Malaria dan Orang Rimba


Anak Orang Rimba [sumber: The Jakarta Post]

AWAL TAHUN lalu, teman saya dari Pusat Kajian Sosial Keagamaan (Puskasa) Jambi, Agung Sutanto, mengajak saya dan beberapa teman untuk bergabung dalam project-nya mengadakan pelatihan penelitian di Jambi. Kami kemudian mengajukan proposal berisi dua topik pelatihan penelitian, yaitu masyarakat tradisional dan Orang Rimba. Topik terakhir disetujui dan pada November-Desember 2013 pelatihan pun dilaksanakan.

Pelatihan itu terdiri atas dua tahap. Pertama, teori, yang dilaksanakan di Kota Jambi selama sebulan pertama. Kedua, praktik lapangan selama tiga minggu di hutan Bukit Duabelas yang merupakan tempat Orang Rimba tinggal. Peserta sebanyak 25 dosen yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Usia mereka rata-rata di bawah 40. Demi lancarnya pelaksanaan, kami juga menggandeng KKI Warsi yang selama ini banyak bekerja di Bukit Duabelas, termasuk memfasilitasi pendidikan untuk Orang Rimba.

Pada awalnya kegiatan itu berjalan tanpa kendala. Ketika akan masuk hutan, semua diperiksa dokter dan diberi vaksin. Semua juga meminum ramuan tradisional seperti dianjurkan KKI Warsi. Tak lupa, obat-obatan dan vitamin dibawa ke dalam hutan. Selama di sana, peserta dan panitia juga mengenakan lotion antinyamuk. Ketika tidur, kelambu digunakan.

Namun ternyata semua usaha itu tak mampu mencegah malaria. Dari 25 peserta, hanya satu yang negatif malaria. Yang paling mengguncang kami, Agung Sutanto yang mengetuai panitia meninggal akibat penyakit mematikan itu sebelum kegiatan berakhir.

Bukit Duabelas adalah taman nasional yang merupakan hutan berbukit-bukit. Wilayahnya masuk tiga kabupaten, yaitu Batanghari, Sarolangun, dan Tebo, selain berisi tumbuhan hutan dan binatang, Bukit Duabelas juga didiami Orang Rimba. Orang Rimba dikenal sebagai suku atau komunitas adat terpencil di Jambi. Kadang-kadang mereka disebut Suku Anak Dalam (SAD) atau Suku Kubu. Di hutan, mereka hidup dari hasil berburu dan tanaman hutan. Jumlah mereka diperkirakan 2000-an jiwa.

Saat ini hidup Orang Rimba mengalami banyak tekanan, antara lain oleh banyaknya pengelolaan hutan untuk industri, seperti untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan industri. Selain mengurangi wilayah hidup Orang Rimba, perubahan lingkungan juga berakibat langkanya hewan buruan.

Pemerintah pernah membuat program pemukiman Orang Rimba. Mereka dibuatkan rumah dan diberi lahan perkebunan. Program itu tidak berhasil karena perbedaan budaya. Orang Rimba meninggalkan permukiman itu dan kembali ke hutan.

Karena tinggal di hutan, berbagai program untuk Orang Rimba kemudian juga harus mengikuti cara hidup mereka. Program pendidikan, misalnya. Program ini sangat strategis karena Orang Rimba sering ditipu ketika melakukan jual-beli dengan orang luar akibat mereka tidak bisa baca-tulis. Untuk menjalankan program ini, fasilitator harus masuk ke dalam hutan.

Selain medan yang berat, tantangannya adalah kawasan hutan Jambi, terutama Bukit Duabelas, merupakan endemik malaria. Banyak orang yang masuk ke sana terjangkit penyakit tersebut, termasuk para fasilitator.

Yusak Adrian Hutapea, misalnya, yang merupakan perintis pendidikan untuk Orang Rimba. Sewaktu bekerja untuk KKI Warsi, dia mendapati Orang Rimba yang sering ditipu. Dia pun tergerak mengajari mereka baca-tulis. Bukan hal mudah itu dilakukan. Bagi Orang Rimba, apa saja yang datang dari luar bisa berakibat kutukan pada mereka, termasuk pendidikan.

Dengan berbagai pendekatan, Yusak berhasil diterima dan mendapatkan murid. Jangan bayangkan yang ikut banyak, melainkan tak lebih dari hitungan jari saja. Tapi itu tidak mematahkan semangat Yusak. Baginya, jumlah yang sedikit itu lama-kelamaan akan menularkan pengetahuan mereka kepada yang lain.

Hampir dua tahun Yusak menjadi fasilitator pendidikan bagi Orang Rimba, sebelum kemudian malaria tropika menghentikannya. Yusak meninggal akibat penyakit tersebut. Tak sampai dua jam dia merasakan badannya demam tinggi, ajal menjemputnya.

Pekerjaan mulia itu kemudian diteruskan beberapa fasilitator setelah Yusak, seperti Butet Manurung, Abdul Rahman, dan Priyo Uji Sukmawan. Dalam film tentang kisah hidup Butet Manurung, Sokola Rimba, juga dikisahkan Butet yang terserang malaria di dalam hutan dan diselamatkan oleh anak Orang Rimba. Semua fasilitator pernah merasakan ganasnya malaria. Ada juga yang meninggal karenanya sebagaimana Yusak, yakni Priyo Uji Sukmawan.

Ganasnya malaria di Bukit Duabelas jelas merupakan kendala besar bagi fasilitasi Orang Rimba. Bagi orang yang ingin melakukan penelitian terkait hutan atau tentang Orang Rimba di Bukit Duabelas, seperti Agung Sutanto dan peserta pelatihan, penyakit itu bagaikan binatang ganas yang sewaktu-waktu siap menerkam. Di Bukit Duabelas, ancaman malaria jauh lebih menakutkan ketimbang binatang buas.

Apakah Orang Rimba yang selama ini tinggal di Bukit Duabelas tidak terjangkit penyakit itu? Mengapa mereka masih tetap di sana hingga sekarang?

Orang Rimba sendiri tidak mengenal penyakit malaria. Kata itu asing bagi mereka. Dalam pengetahuan Orang Rimba, demam seperti malaria disebut dengan domom. Ada beberapa jenis domom, antara lain domom kuro dan domom selimo. Menurut Orang Rimba, penyakit-penyakit itu disebabkan oleh gangguan setan atau akibat sering berhubungan dengan orang luar.

Sebagai daerah endemik malaria, Bukit Duabelas menjadi perhatian pemerintah. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bangko, misalnya, menyediakan akses pelayanan bagi Orang Rimba. Pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas di sekitar kawasan Bukit Duabelas juga siap menampung penderita malaria. Selain itu, KKI Warsi bekerja sama dengan pemerintah menyediakan fasilitator kesehatan yang mengecek kesehatan Orang Rimba. Mereka bahkan masuk-masuk ke dalam hutan.

Orang Rimba sendiri juga punya kearifan lokal (indigenous knowledge) untuk mengobati malaria atau penyakit-penyakit demam. Selain menggelar upacara magis dengan dedekiron atau zikir untuk mengusir roh jahat, mereka biasanya meminum rebusan akar pohon pasak bumi (Eurycoma longifolia) yang mereka sebut sempedu tanoh. Mereka juga minum rebusan batang tumbuhan perdu yang disebut akar korem (Derris sp.). Sebagaimana terhadap penyakit lain, Orang Rimba memanfaatkan tumbuh-tumbuhan untuk mencegah dan mengobati malaria.

Namun sekarang desakan industri yang menghilangkan sumber daya hutan juga menyebabkan Orang Rimba kehilangan sumber-sumber pengobatan mereka. Orang Rimba sering mengeluh, penyakit kini sulit disembuhkan.[]


Dari Realitas Media ke Konstruksi Realitas



NIKLAS LUHMANN adalah sosiolog Jerman dengan ide pokok tentang teori masyarakat (society) (Lee, 2000). Menurut Daniel Lee (2000), hakikat masyarakat dalam pemikiran Luhmann adalah komunikasi. Lee menjelaskannya sebagai berikut:

"As a grand theorist, Luhmann attempts to describe fundamental features common to all societal systems, such as the economy, law, religion, art, science, and even sociology. Not only do all societal systems share similar structures, but they also all operate through communication. Hence, Luhmann asserts, society is communication."

Sebagaimana disebutkan Lee, meskipun hakikatnya adalah komunikasi, masyarakat memiliki banyak sekali sistem, seperti sistem ekonomi, hukum, agama, seni, dan pengetahuan. Luhmann kemudian membahas banyak sekali sistem masyarakat itu di dalam karya-karyanya. Karena itu, karyanya merentang banyak hal seperti Law as a Social System (hukum); Art as a Social System (seni); dan The Reality of the Mass Media (media).

Membaca judul karya-karya Luhmann, terdapat beberapa hal menarik. Pertama, mengapa semuanya dibahas Luhmann? Sebagai seorang sosiolog, bagi Luhmann, semua ranah itu merupakan kenyataan yang ada dalam masyarakat atau fakta sosial (social fact). Hukum adalah fakta sosial, seni juga merupakan fakta sosial, termasuk yang akan dibahas di bawah, media juga merupakan kenyataan sosial. Karena semuanya fakta sosial, menurut saya, sebagai sosiolog, Luhmann kemudian merasa berhak untuk membicarakannya.

Kedua, sistem tampaknya urgen dalam pemikiran Luhmann. Sebagaimana hukum dan seni, nyaris semua bahasannya dikaitkan dengan sistem, termasuk tentang media yang akan kita bahas di bawah. Luhmann sendiri juga dikenal sebagai teoretikus sistem. Teori besarnya dapat dijabarkan sebagai berikut: masyarakat terdiri atas sistem-sistem. Sistem itu tidak satu, tetapi banyak sekali, terlebih di dalam masyarakat modern. Diferensiasi adalah kata kunci untuk memahami banyak sistem yang berbeda-beda tersebut. Di dalam sistem yang banyak itu, seseorang bisa masuk ke dalam sebuah sistem, bertahan, keluar, dan berpindah ke sistem lain. Begitu seterusnya. Dinamika seseorang untuk berada di dalam satu sistem dan bertahan dari sistem lain dijelaskan melalui autopoietic, cara penyaringan buka-tutup yang bersifat biologis dan, saya kira, psikologis.

Di dalam teori Luhmann, seseorang memang tunduk di dalam sistem, tetapi dia selalu dalam tegangan relasi dengan sistem lain atau lingkungannya. Di sini seseorang kemudian bisa mengembangkan sistem miliknya atau bahkan beralih ke sistem lain. Ketika bertahan di dalam sebuah sistem, orang ini menggunakan cara autopoietic; bahwa seseorang secara alamiah punya cara sendiri untuk mengambil tawaran-tawaran lain dari lingkungannya atau bertahan di dalam sistemnya. Ritzer (2002: 362) menjelaskan proses ini melalui tiga kata kunci: variasi, pemilihan, dan stabilisasi. Dalam tegangan antara bertahan di dalam sistem atau berpindah ke sistem lain inilah sebuah sistem bisa berkembang (dan nanti distabilkan), karena setiap individu di dalamnya punya banyak referensi dari lingkungan untuk dimasukkan ke dalam sistemnya.

Teori sistem Luhmann ini penting dipahami di awal sebelum kita membaca media dalam pemikirannya. Bahasan tentang media di bawah juga punya kaitan kuat dengan sistem. Media, kata Luhmann, membentuk sebuah sistem yang disebut sistem media.


Media sebagai Realitas Sosial

“Apa pun yang kita ketahui tentang masyarakat, terutama dunia di mana kita hidup, kita peroleh melalui media massa,” demikian kata-kata Luhmann di awal buku The Reality of the Mass Media. Kata-kata itu yang mendasari Luhmann untuk juga membicarakan media.

Menurut Luhmann, karena realitas masyarakat diketahui melalui media, sesungguhnya terdapat dua kenyataan dalam masyarakat, yaitu kenyataan sebenarnya dan kenyataan dalam media. Realitas sebenarnya adalah realitas pertama, dan realitas media adalah kenyataan kedua. Luhmann menyebutnya sebagai realitas ganda atau dobel. Dan realitas dunia saat ini adalah realitas media. Setiap saat kita menggunakan media untuk mengetahui apa pun. Kita mendapatkan informasi tentang kematian Nelson Mandela melalui media, kita melihat ketua Mahkamah Konstitusi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat media, kita disuguhi pengetahuan tentang agama, hiburan, kenyataan politik, dll oleh media. Media sangat digdaya di zaman seperti sekarang.

Luhmann sendiri mengakui bahwa realitas yang disampaikan media tidak selamanya benar. Kata Luhmann, “media melaporkan hal yang benar atau bahkan salah; atau separuhnya benar dan sebagian yang lain keliru karena telah ‘termanipulasi’.” Media menjadi sangat potensial untuk memanipulasi. Bahkan bisakah media menyampaikan sesuatu yang benar? Apa itu kebenaran? Kesesuaian dengan kenyataan (pertama)? Kalau misalnya yang dimaksud kebenaran adalah kesesuaian dengan kenyataan (pertama), bukankah media selalu terbatas untuk menyampaikan apa saja? Sesungguhnya, adanya dua realitas, yaitu kenyataan sebenarnya atau pertama dan realitas media sebagai yang kedua, sudah menjelaskan bahwa media tidak mampu menampung apa saja yang ada dalam realitas pertama dan dengan demikian sudah merupakan “manipulasi”.

Untuk mendapatkan gambaran bagaimana media bekerja mengambil kenyataan dan memanipulasinya, berikut gambar yang saya modifikasi dari konsep tentang karya seni (art work) yang juga memanipulasi kenyataan:


Gambar di atas menjelaskan bahwa media berada di tengah tiga gugus penting atau segitiga. Pertama, dunia atau universe atau kenyataan pertama. Inilah sumber berlimpah yang akan diambil atau ditulis oleh jurnalis atau pekerja media. Luhmann mengatakan bahwa di sini media harus menjadi observer. Tentu tidak semua hal diambil atau diobservasi oleh sang jurnalis. Jurnalis memilih apa saja yang sesuai dengan konsen medianya dan juga menarik minatnya. Dalam menulis, sang jurnalis menerapkan apa yang disebut seleksi dan kombinasi. Seleksi adalah memilih apa saja yang akan ditulis atau dipublikasikan, sementara kombinasi adalah menyusun apa yang sudah dipilih itu ke dalam sebuah laporan jurnalistik untuk dimuat dalam media.

Kedua, jurnalis atau pekerja media. Dialah yang bertugas mengambil kenyataan pertama yang kemudian diolah menjadi kenyataan dalam media. Dialah sang observer sebagaimana dibayangkan Luhmann. Prosesnya, sebagaimana disebutkan di atas, adalah seleksi dan kombinasi. Ada banyak syarat yang nanti dikemukakan oleh Luhmann untuk menyusun ini. Misalnya, dia membedakan apakah yang disusun berita atau reportase mendalam, iklan, atau hiburan—tiga konten media yang hidup sekarang. Terkait berita, misalnya, ada sepuluh syarat yang disusun Luhmann, misalnya unsur kebaruan, informatif, relevansi lokal, kasus-kasus norma, dst. Mungkin Luhmann ingin menyaingi sembilan elemen jurnalisme-nya Bill Kovack di sini. Di atas semua syarat itu, media utamanya untuk publik atau pembaca sebagaimana poin di bawah. Untuk kepentingan publik itulah, kata Luhmann, media mesti menjalankan fungsi observer secara maksimal.

Ketiga, audiens atau pembaca atau publik dalam bahasa Luhmann. Mereka sasaran akhir dari sebuah media. Ketika membaca sebuah laporan jurnalistik, pembaca bukanlah seorang yang “kosong”. Dia punya pengetahuan yang dia bawa, di samping itu dia hidup di dunia kenyataan pertama. Jadi ketika membaca atau meresepsi laporan jurnalistik, dia menghubungkannya dengan pengetahuannya (“horison dunia” dalam bahasa Hans-Georg Gadamer). Di situlah kemudian dia bisa menerima (tentu tidak dengan sepenuhnya) atau menolaknya atau mengambil sebagian dan meninggalkan yang lain. Hubungan pembaca dengan dunia kenyataan pertama ini penting diungkapkan, karena dialah sesungguhnya yang “menghidupkan” apa yang disebut realitas pertama setelah “dimatikan” oleh jurnalis. Kalau kita berhenti atau hanya sampai pada kenyataan atau realitas media, realitas pertama sesungguhnya tidak penting lagi karena tidak dapat diketahui setelah realitas dimonopoli oleh media.


Sistem Media

Namun, baiklah, kita sekarang beranjak meninggalkan realitas pertama menuju realitas media untuk menelisik realitas ini lebih jauh, sebagaimana ajakan Luhmann. Menurutnya, sekali lagi, realitas saat ini adalah realitas media. Realitas terakhir ini dibentuk oleh apa yang disebut sistem media. Apa yang membedakan sistem media dengan sistem-sistem yang lain? Sebagai sebuah sistem, media punya struktur sendiri, organisasi sendiri, dan reproduksi sendiri. Untuk membahas lebih jauh, kita masuk pada beberapa istilah kunci, terutama sistem, perbedaan (difference), dan referensi (reference).

Dunia ini terdiri atas banyak sistem. Sebuah sistem membentuk atau memiliki subsistem-subsistem di dalamnya. Sebuah sistem mempunyai kodenya masing-masing. Subsistem yang berada di dalam batas bingkai kode (internal boundary of code) tertentu disebut sistem, dan yang di luar bingkai kode (external boundary) adalah lingkungan yang mungkin masuk dalam sistem lain.

Kata kunci lain untuk memahami posisi satu sistem di antara sistem yang lain adalah perbedaan atau difference. Setiap sistem, kata Luhmann, dibedakan atas prinsip difference ini. Dunia ini terdiri atas banyak hal, dan semuanya menjadi sangat acak. Setiap sistem kemudian mengambil subsistem dari yang acak itu dan menolak yang lain. Ada yang diambil dan ada yang tidak diambil. Yang sesuai bergabung dan yang tidak sesuai menjauh. Semua bergerak atas prinsip autopoietic. Yang bergabung itu yang kemudian disebut berbeda (difference) dari yang tidak bergabung. Yang tidak bergabung mungkin akan membentuk sistem yang lain, yang oleh sistem yang tadi disebut sebagai lingkungan (environment). Penyatu dalam sebuah sistem ini disebut kode (code), yaitu the unity of specific difference. Kodelah yang menentukan operasi yang masuk dalam sebuah sistem dan yang tidak masuk atau menjadi lingkungannya.

Kata kunci lainnya adalah referensi (reference). Di dalam sebuah sistem terdapat referensi yang satu atau disebut referensi-diri (self-reference), dan yang bukan sistem disebut referensi-lain (other-reference). Batas antara referensi-diri dan referensi-lain adalah perbedaan tadi. Penyatu referensi-diri adalah kode.

Media kemudian mempunyai sistem, kode, dan referensi yang membedakan dengan sistem lainnya. Media punya cara kerja sendiri. Luhmann kemudian membedakan prinsip kerja jurnalistik berdasarkan produk media yang dia bedakan menjadi tiga: berita, iklan, dan hiburan. Kalau berita tugasnya menyampaikan hasil observasi, iklan dibuat untuk “menipu”, dan hiburan untuk menyenangkan publik. Bagaimanakah ketiganya sampai kepada masyarakat atau publik? Jawabannya bila ketiganya direspons oleh publik, yang segera mengantarkan kita pada diskusi soal media yang sukses.


Media yang Berhasil

Poin penting lain dari buku The Reality of the Mass Media adalah tentang media yang berhasil (success media). Poin ini sebenarnya terkait erat dengan gagasan Luhmann tentang publik. Menurutnya, media yang berhasil tidak sekadar gagasan yang dibawanya sampai kepada publik (disseminated), melainkan publik yang disasar juga tergerak untuk memberikan respons. Luhmann menulis, “kesuksesan media massa di hadapan publik adalah topik yang diusungnya diterima.” Proposal yang disediakan media ini nanti yang akan menggerakkan publik.

Mengapa Luhmann kekeuh dengan ide media mesti menggerakkan publik? Ini berhubungan dengan gagasan bahwa media adalah sang observer, dia mesti menyampaikan “realitas” kepada publik. Ini tanggung jawab media. Dengan tugas mulia itu, publik kemudian meyakini bahwa yang disampaikan media adalah “kebenaran”. Sebagaimana telah disinggung, ada sepuluh syarat yang mesti dipenuhi media untuk sampai pada “kebenaran” yang akan disampaikan ke publik. Dengan “kebenaran” itulah publik mestinya bertindak.

Ketika publik sudah bertindak berdasarkan konstruksi yang dibuat sebuah media, pada dasarnya media itu telah mengkonstruksi realitas yang pertama. Luhmann memimpikan media sampai pada tugas itu. Jadi, dinamika media sesungguhnya adalah kembara dari realitas dunia ke realitas dalam media, dan nanti sampai pada konstruksi realitas pertama. Dengan tujuan ini, sekali lagi, realitas pertama tetap penting dalam pemikiran Luhmann. Dia tidak dihilangkan sama sekali oleh realitas media. Realitas media menjadi penting sejauh mana dia mampu “membentuk” realitas pertama atau dunia. Di sini media kemudian telah sempurna sebagai sebuah fakta dan akhirnya sistem sosial.[]



Niklas Luhmann, The Reality of Mass Media, (Stanford, California: Stanford University Press, 2000).

Niklas Luhmann [sumber]

Luhmann dan Saussure


Niklas Luhmann (Sumber)

SAYA INGIN membandingkan teori sistem menurut Niklas Luhmann dengan teori bahasa yang dikembangkan linguis Ferdinand de Saussure. Alasan saya, pertama, sebagaimana nanti akan saya sampaikan, terdapat persamaan-persamaan dalam kedua teori mereka. Beberapa kata kunci bahkan identik dan nyaris sama persis. Kedua, kalau Luhmann berbicara dalam konteks sistem masyarakat, teori bahasa Saussure belakangan juga banyak dikembangkan untuk membaca sistem sosial dan digunakan juga dalam sosiologi dan antropologi. Ketiga, Luhmann menyebut komunikasi sebagai inti dari atau hakikat masyarakat, padahal bahasa adalah fundamen dalam komunikasi.

Menurut Luhmann, masyarakat terdiri atas sistem-sistem. Sistem itu tidak satu, tetapi banyak sekali, terlebih di dalam masyarakat modern. Diferensiasi adalah kata kunci untuk memahami banyak sistem yang berbeda-beda tersebut. Di dalam sistem yang banyak itu, seseorang bisa masuk ke dalam sebuah sistem, bertahan, keluar, dan berpindah ke sistem lain. Begitu seterusnya. Dinamika seseorang untuk berada di dalam satu sistem dan bertahan dari sistem lain dijelaskan melalui autopoietic, cara penyaringan buka-tutup yang bersifat biologis dan, saya kira, psikologis. Kata-kata kunci dalam teori Luhmann ini yang akan saya bandingkan dengan bahasa.

Di dalam pandangan Saussure, bahasa memiliki sistem-sistem. Dia membedakan tiga dimensi bahasa: langage atau bahasa manusia secara umum; langue atau bahasa sebagai sistem; dan parole atau bahasa sebagai ujaran pribadi (speech). Tentu saja dari ketiganya, langue yang paling cocok untuk dibandingkan dengan sistem masyarakat. Pertanyaannya, apa itu (sistem) bahasa? Menurut Saussure, bahasa adalah lambang bunyi yang arbitrer dan konvensional. Menariknya, arbitrary dan konvensi juga muncul dalam kosakata Luhmann ketika dia menjelaskan tentang kontingensi ganda: seseorang berkomunikasi dengan banyak sekali pilihan (arbitrer) tetapi dia mesti mempertimbangkan penerima atau komunikan (Ritzer, 2002: 361). Di sini jelas ada konvensi antara komunikator dan komunikan.

Dinamika seseorang di dalam sistem bahasa inilah yang dijelaskan melalui parole. Seseorang memang berada di dalam sistem, tetapi ketika berbahasa dia juga punya atensi pribadi. Di dalam teori Luhmann, seseorang memang tunduk di dalam sistem, tetapi dia selalu dalam tegangan relasi dengan sistem lain atau lingkungannya. Di sini dia kemudian bisa mengembangkan sistem miliknya atau bahkan beralih ke sistem lain. Ketika bertahan di dalam sebuah sistem, orang ini menggunakan cara autopoietic; bahwa seseorang secara alamiah punya cara sendiri untuk mengambil tawaran-tawaran lain dari lingkungannya atau bertahan di dalam sistemnya. Ritzer (2002: 362) menjelaskan proses ini melalui tiga kata kunci: variasi, pemilihan, dan stabilisasi. Dalam tegangan antara bertahan di dalam sistem atau berpindah ke sistem lain inilah sebuah sistem bisa berkembang (dan nanti distabilkan), karena setiap individu di dalamnya punya banyak referensi dari lingkungan untuk dimasukkan ke dalam sistemnya. Ini persis parole atau speech dalam bahasa. Terkait speech ini, kutipan dari Luhmann (via Lee, 2000: 326) berikut penting dikemukakan karena sangat Saussurean sekali:

"Speech possesses its very own form. As a form with two sides it emerges from the difference between sound (Laut) and meaning (Sinn)... Spoken communication is the processing of meaning within the medium of sound.... In order to construct the difference between medium and form within speech itself, the medial substrate of speech, the difference between sound and meaning, must be underspecified. Without underspecification there would be nothing left to say because everything would already have been said. This problem is solved with the difference between words and sentences. Words are also constellations of sounds with meaning; but they do not determine the sentences that they can produce when combined.... With the help of speech, one may say something that has never been said before." (cetak miring dari Luhmann, 213-5).

Persoalannya, kalau kemudian yang diambil oleh seseorang itu lebih banyak dari luar, dengan sendirinya dia akan terdiferensiasi dari sistem lama dan membuat atau masuk ke dalam sistem yang baru. Sekali lagi difference! Di dalam linguistik Saussurean, prinsip difference inilah yang membuat kata bermakna. Kata “makan” bermakna bukan karena referensi di belakangnya (setiap kata tidak punya hubungan langsung dengan referensi, sehingga setiap sistem bahasa bisa berbeda-beda menyebut sebuah benda yang sama), tetapi karena dia berbeda dari “makam”, “malam”, “macan”, dst. Makna muncul karena prinsip perbedaan atau distingsi atau oposisi, yang nanti menyumbang sebuah teori penting dalam ilmu sosial, yaitu oposisi biner. Bandingkan dengan Luhmann yang dikutip Lee ketika menjelaskan tentang media: “A specific binary code produces the meaningful form (difference)... autopoietic system operating according to its own binary distinctions (forms)....”

Prinsip perbedaan bukan hanya ada di dalam sebuah sistem bahasa. Bahasa yang berbeda—ada banyak sekali bahasa—pada dasarnya adalah sistem-sistem bahasa yang berlainan. Seseorang bisa menggunakan satu sistem bahasa dan masuk ke sistem bahasa yang lain. Luhmann mungkin akan menyebutnya sebagai autopoietic, yang kata Lee disumbang dari biologi. Dalam teori bahasa Saussure, orang menggunakan bahasa bahkan sudah dalam tahap di luar kesadaran; bawah sadar yang bermain—jadi psikologis.[]



Ferdinand de Saussure (Sumber)

Mengatur Rumah Tuhan


Kebaktian Natal 2011 di Gereja HKBP Syalom Aurduri di Kota Jambi yang disegel. Tampak anggota Satpol PP berjaga-jaga. [Sumber]

PERAYAAN NATAL Bersama di pengujung 2012 itu meriah. Digelar di sebuah gedung olahraga, jemaat memenuhi kursi-kursi yang biasanya diisi oleh penonton dalam sebuah pertandingan. Mereka duduk di empat sisi tribun, dan di tengah terdapat podium lengkap dengan pohon Natal yang menjulang. Suasana berlangsung khidmat terutama ketika sebuah paduan suara menyanyikan “Malam Kudus”.

Namun kemeriahan dan kekhidmatan itu “terganggu” oleh sebuah spanduk. Dipasang tinggi di salah satu tribun dan ditulis dengan huruf kapital, siapa pun jemaat bisa dengan jelas membaca tulisan dalam spanduk itu: “JANGAN SEGEL GEREJA KAMI”.

Tulisan dalam spanduk itu sebenarnya mewakili perasaan mereka selama setahun terakhir. Dua tahun lalu, tepatnya 24 Desember 2011 atau sehari menjelang Natal, Satpol PP dan Kepolisian Resort Kota Jambi datang ke Gereja HKBP Syalom Aurduri di Penyengat Rendah, Jambi, menyegel gereja tempat mereka biasa melakukan kebaktian. Seminggu sebelumnya, Walikota Jambi mengirimkan sepucuk surat kepada pengurus gereja yang telah berfungsi sejak 1997 tersebut. Isinya meminta rehab gereja untuk mengganti bangunannya yang semula kayu menjadi beton itu dihentikan.[1]


Tumpukan Masalah di Rumah Tuhan

Penyegelan gereja di Jambi tersebut adalah satu dari sekian cerita penyegelan gereja di Indonesia. Kisah yang lebih banyak antara lain bisa didapati dalam Kontroversi Gereja di Jakarta (Maret 2011).[2] Di dalam buku itu terang dibagi empat macam gereja: tak dipermasalahkan, bermasalah namun terselesaikan, tak bermasalah tapi dipermasalahkan, serta bermasalah dan belum terselesaikan. Dari 13 gereja yang diteliti, 12 masuk dalam tiga kategori terakhir. Artinya, gereja-gereja itu banyak yang (pernah) bermasalah. Permasalahan itu biasanya terkait perizinan, penolakan dari kelompok masyarakat, hingga penyegelan oleh pemerintah.

Tak hanya gereja, rumah ibadah agama lain juga tak luput dari persoalan yang kurang-lebih sama. Di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Front Pembela Islam (FPI) bersama masyarakat menolak pembangunan Vihara Ekadharma dengan alasan vihara tersebut berada di depan kantor Badan Amil Zakat (BAZ) Kepulauan Riau dan sebuah masjid. Karena berada di dekat masjid, FPI mengatakan vihara itu dapat mengganggu kekhusukan umat Islam dalam beribadat. Meski pembangunan itu berizin dan legal berdasarkan penelitian Kantor Wilayah Kementerian Agama Kepulauan Riau, FPI tetap menolak. Kelompok paramiliter ini acap menggelar demonstrasi di depan vihara.[3]

Sementara itu, di wilayah dengan penganut Islam sedikit seperti di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pembangunan masjid juga mengalami kendala. Sekelompok warga yang beragama berbeda menolak pembangunannya dengan alasan tak berizin. Meski dihentikan sementara untuk menghindari politisasi jelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kupang 2012, masyarakat Muslim tetap bertekad akan melanjutkan pembangunannya.[4] Kasus yang mirip juga terjadi di Manado yang penduduk Muslimnya bukan merupakan mayoritas.[5]

Persoalan rumah ibadah di Ambon, Maluku, agak berbeda. Sebelum konflik, masyarakat hidup berdampingan secara damai meskipun berbeda agama. Di sana ditemukan baik gereja maupun masjid yang merupakan tempat masyarakat beribadat. Pascakonflik, masyarakat Ambon tersegregasi secara geografis: ada wilayah atau kampung Islam dan ada yang disebut kampung Kristen. Kalau dulu kampung netral, dengan gereja dan masjid di dalamnya, pascakonflik terdapat gereja dan masjid yang “salah tempat”. Di kampung Islam terdapat gereja sebagaimana di kampung Kristen ada masjid. Gereja dan masjid “salah tempat” itu sekarang tidak terpakai, namun menimbulkan persoalan ketika akan dialihfungsikan untuk kegiatan di luar ibadah agama asal.

Data di atas adalah sebagian dari sekian persoalan rumah ibadah yang ada di Indonesia. Laporan tahunan yang dikeluarkan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), misalnya, mencatat bahwa dari wilayah yang dipantau (tidak semua wilayah di Indonesia diteliti) pada 2010 terdapat 39 kasus rumah ibadah dan pada 2011 ada 36 kasus. Kalau pada 2010 hanya ada 2 rumah ibadah bukan gereja yang bermasalah, pada 2011 terdapat 10.[6] Artinya, terjadi variasi (atau perimbangan?) kasus rumah ibadah yang bermasalah. Laporan-laporan yang dikeluarkan lembaga lain, seperti Setara Institute dan The Wahid Institute, juga menunjukkan hal yang kurang-lebih sama.


Ketidakbebasan Beragama?

Sejatinya, di negara yang menjamin kebebasan beragama di dalam konstitusinya, setiap warga Indonesia bebas beribadah sesuai agama mereka. Kenyataannya, sebagaimana dalam paparan sebelumnya, banyak warga negara yang kesulitan membangun prasarana peribadatan. Apakah dengan demikian telah terjadi ketidakbebasan dalam beragama? Pertanyaan ini akan dijawab dengan memakai instrumen ke(tidak)bebasan beragama yang diterapkan Center for Religious Fredom (CRF), yaitu (i) ada-tidaknya peraturan pemerintah yang membatasi kebebasan beragama; (ii) apakah pemerintah memfavoritkan agama tertentu; dan (iii) apakah terdapat dinamika atau konvensi sosial yang membatasi kebebasan beragama.

Terkait regulasi atau peraturan pemerintah mengenai pembangunan rumah ibadah, terdapat Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/Ber/MDN-MAG/1969 yang diperbarui oleh Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.[7] Dalam peraturan bersama menteri (PBM) yang disebut terakhir, dikatakan bahwa pendirian rumah ibadat adalah dalam rangka “keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama”. Apa yang disebut “keperluan nyata” itu adalah rumah ibadat tersebut untuk pengguna minimal 90 jemaat. Selain harus memeroleh dukungan sejumlah pengguna minimal, pendirian rumah ibadat juga mesti didukung masyarakat setempat (yang bukan pengguna atau beragama berbeda?) sejumlah 60 warga. Selain itu, pembangunan harus dengan rekomendasi Kantor Kementerian Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama setempat. Setelah semua syarat lengkap, baru bisa diusulkan ke bupati/walikota dan 90 hari kemudian bupati/walikota mengeluarkan keputusan.[8]

Persoalannya, tidak mudah mendapatkan tandatangan dari 90 calon jemaat apalagi 60 orang yang berbeda agama di sebuah kelurahan. Ini batu sandungan yang acap ditemui oleh rumah ibadah yang bermasalah. Kalaupun kemudian tandatangan dari warga bukan pengguna rumah ibadah yang dibangun didapat, kerap ada tuduhan bahwa dukungan itu palsu atau dipalsukan.

Kesulitan mendapat izin pendirian rumah ibadah diresistensi oleh masyarakat dengan membuat tempat ibadah di hotel atau gedung pertemuan. Di beberapa daerah, misalnya, terdapat apa yang dinamakan gereja-hotel. Masyarakat menyewa sebuah ruang pertemuan yang akan dipakai pada hari-hari ibadat saja. Memang dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi cara ini tidak mengharuskan izin yang njelimet. Di dalam PBM 8 dan 9 Tahun 2006 dikatakan bahwa tempat ibadah yang disebut rumah ibadat sementara ini hanya membutuhkan syarat keterangan laik fungsi gedung serta terpeliharanya ketertiban masyarakat. Ketertiban masyarakat kemudian dibuktikan dengan izin pemilik bangunan, rekomendasi dari lurah/kepala desa, serta membuat laporan tertulis ke FKUB kabupaten/kota dan kepala Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota. Setelah syarat-syarat terpenuhi, bupati/walikota mengeluarkan izin rumah ibadat sementara. Meskipun izin ini hanya berlaku dua tahun, mereka bisa memindahkannya ke gedung atau bangunan lain.[9]

Meskipun aturan pendirian rumah ibadah memperlakukan semua agama setara atau tidak ada agama tertentu yang difavoritkan, dinamika perizinan rumah ibadat yang tidak mudah sesungguhnya menunjukkan watak pembatasan kebebasan menjalankan agama bukan saja oleh pemerintah, melainkan oleh masyarakat atau warga. Hanya karena memeluk agama yang tidak sama, seseorang merasa risih, tidak suka, dan menunjukkan ketidaksukaan itu dengan menolak pembangunan rumah ibadah agama berbeda. Penolakan itu disertai kecurigaan bahwa agama yang akan membangun rumah ibadah di wilayahnya merupakan usaha dakwah atau misi yang akan memengaruhi masyarakat di wilayahnya untuk memeluk agama tersebut. Dalam beberapa kasus, penolakan warga tersebut tidak dilakukan perorangan dan sporadis, spontan, atau tanpa struktur, melainkan diorganisasi oleh kelompok-kelompok agama tertentu. Kelompok agama ini bahkan melakukan pemantauan rumah ibadat agama lain di sebuah wilayah, dengan tujuan mencegah pendirian rumah ibadah baru.[10]


Dendam dan Solidaritas

Di samping itu, alasan penolakan yang juga dipakai warga di antaranya “balas dendam” atau “solidaritas” karena kelompok agama yang sama dengan dirinya sulit mendapatkan izin ketika mendirikan rumah ibadat di provinsi lain. Beberapa pemeluk Katolik di Kupang yang menolak pembangunan masjid, misalnya, beralasan di Aceh atau Bogor kaum Kristiani juga mendapatkan kesulitan serupa. Tak hanya “balas dendam” dan “solidaritas” dengan daerah lain di Indonesia, ada juga yang ingin melampiaskan kekesalan dengan kenyataan di negara lain dengan mengatakan bahwa di Palestina umat Islam masih merasakan penindasan.

Penolakan dari warga yang berbeda tersebut memunculkan pertanyaan apakah seandainya peraturan pemerintah tentang pendirian rumah ibadah (yang syaratnya cukup sulit sehingga dirasakan menghalangi kebebasan menjalankan ibadah) dicabut, tidak akan ditemui kesulitan serupa? Dalam beberapa kasus, seperti di Aceh, regulasi sosial yang dibuat masyarakat ternyata jauh lebih sulit dari persyaratan yang dibuat pemerintah. Kesepakatan antara tokoh Islam dan Kristen Aceh pada 1979 hanya membolehkan satu gereja dan empat undung-undung (serupa kapel) di setiap kabupaten di Aceh.

Sayangnya, terhadap aturan yang dibuat, pemerintah juga tidak melaksanakannya secara konsekuen. Dalam kasus GKI Taman Yasmin di Bogor, pengadilan sudah memutuskan legalitas izin pendiriannya. Namun, kenyataannya, sampai sekarang gereja tersebut masih disegel. Kelompok paramiliter bersikukuh menolak keputusan itu. Pemerintah daerah sendiri, barangkali karena tekanan warga dan kelompok paramiliter, tak berdaya dan sampai sekarang tetap belum mengeluarkan izin.

