiring untuk memaknai Perahu dalam konteks demikian. 

Apakah hal itu dikarenakan penulis novel ini seorang jurnalis yang biasa bergelut dengan “fakta” yang didapat dengan ketat? Bisa jadi ya. Namun demikian, tidak semua jurnalis yang menulis sastra berperilaku menghamparkan banyak fakta di dalam karya sastranya. Sebut saja Ahmad Tohari (harian Merdeka), Martin Aleida (Tempo), Seno Gumira Ajidarma (Jakarta Jakarta), Akmal Naseri Basral (Tempo), Aris Kurniawan (majalah Film), Nur Mursidi (majalah Hidayah), atau Yupnical Saketi (Posmetro Jambi). 

Saya sering menyederhanakan bahwa prosa yang baik dan berhasil punya dua prasyarat: kisah yang disampaikan menarik dan cara ungkapnya memikat. Bila harus dirujukkan, pendasarannya ada pada teori kisah (narrative)-nya Paul Ricoeur dalam Time and Narrative. Dalam berkisah, kata Ricoeur, seorang pencerita mesti melewati tahap yang dinamakan seleksi dan kombinasi. Dengan bahasa berbeda Afrizal Malna secara puitis mengatakan bahwa berkisah adalah bekerja di dua meja. Ada semesta yang akan dikisahkan. Tentu tidak semuanya bisa masuk dalam sebuah kisah seperti novel, apalagi cerpen. Ada proses seleksi. Setelah menemukan apa saja yang akan dikisahkan, masuk tahap mengkombinasikan hasil seleksi itu. Seleksi dan kombinasi tidak saja terkait kisah-nya, tapi yang tak kalah penting adalah seleksi bahasa, menyangkut komposisi, genre literer, serta gaya yang merupakan kaidah penyusunan dan perangkaian (kombinasi) yang paling elementer dari sebuah karya literer. 

Inilah soalnya: kisah yang memikat sering tidak disertai dengan cara berkisah yang mengesankan. Sebaliknya, kerap terjadi penulis terlalu terpukau pada bahasa, memerhatikan hingga detail-detail kata yang digunakan agar bernuansa puitis, walhasil lupa pada kisah yang ingin disampaikan. Sudah barang tentu bila keduanya terjalin bagus, akan lahir kisah yang sempurna. Namun bila keduanya terabaikan, cerita yang ditulis bakal tidak mengesankan pembacanya alias gagal. 

Keberhamparan peristiwa acap membuat dua hal pokok itu terabaikan. Di satu sisi seleksi kisah benar-benar terabaikan, di sisi lain kombinasinya menjadi sebuah jalinan cerita yang menarik sulit dilakukan. Kisah menjadi tidak fokus. Atau malah kebanyakan bumbu yang alih-alih menyedapkan, peristiwa yang berlimpah itu bila tak diolah secara benar-benar berpotensi membuat “masakan” hambar. 

Pada novel ini, kisah acap dicomot begitu saja dari kenyataan riil sehari-hari. “Based on true story” atau “a story behind” menjadi jebakan yang mematikan. Jebakan mencomot begitu saja seperti itu membuat pengarang tidak selalu memahami kisah dengan jelas atau kalaupun memahaminya secara baik, terjebak dengan pengetahuan sendiri dan luput mengolah sudut pandang. Pengarang menjadi paling tahu dan logika cerita diabaikan. 

Apakah dengan penghamparan peristiwa yang dipungut dari kenyataan sebenarnya itu, novel ini bisa disebut novel sejarah? Dengan definisi fiksi sejarah menurut Sarah Johnson mungkin ya. Aktivis Komunitas Novel Sejarah Amerika itu mengatakan, fiksi dan sejarah tidak dapat dipisahkan. Setiap fiksi, demikian Sarah, pada dasarnya adalah fiksi sejarah. Cerita yang ditulis pada 1960-an, misalnya, menyimpan dan membawa gambaran sebuah latar saat itu—sebuah pandangan dunia (worldview atau weltanschauung) zaman itu. Dengan begitu setiap fiksi atau novel adalah rekaman sejarah. 

Namun dengan bandingan fiksi sejarah ala penulis Italia Umberto Eco (The Name of the Rose yang mengambil referensi sejarah gereja Abad Pertengahan) atau sastrawan Rusia terbesar Leo Tolstoy (Haji Murad dan War and Peace), Perahu berbeda. Kalau novel-novel tersebut memakai peristiwa sejarah sebagai latar atau sebagai persoalan, tidak demikian dengan Perahu. Novel ini nyaris sekadar menghamparkan peristiwa yang alih-alih menjadi latar atau persoalan, melainkan sekadar titik tolak ide penulisan yang membuat pembaca—juga pengarang—sulit menjaga jarak darinya. 

Sekali lagi, kata Edgar Alan Poe, pada awalnya adalah cerita. 

