SALAH SATU indikator dan kata kunci moderasi beragama adalah penerimaan atau penghormatan terhadap tradisi.[1] Di tengah arus globalisasi yang semakin cepat, penerimaan tersebut tentu saja tidak mudah. Tradisi bahkan seperti sedang menunggu era kepunahannya atau setidaknya menghadapi tantangan berat untuk bertahan.
Esai ini berargumen bahwa di samping menjadi ancaman, globalisasi sebetulnya juga menyediakan peluang bagi pemertahanan tradisi. Di samping karena sifat dasar manusia, sebagai subjek tradisi, itu unik dan pasti berbeda dari yang lain, respons atas globalisasi juga tidak selalu pasif. Dengan begitu, invensi atas tradisi akan terus dilakukan serta pencampuran dengan tradisi lain, yang membentuk apa yang dikenal sebagai budaya hibrid, menjadi alternatif yang bisa diambil.
Globalisasi
Di dalam sebuah esainya, budayawan Emha Ainun Nadjib menulis bahwa globalisasi
itu ibarat rumah. Bayangkan, kata Cak Nun,
begitu Emha sering disapa, setiap sekat pembatas di rumah itu dirobohkan dan
dibongkar. Tak
ada lagi kamar atau ruang tamu. Orang di kamar mandi akan bisa terlihat dari
teras. Kejadian di kamar bisa disaksikan dari dapur.... Di dalam esainya yang
lain, Cak Nun mengatakan,
"Globalisasi ... adalah mengumpulkan lombok, brambang, bawang, garam, dan terasi jadi satu di cowek atau layah, kemudian diuleg sampai campur dan merata semua. Atau, globalisasi adalah menuangkan air panas, gula, kopi campur keringat sedikit, lantas diaduk sampai larut satu sama lain."[2]
Dunia sekarang semakin mengglobal. Temuan berbagai teknologi modern mengatasi
hambatan-hambatan jarak yang selama ini menjadi pemisah. Di dalam dunia yang
global itu, jarak telah roboh. Tak ada lagi batas bagi seseorang untuk melihat
atau pergi ke wilayah lain. Lewat sebuah komputer, seseorang bisa
menjelajah ke pelosok paling kucil sekalipun.
Sebagaimana tahun terbit versi awal esai Cak Nun, istilah globalisasi mulai
populer digunakan sejak 1980-an. Pada tahun-tahun itu, istilah baru ini banyak
didiskusikan serta muncul dan diperdebatkan dalam banyak tulisan. Budi Winarno
bahkan mencatat, di dalam perdebatan-perdebatan itu, sulit ditemukan kata
sepakat tentang istilah ini. Mengutip David Held, Winarno mengatakan bahwa isu
utama yang menjadi sumber perdebatan menyangkut konseptualisasi, penyebab,
periodesasi, dampak, dan jalur perlintasan globalisasi.[3]
Ketidaksepakatan sebagaimana dikatakan Winarno tersebut misalnya tampak dari
beragamnya definisi globalisasi. Setiap definisi, dengan keterbatasannya
masing-masing, terlihat coba menjawab kelima hal yang menjadi sumber
perdebatan. Anthony Giddens, misalnya, mendefinisikan globalisasi sebagai
“peningkatan hubungan sosial di seluruh dunia yang menghubungkan
lokalitas-lokalitas yang jauh dan berjarak, sehingga apa yang terjadi di sebuah
daerah ditentukan oleh peristiwa-peristiwa di tempat lain yang jaraknya bermil-mil.”[4] Jadi ada hubungan yang kompleks antara
keterlibatan lokal (local involvement) dan interaksi lintas jarak (interaction
across distance) yang membentuk sebuah kejadian. Sebuah peristiwa adalah
tali-temali dari kejadian-kejadian yang tidak hanya berlangsung di sekitar
peristiwa itu, melainkan juga kejadian-kejadian yang berasal dari tempat yang
jauh. Peristiwa di satu tempat pada akhirnya adalah juga kejadian di tempat
lain. Tak ada jarak. Definisi ini menekankan peleburan jarak sebagai penyebab
globalisasi.
Apa yang dimaksud jarak tersebut bukan hanya menyangkut ruang atau jarak
geografis, melainkan juga jarak waktu. Giddens menyebutnya sebagai “time-space
distanciation”. Globalisasi kemudian menjadi jembatan yang menghubungkan
antarjarak (interaction across distance).[5] Dalam proses interaksi tersebut,
terdapat beragam cara untuk menghubungkan banyak tempat dan konteks itu. Arjun
Appadurai mendeskripsikan lima istilah terkait interaksi tersebut, yaitu ethnoscapes, technoscapes, infoscapes, financescapes,
dan mediascapes.[6]
Meskipun dipisah-pisahkan oleh Appadurai, kelimanya itu saling kait-mengait,
kalau bukan tumpang-tindih. Akhiran –scapes yang ada dalam
istilah-istilah tersebut menunjukkan tidak ada yang tetap atau pasti dalam
kelimanya. Ada kecairan atau kekentalan yang berbeda-beda dan tidak selalu
sama, besar-kecil irisannya tidak pernah pasti dan berlainan. Dalam bahasa Cak
Nun, tingkat kental-cair pengadukan kopi atau kehalus-kasaran ulegan tidak
pernah sama. Apa yang membuat semuanya berbeda adalah pengaruh dari banyak hal:
kelompok, negara, multinegara, komunitas diaspora, migrasi, agama, budaya, dll.[7] Meminjam dari Benedict Anderson,
Appadurai mengatakan bahwa irisan dan kekentalan itu akan membentuk dunia yang
diimajinasikan (imagined world). Sekali lagi, karena kental-cairnya
tidak sama, dunia yang diangankan juga akan berbeda-beda.[8]
Selain definisi globalisasi di atas, definisi lain dari berbagai bidang
keilmuan, seperti disitir Jan Nederveen Pieterse, juga menarik disimak.
Menurutnya, di dalam ekonomi, globalisasi merujuk pada internasionalisasi
ekonomi yang berasal dari sistem produksi yang digerakkan oleh modal global dan
meluasnya pasar kapitalis. Di dalam hubungan internasional,
fokusnya adalah meningkatnya ketergantungan antarnegara dan berkembangnya
politik global. Negara dengan kekuatan adidaya menjadi pengikat banyak negara
untuk berkumpul di sekeliling serta bergantung kepadanya, yang tak ubahnya
mereka membentuk apa yang di masa lalu disebut sebagai negara vassal.
Sementara
di dalam studi budaya, muncul standardisasi budaya dunia seperti McDonaldisasi
dan Coca-Colanisasi.[9]
Berbagai definisi yang dihimpun Pieterse di atas tampak sekali mengaitkan
globalisasi dengan wujud baru dominasi. Globalisasi tak ubahnya bentuk
penjajahan baru setelah runtuhnya era kolonisasi Eropa. Dengan berbagai teknik
baru, Eropa dilihat tetap ingin mendominasi dunia ketiga untuk mendapatkan
banyak keuntungan, terutama ekonomi. Pandangan ini melihat kolonialisme tidak
pernah benar-benar runtuh, tetapi bermetamorfosis ke dalam bentuk baru dan
terus berusaha menguasai dunia melalui globalisasi.
Meskipun relatif baru, berdasarkan definisi-definisi yang menyatakan bahwa
globalisasi merupakan hasil interaksi dan soal pengaruh-memengaruhi, penting
dikemukakan bahwa fenomenanya sesungguhnya telah ada jauh sebelum 1980-an,
termasuk di Indonesia. George Coedes, misalnya, di dalam bukunya yang
terkenal, The Indianized States of Southeast Asia, menyebut bahwa
jauh sebelum masuk pengaruh kolonial, kerajaan-kerajaan di Indonesia telah
mengalami indianisasi (Indianization).[10] Dalam berbagai segi, apa yang disebut
Coedes sebagai indianisasi sesungguhnya adalah bentuk globalisasi.
Selain soal definisi, diskusi tentang globalisasi juga banyak menyangkut
efeknya. Di dalam dunia yang semakin tak berjarak itu, Cak Nun mengingatkan
bahwa globalisasi akan menghilangkan kekhasan dan identitas. Semuanya bercampur
dan merata, larut satu sama lain. Dalam kata-kata Cak Nun, tak ada lagi lombok,
brambang, bawang, garam, dan terasi lagi. Semua bercampur dan sama.
Apa yang ditakutkan Cak Nun itu juga menjadi keprihatinan Arjun Appadurai. Dia
menyebut bahwa efek paling menakutkan dari globalisasi adalah homogenisasi yang
menabrak heterogenisasi. Globalisasi sendiri adalah proses penghancuran sang
heterogen. Meski begitu, Appadurai mengingatkan bahwa globalisasi atau
homogenisasi bukan semata soal menjadi Amerika atau menjadi Barat. Di Irian
Jaya, begitu tulis Appadurai, yang dikhawatirkan barangkali bukan
Amerikanisasi, melainkan Indonesianisasi, sebagaimana Japanisasi di Korea,
Indianisasi di Sri Lanka, Vietnamisasi di Kamboja, Rusianisasi di Armenia, dst.
Ide tentang bangsa, yang diterjemahkan Anderson sebagai komunitas terbayang,[11] bagi Appadurai, jelas sekali membawa
gagasan homogenisasi, karena pada saat itu dia juga berarti penjara politik (political
prison) untuk heterogenisasi.[12]
Pertanyaannya, sampai di “unit” terkecil apakah yang sesungguhnya disebut
heterogen itu? Apakah yang heterogen atau different itu?
Pertanyaan ini penting karena berkaitan dengan jawaban di “tingkat” mana
homogenisasi (yang dikhawatirkan) itu berlangsung. Tingkat nasional
seperti dalam teori nation-nya Anderson ataukah tingkat global?
Globalisasi Media
Hingga tahun 1990-an, tagline Televisi Republik Indonesia
(TVRI) yang sering kali dipertontonkan kepada khalayak di sela acaranya adalah
“menjalin persatuan dan kesatuan”. Tagline itu setidaknya
menunjukkan angan bahwa media TVRI menyatukan Indonesia yang terdiri atas
ribuan pulau dengan penghuninya yang memiliki keragaman etnis, suku, agama,
budaya, dst.
Pada tahun-tahun itu, angan tersebut ternyata bukan monopoli TVRI saja. Di Inggris,
terutama sebelum 1980-an, BBC juga diniatkan seperti itu. John Reith, direktur
jenderal pertamanya, menegaskan bahwa:
"Penyiaran harus menyumbang kehidupan publik dan politik bangsa... penyiaran juga mesti membantu membentuk rasa persatuan nasional... membuat buhul yang mengikat para pendengar yang berbeda-beda dengan jiwa kehidupan nasional."[13]
Setelah masa perang yang
mencerai-beraikan, media atau penyiaran dianggap mampu dan paling pas untuk
membawa rakyat ke kehidupan yang berbangsa dan berkebudayaan yang sama. Kala
itu ada dua peran penyiaran, yaitu melayani ruang publik negara-bangsa dan mengidentifikasi
budaya nasional.[14] Tugas itu terutama dibebankan kepada
lembaga penyiaran publik.
Bersamaan dengan globalisasi, sekarang keadaannya berbeda sama sekali dari
gambaran di atas. Kalau dulu pemirsa dan pendengar disapa sebagai warga negara
dari sebuah komunitas nasional, sehingga bersifat politis, sekarang mereka
diacu sebagai entitas ekonomis, yakni sebagai bagian dari konsumen. Kalau di
masa lalu ruang pemirsa dibatasi oleh sekat negara atas nama kepentingan
nasional, di masa kini ruang itu luluh oleh kepentingan ekonomi. Di zaman ini,
media dan penyiaran tidak lagi ditujukan untuk membawa masyarakat pemirsanya
pada satu identitas bangsa, melainkan diarahkan untuk merespons keinginan
konsumen dan memaksimalkan pilihan konsumen itu.
Disetir logika ekonomi dan pencarian keuntungan yang berlipat, penyiaran
berlomba memasarkan produknya agar diterima sebanyak mungkin konsumen, tidak
hanya di tempat atau negara di mana penyiaran itu berada, tetapi juga di
wilayah atau negara lain. Muncul kemudian istilah “televisi tanpa batas” (television
without frontiers) atau semacamnya. Istilah itu
mengacu pada penyiaran yang berhasil melampaui sekat negara karena diterima
juga di negara lain. Pada titik ini, media penyiaran telah mengalami
globalisasi (globalized media).
Setidaknya ada tiga cara media-media mengalami globalisasi. Pertama,
kepemilikannya oleh perusahaan atau korporasi lintas negara. Kita bisa melihat
misalnya kerajaan bisnis media Rupert Murdoch yang berada di banyak negara.
Cara baru dalam berinvestasi melalui kepemilikan saham memungkinkan pebisnis
media di satu negara punya kerajaan bisnis penyiaran di negara lain. Di sebalik
itu, investasi tersebut menjadi tidak mustahil karena regulasi negara-negara
yang mengarah pada “deregulation” akibat mementingkan keterbukaan pasar
atas nama liberalisasi ekonomi.[15]
Cara kedua, media-media hadir melampui sekat negara. Misalnya, The
Economist yang bisa dibeli atau dibaca di mana-mana meskipun jauh dari
negara tempat penerbitnya berada. Beberapa media juga membuat versi lokal,
biasanya lebih menekankan versi bahasa, untuk terbitannya yang dijual di negara
lain. Ada Playboy versi Jerman, Italia, Jepang, dll. Cara
ketiga, yang dijual di banyak negara bukan medianya, melainkan konten atau
acaranya. Kita bisa menyaksikan American Idol bisa muncul di Qatar, Libanon,
Indonesia, dan Afrika Selatan. Demikian
pula kuis “Who Wants to Be a Millionare” bisa muncul di televisi-televisi mana
pun di dunia. Atau Liga BBVA, Premier League, League-1, Bundesliga yang
semuanya lengkap bisa kita tonton dari televisi di rumah kita.
Baik cara kedua maupun ketiga, globalisasi media yang terjadi lebih substansial
ketimbang yang pertama. Cara kedua dan ketiga ini, dalam bahasa Appadurai,
disebut mediascapes yang terjemahannya adalah sebagai berikut:
"Mediascapes merujuk baik pada distribusi kemampuan-kemampuan
elektronik untuk membuat dan menyebarkan informasi (koran, majalah, stasiun
televisi, dan rumah produksi film), yang jumlah peminatnya sekarang meningkat
di seluruh dunia, maupun pada gambaran dunia yang dibentuk atau diimajinasikan
oleh media-media itu."[16]
Globalisasi bentuk penyiaran dan kontennya tersebut lebih dimungkinkan dan
didukung oleh perkembangan teknologi informasi. Lewat kecanggihan Internet,
misalnya, kita bisa membeli versi daring The Economist.
Dengan relay satelit dan teknologi tertentu, tayangan Cartoon
Chanel dapat disaksikan dengan membayar langganan melalui televisi
kabel.
Media yang terglobalisasi, yang dari sisi penghiburan barangkali lebih menarik,
pada gilirannya mematikan hal-hal yang bersifat lokal. Tayangan kartun dari
studio Jepang lebih dikenal anak-anak Indonesia, dan Si Unyil pun
kehilangan penontonnya. Pertanyaannya, bagaimana fenomena hilangnya yang lokal
ini dikaitkan dengan hak atas perbedaan atau hak atas identitas?
Hak dan Identitas Budaya
Di luar narasi-narasi besar tentang perbedaan yang didasarkan pada etnisitas, bahasa, ras, dan agama, pada dasarnya setiap orang adalah unik dan punya sifat yang berbeda dari sesamanya. Perbedaan-perbedaan itu membuat seseorang atau sekelompok orang kemudian memiliki identitas. Hegel dengan tepat mendefinisikan identitas sebagai identitas atas identitas dan perbedaan (identity is identity of identity and difference). Definisi identitas juga berkaitan erat dengan modernitas, yang praktiknya terlembagakan dalam teritori modern (batas negara) serta praktik konsumsi (industrialisasi dan ekonomi kapitalis). Pada akhirnya itu mengatur praktik kultural yang membuat kita mesti mengikatkan diri pada pembedaan spesifik seperti seksualitas, kelas, agama, etnisitas, dst.[17]
Karena bisa sangat mikro, identitas pun bisa mewujud sebagai identitas diri di tingkat paling kecil, identitas kultural atau budaya, hingga identitas nasional sebagaimana angan TVRI di atas. Selain memiliki identitas, seseorang atau sekelompok orang juga memiliki hak untuk mengekspresikan identitasnya yang diatur dalam konstitusi negara dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, misalnya, tegas disebutkan bahwa setiap orang punya hak atas pengakuan (Pasal 28 D ayat 1) serta hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3).
Di tengah masyarakat yang plural, kenyataan yang terjadi tidaklah seindah yang dikatakan dalam konstitusi. Kita sering mendapati kenyataan seseorang yang tidak diakui hak-hak dasarnya, seperti penganut Syiah dan Ahmadiyah yang tidak bisa beribadah secara terbuka, penganut agama lokal yang tidak bisa mencantumkan agamanya dalam KTP, atau kaum homoseksual yang tetap tidak mendapatkan tempat.
Multikulturalisme punya tiga prasyarat yang mesti dipenuhi negara ketika berhadapan dengan banyak kebudayaan. Pertama, pengakuan atau recognition. Semua kebudayaan mesti mendapatkan pengakuan yang sama oleh negara. Kedua, perwakilan atau representation. Ada orang-orang tertentu dari kebudayaan itu yang bisa menjadi penyalur mereka dalam berkomunikasi dengan negara. Ketiga, pembagian atau redistribution. Semua kebudayaan yang berbeda-beda itu mesti mendapatkan perlakuan yang sama, dalam pengertian yang Rawlsian, dari negara. Tujuan akhirnya adalah jaminan keadilan bagi semua.[18]
Dalam praktiknya, pelaksanaan ketiga hal tersebut juga tidak menjamin keadilan bisa dicapai. Susan Moller Okin di dalam Is Multiculturalism Bad for Women? misalnya menyebutkan bahwa pelaksanaan praktik multikulturalisme semacam itu terkadang merugikan beberapa pihak seperti perempuan. Hal tersebut terjadi karena ada kebudayaan yang kalau diakui justru merugikan kehidupan bersama.[19]
Dalam perkembangan terkini, ancaman terhadap ekspresi budaya tertentu bukan saja datang dari negara sebagaimana di atas, tetapi yang lebih massif berasal dari globalisasi. Menurut Michael Hsiao, ada empat hasil perjumpaan globalisasi dengan kebudayaan lokal. Pertama, sebagaimana sering ditakutkan banyak orang, budaya lokal digeser oleh budaya global. Ada banyak contoh, misalnya permainan anak tradisional yang hilang dan berganti dengan permainan daring. Kedua, budaya lokal dan budaya global hidup berdampingan tanpa ada penyatuan berarti di antara keduanya (koeksistensi). Misalnya, budaya perang di dalam masyarakat terdidik Papua.
Ketiga, budaya lokal dan budaya global menghasilkan sintesis budaya baru sebagai perkawinan keduanya. Contohnya adalah wayang dengan muatan Islam. Keempat, budaya global ditolak oleh budaya lokal yang kuat, seperti masyarakat Badui yang menolak kehidupan modern.[20]
Meskipun ada empat dampak sebagaimana di atas, tergesernya budaya lokal oleh budaya global menjadi tantangan yang paling dikhawatirkan, kadang-kadang diacu dengan istilah penjajahan budaya (cultural imperialism). Dalam kaitannya dengan media, hadirnya globalisasi media membuat ekspresi budaya lokal terpinggirkan. Film Batman atau Spiderman, misalnya, banyak menguasai layar-layar sinema tanah air dan menjadi perbincangan hangat ketika film-film tersebut diluncurkan. Dari segi jumlah penonton, misalnya, film-film Indonesia jauh tertinggal dari film-film produksi Hollywood. Di layar televisi kita, tayangan MTV jauh memikat anak muda ketimbang tontonan tradisi seperti wayang.
Tapi benarkah bahwa subjek yang terpapar oleh globalisasi media merupakan subjek yang pasif, yang hanya menerima begitu saja? Apakah hasil paparan media global itu akan menghasilkan efek yang sama? Paparan di bawah akan menelisik lebih jauh pertanyaan-pertanyaan ini.
Subjek yang Aktif, Pencampuran yang Berubah-ubah
Meskipun menyebut bahwa efek paling menakutkan dari globalisasi adalah homogenisasi yang menabrak heterogenisasi, Appadurai menggarisbawahi bahwa sulit sekali membayangkan dunia akan benar-benar homogen.[21] Di ranah filsafat, dengan tegas dikatakan bahwa kesadaran manusia pada hakikatnya adalah plural. Meskipun selalu ada upaya dominasi, dengan cara-cara baru yang sangat kreatif, banyak pemikir semacam Roland Barthes, Michel Foucault, dan Jacques Derrida, untuk menyebut beberapa, selalu menekankan upaya resistensi oleh subjek. Di depan dominasi atau homogenisasi, subjek pada dasarnya adalah subjek yang aktif, bukan pasif.[22]
Karena itu, bagi Appadurai, yang terjadi sesungguhnya adalah ketegangan abadi antara menjadi homogen dan menjadi heterogen. Hasrat untuk menjadi heterogen tersebut tampak sekali dalam definisi kedua mediascapes yang menekankan konten media: gambaran dunia yang dibentuknya, yang merupakan imagined world, berbeda-beda dan tidak sama. Apa yang membeda-bedakan gambaran dunia tersebut, sebagaimana telah dipaparkan di awal, adalah pencampuran atau kekentalan globalisasi yang tidak sama. Sekali lagi, semuanya dipengaruhi oleh berbagai hal seperti agama, kultur, keluarga, negara, dan lain sebagainya.[23]
Pada titik ini, kita bisa memandang, misalnya, di tengah arus deras film impor yang berasal dari rumah sinema Hollywood, kita masih bisa menyaksikan sekelompok mahasiswa yang mengadakan festival atau kontes film lokal. Demikian pula selalu ada upaya anak muda memasukkan tradisi atau mencampurakannya ke jenis musik tertentu. Dari kacamata Appadurai, ini adalah upaya untuk menjadi heterogen di tengah globalisasi yang mengangankan homogenitas.
Kecuali subjek dapat membuat konten yang tidak sama, sebagaimana dicontohkan di atas, yang dalam pencampuradukan musik tadi menyiratkan sejauh apa seseorang terglobalkan, menurut Appadurai, konten media yang sama (akibat globalisasi) juga akan diresepsi oleh khalayak dengan tafsiran yang berbeda-beda.[24] Dalam menonton film-film Barat, setiap orang bisa punya sudut pandang berlainan. Ada yang setelah menontonnya kemudian meniru gaya pakaian tokoh film, ada pula yang mengimitasi aksen bahasanya, bahkan barangkali ada yang menolak dan membuat tampilan yang berbeda sama sekali dari apa yang digambarkan film tersebut.
Dalam beberapa segi, perbedaan konsumsi terhadap produk media-media global sering kali membuat identitas menjadi ambigu, menghasilkan apa yang disebut dalam teori poskolonial sebagai budaya hibrid. Budaya hibrid adalah pencampuradukan yang lokal dan global sekaligus, menghasilkan apa yang disebut “glokalisasi”.[25] Hibridasi budaya misalnya tampak dari anak muda Indonesia yang jauh lebih akrab dengan tata rambut dan pakaian ala Korea. Anak muda ini menyangka bahwa yang Korea-lah yang dia sebut modern dan layak diikuti.[]
____________
[1] Kementerian Agama, Moderasi Beragama, (Jakarta: Balitbang Kementerian Agama, 2019).
[3] Budi Winarno, “Globalisasi dan Dampak Pembangunan: Bagaimana dengan Indonesia”, pidato pengukuhan guru besar Fisipol Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 5 Desember 2005, hlm. 14.
[4] Annabelle Sreberny, “The Global and the Local in International Communications”, M.G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell, 2006), hlm. 605.
[5] Sreberny, “The Global and the Local”, hlm. 605.
[6] Arjun Appadurai, “Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy”, G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell, 2006), hlm. 589.
[7] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 589.
[8] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 589.
[9] Jan Nederveen Pieterse, “Globalization as Hybridization”, G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell, 2006), hlm. 658.
[10] George Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, (Hawaii: University of Hawaii Press, 1968).
[11] Benedict Anderson, Imagined Community, (London: Verso).
[12] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 588.
[13] David Morley and Kevin Robins, Spaces of Identity: Global Media, Electronic Landscapes and Cultural Boundaries, (London-New York: Routledge, 1995), hlm. 10.
[14] Morley and Robins, Spaces of Identity, hlm. 10.
[15] Morley and Robins, Spaces of Identity, hlm. 11-12.
[16] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 590.
[17] John Tomlinson, “Globalization and Cultural Identity”, The Global Transformations Reader: An Introduction to the Globalization, (Cambridge : Polity, 2003), hlm. 272-273.
[18] Lihat lebih lanjut ketiganya dalam Will Kymlicka, Multicultural Citizenship, (Oxford: Oxford University Press, 1995).
[19] Susan Moller Okin, Is Multiculturalism Bad for Women? (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1999).
[20] Michael Hsiao, “Coexistence and Synthesis: Cultural Globalization and Localization in Contemporary Taiwan”, (Oxford Scholarship Online Monographs, 2002), hlm. 48-68.
[21] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 588.
[22] Diskusi tentang ini, lihat Bagus Takwin, Kesadaran Plural: Sebuah Sintesis Rasionalitas dan Kehendak Bebas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2005).
[23] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 588.
[24] Appadurai, “Disjuncture and Difference”, hlm. 588.
[25] Joseph Straubhaar, “(Re)Asserting National Television And National Identity Against the Global, Regional, and Local Levels of World Television”, M.G. Durham & Douglas M. Kellner, Media and Cultural Studies: KeyWorks, (USA: Blackwell, 2006).
0 komentar:
Posting Komentar