Dalam kasus terakhir ini, tampak bahwa pemerintah atau negara lemah di hadapan warganya. Persoalan ini sesungguhnya muncul sejak transisi Orde Baru ke Reformasi. Pada awal-awal Reformasi, kasus perusakan rumah ibadah juga banyak terjadi disertai kerusuhan di banyak kota. Ketika kapasitas negara lemah, negara tidak bisa menjamin keamanan dan menegakkan ketertiban. Di sini negara juga tidak bisa menjaga keamanan ruang publik. Masyarakat kemudian saling melesakkan keinginan mereka di ruang publik yang tak terjaga itu, dengan mekanisme atau aturan main diabaikan, sehingga terjadi chaos. Negara yang lemah juga membuat individu atau warga menjadi tidak setara. Ada kelompok-kelompok yang kemudian tidak diakui hak-hak mereka selaku warga negara (citizen) dan ditindas oleh kelompok yang lebih besar dan berkuasa.[]


Catatan: Tulisan ini didasarkan atas diskusi dengan beberapa peserta program Pluralism Knowledge Program, Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, 2013. Mereka adalah Bandiyah, Dining, Fuad, dan Ryan. Tulisan pernah dimuat di website ICRP dan PUSAD Paramadina.

_________________
[1] Kronologi penyegelan Gereja HKBP Syalom Aurduri tersebut dapat dibaca dalam Gatra, 16 Februari 2012.

[2] Ihsan Ali-Fauzi et.al., Kontroversi Gereja di Jakarta, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-Cultural Studies, 2011).

[3] “FPI Berulah di Tanjung Pinang, Kep Riau”.

[4] “MUI NTT Minta Hentikan Sementara Pembangunan Masjid”.

[5] “Aparat Hukum Harus Serius Tangani Masalah Pembangunan Masjid Raya”, Tribun Manado, 11 Maret 2012. Persoalan mayoritas-minoritas ini penting karena rumah ibadah penganut agama yang lebih sedikitlah yang biasanya bermasalah. Di Bali, pembangunan gereja juga mendapat penolakan dari masyarakat yang mayoritas menganut agama Hindu.

[6] Lihat Zainal Abidin Bagir, et.al., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011, (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-Cultural Studies, 2012), hlm. 40.

[7] Trisno S. Sutanto, “Negara, Kekuasaan, dan ‘Agama’: Membedah Politik Perukunan Rezim Orba”, Zainal Abidin Bagir, et.al., Pluralisme Kewargaan, (Yogyakarta-Bandung: CRCS dan Mizan, 2011), hlm. 136.

[8] Lihat Bab IV Pendirian Rumah Ibadat, PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.

[9] Bab V Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung, PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.

[10] Ali-Fauzi, Kontroversi Gereja, hlm. 39.



Bibliografi Transmigrasi, Karet, dan Patrice Levang



MEMAHAMI JAMBI tentu saja tak lengkap bila tidak melihat penduduknya yang beragam. Bagaimana keragaman bisa terjadi? Salah satunya melalui perpindahan penduduk. Proses masuknya penduduk ke Jambi ada dua: transmigrasi spontan atau swakarsa dan transmigrasi umum yang dibiayai pemerintah, yang sering disebut transmigrasi saja. 

Sebagai salah satu daerah tujuan transmigrasi, Jambi kedatangan banyak penduduk terutama dari Jawa sejak 1968/1969 yang merupakan transmigrasi pertama. Sejak itu, banyak catatan atau terbitan yang berkenaan dengan transmigrasi di Jambi, terutama yang diterbitkan oleh Dirjen Transmigrasi. Hingga tahun 1978, setidaknya terdapat 24 kepustakaan tentang transmigrasi di Jambi. Berikut daftar kepustakaan itu sebagaimana dicatat dengan sangat baik oleh Paul E. Meyer dan Colin MacAndrews di dalam buku Transmigration in Indonesia: An Annotated Bibliography (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1978):

======================================================== 
  • Abbas Tjakrawiralaksana, Ali M.A. Rachman, dan E. Kusumah, Pengembangan dan Perluasan Daerah Transmigrasi di Rantau Rasau, Propinsi Jambi, 1975-1980 (Bogor: IPB dan Dirjen Transmigrasi, 1975).

  • Departemen Transmigrasi dan Koperasi Indonesia, Laporan Team Survey Projek-projek Transmigrasi dan Koperasi Pelita I di Djambi, (Jakarta: 1972).

  • Departemen Transmigrasi dan Koperasi Indonesia, Perencanaan Pengembangan Wilayah Proyek Transmigrasi Rimbo Bujang dan Kecamatan Tebo Ulu (Jakarta: 1976/1977).

  • Departemen Transmigrasi dan Koperasi Indonesia, Pengembangan Usaha Tani Skala Mikro Unit I Proyek Transmigrasi Rimbo Bujang (Jakarta: 1976).

  • Departemen Transmigrasi dan Koperasi Indonesia, Analisa Supply-Demand Proyek Transmigrasi Rimbo Bujang Unit I Propinsi Jambi (Jakarta: 1976).

  • Departemen Transmigrasi dan Koperasi Indonesia, Perencanaan Pengembangan Permukiman di Proyek Transmigrasi Rimbo Bujang Kabupaten Bungo Tebo (Jakarta: 1976).

  • Departemen Transmigrasi dan Koperasi Indonesia, Perencanaan Pengembangan Administrasi Pemerintahan di Proyek Transmigrasi Rimbo Bujang (Jakarta: 1976).

  • Direktorat Jenderal Transmigrasi, Laporan Survey Explorasi Proyek Transmigrasi Rantau Rasau, Propinsi Jambi, (Jakarta: 1973).

  • Jawatan Transmigrasi Pusat, Lampiran Laporan dari: 1. Kep. Inspeksi Trans. Djawa Timur, 2. Seksi Penjelidik Djawa TRM, 3. Kep. Bag. Agraria Sum. Tengah. Hal: a) Daerah-daerah Kolonisasi yang Ditinggalkan oleh Penduduknya (Air Bangis dan Tabir) dan b) Vrijwillige Transmigrasi (Jakarta: 1952).

  • Institut Pertanian Bogor, Laporan Survey ke Daerah Pasang-Surut Rantau Rasau (Djambi), (Bogor: 1969).

  • Institut Pertanian Bogor, Pernyataan Proyek Penelitian dan Pembinaan Masyarakat di Daerah Transmigrasi Pasang-Surut, Propinsi Jambi (Bogor: 1974).

  • Institut Pertanian Bogor, Laporan Survei Pengembangan dan Perluasan Daerah Transmigrasi di Rantau Rasau, Jambi, Tahap Ke-1. Survei Kepemimpinan Keorganisasian dan Bidang Perhatian Masyarakat Transmigrasi Rantau Rasau (Bogor: 1976).

  • Institut Teknologi Bandung, Final Report Master Plan Irigasi dan Drainase dari Delta Batanghari-Barangberbak (Pro. Jambi) (Bandung: 1970).

  • Direktorat Jenderal Transmigrasi Kantor Wilayah Jambi, Laporan Survey Identifikasi Calon Lokasi Transmigrasi Rimbo Bujang (Jambi: 1976).

  • Direktorat Jenderal Transmigrasi Kantor Wilayah Jambi, Monografi Proyek Transmigrasi Propinsi Jambi. 1. Rantau Rasau. 2. Singkut. 3. Rimbo Bujang, (Jambi: 1976).

  • Direktorat Jenderal Transmigrasi Kantor Wilayah Jambi, Laporan Survey Identifikasi Calon Lokasi Transmigrasi Muara Jernih (Jambi: 1976).

  • Direktorat Jenderal Transmigrasi Kantor Wilayah Jambi, Laporan Survey Identifikasi Calon Lokasi Transmigrasi Rantau Limau Manis (Jambi: 1976).

  • Direktorat Transmigrasi Jambi, Laporan Survey Explorasi Calon Lokasi Proyek Transmigrasi Non-Pasang-Surut (Jambi: 1974).

  • Direktorat Transmigrasi Jambi, Laporan Survey Proyek Transmigrasi Non-Pasang-Surut Lokasi Singkut, Kec. Sarolangun, Kab. Sarko untuk Perluasan Penempatan 500 KK Transmigrasi Tahun 1975-1976 (Jambi: 1975?).

  • Nursito, Sihombing, dan Dalmanto Resosoedarmo, Laporan Survey Explorasi Calon Proyek Transmigrasi 1. Singkut, 2. Kubang Ujo, Kabupaten Sarolangun Bangko, Jambi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Transmigrasi, 1973).

  • Soekasdi, Perkembangan Proyek Transmigrasi Rantau Rasau, (Jambi: Direktorat Transmigrasi, 1975).

  • Soetijoadi, Ignatius J.S., Keadaan Areal Singkut, Lokasi Calon Penempatan Transmigrasi th. 1974/75-1976/77, Propinsi Jambi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Transmigrasi, 1975).

  • Sunyoto dan M, Djaafar, Laporan Prasurvey Calon Proyek Transmigrasi Rimbo Bujang, Kecamatan Tanah Tumbuh, Kabupaten Bungo Tebo, Jambi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Transmigrasi, 1973).

  • Syahur Haris, Analisa Ekonomis Proyek Persawahan Pasang Surut serta Transmigrasi di Rantau Rasau, Sungai Puding dan Sungai Pemusiran, Jambi (Fakultas Ekonomi UI dan Bappenas, 1974).
========================================================  

Daftar itu hanya memuat kepustakaan transmigrasi di Provinsi Jambi sampai 1978. Setelah tahun itu belum ada data. Membaca judul-judulnya, kepustakaan di atas jelas penting untuk mengetahui sejarah daerah-daerah seperti Rantau Rasau, Tanah Tumbuh, Singkut, Muara Jernih, Tabir, Rimbo Bujang, dll.

Di tangan orang-orang yang rajin seperti Patrice Levang, kepustakaan di atas akan sangat berguna. Patrice Levang adalah penulis buku Ayo ke Tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia (Jakarta: KPG, 2003), yang aslinya berbahasa Perancis. Sayangnya, di buku itu Levang tidak mengulas transmigrasi di Jambi, tapi dia banyak bicara Metro (Lampung) dan Belitang (Sumatera Selatan) serta Kalimantan dan Sulawesi.



Berbicara tentang Patrice Levang, pada 2011, dia menjadi penyunting tamu untuk jurnal Forests, Trees and Livelihoods, Vol. 20, Issue 1 (2011) terbitan Taylor and Francis Group yang merupakan nomor khusus (special issue) tentang perkebunan karet di Bungo, Jambi. Di dalam nomor itu, semua artikel membahas tentang karet di Bungo. Rasanya belum ada daerah di Indonesia yang mendapat kehormatan dibahas khusus dalam satu nomor tersendiri kecuali Bungo, Jambi. Sayangnya, sekali lagi sayangnya, jurnal tersebut sampai saat ini belum ada di Jambi sehingga orang Jambi tidak bisa membacanya. 

Adakah yang bisa membantu?

Pamflet Itu Bernama Novel


INGATAN SAYA langsung tertuju pada Akhrej Minha ya Mal'un-nya Saddam Hussein saat membaca paragraf-paragraf awal Perahu karya Conie Sema. Ada beberapa persamaan antara kedua novel itu. Pertama, kalau Perahu didahului “khotbah” panjang tentang berbagai ketidakadilan di “Intro”, mulai dari masa penjajahan Belanda, 1965, Orde Baru, hingga masa subur LSM dan nekolim serta neolib; Akhrej Minha ya Mal'un didahului oleh narasi tentang setan yang agak berlebihan—karena itu, dalam edisi Inggris, Jepang, maupun Indonesia, novel ini diberi judul dengan arti “tarian setan” atau yang serupa dengan itu. 

Karena itu kemudian, kedua, baik Perahu maupun Akhrej Minha ya Mal'un, sejauh pembacaan saya, adalah cerita tentang perlawanan terhadap ketakadilan itu. Dan ketidakadilan tentu saja bukan sesuatu yang kodrati atau terberi, melainkan berasal dari proses sosial yang alih-alih alamiah, justru disetir oleh suatu rezim kekuasaan. Karena itu, perlawanan terhadap ketidakadilan berarti juga perlawanan terhadap penguasa. Di dalam Perahu, para tokohnya kentara sekali menggugat ketakadilan (borjuis dan pemerintah), karena acap gugatan itu disampaikan dalam dialog verbal. Sementara di dalam Akhrej Minha ya Mal'un, ketidakadilan dituding berpangkal dari Yahudi. Tokoh Salim (Islam) kemudian melawan simbol Yahudi yang mewujud pada tokoh Hasqil. 

Bedanya, kalau perlawanan di dalam Akhrej Minha ya Mal'un menghasilkan pemenang, yaitu Salim, yang berhasil menghancurkan menara kembar milik Hasqil, tidak demikian di dalam Perahu. Perlawanan di dalamnya berujung pada kekalahan semua tokohnya. 

Tokoh Baya hidup bersuamikan Umar dan kedua anaknya, Lina dan Gofur. Umar dan Baya adalah pekerja pada keluarga suami-istri Boni dan Lastri. Umar bekerja di bagan milik mereka, sedangkan Baya adalah pembantu rumah tangga mereka. Pada awalnya hidup mereka baik-baik jika saja rumah tangga Boni dan Lastri harmonis gara-gara mereka tak punya anak. Umar yang sering menemani Lastri mengurus usaha kemudian terlibat perselingkuhan. Di akhir cerita, Lastri melahirkan anak dari perselingkuhan itu. 

Sementara Baya yang membantu mengurus rumah tangga Boni dan Lastri, karena Boni sering berada di rumah ketimbang istrinya, terlibat pula perselingkuhan dengan sang majikan. Perselingkuhan awalnya diceritakan dengan sedikit paksaan, tapi kemudian Baya menikmatinya. Tak sampai di situ, Lina, anak Umar dan Baya, terlibat hubungan terlarang dengan Along, seorang agen obat yang telah beristri, sebelum kemudian juga berselingkuh dengan Boni dan teman kuliahnya serta para aktivis LSM. 

Dari selingkuh itu, Lina hamil. Demi mendapati Lina yang mengandung, Baya kalap. Usai persetubuhan panjang, dengan bengis dia menghabisi Boni, yang dia anggap menghamili Lina—Lina hanya mengaku dipaksa melayani Boni; tak diceritakan dia mengaku pada Baya bahwa telah bersebadan pula dengan teman-temannya serta Along. Andaipun belum pernah membuka-buka novel klasik Germinal karangan sastrawan Prancis Emile Zola, pembaca akan tahu bahwa referensi yang dipakai pengarang untuk membuat cerita sadisme itu adalah novel tersebut. Selain Baya yang melengkapi prosesi pembalasan dendamnya dengan (maaf) memotong kemaluan Boni, persis yang terjadi dalam Germinal, berkali-kali juga buku Zola tersebut disebut oleh pengarang saat bercerita tentang sadisme yang dilakukan Baya. Tak hanya itu, pembaca juga disodori perdebatan yang pernah terjadi di Indonesia bahwa apakah sadisme yang dilakukan Gerwani, salah satu organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI), terhadap para jenderal di Lubang Buaya, jika sejarah 1965 versi Soeharto diterima, diinspirasi oleh Germinal. 

Dalam struktur cerita yang demikian, siapakah yang menjadi pemenang? Kalau kita setuju dengan postrukturalis Prancis Michel Foucault dan Roland Barthes yang bersepakat bahwa struktur perlu dilihat setidaknya untuk melihat siapa penguasa—minimal yang diuntungkan dari—struktur itu—untuk kemudian mendekonstruksinya—tak ada tokoh pemenang. Di akhir kisah, diceritakan Baya dipenjara dan gila dengan mengamuk membunuhi rekan-rekannya sesama tahanan. Demikian pula Umar yang terusir karena tidak dibutuhkan lagi oleh Lastri sebab perempuan itu telah menjadi lesbian berpasangan dengan Lina. Tak ada pemenang, tak ada yang diuntungkan, dan semua tokoh kalah. 

Sebagaimana dalam sadisme Baya yang nyata referensinya ditunjukkan ke pembaca berasal dari Germinal karangan Zola, banyak peristiwa yang terjadi dalam ranah realitas yang dihamburkan di dalam novel itu, semisal Tragedi Talangsari, Peristiwa 1965, juga Reformasi 1998—kaver novel itu bahkan dibubuhi kata “a story behind the political reform of Indonesia”. Artinya, referensi penulisan novel ini disodorkan ke pembaca dengan gamblang. Maka jangankan berteka-teki, sadar atau tidak, tafsir pembaca pun tergiring untuk memaknai Perahu dalam konteks demikian. 

Apakah hal itu dikarenakan penulis novel ini seorang jurnalis yang biasa bergelut dengan “fakta” yang didapat dengan ketat? Bisa jadi ya. Namun demikian, tidak semua jurnalis yang menulis sastra berperilaku menghamparkan banyak fakta di dalam karya sastranya. Sebut saja Ahmad Tohari (harian Merdeka), Martin Aleida (Tempo), Seno Gumira Ajidarma (Jakarta Jakarta), Akmal Naseri Basral (Tempo), Aris Kurniawan (majalah Film), Nur Mursidi (majalah Hidayah), atau Yupnical Saketi (Posmetro Jambi). 

Saya sering menyederhanakan bahwa prosa yang baik dan berhasil punya dua prasyarat: kisah yang disampaikan menarik dan cara ungkapnya memikat. Bila harus dirujukkan, pendasarannya ada pada teori kisah (narrative)-nya Paul Ricoeur dalam Time and Narrative. Dalam berkisah, kata Ricoeur, seorang pencerita mesti melewati tahap yang dinamakan seleksi dan kombinasi. Dengan bahasa berbeda Afrizal Malna secara puitis mengatakan bahwa berkisah adalah bekerja di dua meja. Ada semesta yang akan dikisahkan. Tentu tidak semuanya bisa masuk dalam sebuah kisah seperti novel, apalagi cerpen. Ada proses seleksi. Setelah menemukan apa saja yang akan dikisahkan, masuk tahap mengkombinasikan hasil seleksi itu. Seleksi dan kombinasi tidak saja terkait kisah-nya, tapi yang tak kalah penting adalah seleksi bahasa, menyangkut komposisi, genre literer, serta gaya yang merupakan kaidah penyusunan dan perangkaian (kombinasi) yang paling elementer dari sebuah karya literer. 

Inilah soalnya: kisah yang memikat sering tidak disertai dengan cara berkisah yang mengesankan. Sebaliknya, kerap terjadi penulis terlalu terpukau pada bahasa, memerhatikan hingga detail-detail kata yang digunakan agar bernuansa puitis, walhasil lupa pada kisah yang ingin disampaikan. Sudah barang tentu bila keduanya terjalin bagus, akan lahir kisah yang sempurna. Namun bila keduanya terabaikan, cerita yang ditulis bakal tidak mengesankan pembacanya alias gagal. 

Keberhamparan peristiwa acap membuat dua hal pokok itu terabaikan. Di satu sisi seleksi kisah benar-benar terabaikan, di sisi lain kombinasinya menjadi sebuah jalinan cerita yang menarik sulit dilakukan. Kisah menjadi tidak fokus. Atau malah kebanyakan bumbu yang alih-alih menyedapkan, peristiwa yang berlimpah itu bila tak diolah secara benar-benar berpotensi membuat “masakan” hambar. 

Pada novel ini, kisah acap dicomot begitu saja dari kenyataan riil sehari-hari. “Based on true story” atau “a story behind” menjadi jebakan yang mematikan. Jebakan mencomot begitu saja seperti itu membuat pengarang tidak selalu memahami kisah dengan jelas atau kalaupun memahaminya secara baik, terjebak dengan pengetahuan sendiri dan luput mengolah sudut pandang. Pengarang menjadi paling tahu dan logika cerita diabaikan. 

Apakah dengan penghamparan peristiwa yang dipungut dari kenyataan sebenarnya itu, novel ini bisa disebut novel sejarah? Dengan definisi fiksi sejarah menurut Sarah Johnson mungkin ya. Aktivis Komunitas Novel Sejarah Amerika itu mengatakan, fiksi dan sejarah tidak dapat dipisahkan. Setiap fiksi, demikian Sarah, pada dasarnya adalah fiksi sejarah. Cerita yang ditulis pada 1960-an, misalnya, menyimpan dan membawa gambaran sebuah latar saat itu—sebuah pandangan dunia (worldview atau weltanschauung) zaman itu. Dengan begitu setiap fiksi atau novel adalah rekaman sejarah. 

Namun dengan bandingan fiksi sejarah ala penulis Italia Umberto Eco (The Name of the Rose yang mengambil referensi sejarah gereja Abad Pertengahan) atau sastrawan Rusia terbesar Leo Tolstoy (Haji Murad dan War and Peace), Perahu berbeda. Kalau novel-novel tersebut memakai peristiwa sejarah sebagai latar atau sebagai persoalan, tidak demikian dengan Perahu. Novel ini nyaris sekadar menghamparkan peristiwa yang alih-alih menjadi latar atau persoalan, melainkan sekadar titik tolak ide penulisan yang membuat pembaca—juga pengarang—sulit menjaga jarak darinya. 

Sekali lagi, kata Edgar Alan Poe, pada awalnya adalah cerita. 

Tentang perlawanan, yang sentral dalam Perahu, karena banyak peristiwa berhamparan, urung disampaikan secara “metaforis” yang membuat kenyataan tidak begitu saja atau langsung terkemukakan pada pembaca. Tak ada perenungan yang menjadi kekuatan khas karya sastra. Kekuatan karya para nobelis semacam Knut Hamsun (Hunger) atau JM Coetzee (Disgrace dan Waiting for the Barbarian), misalnya, bagi saya, terletak pada kepandaian pengarang membuat kisah agar cerita tersampaikan dengan apa adanya sekadar cerita, meski di balik itu kita mendapati sebuah kisah perlawanan yang gusar. Bahkan diktator Saddam Hussein, yang di luar karya adalah penentang keras adikuasa Amerika Serikat, di dalam karya berlaku tawadhu dengan mengaburkan kisah perlawanannya dalam simbol-simbol yang menarik. 

Kisah yang disampaikan dengan cara demikian, seberapa pun peristiwa yang melatarbelakanginya teramat terang, bila direntangkan jarak, akan utuh berdiri sebagai sebuah kisah. Itulah yang kemudian menjadi kegusaran Damhuri Muhammad ketika mengudar tafsir banyak orang yang mengatakan cerita yang ditulis mantan aktivis Lekra, Martin Aleida (Layang-layang Itu Tak Lagi Mengepak Tinggi-tinggi, Leontin Dewangga, dan Mati Baik-baik, Kawan, misalnya), adalah sebentuk gugatan terhadap ketidakadilan yang dialami orang-orang yang tertuduh simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) serta keturunan mereka. Artinya, kalaupun dilepaskan antara peristiwa 1965—yang mungkin melatarbelakangi—dan cerita-cerita Martin, kisah itu tetap berdiri sebagai kisah. Hal sama saya rasa berlaku pada Ahmad Tohari yang menulis Ronggeng Dukuh Paruk, bahwa dilepaskan dari konteks 1965 pun, cerita di dalam novel itu tetap berdiri sebagai kisah utuh yang nyaman dinikmati. 

Tentang cara perlawanan itu dilakukan, bagi saya, ketimbang verbalisasi ulang kisah dalam Germinal, lebih baik mencari cara ungkap baru bagi perlawanan itu sendiri. Dua novel Eka Kurniawan, misalnya, bisa jadi bandingan yang baik. Di dalam Cantik Itu Luka, salah satu tokohnya melawan kekejaman serdadu Jepang yang memerkosanya dengan cara diam saja ketika perbuatan bejat itu dilakukan. Dia diperkosa tanpa ekspresi: tak ada desah, tak ada penolakan, tak ada air mata. Juga di dalam Lelaki Harimau, satu tokoh perempuan yang tidak bisa melakukan apa pun, menanami rumahnya penuh dengan bunga sebagai simbol perlawanan. Khas perlawanan di dalam cerita, saya rasa simbolik, ketimbang vulgar apalagi mengekor pada kisah dari pengarang pujaan. 

Penyampaian perlawanan secara vulgar tak lain adalah ciri pamflet. Seni pamflet, menurut Saut Situmorang, adalah seni propaganda untuk melawan propaganda, terutama propaganda pemerintah atau penguasa. Di zaman perjuangan, misalnya, “Merdeka atau mati!” atau “Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup becermin bangkai” adalah pamflet untuk melawan kolonial. 

Karya sastra yang menyerupai pamflet itu pernah marak sebelum peristiwa 1965. Kalau kita membuka-buka cerpen para pengarang Lekra yang dimuat dalam Lembar Kebudayaan Harian Rakyat, kita mendapati karya yang secara terang menyampaikan perlawanan, tanpa tedeng aling-aling. Karya-karya A Kohar Ibrahim, Putu Oka, Sulami, untuk menyebut beberapa penulis Lekra waktu itu, amat jelas menyuarakan perlawanan secara vulgar. Tak hanya pada karya sastra, bahkan kalau kita membuka-buka Harian Rakyat, berita yang disajikan pun nyaris serupa pamflet. Periode jelang 1965, pers Indonesia memang dikenal sebagai pers partisan untuk membela kelompok atau partai dan menentang secara terang kelompok lain. 

Pasca-1965, seni pamflet itu hilang oleh represi Orde Baru, diganti dengan bahasa santun lipstis ala Jawa. Suara berbeda dari pemerintah, jangankan yang disampaikan secara terang, dengan sangat kabur pun tetap dicurigai seperti halnya Ahmad Tohari atau Pramudya Ananta Tour yang sempat dipenjarakan. Di sinilah kemudian perlawanan dalam sastra menjadi niscaya, tentu dengan pengertian sastra sebagai semata dunia rekaan atau imajinasi. Maka Seno Gumira Ajidarma pun menabalkan semboyannya yang kemudian menjadi kredo waktu itu: ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. 

Perahu, dalam beberapa hal, mengingatkan saya pada seni pamflet yang selama ini hilang tersebut. Apakah ini lahir karena Orde Baru telah runtuh dan berganti dengan Reformasi yang membuka sekat bagi perbedaan pendapat, masih perlu diperdebatkan lagi.[]


=============================================================
Ini awalnya kertas kerja saya dalam peluncuran Perahu pada 16 Agustus 2009 di Aula Kantor Bahasa Jambi. Di samping saya, pembicara lainnya adalah Halim HD. Novel lengkap dapat dibaca secara online di sini.

Belajar Kepemimpinan dari Masjchun Sofwan

Sumber foto: KRM Kasiman

Berikut bagian “Penutup” buku  “Memori Masa Bhakti Gubernur KDH Tk I Jambi, 10 Desember 1984-10 Desember 1989” oleh Masjchun Sofwan, SH (MS), hlm. 357-363. Tidak semua bagian itu dimasukkan di sini, tetapi yang mungkin penting untuk diambil sebagai pelajaran dan diskusi. Di bagian ini MS tidak saja berkisah tentang apa yang terjadi selama dia memimpin Jambi, tetapi juga bagaimana semestinya seorang kepala daerah bekerja. Jadi, selain mengenang apa yang dilakukannya, di sini kita dapat sekaligus belajar darinya.

Sebuah blog tentang KRM Kasiman menyebutkan sebagai berikut (saya kutip panjang): 

“Maschun Sofwan lahir di Selorejo Blitar, pada 7 September 1927. Orang tua Maschun Sofwan adalah Imam Sofwan dan Siti Asiyah. Imam Sofwan, ayah Maschun Sofwan, adalah putra keempat dari Moerdinah... Masa kecil beliau dilalui di Selorejo, sebuah kota kecil jauh di sebelah timur Blitar.

“Pendidikan beliau adalah SD atau SNR di Selorejo selama 6 tahun kemudian melanjutkan di SMPN Blitar dan SMAN Malang. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Beliau juga pernah menjadi dosen UGM di Fakultas Hukum. Selain itu, beliau juga pernah menjadi Bupati Temanggung selama dua periode dan sebagai Gubernur Jambi selama dua periode.

“Beliau menikah dengan Prof Dr. Sri Soedewi, SH dan dari pernikahan beliau dikaruniai seorang putri bernama putri Ira Indira Kartini. Dalam perjalanan keluarga beliau, ternyata isteri beliau Prof. Dr. Srisudewi, SH dipanggil oleh Allah SWT lebih dahulu. Kemudian beliau menikah kembali dengan dengan Hj. Dra Juniwati. Hj. Dra Juniwati Maschun Sofwan ini saat ini aktif dalam organisasi politik.”

Selamat menikmati dan semoga berguna.
============================================================

Bab VIII
Penutup

Masa lalu mengandung masa sekarang, masa sekarang mengandung masa datang. Proses dalam falsafah itu berlaku juga dalam kehidupan pemerintahan. Apa yang telah saya lakukan dalam mengemban tugas dan fungsi selaku Gubernur Kepala Daerah, adalah merupakan mata rantai kelanjutan dan peningkatan tugas dan fungsi Gubernur yang terdahulu; dari Bapak Djamin Datuk Bagindo sebagai Residen, Bapak Mohammad Joesoef Singedekane, Bapak H. Abdul Manaf almarhum, Bapak R.M. Nur Atmadibrata almarhum sampai kepada Bapak Djamaluddin Tambunan, SH yang diselingi sebagai pejabat selama 3 bulan oleh Bapak Eddy Sabara.

Dasar-dasar kekaryaan yang telah beliau letakkan dan prestasi-prestasi yang beliau capai dalam memimpin rakyat dan Daerah Jambi telah saya lanjutkan dan kembangkan dalam dua kali masa bhakti yakni pada periode 10 Desember 1979-10 Desember 1984 dan 10 Desember 1984-10 Desember 1989.

Saya sepenuhnya menyadari bahwa pengalaman-pengalaman Gubernur pendahulu saya, mempunyai arti yang sangat besar dalam melaksanakan tugas dan fungsi saya sebagai Gubernur Kepala Daerah. Bagi saya sesuai dengan isarat pepatah adat yang berbunyi: “Mengambil contoh kepada yang sudah, mengambil tuah kepada yang menang, mengamanatkan agar pengalaman-pengalaman beliau: kok berjalan dijadikan tongkat, kok tidur dijadikan bantal, sesat di ujung jalan kembali ke pangkal jalan.”

Memori ini adalah rekaman pengalaman dan pengamatan dalam bhakti saya yang kedua. Apa yang saya kerjakan dan sajikan di dalamnya tidak berpotensi memberi arah, tetapi sebagai informasi, pemikiran dan pandangan untuk mematangkan pertimbangan atau keputusan-keputusan berikutnya, yang dibutuhkan dalam membangun daerah Jambi.

Untuk seluruh yang saya kerjakan dengan segala corak dan warnanya saya serahkan penilaiannya kepada Bapak Presiden, Bapak Menteri Dalam Negeri dan Pemerintah Pusat serta seluruh masyarakat. Jika di dalam pekerjaan tersebut terdapat suatu yang dapat disebut sebagai prestasi, saya menganggap itu sebagai prestasi Pemerintah Daerah dan seluruh masyarakat. Karena itu seluruh hasil karya yang telah kita capai yang telah memberi arti bagi kehidupan rakyat, atas nama pendahulu saya, saya persembahkan kepada seluruh rakyat di daerah ini. Kegagalan ataupun ketidakberhasilan saya dalam mewujudkan cita-cita dari pembentukan Propinsi ini adalah tanggung jawab saya.

Ketika seorang pejabat tinggi dari Jakarta, bertanya, apa yang Saudara anggap sukses selama memimpin wilayah Jambi ini, saya kemukakan, bahwa secara pribadi saya menghindari dan tidak akan menggunakan kata-kata sukses karena sukses itu mengandung makna relatif. Orang lain yang dapat dan berwenang menilainya. Bisa saja suatu kesuksesan bagi seseorang, dinilai sebagai sesuatu kegagalan oleh orang lain. Saya lebih suka menggunakan istilah “kenangan manis”, karena hal tersebut relatif subjektif, tidak dapat dibantah bagi yang bersangkutan.

Saya juga merasakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsi selaku Gubernur Kepala Daerah kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditempuh tidak selalu memuaskan semua pihak. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan pemikiran dan penafsiran tentang bagaimana seharusnya kebijaksanaan diambil dan dilaksanakan.
...

Beberapa bulan menjelang kedatangan saya di Jambi pada akhir tahun 1979 terjadi pro dan kontra terhadap calon-calon Gubernur Jambi. Hal tersebut membuktikan hidupnya demokrasi. Saya tidak merasa apa-apa terhadap penolakan sementara orang terhadap diri saya pada waktu itu karena kami memang tidak pernah mengenal satu sama lain. Saya tidak menilai bagaimana sikap seseorang sebelum saya datang, tetapi setelah dilantik sebagai Gubernur secara definitif, sudah barang tentu semuanya harus dibenahi.

Setapak demi setapak terasa adanya makin saling pengertian antara semua pihak. Memang, pimpinan apa pun juga, termasuk pimpinan daerah atau Wilayah, harus dapat mengajak, memberi pengertian kepada yang dipimpinnya dan menumbuhkan kepercayaan dan keyakinan, bahwa apa yang dikerjakan merupakan hal yang benar dan harus disukseskan. Tanpa keyakinan, sulit dicapai hasil yang memadai.

Sebagai pemimpin seseorang harus dapat merangsang tumbuhnya inisiatif dari kelompok staf. Pimpinan dan yang dipimpin memang harus punya suatu sasaran tertentu untuk dicapainya, tetapi pimpinan tidak perlu selalu dan terus-menerus memberikan kesan seolah-olah semua inisiatif keluar daripadanya. Pimpinan harus memberi kesempatan dan perasaan kepada para rekan sekerjanya, bahwa inisiatif dan buah pikiran mereka diakui dan dihargai. Seorang pemimpin tidak perlu merasa “terancam” kepopulerannya. Jika seandainya ada aparat pelaksana yang berkata, bahwa sesuatu hal merupakan buah pikirannya, hal tersebut tidak akan mengurangi “wibawa” sang pemimpin. Memang pimpinan harus mempunyai suatu konsep tertentu untuk memecahkan suatu masalah dan untuk mencapai suatu tujuan.
...

Meskipun demikian sudah selayaknya bahwa seorang pimpinan diharapkan dapat mengungguli yang dipimpin dalam daya pikir, daya penalaran, daya/kemampuan berkreasi, daya juang dan daya tahan. Dari seorang pimpinan dituntut kesehatan, kondisi fisik yang kuat dan baik, demikian pula di bidang moral.

Memang tidak ada manusia yang sempurna. Setiap orang sebagaimana saya sebutkan, tentu mempunyai kelemahan dan kekurangan; ia bisa saja mempunyai cacat atau cela, tetapi kesemuanya harus diatasi setelah disadarinya tentang adanya kekurangan tersebut. Datangnya kesadaran tersebut ialah dengan jalan setiap kali mengadakan introspeksi. Kita harus memberikan jawaban terhadap pertanyaan, apakah kita telah menunaikan tugas semaksimal mungkin dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Apabila jawaban ya, kita tidak usah ragu-ragu untuk melanjutkannya. Suatu ketentuan tidak dapat ditawar-tawar, harus konsisten, tetapi pelaksanaannya harus bijaksana, melihat kondisi dan situasi.

Suatu hal yang harus disadari oleh pimpinan ialah bahwa tidak semua, saya ulangi tidak semua orang akan selalu sependapat dengan kita.

Dalam agama diajarkan, bahwa setiap mengawali sesuatu, termasuk tugas, kita harus mengucapkan Bismillah. Kita bekerja itu karena Allah, diniati sebagai ibadat. Apa pun fungsi dan tugas kita harus laksanakan semaksimal mungkin. Harus bekerja keras membanting tulang, tetapi dengan hati yang berserah diri (semeleh, bhs Jawa), dengan tawakal. Jika apa yang kita lakukan itu dinilai baik oleh atasan ataupun lingkungan dan masyarakat, kita akan mensyukurinya, tetapi seandainya seseorang telah bersusah payah dan berusaha dengan sungguh dalam menunaikan tugas, tetapi dinilai tidak baik, tidak diterima baik oleh atasan maupun lingkungan dan masyarakat, ia harus menerimanya dengan berserah diri kepada Tuhan. Yang penting dan tiap kali harus kita lakukan, ialah mawas diri, bertanya kepada diri sendiri apakah kita telah menunaikan tugas dan kewajiban kita dengan sungguh-sungguh sesuai dengan ketentuan.

Saya percaya bahwa pangkat, derajat dan rezeki itu tidak dapat dikejar-kejar dan dipaksakan untuk datang. Ia akan datang dengan sendirinya sesuai dengan amal perbuatan kita dengan tidak meninggalkan ikhtiar. Ujud dari ikhtiar tersebut ialah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya, tiada terkecuali apakah sebagai pegawai negeri atau orang swasta.

Untuk ukuran tingkatan Propinsi Jambi, seorang Kepala Daerah, baik Tk. I maupun Tk. II, para Ka. Kanwil, Kepala Kantor, Kepala Dinas harus membaca semua dan menguasai semua surat baik yang keluar maupun yang masuk, meskipun tidak semua surat harus ia tangani atau selesaikan secara langsung. Saya katakan tadi “untuk ukuran”, karena mungkin saja untuk Propinsi di Jawa, karena volume tugasnya begitu besar maka seorang Gubernur KDH tidak mempunyai waktu untuk membaca semua surat masuk dan keluar.

Seorang pimpinan tidak juga boleh melangkah terlalu maju, melangkah terlalu jauh dari yang dipimpin. Harus selalu dijaga keharmonisan satu sama lain sehingga dicapai suatu kondisi “serempak bak regam”. Jangan sampai seorang menggala melaju terlalu jauh meninggalkan pasukannya.
...

Kita harus tahu menghargai dan tahu berterima kasih kepada siapa pun yang memang sepatutnya kita hargai dan kita terima kasihi secara jujur dan ikhlas tanpa basa-basi. Kepada staf sampai ke yang paling bawah.

Setiap hari Kamis malam Jumat bertempat di Musholla Alzikro dalam lingkungan kediaman Gubernur, diselenggarakan pengajian yang dihadiri Gubernur, Wakil Gubernur, Sekwilda, Ketua Bappeda, Kadit Sospol, Kadit Bangdes, Ketua BKPMD, Irwilprop, para Asisten Sekwilda, para Kepala Biro, para Ka Kanwil, dan Kepala Dinas/kesemuanya dengan para istri. Tujuannya ialah untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pengajian ini dimaksudkan pula sebagai pengisian kesejahteraan di bidang moril. Kecuali itu juga untuk mengeratkan tali silaturahmi antarpejabat dan keluarga.
...

(selanjutnya MS mengucapkan terima kasih kepada Presiden, Wakil Presiden, para menteri, anggota DPRD)

Kepada Saudara Drs. Abdurrahman Sayoeti, Wakil Gubernur KDH yang akan dilantik sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi pada tanggal 11 Desember 1989 ini, akan tetap saya kenang loyalitasnya terhadap tugas serta disiplinnya yang tinggi.

(MS melanjutkan ucapan terima kasih)
...

Jambi, 10 Desember 1989

Masjchun Sofwan, SH