Tentang perlawanan, yang sentral dalam Perahu, karena banyak peristiwa berhamparan, urung disampaikan secara “metaforis” yang membuat kenyataan tidak begitu saja atau langsung terkemukakan pada pembaca. Tak ada perenungan yang menjadi kekuatan khas karya sastra. Kekuatan karya para nobelis semacam Knut Hamsun (Hunger) atau JM Coetzee (Disgrace dan Waiting for the Barbarian), misalnya, bagi saya, terletak pada kepandaian pengarang membuat kisah agar cerita tersampaikan dengan apa adanya sekadar cerita, meski di balik itu kita mendapati sebuah kisah perlawanan yang gusar. Bahkan diktator Saddam Hussein, yang di luar karya adalah penentang keras adikuasa Amerika Serikat, di dalam karya berlaku tawadhu dengan mengaburkan kisah perlawanannya dalam simbol-simbol yang menarik. 

Kisah yang disampaikan dengan cara demikian, seberapa pun peristiwa yang melatarbelakanginya teramat terang, bila direntangkan jarak, akan utuh berdiri sebagai sebuah kisah. Itulah yang kemudian menjadi kegusaran Damhuri Muhammad ketika mengudar tafsir banyak orang yang mengatakan cerita yang ditulis mantan aktivis Lekra, Martin Aleida (Layang-layang Itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi, Leontin Dewangga, dan Mati Baik-baik, Kawan, misalnya), adalah sebentuk gugatan terhadap ketidakadilan yang dialami orang-orang yang tertuduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) serta keturunan mereka. Artinya, kalaupun dilepaskan antara peristiwa 1965—yang mungkin melatarbelakangi—dan cerita-cerita Martin, kisah itu tetap berdiri sebagai kisah. Hal sama saya rasa berlaku pada Ahmad Tohari yang menulis Ronggeng Dukuh Paruk, bahwa dilepaskan dari konteks 1965 pun, cerita di dalam novel itu tetap berdiri sebagai kisah utuh yang nyaman dinikmati. 

Tentang cara perlawanan itu dilakukan, bagi saya, ketimbang verbalisasi ulang kisah dalam Germinal, lebih baik mencari cara ungkap baru bagi perlawanan itu sendiri. Dua novel Eka Kurniawan, misalnya, bisa jadi bandingan yang baik. Di dalam Cantik Itu Luka, salah satu tokohnya melawan kekejaman serdadu Jepang yang memerkosanya dengan cara diam saja ketika perbuatan bejat itu dilakukan. Dia diperkosa tanpa ekspresi: tak ada desah, tak ada penolakan, tak ada air mata. Juga di dalam Lelaki Harimau, satu tokoh perempuan yang tidak bisa melakukan apa pun, menanami rumahnya penuh dengan bunga sebagai simbol perlawanan. Khas perlawanan di dalam cerita, saya rasa simbolik, ketimbang vulgar apalagi mengekor pada kisah dari pengarang pujaan. 

Penyampaian perlawanan secara vulgar tak lain adalah ciri pamflet. Seni pamflet, menurut Saut Situmorang, adalah seni propaganda untuk melawan propaganda, terutama propaganda pemerintah atau penguasa. Di zaman perjuangan, misalnya, “Merdeka atau mati!” atau “Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup becermin bangkai” adalah pamflet untuk melawan kolonial. 

Karya sastra yang menyerupai pamflet itu pernah marak sebelum peristiwa 1965. Kalau kita membuka-buka cerpen para pengarang Lekra yang dimuat dalam Lembar Kebudayaan Harian Rakyat, kita mendapati karya yang secara terang menyampaikan perlawanan, tanpa tedeng aling-aling. Karya-karya A Kohar Ibrahim, Putu Oka, Sulami, untuk menyebut beberapa penulis Lekra waktu itu, amat jelas menyuarakan perlawanan secara vulgar. Tak hanya pada karya sastra, bahkan kalau kita membuka-buka Harian Rakyat, berita yang disajikan pun nyaris serupa pamflet. Periode jelang 1965, pers Indonesia memang dikenal sebagai pers partisan untuk membela kelompok atau partai dan menentang secara terang kelompok lain. 

Pasca-1965, seni pamflet itu hilang oleh represi Orde Baru, diganti dengan bahasa santun lipstis ala Jawa. Suara berbeda dari pemerintah, jangankan yang disampaikan secara terang, dengan sangat kabur pun tetap dicurigai seperti halnya Ahmad Tohari atau Pramudya Ananta Tour yang sempat dipenjarakan. Di sinilah kemudian perlawanan dalam sastra menjadi niscaya, tentu dengan pengertian sastra sebagai semata dunia rekaan atau imajinasi. Maka Seno Gumira Ajidarma pun menabalkan semboyannya yang kemudian menjadi kredo waktu itu: ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. 

Perahu, dalam beberapa hal, mengingatkan saya pada seni pamflet yang selama ini hilang tersebut. Apakah ini lahir karena Orde Baru telah runtuh dan berganti dengan Reformasi yang membuka sekat bagi perbedaan pendapat, masih perlu diperdebatkan lagi.[]


=============================================================
Ini awalnya kertas kerja saya dalam peluncuran Perahu pada 16 Agustus 2009 di Aula Kantor Bahasa Jambi. Di samping saya, pembicara lainnya adalah Halim HD. Novel lengkap dapat dibaca secara online di sini.

0 komentar: